Pernahkah Kamu Merasa Tahu Caranya, Tapi Tak Pernah Diberi Kunci?
Saya ingin memulai dengan sebuah cerita. Beberapa tahun lalu, saya bekerja di sebuah tim yang tenggelam dalam lautan spreadsheet. Setiap laporan mingguan adalah ritual penderitaan kolektif. Kami menghabiskan berjam-jam hanya untuk menyalin, menempel, dan memformat ulang data dari berbagai sumber. Saya tahu—dan beberapa rekan saya juga tahu—ada sebuah software di luar sana yang bisa mengotomatiskan 90% pekerjaan ini. Software itu bisa menghubungkan semua sumber data kami dan menghasilkan laporan yang kami butuhkan hanya dengan satu klik.
Saya membuat proposal. Saya menunjukkan demonya. Saya menghitung jam kerja yang bisa dihemat, yang jika diuangkan, nilainya puluhan juta rupiah per bulan. Jawabannya? "Menarik, tapi anggaran kita tahun ini sudah ditetapkan." Atau, "Kita harus melatih semua orang, itu akan makan waktu." Yang paling menyakitkan: "Kita sudah selalu melakukannya dengan cara ini, dan sejauh ini baik-baik saja."
Saya merasa seperti berdiri di depan pintu yang terkunci. Saya bisa melihat dengan jelas dunia yang lebih efisien di baliknya, tapi saya tidak diberi kuncinya. Saya tahu caranya, tapi saya tidak punya kuasa untuk melakukannya.
Perasaan frustrasi, perasaan melihat potensi yang terbuang sia-sia karena kelambanan sistem—itulah perasaan yang kembali muncul dengan kuat saat saya membaca sebuah paper penelitian yang baru-baru ini mendarat di meja saya. Paper ini, yang ditulis oleh P.S.E. Ang dan rekan-rekannya, pada dasarnya adalah sebuah potret dari frustrasi yang sama, tetapi dalam skala yang jauh lebih besar: sebuah industri vital yang tahu jawabannya, tetapi entah bagaimana, terjebak di depan pintu yang terkunci.
Sebuah Jurnal Mengungkap Realita Pahit di Industri Konstruksi Selangor
Paper yang saya baca ini berjudul “Acceptance on Building Information Modelling (BIM) Training in Selangor Construction Industry: Current Trend and Impediments”. Jangan biarkan judul akademisnya membuat Anda mengantuk. Anggap saja ini bukan sekadar jurnal, melainkan sebuah laporan intelijen dari garis depan industri konstruksi Malaysia, khususnya di Selangor. Para peneliti ini tidak berbicara dengan perusahaan kecil atau startup yang baru seumur jagung. Mereka menyurvei para pemain kelas berat: kontraktor G5 hingga G7, perusahaan-perusahaan dengan kapasitas tender jutaan dolar yang seharusnya menjadi lokomotif inovasi.
Apa yang mereka temukan? Sesuatu yang sangat mengejutkan, yang saya sebut sebagai "Jurang Pemisah Raksasa".
Para peneliti bertanya kepada 60 profesional dari perusahaan-perusahaan besar ini tentang Building Information Modelling (BIM). BIM, bagi yang belum tahu, adalah sebuah revolusi. Ini bukan sekadar software gambar 3D. Bayangkan sebuah maket digital super canggih dari sebuah bangunan, di mana setiap "batu bata" digital tidak hanya memiliki bentuk, tetapi juga informasi: jenis material, biaya, jadwal pemasangan, bahkan nama pemasoknya. BIM memungkinkan arsitek, insinyur, dan kontraktor bekerja sama dalam satu model yang sama secara real-time, mengurangi kesalahan, menghemat biaya, dan mempercepat proyek secara dramatis. Singkatnya, ini adalah masa depan konstruksi.
Dan inilah data yang membuat saya terdiam:
-
90% dari responden sadar dan tahu apa itu BIM.
-
Namun, hanya 21.7% yang saat ini benar-benar menggunakannya dalam pekerjaan mereka.
Mari kita berhenti sejenak untuk meresapi angka ini. Sembilan dari sepuluh orang di industri ini tahu ada teknologi yang bisa membuat pekerjaan mereka lebih baik, lebih efisien, dan lebih berkualitas. Tapi hanya dua dari sepuluh orang yang benar-benar memakainya.
Ini bahkan lebih dalam dari itu. Data menunjukkan ada kelompok ketiga yang paling menarik: 40% responden tahu tentang BIM, tetapi belum pernah menggunakannya sama sekali.
Bayangkan ini dalam sebuah analogi. Anda berada di sebuah gedung, dan alarm kebakaran berbunyi. Ada 10 orang di ruangan itu. Sembilan orang tahu di mana letak pintu keluar darurat. Tapi saat alarm meraung-raung, hanya dua orang yang berlari menuju pintu itu dan keluar. Tujuh lainnya tetap di dalam. Dan dari tujuh orang itu, empat di antaranya hanya berdiri, menatap pintu keluar darurat itu dengan sadar, tapi tidak pernah sekalipun mencoba membukanya.
Itulah gambaran industri konstruksi Selangor yang dilukiskan oleh penelitian ini. Ini bukan lagi masalah kurangnya informasi. Pesan tentang BIM sudah sampai. Seminar sudah diadakan, pemerintah sudah mendorongnya sejak 2007. Masalahnya jauh lebih fundamental: ada sesuatu yang melumpuhkan para profesional ini, mencegah mereka mengambil langkah dari mengetahui menjadi melakukan.
Ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang lebih manusiawi dan sedikit menyedihkan. Masalah ini bukan tentang teknologi; ini adalah krisis sumber daya manusia. Di dalam perusahaan-perusahaan besar itu, ada ribuan profesional yang "Sadar tapi Tak Berdaya". Mereka adalah insinyur, manajer proyek, dan surveyor yang mungkin setiap hari merasakan inefisiensi sistem lama. Mereka tahu ada cara yang lebih baik, tetapi mereka terjebak dalam organisasi yang tidak memberi mereka alat, pelatihan, atau izin untuk berubah. Potensi mereka terbelenggu. Inovasi mereka terpendam. Dan setiap hari mereka datang bekerja, mereka mungkin merasakan sedikit frustrasi yang sama seperti yang saya rasakan dengan spreadsheet saya bertahun-tahun lalu, hanya saja dalam skala proyek bernilai miliaran dolar.
Mengapa Jembatan Antara 'Tahu' dan 'Bisa' Ini Runtuh? Lima Dinding Penghalang Raksasa
Jika 90% orang sudah tahu jalannya, mengapa jembatan menuju adopsi teknologi ini tampak runtuh di tengah jalan? Paper dari Ang dkk. tidak hanya menunjukkan masalahnya; mereka menggali lebih dalam untuk menemukan penyebabnya. Mereka mengidentifikasi 24 kemungkinan penghalang dan meminta para profesional untuk menilainya. Hasilnya adalah lima besar "penjahat" yang bertanggung jawab atas kelumpuhan ini.
Dinding #1, #2, dan #5: Monster Tiga Kepala Bernama "Biaya"
Lihat baik-baik. Penghalang nomor satu, dua, dan lima semuanya tentang uang. Biaya software, biaya implementasi, dan biaya pelatihan. Ini adalah monster tiga kepala yang menakuti banyak perusahaan.
Ini mengingatkan saya pada dilema antara memasak makanan sehat dan memesan makanan cepat saji. Semua orang tahu bahwa memasak makanan segar dengan bahan organik di rumah jauh lebih baik untuk kesehatan jangka panjang. Tapi kemudian Anda melihat harganya: bahan organik mahal (biaya software), Anda butuh peralatan masak yang bagus (biaya implementasi), dan mungkin Anda perlu ikut kursus memasak untuk bisa mengolahnya dengan benar (biaya pelatihan). Di sisi lain, ada makanan cepat saji—murah, cepat, dan mudah didapat hari ini.
Banyak perusahaan konstruksi tampaknya memilih "makanan cepat saji". Mereka melihat biaya awal adopsi BIM sebagai "pajak inovasi" yang terlalu mahal untuk dibayar sekarang. Mereka lebih memilih untuk tetap dengan metode lama yang, meskipun tidak efisien dalam jangka panjang, terasa lebih murah dan lebih mudah hari ini. Mereka tidak melihatnya sebagai investasi, melainkan sebagai beban biaya. Padahal, paper ini sendiri mengutip penelitian lain yang menyatakan BIM justru bisa mengurangi biaya dan waktu proyek secara signifikan di kemudian hari. Ini adalah sebuah pandangan jangka pendek yang tragis, di mana penghematan di neraca keuangan kuartal ini dibayar dengan hilangnya daya saing di tahun-tahun mendatang.
Dinding #3: Menunggu Sinyal dari Langit (atau Pemerintah)
Penghalang nomor tiga adalah "Kurangnya insentif dan dukungan dari pemerintah dan badan profesional". Di sinilah ceritanya menjadi ironis.
Menurut paper ini, pemerintah Malaysia melalui Departemen Pekerjaan Umum (PWD) dan Construction Industry Development Board (CIDB) adalah pihak yang pertama kali memperkenalkan dan mendorong penggunaan BIM sejak tahun 2007. Mereka yang memulai pesta ini. Namun, sekarang, para pemain di industri merasa bahwa pemerintah tidak cukup mendukung mereka.
Ini adalah sebuah paradoks yang menarik. Pemerintah telah menyalakan percikan api, tetapi tampaknya lupa menyediakan kayu bakar agar api itu tetap menyala. Ada kesenjangan besar antara kebijakan yang dicanangkan di menara gading dan dukungan nyata yang dirasakan di lapangan. Mungkin ada program, mungkin ada imbauan, tetapi bagi kontraktor G5-G7 yang disurvei, itu tidak terasa cukup.
Kesenjangan ini menciptakan ketidakpastian. Perusahaan mungkin berpikir, "Mengapa kami harus mengambil risiko investasi besar-besaran jika regulator sendiri tampaknya setengah hati? Bagaimana jika aturannya berubah? Bagaimana jika tidak ada proyek pemerintah yang benar-benar mewajibkannya?" Keraguan ini menjadi pembenaran yang sempurna untuk tidak melakukan apa-apa. Pemerintah, yang seharusnya menjadi akselerator, secara tidak sengaja justru menjadi bagian dari rem darurat yang memperlambat laju inovasi.
Dinding #4: Terjebak dalam Pusaran Proyek yang Tak Pernah Berhenti
Penghalang terakhir dalam lima besar adalah "Kurangnya waktu untuk uji coba dan implementasi dalam proyek yang serba cepat". Ini adalah penghalang yang paling manusiawi dan paling bisa saya pahami.
Industri konstruksi terkenal dengan tenggat waktu yang ketat dan tekanan yang tinggi. Proyek harus terus berjalan. Penundaan satu hari bisa berarti kerugian jutaan dolar. Dalam lingkungan seperti ini, menghentikan sejenak "mesin" yang sedang berjalan untuk melakukan upgrade terasa seperti sebuah kemewahan yang mustahil.
Ini seperti mencoba mengganti ban mobil saat mobil sedang melaju kencang di jalan tol. Anda tahu ban Anda sudah aus dan perlu diganti. Anda tahu jika terus melaju, risikonya semakin besar. Tapi Anda tidak bisa berhenti, karena Anda harus sampai di tujuan tepat waktu. Jadi, Anda terus melaju, berharap bannya tidak pecah di tengah jalan.
Banyak perusahaan terjebak dalam "tirani urgensi" ini. Mereka terlalu sibuk memadamkan api-api kecil setiap hari sehingga tidak punya waktu untuk membangun sistem pemadam kebakaran yang lebih baik. Mereka mengorbankan kemajuan jangka panjang demi kelangsungan hidup jangka pendek. Dan siklus ini terus berulang, proyek demi proyek, membuat mereka semakin tertinggal dari mereka yang berani "berhenti sejenak" untuk melakukan upgrade.
Pelajaran Pribadi dari Angka-Angka Kering Ini
Setelah menelusuri data dan hambatan ini, saya tidak bisa tidak merenungkan apa artinya semua ini bagi kita—para profesional, baik di dalam maupun di luar industri konstruksi. Ini bukan hanya cerita tentang BIM di Malaysia; ini adalah cermin bagi banyak industri lain yang menghadapi disrupsi teknologi. Paper ini lebih dari sekadar kumpulan angka; ini adalah sebuah peringatan dan sebuah panggilan untuk bertindak.
Berikut adalah beberapa hal yang paling mengejutkan dan mencerahkan bagi saya:
-
🚀 Realita di Lapangan: Ini yang paling mencengangkan. Meskipun 90% tahu tentang BIM, data lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas perusahaan (76.7%) bahkan tidak memiliki rencana pelatihan BIM yang standar. Lebih dari separuhnya (61.7%) tidak mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan BIM. Ini bukan sekadar kelalaian; ini adalah cerminan dari prioritas strategis (atau ketiadaannya). Mereka tahu apa yang harus dilakukan, tetapi secara sistemik, mereka tidak mempersiapkan diri untuk melakukannya. Ini adalah kelumpuhan organisasi yang dilembagakan.
-
🧠Inovasi Terhalang Dompet: Tiga dari lima penghalang utama adalah soal uang. Ini menegaskan bahwa bagi banyak pemimpin bisnis, inovasi masih dilihat sebagai cost center, bukan profit center. Mereka lebih takut pada biaya investasi di muka daripada biaya peluang karena tertinggal. Ini adalah pola pikir yang berbahaya di era di mana teknologi bergerak secepat kilat.
-
💡 Pelajaran untuk Kita: Jangan menunggu perusahaan atau pemerintah. Jika kita melihat data ini, jelas bahwa perubahan dari atas ke bawah berjalan sangat lambat. Menunggu CEO Anda tiba-tiba mendapat pencerahan atau pemerintah meluncurkan program subsidi yang sempurna bisa jadi seperti menunggu Godot. Perubahan harus dimulai dari kita, dari bawah ke atas.
Melihat data ini, saya sadar kita tidak bisa hanya menunggu komite atau anggaran tahun depan. Mungkin inilah saatnya para profesional mengambil inisiatif sendiri untuk keluar dari jebakan 'tahu tapi tak bisa'. Jika perusahaan Anda terjebak dalam kelumpuhan, satu-satunya jalan maju adalah meningkatkan kemampuan diri sendiri. Ini bisa dimulai dengan langkah-langkah proaktif, misalnya dengan mengikuti kursus terstruktur seperti yang ditawarkan di (https://diklatkerja.com/) untuk membangun fondasi skill yang kuat, terlepas dari dukungan perusahaan. Inisiatif pribadi adalah satu-satunya variabel yang bisa kita kendalikan sepenuhnya.
Tentu saja, ada sedikit kritik halus yang ingin saya sampaikan. Meskipun data dalam paper ini sangat membuka mata, penelitian ini mungkin bisa lebih dalam menggali aspek budaya perusahaan yang menolak perubahan. Apakah ini murni soal biaya dan waktu, atau ada ketakutan tersembunyi terhadap transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar yang dibawa oleh BIM? Paper ini memberi kita 'apa' yang terjadi, tapi 'mengapa' yang lebih dalam—yang berakar pada psikologi dan budaya organisasi—masih menjadi misteri yang menarik untuk dipecahkan di masa depan.
Bukan Sekadar Teknologi, Ini Tentang Manusia dan Keberanian untuk Memulai
Pada akhirnya, kisah tentang adopsi BIM di Selangor ini bukanlah kisah tentang software. Ini adalah kisah tentang manusia. Ini tentang ketakutan akan perubahan, tentang kenyamanan zona nyaman, dan tentang perjuangan antara visi jangka panjang dan tekanan jangka pendek. Ini adalah tantangan budaya, bukan tantangan teknis.
Kita kembali ke analogi saya di awal. Apa yang Anda lakukan ketika Anda tahu ada cara yang lebih baik, tetapi Anda tidak diberi kunci untuk membuka pintu?
Mungkin jawabannya bukan menunggu seseorang memberi Anda kunci. Mungkin jawabannya adalah mulai belajar cara membuat kunci Anda sendiri. Mungkin dengan mengambil kursus online di malam hari. Mungkin dengan memulai proyek percontohan kecil di bawah radar. Mungkin dengan membangun koalisi dengan rekan-rekan yang berpikiran sama dan mempresentasikan kasus bisnis yang tak terbantahkan.
Penelitian ini menunjukkan ada 40% profesional di industri konstruksi Selangor yang berdiri di depan pintu, tahu apa yang ada di baliknya, tapi tidak pernah mencoba membukanya. Pesan saya untuk mereka, dan untuk kita semua yang pernah merasakan frustrasi yang sama di industri mana pun: jangan menjadi bagian dari statistik itu. Jadilah orang yang mencari engselnya, mendobraknya, atau membangun pintu baru sama sekali.
Karena pada akhirnya, masa depan tidak dibangun oleh mereka yang tahu jalannya, tetapi oleh mereka yang berani mengambil langkah pertama untuk menempuhnya.
Diskusi ini baru permukaannya saja. Jika kamu sama penasarannya dengan saya tentang detail di balik angka-angka ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Para peneliti telah melakukan pekerjaan luar biasa dalam memetakan masalah ini.