Perubahan Iklim

Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Sumber Daya Vital yang Terancam

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan semua aktivitas ekonomi, terutama sektor pertanian yang menyerap sekitar 70% dari total penggunaan air global. Namun, meskipun bumi sebagian besar tertutup air, ketersediaan air tawar yang dapat digunakan sangat terbatas dan semakin terancam oleh perubahan iklim, pertumbuhan populasi, polusi, dan eksploitasi berlebihan. Paper berjudul Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies oleh Biswas et al. (2025) memberikan tinjauan kritis mengenai dampak kekurangan air secara global, dengan fokus khusus pada sektor pertanian dan perspektif India sebagai negara berkembang yang menghadapi krisis air parah.

Jenis dan Penyebab Kekurangan Air

Jenis Kekurangan Air

  • Kekurangan air fisik (Physical water scarcity): Terjadi ketika ketersediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia dan ekosistem. Diperkirakan 1,2 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami kekurangan air fisik, terutama di daerah kering dan semi-kering.
  • Kekurangan air ekonomi (Economic water scarcity): Terjadi ketika air tersedia secara fisik, tetapi aksesnya terbatas karena infrastruktur yang buruk, manajemen yang lemah, atau masalah institusional. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air jenis ini.

Penyebab Utama

  • Perubahan iklim dan kekeringan: Variabilitas cuaca yang meningkat menyebabkan penurunan curah hujan dan peningkatan frekuensi kekeringan. Antara 2001-2018, 74% bencana alam terkait air seperti banjir dan kekeringan.
  • Pertumbuhan populasi: Saat ini, 41% penduduk dunia tinggal di daerah dengan tekanan air tinggi. Proyeksi menunjukkan kebutuhan air untuk pangan akan meningkat 40-50% pada 2030.
  • Polusi air: Limbah industri, pertanian, dan domestik mencemari sumber air, mengurangi kualitas dan ketersediaan air bersih.
  • Praktik pertanian yang boros air: Sekitar 60% air irigasi hilang karena sistem irigasi yang tidak efisien dan pemilihan tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi air setempat.

Dampak Kekurangan Air pada Pertanian dan Ketahanan Pangan

  • Kekurangan air mengancam produksi pangan global, dengan prediksi penurunan hasil panen hingga 20-30% di beberapa wilayah pada 2030-2050.
  • Contoh nyata di California, AS, kekeringan tahun 2015 menyebabkan kerugian ekonomi pertanian sebesar $1,84 miliar dan hilangnya 10.100 pekerjaan musiman.
  • Di India, lebih dari 600 juta orang menghadapi krisis air, dengan penurunan drastis ketersediaan air per kapita dari 5.177 m³ pada 1951 menjadi sekitar 1.296 m³ pada 2025. Kota-kota besar seperti Delhi dan Chennai menghadapi risiko habisnya sumber air tanah.
  • Penurunan produksi gula di India dari 28,3 juta ton (2013-2014) menjadi 21,3 juta ton (2016-2017) akibat kekeringan dan kurangnya air irigasi.
  • Perubahan pola tanam, seperti pergeseran dari padi ke tanaman yang lebih hemat air (misal jagung dan millet), mulai dilakukan sebagai strategi adaptasi.

Strategi Adaptasi dan Manajemen Air dalam Pertanian

Teknik Irigasi Efisien

  • Mikro-irigasi (drip dan sprinkler): Menghemat air hingga 60%, meningkatkan hasil panen hingga 40% pada tanaman seperti tomat dan zaitun.
  • Irigasi berbasis sensor dan pengendalian evapotranspirasi: Mengoptimalkan waktu dan jumlah irigasi, mengurangi pemborosan air.
  • Irigasi defisit dan pengeringan bergantian: Mengurangi penggunaan air tanpa mengorbankan hasil panen secara signifikan.

Praktik Pertanian Berkelanjutan

  • Pengolahan tanah konservasi: Mengurangi penggunaan air hingga 40%, meningkatkan kesuburan dan struktur tanah.
  • Rotasi tanaman dan pergantian tanaman (crop shifting): Memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan dan sesuai kondisi air lokal.
  • Mulsa: Mengurangi evaporasi tanah dan mempertahankan kelembaban, efektif di daerah kering.
  • Penggunaan varietas tahan kekeringan: Contohnya varietas padi hemat air di China dan jagung tahan kering di Afrika.

Teknologi dan Inovasi

  • Superabsorbent polymer hydrogels: Menyimpan air di dalam tanah dan mengurangi stres tanaman.
  • Precision agriculture: Menggunakan sensor dan data satelit untuk pengelolaan air yang presisi dan efisien.
  • Sistem penampungan air hujan dan pompa tenaga surya: Meningkatkan ketersediaan air di daerah kering dan terpencil.

Kebijakan dan Manajemen Sumber Daya Air

  • Penetapan harga air dan pasar air: Mendorong penggunaan air yang efisien dan alokasi yang optimal, seperti di Australia dan Brasil.
  • Pengaturan jarak sumur dan perizinan: Mencegah eksploitasi berlebihan dan konflik antar pengguna air.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi komunitas: Meningkatkan kesadaran dan pengelolaan bersama sumber daya air.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Paper ini memberikan gambaran komprehensif yang menggabungkan aspek fisik, sosial, dan ekonomi dari krisis air global, dengan fokus kuat pada sektor pertanian dan negara berkembang seperti India. Pendekatan multidisipliner dan penggunaan data kuantitatif serta studi kasus nyata memperkuat argumen dan relevansi kebijakan.

Namun, tantangan implementasi strategi adaptasi tetap besar, terutama terkait biaya awal teknologi irigasi modern dan kebutuhan pelatihan petani. Selain itu, aspek kelembagaan dan politik air yang kompleks perlu lebih banyak perhatian untuk memastikan keberlanjutan.

Dibandingkan dengan literatur lain, paper ini menegaskan pentingnya integrasi antara inovasi teknologi, kebijakan harga dan pasar air, serta praktik tradisional yang adaptif. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan inklusif.

Menuju Pertanian Berkelanjutan di Tengah Krisis Air

Krisis air merupakan hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Dengan meningkatnya tekanan akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan pola konsumsi yang berubah, kebutuhan akan strategi adaptasi yang efektif semakin mendesak.

Paper ini menyajikan berbagai solusi praktis dan inovatif yang dapat diadopsi di berbagai wilayah, khususnya negara berkembang seperti India, untuk mengurangi dampak kekurangan air pada pertanian. Penggabungan teknologi efisien, praktik pertanian berkelanjutan, dan kebijakan yang mendukung akan menjadi kunci keberhasilan.

Upaya terkoordinasi antara pemerintah, peneliti, petani, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan ketersediaan air yang cukup bagi generasi sekarang dan mendatang.

Sumber Artikel :

Biswas, A., Sarkar, S., Das, S., Dutta, S., Roy Choudhury, M., Giri, A., Bera, B., Bag, K., Mukherjee, B., Banerjee, K., Gupta, D., & Paul, D. (2025). Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies. Cambridge Prisms: Water, 3, e4

Selengkapnya
Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ketahanan Sistem Pangan Global

Perubahan iklim yang semakin nyata membawa tantangan besar terhadap ketersediaan air dan keberlanjutan sistem pangan dunia. Dalam konteks ini, tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama untuk membangun sistem pangan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems (September 2021) yang disusun oleh 31 ahli global dari berbagai disiplin ilmu dan institusi internasional, mengangkat urgensi menempatkan air sebagai pusat perhatian dalam transformasi sistem pangan menghadapi masa depan iklim yang tidak pasti.

Resensi ini akan menguraikan secara komprehensif tantangan, prinsip tata kelola air yang direkomendasikan, studi kasus dan angka penting dari dokumen, serta analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.

Tantangan Tata Kelola Air dalam Sistem Pangan di Era Perubahan Iklim

Dokumen ini menegaskan bahwa meskipun produksi pangan global meningkat dan berhasil menekan harga pangan, krisis iklim dan ketidakpastian siklus air mengancam keberlanjutan sistem pangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah:

  • Ketidakpastian dan volatilitas siklus air: Perubahan pola curah hujan, frekuensi banjir dan kekeringan yang meningkat, serta gangguan pasokan air yang berdampak langsung pada produksi dan distribusi pangan.
  • Persaingan penggunaan air: Air yang terbatas harus memenuhi kebutuhan pangan, ekosistem, energi, dan kebutuhan sosial-ekonomi lainnya.
  • Ketimpangan akses dan keadilan: Kelompok rentan, seperti petani kecil dan masyarakat miskin, seringkali paling terdampak oleh krisis air dan pangan.
  • Dampak berantai: Gangguan pada sistem air menyebabkan risiko berjenjang yang memengaruhi seluruh rantai pasok pangan, termasuk kesehatan dan gizi masyarakat.

Pandemi COVID-19 juga memperparah krisis pangan dan memperlihatkan kerentanan sistem pangan global terhadap gangguan eksternal.

Enam Prinsip Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh

Dokumen ini mengajukan enam atribut kunci yang harus diadopsi dalam tata kelola air untuk membangun sistem pangan yang tahan iklim:

  1. Memahami sistem pangan sebagai sistem terpadu
    Pendekatan sistem terpadu mengakui keterkaitan erat antara air, pangan, energi, lingkungan, dan sosial. Platform kolaborasi lintas sektor dan wilayah sangat diperlukan untuk mengelola kompleksitas ini secara adaptif.
  2. Mengadopsi tata kelola polisentris dan partisipatif
    Tata kelola yang melibatkan berbagai tingkat pemerintahan, komunitas lokal, perempuan, dan pemuda memungkinkan respons cepat dan inklusif terhadap ancaman lokal, serta memfasilitasi negosiasi dan resolusi konflik.
  3. Mendorong inovasi, pembelajaran, dan penyebaran pengetahuan
    Sistem yang tangguh harus terus berinovasi dalam teknologi, kebijakan, dan insentif, serta membangun mekanisme umpan balik untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
  4. Mengintegrasikan keberagaman dan redundansi
    Keanekaragaman teknik produksi dan institusi pengelolaan air meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas adaptasi jangka pendek maupun panjang.
  5. Menjamin kesiapsiagaan sistem
    Fokus pada kesiapsiagaan melalui pemantauan data yang transparan dan akuntabel, sistem peringatan dini, dan pengembangan kapasitas adaptasi untuk menghadapi kejutan tak terduga.
  6. Merencanakan jangka panjang
    Infrastruktur keras dan lunak serta sistem tata kelola harus dirancang untuk bertahan dan beradaptasi dalam jangka waktu panjang, mengingat ketidakpastian iklim yang terus meningkat.

Studi Kasus dan Data Penting

  • Pengelolaan air tradisional yang berhasil: Sistem irigasi komunitas seperti Muang Fai di Thailand dan Subak di Bali menunjukkan prinsip tata kelola polisentris dan partisipatif yang telah bertahan selama berabad-abad.
  • Program insentif berbasis ekosistem: Payment for Ecosystem Services (PES) seperti Conservation Reserve Program di AS, Grain-to-Green di China, dan MGNREGA di India telah membantu konservasi air dan tanah, dengan potensi pendanaan global mencapai US$40 miliar per tahun.
  • Teknologi pemantauan air: Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi air real-time, seperti yang diterapkan di Maharashtra, India, membantu mengatasi eksploitasi air tanah berlebihan.
  • Dampak perubahan iklim: Risiko kehilangan lahan produktif akibat intrusi air asin di delta Asia, perubahan aliran sungai utama di Andes dan Himalaya, serta peningkatan frekuensi kekeringan di Afrika, menunjukkan urgensi tata kelola air yang adaptif.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Pendekatan tata kelola air yang diusulkan menekankan pentingnya mengatasi kompleksitas sosial-ekologis dan menghindari solusi satu dimensi seperti peningkatan efisiensi irigasi yang sering gagal ketika diterapkan secara luas. Konsep polisentris dan partisipatif sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya bersama yang inklusif dan adaptif.

Namun, tantangan nyata tetap ada dalam hal pendanaan, kapasitas institusi, dan resistensi politik terhadap reformasi tata kelola air. Inovasi teknologi dan insentif ekonomi harus dipadukan dengan penguatan kelembagaan dan pemberdayaan komunitas lokal agar efektif.

Selain itu, integrasi solusi tradisional dan modern menjadi penting agar tata kelola air tidak hanya berfokus pada teknologi tinggi, tetapi juga menghargai kearifan lokal dan praktik berkelanjutan yang telah terbukti.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

  • Membangun kemitraan multi-sektor dan multi-level yang melibatkan pemerintah, swasta, komunitas, dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
  • Mengembangkan sistem pemantauan dan data terbuka untuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan air.
  • Mengadopsi pendekatan berbasis ekosistem dan agroekologi untuk meningkatkan keberagaman dan ketahanan sistem pangan.
  • Meningkatkan kapasitas adaptasi dan kesiapsiagaan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem peringatan dini.
  • Merancang infrastruktur dan kebijakan dengan perspektif jangka panjang, mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan dinamika sosial-ekonomi.

Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems menegaskan bahwa air adalah bahasa perubahan iklim dan pusat dari ketahanan sistem pangan masa depan. Dengan mengadopsi tata kelola air yang kompleks, inklusif, inovatif, dan berorientasi jangka panjang, kita dapat membangun sistem pangan yang tidak hanya produktif dan efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Transformasi ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, terutama perempuan, pemuda, dan komunitas lokal yang paling terdampak. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, kita dapat menghadapi tantangan air dan pangan di era perubahan iklim yang penuh ketidakpastian.

Sumber Artikel :

Water Governance for Climate Resilient Food Systems, September 2021, Statement by 31 global practitioners and researchers, United Nations Food Systems Summit 2021.

Selengkapnya
Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Perubahan Iklim

Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Air di Wilayah Mediterania

Wilayah Mediterania dikenal sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, khususnya terkait dengan ketersediaan air. Kekeringan, fluktuasi curah hujan, dan peningkatan suhu yang signifikan mengancam keberlanjutan sektor pertanian yang sangat bergantung pada irigasi. Dalam konteks ini, pengelolaan air yang efektif dan adaptif menjadi kunci untuk mencapai ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Paper berjudul “Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries” oleh Georgia Sismani, Vassilios Pisinaras, dan Georgios Arampatzis (2024) mengupas secara komprehensif bagaimana tata kelola air yang terintegrasi dan adaptif dapat diterapkan di tingkat organisasi petani untuk mendukung pertanian yang tahan iklim. Studi ini menyoroti pengalaman tiga organisasi petani (Farmers’ Organizations/F.ORs) di Crete, Yunani, dan Basilicata, Italia, sebagai pilot project yang mengimplementasikan skema tata kelola air berbasis standar European Water Stewardship (EWS).

Kerangka Tata Kelola Air Terintegrasi: Water Management Adaptation Strategy (WMAS) dan Agricultural Water Management System (AWMS)

Konsep dan Metodologi

Penelitian ini mengembangkan sebuah skema tata kelola air terintegrasi yang terdiri dari dua komponen utama:

  • Water Management Adaptation Strategy (WMAS): Strategi adaptasi pengelolaan air yang disusun oleh masing-masing organisasi petani berdasarkan evaluasi kondisi lokal, termasuk struktur organisasi, status sumber daya air, dan praktik pertanian yang diterapkan.
  • Agricultural Water Management System (AWMS): Sistem manajemen air pertanian yang dirancang untuk mengimplementasikan WMAS secara efektif melalui pembagian peran dan tanggung jawab di dalam organisasi, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang sistematis.

WMAS dan AWMS dirancang mengacu pada standar European Water Stewardship (EWS), yang menekankan tiga prinsip utama: pengelolaan kuantitas air, kualitas air, dan pelestarian area bernilai konservasi tinggi (HCV), serta prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif.

Pembagian Peran dalam AWMS

Setiap F.OR menetapkan tiga peran kunci untuk pengelolaan air:

  1. Penanggung jawab aspek legal air: Memantau regulasi dan memastikan kepatuhan organisasi terhadap peraturan.
  2. Penghubung dengan Komite Daerah Aliran Sungai: Menjaga komunikasi dan koordinasi dengan lembaga pengelola sumber daya air di tingkat regional.
  3. Water Steward (WS): Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan WMAS dalam organisasi.

Ketiga peran ini saling berkomunikasi dan melapor ke manajemen organisasi untuk menjamin pelaksanaan yang efektif.

Studi Kasus: Implementasi di Tiga Organisasi Petani di Mediterania

Lokasi dan Karakteristik

  • Dua F.OR di Crete, Yunani (Platanias dan Mirabello): Fokus pada budidaya pohon zaitun dengan sumber air irigasi dari air tanah.
  • Satu F.OR di Basilicata, Italia (Metapontino): Fokus pada tanaman perkebunan dengan irigasi dari air permukaan melalui bendungan.

Mirabello mengalami tingkat kelangkaan air tertinggi di antara ketiga lokasi, menambah urgensi pengelolaan air yang efisien.

Monitoring dan Evaluasi

Untuk memantau implementasi AWMS, dibuat sistem formulir khusus yang diisi secara berkala oleh Water Steward dan petani anggota. Monitoring ini mencakup praktik pengelolaan air di 10 kebun per lokasi pilot, dengan pelatihan intensif bagi Water Steward untuk memastikan akurasi dan konsistensi data.

Hasil Implementasi dan Pelajaran Penting

Kepatuhan Regulasi dan Transparansi

  • Di dua F.OR Yunani, 18 regulasi terkait air diidentifikasi, dengan 6 di antaranya dianggap sangat penting. Di Italia, 6 regulasi utama juga dipantau.
  • Pelaporan kepatuhan dilakukan secara tahunan, membantu organisasi tetap up-to-date terhadap perubahan regulasi.
  • Transparansi internal dan eksternal menjadi fokus utama, dengan berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dan penyebaran informasi kepada anggota dan pemangku kepentingan lokal.

Interrelasi Air dengan Energi dan Sumber Daya Lain

  • Studi mengukur konsumsi energi langsung (misal, pompa irigasi) dan tidak langsung (misal, pemupukan, pemangkasan) yang terkait dengan penggunaan air.
  • Hasil menunjukkan konsumsi energi lebih tinggi pada lahan irigasi, namun hubungan tidak langsung antara air dan energi dalam aktivitas lain kurang jelas.
  • Pengelolaan air juga dikaitkan dengan optimalisasi penggunaan sumber daya lain seperti tanah, pupuk, dan biomassa pohon, meskipun kuantifikasi hubungan ini kompleks.

Penanganan Keadaan Darurat

  • Setiap F.OR mengembangkan rencana tanggap darurat untuk berbagai risiko seperti kekeringan, banjir, kebakaran, dan pencemaran.
  • Rencana ini mencakup tindakan pencegahan dan penanganan kerusakan tanaman, disampaikan dalam bentuk dokumen dan brosur yang mudah diakses oleh petani.

Evaluasi dan Revisi Strategi

  • Setelah tiga tahun implementasi, monitoring dan evaluasi menunjukkan pelaksanaan rencana berjalan baik, meskipun ada tantangan dalam pelaporan tepat waktu.
  • Revisi WMAS dilakukan berdasarkan feedback internal dan eksternal, namun tidak ada perubahan besar yang diperlukan.
  • Minat petani untuk bergabung dan mengadopsi praktik WMAS meningkat, memperluas cakupan strategi di wilayah pilot.

Analisis Kritis dan Kaitan dengan Tren Global

Kompleksitas dan Adaptasi Standar EWS

Implementasi standar EWS di sektor pertanian terbukti lebih kompleks dibandingkan di industri, karena fragmentasi lahan, keragaman praktik, dan sumber air yang berbeda-beda. Hal ini menuntut adaptasi prinsip dan indikator EWS agar sesuai dengan konteks pertanian Mediterania.

Pentingnya Monitoring dan Konsultasi Ahli

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada monitoring yang sistematis dan dukungan ahli, terutama pada tahap awal. Pengalaman F.OR dengan standar lain seperti ISO atau EMS mempercepat adopsi AWMS.

Keterlibatan dan Komunikasi

Transparansi dan komunikasi internal yang intensif menjadi kunci keberhasilan, membantu mengatasi kesenjangan informasi antara manajemen dan anggota. Komunikasi terkait risiko iklim ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, harus dilakukan secara proaktif untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Hubungan dengan Otoritas Lokal

Meski ada komunikasi dengan otoritas lokal, interaksi ini masih bersifat satu arah dan perlu diperkuat agar pengelolaan air dapat terintegrasi dengan kebijakan regional dan nasional. Mengingat sektor pertanian menyerap sekitar 80% penggunaan air nasional, peran F.OR dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat strategis.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

  • Skema tata kelola air terintegrasi ini memberikan model praktis bagi organisasi petani untuk mengelola air secara efisien dan adaptif terhadap perubahan iklim.
  • Pendekatan berbasis standar internasional (EWS) yang disesuaikan dengan konteks lokal meningkatkan kredibilitas dan transparansi pengelolaan air.
  • Keterlibatan aktif petani dan pemangku kepentingan lokal memperkuat kapasitas adaptasi dan keberlanjutan pertanian.
  • Rencana tanggap darurat menghadirkan kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi risiko iklim ekstrem yang semakin sering terjadi.
  • Perlu penguatan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif di sektor pertanian merupakan fondasi penting untuk membangun ketahanan iklim di wilayah Mediterania yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan strategi adaptasi pengelolaan air dan sistem manajemen yang jelas, organisasi petani dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, menjaga kualitas sumber daya, dan mempersiapkan diri menghadapi risiko iklim.

Pengalaman pilot project di tiga F.OR di Yunani dan Italia membuktikan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan dengan baik, meskipun memerlukan monitoring yang ketat, dukungan ahli, dan komunikasi yang intensif. Keberlanjutan strategi ini juga bergantung pada keterlibatan aktif petani dan sinergi dengan kebijakan lokal dan nasional.

Model tata kelola air ini dapat menjadi referensi penting bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa, sekaligus mendukung pencapaian target mitigasi dan adaptasi iklim secara global.

Sumber Artikel :

Sismani, G.; Pisinaras, V.; Arampatzis, G. Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries. Water 2024, 16, 1103

Selengkapnya
Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Perubahan Iklim

Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Memahami Dimensi Sosial dalam Krisis Iklim Global

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan lingkungan, tetapi juga sangat terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konferensi Internasional Socioecos 2024 yang diselenggarakan di Universidad del País Vasco, Bilbao, Spanyol, menghadirkan kumpulan riset dan diskusi interdisipliner yang mendalam mengenai praktik-praktik sosial-ekologis dalam konteks darurat iklim dan keberlanjutan. Buku prosiding konferensi ini, yang memuat lebih dari 800 abstrak dan puluhan makalah lengkap, menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana ilmu sosial berkontribusi dalam mengatasi krisis iklim yang kompleks.

Resensi ini akan mengulas tema utama konferensi, studi kasus penting, serta kontribusi beberapa pembicara kunci yang menyoroti hubungan antara perubahan iklim, keadilan sosial, dan transformasi masyarakat melalui praktik sosial-ekologis.

Dimensi Sosial dalam Perubahan Iklim: Kritik dan Tantangan

Salah satu isu utama yang diangkat dalam konferensi ini adalah keterlambatan ilmu sosial dalam merespons perubahan iklim secara komprehensif, terutama dibandingkan dengan ilmu biophysical yang lebih cepat mengadopsi isu ini. Kritik utama menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus pada individu seringkali mengabaikan aspek institusional, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah (Tejerina et al., 2024).

Lebih jauh, kerangka interpretatif dominan, termasuk laporan IPCC, dianggap mendepolitisasi diskursus iklim dengan mengabaikan analisis kritis terhadap sistem nilai, relasi kekuasaan, dan proses institusional yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Konsep “post-politik” ini menyoroti bagaimana wacana ilmiah dan kebijakan iklim sering mempertahankan status quo sosial-ekonomi yang tidak adil.

Praktik Sosial-Ekologis: Dari Gerakan Sosial hingga Transformasi Budaya

Konferensi ini membagi diskusi ke dalam beberapa track tematik yang luas, antara lain:

  • Gerakan sosial ekologis dan politik iklim
    Misalnya, gerakan Extinction Rebellion (XR) dan Fridays For Future (FFF) yang menentang pendekatan pasar dan kebijakan “transisi hijau dari atas”, dan mendorong “transisi ekologis dari bawah” yang menekankan keadilan iklim dan interseksionalitas (Albanese, 2024).
  • Model produksi dan kerja baru di ambang krisis iklim
    Studi tentang perusahaan energi hijau seperti Som Energia di Spanyol yang menggabungkan ekonomi sosial dan akar ekologis (Castelló et al., 2024).
  • Praktik hidup dan konsumsi berkelanjutan
    Eksplorasi tentang konsumsi makanan berkelanjutan, pasar ekologis, dan arsitektur ramah lingkungan yang mengurangi jejak karbon (González Rivas, 2024).
  • Rewilding dan pelestarian alam melalui ilmu warga dan sains partisipatif
    Contohnya proyek MitigACT di Galicia, Spanyol, yang menggabungkan ilmu warga untuk mitigasi risiko kebakaran hutan (Santiago-Gómez & Rodríguez-Rodríguez, 2024).
  • Dimensi manusia dalam krisis iklim: kesadaran, kesejahteraan, dan perawatan
    Penelitian tentang dampak psikologis krisis iklim seperti eco-ansietas dan praktik perawatan kolektif sebagai respons sosial (Heidemann, 2024).
  • Seni, teknologi, dan desain untuk krisis iklim
    Proyek seni yang menggabungkan fiksi spekulatif dan pengetahuan ilmiah untuk mengatasi antroposein dan mendorong perspektif ekosentris, seperti konsep Plantocene (Bruna, 2024).

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Gerakan Extinction Rebellion (XR)
    XR mengusung “budaya regeneratif” yang menekankan perawatan diri, komunitas, dan lingkungan sebagai bentuk politik prefiguratif. Studi kualitatif dengan 25 wawancara mendalam menunjukkan dampak budaya ini pada individu, kelompok, dan masyarakat luas, termasuk peningkatan kecerdasan emosional dan praktik pengelolaan konflik secara non-kekerasan (Albanese, 2024).
  • Proyek AGORA (Horizon Europe)
    Inisiatif ini mengembangkan workshop kolaboratif di Spanyol, Italia, Swedia, dan Jerman untuk mendukung transformasi sosial menuju adaptasi iklim melalui co-creation dan pembelajaran bersama. Lebih dari 50 pemangku kepentingan lintas disiplin terlibat sebagai “pengikut” yang mengadopsi praktik terbaik (Mercogliano, 2024).
  • Diskursus NGO tentang Loss and Damage
    Analisis kritis terhadap posisi NGO dalam negosiasi iklim internasional mengungkapkan tiga pendekatan utama: manajemen risiko, adaptasi, dan keadilan iklim. NGO menuntut dana kompensasi dan mekanisme operasional yang jelas untuk membantu negara-negara berkembang yang paling rentan (Beltran & Sainz de Murieta, 2024).
  • Nasionalisme dan Krisis Iklim
    Studi oleh Daniele Conversi mengkritik bagaimana ideologi nasionalisme menjadi penghalang utama dalam aksi iklim global. Meskipun nasionalisme mendominasi politik dunia, belum ada integrasi serius antara studi nasionalisme dan perubahan iklim hingga tahun 2020. Nasionalisme juga berkontribusi pada keterlambatan dan hambatan dalam negosiasi iklim internasional (Conversi, 2024).

Analisis dan Nilai Tambah

Konferensi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dari perspektif ilmiah dan teknis, tetapi harus melibatkan analisis kritis terhadap struktur sosial, budaya, dan politik yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner dan partisipatif menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang inklusif dan berkeadilan.

Gerakan sosial seperti Extinction Rebellion menunjukkan bahwa transformasi sosial yang nyata membutuhkan perubahan cara hidup dan hubungan antar manusia serta dengan alam, bukan sekadar kebijakan top-down. Konsep budaya regeneratif yang mereka usung memperlihatkan bagaimana praktik sosial dapat menjadi alat politik yang efektif.

Di sisi lain, analisis NGO tentang loss and damage menggarisbawahi pentingnya keadilan iklim dan tanggung jawab negara maju dalam mendukung negara berkembang, memperlihatkan kompleksitas negosiasi internasional yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Studi nasionalisme oleh Conversi membuka ruang diskusi penting mengenai bagaimana ideologi politik dapat menjadi penghalang atau pendorong dalam aksi iklim, sebuah aspek yang sering diabaikan dalam studi perubahan iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Memperkuat keterlibatan ilmu sosial dalam kebijakan iklim untuk mengatasi aspek politik, budaya, dan sosial yang sering terabaikan.
  • Mendukung gerakan sosial dan praktik prefiguratif yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis dari bawah.
  • Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam negosiasi internasional, khususnya terkait mekanisme loss and damage.
  • Mengintegrasikan pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam proyek adaptasi dan mitigasi iklim, seperti yang dilakukan oleh proyek AGORA.
  • Mengkritisi dan merefleksikan peran nasionalisme dalam politik iklim untuk menemukan solusi yang melampaui batas-batas negara.

Kesimpulan

Buku prosiding konferensi Socioecos 2024 memberikan gambaran luas dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim harus dipahami sebagai fenomena sosial-ekologis yang kompleks. Kontribusi ilmu sosial sangat penting untuk membuka ruang dialog kritis tentang keadilan, kekuasaan, dan transformasi budaya dalam menghadapi krisis iklim. Studi kasus dan diskusi dari berbagai disiplin ilmu dan gerakan sosial menunjukkan bahwa perubahan nyata membutuhkan aksi kolektif, inklusif, dan berkelanjutan yang menggabungkan ilmu, seni, politik, dan praktik sosial.

Sumber Artikel :

Tejerina, B., Miranda de Almeida, C., & Acuña, C. (Eds.). (2024). Climate Change, Sustainability and Socio-ecological Practices: Conference Proceedings June 6-7, 2024, Universidad del País Vasco/Euskal Herriko Unibertsitatea, Bilbao, Spain. Servicio Editorial de la Universidad del País Vasco / Euskal Herriko Unibertsitateko Argitalpen Zerbitzua. ISBN: 978-84-9082-680-5

 

Selengkapnya
Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Perubahan Iklim

Integrasi Penilaian Risiko dan Model Agro-Hidrologi untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Menyatukan Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim dalam Pengelolaan Air dan Pertanian

Perubahan iklim membawa tantangan besar bagi ketahanan pangan dan pengelolaan sumber daya air, terutama di wilayah yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan pola curah hujan. Dalam disertasi doktoral yang ditulis oleh Lorenzo Villani, yang merupakan hasil kolaborasi antara University of Florence dan Vrije Universiteit Brussel, dikaji secara mendalam bagaimana dampak perubahan iklim terhadap sistem pertanian dapat dianalisis melalui integrasi penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi menggunakan model SWAT+.

Penelitian ini menyoroti dua wilayah studi utama: lima DAS di Tuscany, Italia, dan DAS Juba dan Shabelle di Somalia. Studi ini tidak hanya mengukur risiko kekeringan dan dampak perubahan iklim, tetapi juga mengevaluasi kapasitas adaptasi sistem pertanian serta menguji strategi adaptasi agronomi yang relevan. Dengan pendekatan ini, penelitian memberikan kontribusi penting bagi pembuat kebijakan dan praktisi dalam mengelola tantangan air dan pangan di masa depan.

Metodologi: Pendekatan Terpadu Penilaian Risiko dan Pemodelan Agro-Hidrologi

Penelitian Villani menggabungkan dua pendekatan utama:

  1. Penilaian Risiko Kekeringan: Menggunakan indikator komposit yang mencakup bahaya (hazard), paparan (exposure), dan kerentanan (vulnerability). Indikator ini meliputi data historis dan proyeksi masa depan dari indeks curah hujan standar (SPI), indeks kesehatan vegetasi (VHI), serta indikator iklim dari model regional EURO-CORDEX.
  2. Model Agro-Hidrologi SWAT+: Model ini menggabungkan simulasi hidrologi dan pertumbuhan tanaman untuk menilai dampak perubahan iklim pada aliran air, evapotranspirasi, dan hasil panen. Model dikalibrasi dan divalidasi menggunakan data pengukuran lapangan di DAS Ombrone, Tuscany.

Penelitian juga mengintegrasikan narasi SSP (Shared Socioeconomic Pathways) dan skenario RCP (Representative Concentration Pathways) untuk memproyeksikan berbagai kemungkinan masa depan iklim dan dampaknya.

Studi Kasus di Tuscany: Risiko Kekeringan dan Dampak Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Risiko Kekeringan di Lima DAS Tuscany

Analisis risiko kekeringan dilakukan pada lima DAS pesisir di Tuscany: Cecina, Cornia, Bruna, Ombrone, dan Albegna, yang memiliki karakteristik pertanian intensif dan tekanan tinggi pada sumber daya air, terutama di musim panas.

  • Hazard: Wilayah pesisir selatan Tuscany, terutama Provinsi Grosseto, diprediksi mengalami risiko kekeringan paling tinggi di masa depan. Indikator SPI dan VHI menunjukkan frekuensi dan durasi kekeringan meningkat.
  • Exposure: Wilayah pesisir dan daerah penghasil anggur bernilai tinggi seperti Chianti menunjukkan paparan tinggi karena ketergantungan pada irigasi.
  • Vulnerability: Pola kerentanan lebih beragam, dengan daerah pedalaman seperti Pisa dan Siena menunjukkan tingkat kerentanan sosial dan ekologis yang lebih tinggi.

Klasterisasi dan Strategi Adaptasi

Melalui analisis klaster, tujuh tipe wilayah dengan karakteristik risiko dan kerentanan berbeda diidentifikasi, seperti klaster dengan irigasi pesisir tinggi, produk bernilai tinggi, dan daerah rawan erosi. Strategi adaptasi disesuaikan untuk setiap klaster, misalnya:

  • Klaster irigasi pesisir tinggi: Meningkatkan efisiensi irigasi, pengelolaan akuifer terkontrol, dan pengurangan penggunaan air domestik dan industri.
  • Klaster produk bernilai tinggi: Mengadopsi irigasi suplementer dan pembangunan kolam penampungan air untuk mengatasi kekeringan.

Dampak Perubahan Iklim pada Hasil Panen dan Penggunaan Air

Model SWAT+ menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mempengaruhi hasil tanaman seperti gandum durum, bunga matahari, dan jagung, serta meningkatkan jejak air (water footprint) pertanian. Namun, penerapan strategi adaptasi agronomi seperti perubahan tanggal tanam dan varietas tanaman dapat mengurangi dampak negatif tersebut secara signifikan.

Studi Kasus di Somalia: Risiko Iklim dan Kapasitas Adaptasi Sistem Agro-Pastoral

Wilayah DAS Juba dan Shabelle di Somalia dipilih sebagai studi kasus kedua karena kerentanan tinggi terhadap bencana iklim seperti kekeringan dan banjir, serta ketergantungan masyarakat pada pertanian dan peternakan skala kecil.

  • Risiko Iklim: Dengan menggunakan model SWAT+ yang dikombinasikan dengan penilaian risiko, penelitian ini memetakan risiko iklim masa depan berdasarkan lima narasi SSP. Risiko tertinggi terkait dengan skenario SSP3 (regional rivalry) yang menunjukkan tantangan mitigasi dan adaptasi yang besar.
  • Kapasitas Adaptasi: Penelitian menilai kapasitas coping, adaptasi, dan transformasi masyarakat agro-pastoral, yang sangat penting untuk ketahanan sistem pangan lokal.
  • Rekomendasi Kebijakan: Hasil penelitian memberikan informasi penting untuk pengambilan keputusan lokal dan nasional dalam mengelola risiko iklim dan meningkatkan ketahanan sistem pertanian.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah Studi

Penelitian ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan penilaian risiko dan pemodelan agro-hidrologi, yang selama ini sering dipisah dalam studi perubahan iklim dan pengelolaan air. Penggunaan indikator komposit yang lengkap dan metode validasi robust meningkatkan keandalan hasil.

Namun, beberapa tantangan tetap ada, seperti ketidakpastian model iklim dan keterbatasan data lokal, terutama di wilayah seperti Somalia. Penelitian juga menyoroti pentingnya memasukkan kapasitas adaptasi sosial dan ekonomi dalam penilaian risiko, aspek yang sering diabaikan.

Dibandingkan dengan studi lain, integrasi ini memperkuat pemahaman holistik tentang dampak perubahan iklim pada sistem pertanian dan sumber daya air, serta memberikan kerangka kerja yang dapat diadaptasi di wilayah lain dengan kondisi serupa.

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Disertasi ini menegaskan bahwa untuk menghadapi perubahan iklim, diperlukan pendekatan terpadu yang menggabungkan penilaian risiko kekeringan dan pemodelan agro-hidrologi. Studi kasus di Tuscany dan Somalia menunjukkan bahwa adaptasi agronomi yang tepat dapat mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada hasil panen dan ketersediaan air.

Penerapan metode ini dapat membantu pembuat kebijakan dalam merancang strategi mitigasi dan adaptasi yang efektif, dengan mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan kapasitas adaptasi lokal. Selain itu, pendekatan ini mendukung agenda global seperti Paris Agreement dan Sustainable Development Goals dalam mengatasi krisis iklim dan pangan.

Sumber Artikel:

Villani, L. (2023). Exploring climate change impacts and adaptive capacity of agricultural systems: Integration of risk assessment and agro-hydrological modelling. Doctoral Thesis, University of Florence and Vrije Universiteit Brussel.

Selengkapnya
Integrasi Penilaian Risiko dan Model Agro-Hidrologi untuk Adaptasi Perubahan Iklim pada Sistem Pertanian

Perubahan Iklim

Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Perubahan Iklim dan Peran Pengelolaan DAS Terintegrasi

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, menghadapi tantangan besar akibat perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, ketersediaan air, energi, dan kesehatan lingkungan. Hampir seluruh wilayah Indonesia rentan terhadap banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan, dan hujan ekstrem. Dalam konteks ini, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) secara terintegrasi menjadi salah satu strategi kunci untuk mitigasi emisi gas rumah kaca (GRK) dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Paper berjudul "Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review" oleh Tyas Mutiara Basuki dan rekan (2022) memberikan tinjauan mendalam mengenai upaya Indonesia dalam mengelola DAS secara terintegrasi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi perbaikan untuk mendukung target nasional dan komitmen internasional seperti Paris Agreement.

Konsep dan Realitas Pengelolaan DAS Terintegrasi di Indonesia

Regulasi dan Kebijakan Pendukung

Indonesia memiliki sejumlah regulasi yang mengatur pengelolaan sumber daya air dan DAS, termasuk Undang-Undang No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air (diubah dengan UU No. 17/2019), UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Peraturan Pemerintah No. 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Regulasi ini menegaskan prinsip keberlanjutan, keadilan, transparansi, dan integrasi lintas sektor serta wilayah administratif.

Namun, kompleksitas regulasi yang sektoral dan tumpang tindih menyebabkan lemahnya sinkronisasi dan koordinasi antar lembaga. Misalnya, kewenangan pengelolaan DAS yang dialihkan ke tingkat provinsi belum diikuti dengan mekanisme koordinasi yang efektif, sehingga implementasi di lapangan masih terbatas.

Institusi dan Tata Kelola

Pengelolaan DAS melibatkan berbagai pemangku kepentingan dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga masyarakat lokal. Keterlibatan multi-institusi ini menimbulkan tantangan koordinasi, terutama karena batas wilayah DAS yang tidak sesuai dengan batas administratif. Studi menunjukkan bahwa kurangnya mekanisme integrasi dan sanksi tegas atas pengelolaan sumber daya yang buruk memperburuk kondisi DAS.

Contoh nyata adalah pengelolaan DAS Bribin yang terhambat oleh pergeseran kewenangan dan keterbatasan sumber daya manusia di tingkat daerah. Selain itu, partisipasi masyarakat masih minim karena pendekatan yang cenderung top-down dan kurang transparan.

Perencanaan, Implementasi, dan Monitoring-Evaluasi Pengelolaan DAS

Perencanaan

Perencanaan pengelolaan DAS di Indonesia diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan No. P.60/Menhut-II/2013 yang mengatur proses identifikasi masalah, penetapan tujuan, dan penyusunan program. Namun, dalam praktiknya, rencana pengelolaan DAS yang telah disahkan oleh gubernur seringkali tidak menjadi acuan bagi sektor lain karena tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat dan kurang terintegrasi dengan rencana pembangunan daerah seperti RPJP dan RPJM.

Implementasi

Kegiatan pengelolaan DAS fokus pada konservasi tanah dan air melalui tindakan mekanis dan vegetatif, seperti rehabilitasi lahan dan konservasi tanah. Contoh keberhasilan implementasi dapat dilihat di DAS Cidanau, di mana sektor industri di hilir memberikan insentif kepada petani di hulu untuk menjaga vegetasi, sehingga keberlanjutan DAS terjamin.

Namun, tantangan besar adalah tingginya erosi di daerah hulu akibat praktik pertanian intensif di lahan miring dan kurangnya penerapan konservasi tanah yang tepat. Di daerah hilir, masalah utama adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan.

Monitoring dan Evaluasi (MONEV)

MONEV sangat penting untuk mengukur kemajuan dan efektivitas pengelolaan DAS, termasuk dampaknya terhadap mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Kriteria MONEV meliputi aspek lahan, kualitas dan kuantitas air, sosial ekonomi, investasi, dan pemanfaatan ruang.

Sayangnya, hasil MONEV sering tidak digunakan untuk memperbaiki perencanaan karena kurangnya komunikasi antar pemangku kepentingan. Monitoring juga masih didominasi oleh sektor kehutanan dan belum melibatkan semua pihak secara terpadu.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Pengelolaan DAS di Indonesia

Dampak Biophysical

Perubahan iklim mengganggu siklus hidrologi yang menyebabkan perubahan pola curah hujan, suhu, dan kejadian ekstrim. Studi memprediksi penurunan hasil panen padi hingga 12,1% secara nasional pada 2040-2050, serta peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan.

Banjir di Indonesia meningkat signifikan, dengan 1518 kejadian banjir pada 2020 yang menyebabkan 132 kematian dan mengungsikan lebih dari 780 ribu orang. Kekeringan juga berdampak pada produktivitas pertanian dan memicu kebakaran hutan yang luas, seperti pada periode El Niño 1997/98 yang membakar 11,7 juta hektar lahan.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Kerugian ekonomi akibat bencana hidrometeorologi sangat besar, misalnya banjir di Jakarta dan Solo yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Kekeringan mempengaruhi pendapatan petani dan ketahanan pangan, dengan kerugian mencapai ratusan juta rupiah di beberapa desa.

Selain itu, perubahan iklim memperburuk kondisi kesehatan masyarakat, meningkatkan risiko penyakit menular, malnutrisi, dan stres. Konflik sosial juga berpotensi meningkat akibat persaingan sumber daya air yang semakin terbatas.

Strategi Perbaikan Pengelolaan DAS Terintegrasi untuk Mitigasi dan Adaptasi

Perencanaan Adaptif dan Terintegrasi

Perencanaan pengelolaan DAS harus bersifat adaptif, melibatkan data berkualitas tinggi dari teknologi GIS dan remote sensing, serta partisipasi luas dari pemangku kepentingan. Penggunaan model mikro DAS (micro watershed model) dengan skala sekitar 1000-5000 hektar memudahkan koordinasi dan partisipasi masyarakat.

Implementasi Berbasis Partisipasi dan Teknologi

Paradigma pengelolaan harus bergeser ke arah kolaborasi lintas sektor dan partisipasi masyarakat, menggabungkan pendekatan bottom-up dan top-down. Teknologi konservasi tanah dan air seperti agroforestri, bio-pore infiltration, dan sistem drainase ramah lingkungan perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi lokal.

Agroforestri terbukti efektif meningkatkan retensi air, mengurangi erosi, dan menyerap karbon, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat melalui diversifikasi tanaman.

Peningkatan Monitoring dan Evaluasi

MONEV harus dilakukan secara terpadu dengan indikator sederhana namun representatif, seperti tutupan vegetasi permanen, kualitas dan kuantitas air, serta indeks pembangunan manusia sebagai indikator sosial ekonomi. Data hasil monitoring harus dipublikasikan secara transparan melalui platform daring agar dapat diakses oleh semua pihak.

Penguatan Aspek Sosial dan Kelembagaan

Pengelolaan DAS harus mengintegrasikan kearifan lokal dan pengetahuan tradisional yang masih relevan, seperti sistem penanaman tradisional dan norma sosial pengelolaan sumber daya. Desa sebagai unit pembangunan harus diberdayakan melalui program-program seperti ProKlim dan SDGs Desa untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan mitigasi.

Koordinasi antar lembaga, baik di tingkat pusat, daerah, maupun lintas negara (untuk DAS transboundary), harus diperkuat dengan regulasi yang jelas dan mekanisme insentif serta sanksi yang efektif.

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Luas rehabilitasi DAS di Indonesia mencapai 395.168 hektar pada 2019, dengan penyerapan karbon sekitar 771.653 ton CO2e.
  • Di DAS Cidanau, integrasi sektor industri dan petani upstream berhasil menjaga keberlanjutan sumber daya air melalui pembayaran jasa lingkungan.
  • Data bencana 2020 mencatat 1518 kejadian banjir dengan 132 korban jiwa dan 782.054 pengungsi.
  • Penurunan hasil panen padi diperkirakan mencapai 12,1% secara nasional pada 2040-2050, dengan defisit beras mencapai 90 juta ton pada 2050.
  • Kerugian ekonomi akibat banjir di beberapa daerah mencapai miliaran rupiah setiap tahun, misalnya banjir Jakarta 2002 mencapai IDR 6,7 miliar.

Opini dan Perbandingan dengan Tren Global

Pengelolaan DAS terintegrasi sebagai strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat relevan dengan tren global yang menekankan pendekatan lanskap dan ekosistem. Namun, tantangan klasik seperti tumpang tindih regulasi, lemahnya koordinasi antar lembaga, dan minimnya partisipasi masyarakat juga dialami banyak negara berkembang.

Perbaikan integrasi data dan teknologi informasi serta pemberdayaan komunitas lokal menjadi kunci keberhasilan. Pendekatan mikro DAS yang responsif terhadap kondisi lokal sejalan dengan praktik terbaik di beberapa negara seperti India dan Ethiopia.

Namun, Indonesia perlu memperkuat aspek kelembagaan dan hukum agar rencana pengelolaan DAS tidak hanya menjadi dokumen formal, melainkan pedoman yang diikuti seluruh sektor.

Kesimpulan

Pengelolaan DAS terintegrasi di Indonesia memiliki potensi besar untuk mendukung mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berdampak pada ketahanan pangan, air, dan lingkungan. Meskipun regulasi dan kebijakan sudah cukup lengkap, implementasi di lapangan masih menghadapi kendala koordinasi, partisipasi, dan integrasi data.

Perbaikan strategi harus dimulai dari perencanaan adaptif yang melibatkan teknologi modern dan kearifan lokal, implementasi berbasis kolaborasi dan teknologi konservasi, serta monitoring-evaluasi yang transparan dan terpadu. Penguatan kelembagaan dan pemberdayaan desa menjadi fondasi penting untuk keberlanjutan pengelolaan DAS.

Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat lebih efektif mencapai target NDC dan Paris Agreement, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.

Sumber Artikel :

Basuki, T. M., Nugroho, H. Y. S. H., Indrajaya, Y., Pramono, I. B., Nugroho, N. P., Supangat, A. B., Indrawati, D. R., Savitri, E., Wahyuningrum, N., Purwanto, et al. (2022). Improvement of Integrated Watershed Management in Indonesia for Mitigation and Adaptation to Climate Change: A Review. Sustainability, 14(16), 9997.

Selengkapnya
Meningkatkan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terintegrasi di Indonesia untuk Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim: Tinjauan Komprehensif
page 1 of 1.071 Next Last »