2023/100 “Mengelola Utang Badan Usaha Milik Negara: Studi Kasus BUMN Karya”

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

08 Mei 2024, 10.11

Sumber: iseas.edu.sg

Oeh Siwage Dharma Negara & Agustinus Prasetyantoko Presiden Indonesia Joko Widodo (R), Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (L), Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir (kedua R), dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (ketiga R) menaiki kereta api ringan (LRT) baru Jakarta pada 3 Agustus 2023, menjelang operasi publik sistem transit yang dijadwalkan akan dimulai akhir bulan ini. (Foto oleh ADEK BERRY / AFP)

Ringkasan eksekutif
Pembangunan infrastruktur memainkan peran penting dalam meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia dan mendukung ambisi Indonesia untuk menjadi salah satu negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2045. Lebih dari US$400 miliar dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia hingga tahun 2024. Dana negara hanya dapat berkontribusi sekitar 30% dari total angka tersebut. Untuk menutup kesenjangan ini, pemerintah telah mengundang

Investasi sektor swasta dan mendorong kemitraan pemerintah-swasta (KPS) untuk sejumlah proyek infrastruktur. Dalam praktiknya, menarik investasi sektor swasta ke dalam proyek-proyek tersebut dapat menjadi tantangan tersendiri. Untuk mempercepat proses konstruksi, Pemerintah menugaskan beberapa badan usaha milik negara (BUMN), yang dikenal sebagai BUMN Karya, untuk memimpin pembangunan dan pengoperasian berbagai proyek infrastruktur yang dianggap 'strategis'. BUMN-BUMN ini telah mengalami penurunan kondisi keuangan sejak pandemi COVID-19, dan ada kemungkinan besar mereka membutuhkan lebih banyak suntikan modal negara untuk tetap bertahan.

Penting untuk mengurangi beban BUMN melalui restrukturisasi atau penjualan aset dan meningkatkan tata kelola perusahaan mereka. Mengizinkan investor internasional atau perusahaan konstruksi dan operasi untuk menjadi pemegang saham dapat membantu mengurangi ketergantungan BUMN-BUMN ini pada anggaran pemerintah. Selain itu, pemerintah juga perlu memperhatikan risiko utang BUMN terhadap perekonomian Indonesia, posisi kredit, dan kepercayaan investor. Siwage Dharma Negara adalah Senior sesama di ISEAS - Yusof Ishak Institute. Agustinus Prasetyantoko adalah Senior Fellow di Atma Jaya Institut kebijakan publik, Jakarta. Kedua penulis mengucapkan terima kasih kepada Manggi Habir, Tham Siew Yean, dan Cassey Lee atas komentar mereka terhadap draf sebelumnya.

Perspektif ISEAS 2023/100, 20 Desember 2023

Pendahuluan
Sejak awal masa kepresidenannya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo gencar membangun infrastruktur di berbagai wilayah di Indonesia. Pembangunan infrastruktur ini bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pembangunan yang lebih merata, terutama di pulau-pulau terluar.

Lebih dari Rp 3.000 triliun (sekitar US$ 192 miliar) telah dihabiskan untuk proyek-proyek infrastruktur sejak Presiden Jokowi menjabat pada tahun 2014 (Gambar 1). Dana negara ini telah digunakan untuk membangun jalan raya dan jalan tol, bendungan, bandara dan pelabuhan, serta pembangkit listrik di seluruh Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan bahwa Indonesia membutuhkan Rp 6.445 triliun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan infrastruktur hingga 2024.[1] Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah hanya dapat menyediakan Rp 2.385 triliun atau 37% dari total yang dibutuhkan, dan sisanya harus dipenuhi oleh investor swasta.[2]

Pemerintah telah mendorong kemitraan pemerintah-swasta (KPS) dan mengundang investor swasta dalam dan luar negeri untuk sejumlah proyek infrastruktur. Namun, pada praktiknya, sebagian besar proyek infrastruktur dibangun dan dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seringkali dengan dukungan keuangan dari pemerintah. Bagi pemerintah, strategi tercepat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur adalah dengan menugaskan BUMN. Mengundang investor asing atau mencari bantuan dari mitra asing membutuhkan waktu dan prosedur yang lebih lama, sehingga menunda rencana pemerintah. Proyek-proyek yang didanai dengan skema PPP masih terbatas, sebagian besar di sektor energi, yang lebih menarik bagi sektor swasta. Tantangan terbesar bagi partisipasi swasta dalam proyek-proyek tertentu yang diusulkan oleh pemerintah adalah keandalan dan profitabilitas. Beberapa proyek mengalami kemajuan yang sangat lambat karena masalah-masalah tertentu, seperti pembebasan lahan atau peraturan yang tidak jelas.

Gambar 1: Pengeluaran infrastruktur meningkat secara signifikan selama era Jokowi

Catatan: Angka tahun 2023 adalah alokasi anggaran.

Sumber: Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan

Penugasan negara kepada BUMN untuk membangun berbagai proyek infrastruktur memiliki beberapa implikasi terhadap arus kas BUMN dan ruang fiskal pemerintah. Implikasi-implikasi tersebut sering kali tidak dipahami dengan baik, dan tulisan ini berusaha untuk menjelaskannya dengan melihat tiga studi kasus BUMN besar Indonesia yang bertanggung jawab atas pembangunan infrastruktur nasional. Mereka adalah PT Hutama Karya (Persero), PT Waskita Karya (Persero) Tbk, dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (ketiga perusahaan BUMN ini sering disebut BUMN Karya).[3] PT Hutama Karya (Persero) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk merupakan kontraktor utama untuk banyak proyek jalan tol di Indonesia. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, di sisi lain, adalah kontraktor utama untuk proyek-proyek bendungan. Waskita Karya dan Wijaya Karya tercatat di Bursa Efek Indonesia, yang berarti BUMN ini hanya dimiliki sebagian oleh pemerintah. Namun, Hutama Karya sepenuhnya dimiliki oleh pemerintah. Terakhir, kami ingin memeriksa kewajiban keuangan mereka dan potensi risiko yang ditimbulkannya terhadap sektor fiskal dan keuangan.

Penugasan negara dan peningkatan beban 
Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di seluruh negeri, Presiden Jokowi melalui Kementerian BUMN menugaskan beberapa perusahaan negara untuk “memimpin” pembangunan sejumlah “proyek strategis. Biasanya ada dua jenis proyek infrastruktur yang melibatkan BUMN Karya. Pertama, BUMN Karya dikontrak untuk membangun infrastruktur dan kemudian dibayar oleh pemerintah setelah mereka menyelesaikan proyek dan memenuhi spesifikasi. Kedua adalah apa yang dikenal sebagai Build, Operate and Transfer (BOT) setelah beberapa tahun. Jenis proyek yang pertama (bangun saja) lebih mudah.

Selama pandemi COVID-19, banyak dari proyek-proyek ini tertunda, sehingga perusahaan-perusahaan tersebut tidak dapat menerima pembayaran dari pemerintah. Namun, bahkan ketika perusahaan-perusahaan tersebut akhirnya menyelesaikan proyeknya, pembayaran dari pemerintah seringkali terlambat. Selain itu, pandemi juga menyebabkan pembengkakan biaya yang merugikan profitabilitas perusahaan. Pengaturan BOT lebih kompleks karena mengharuskan perusahaan untuk mengoperasikan proyek dan mendapatkan bayaran dari pendapatan yang dihasilkan dari operasi proyek. Pengaturan ini sebagian besar terkait dengan jalan tol. Pada praktiknya, proyek-proyek jalan tol yang menguntungkan (dengan volume lalu lintas yang signifikan) sering diberikan kepada perusahaan jalan tol negara PT Jasa Marga, meninggalkan BUMN Karya dengan proyek-proyek jalan tol yang kurang menarik.

Sebagai contoh, Waskita ditugaskan untuk membangun jalan tol Trans-Jawa dan Sumatera. Sebagian besar, Waskita mengambil alih proyek-proyek jalan tol swasta yang mangkrak dan tidak lagi menguntungkan dari sudut pandang investor swasta. Secara total, Waskita mengakuisisi 12 ruas tol mangkrak dari sektor swasta dari tahun 2015 hingga 2017. Demikian juga, Hutama Karya menerima penugasan khusus untuk membangun ruas-ruas jalan tol Trans-Sumatera. Akibatnya, liabilitas perusahaan meningkat pesat. Tidak seperti Waskita Karya, Hutama Karya menerima suntikan modal negara, atau PMN (Penyertaan Modal Negara).

Gambar 2: Penugasan pemerintah meningkatkan liabilitas BUMN Karya

Sumber: Laporan tahunan perusahaan

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua BUMN yang menjalankan proyek-proyek infrastruktur menerima penyertaan modal negara (PMN). PMN adalah suntikan modal tambahan yang diberikan untuk proyek atau tujuan tertentu. Alokasi PMN diusulkan oleh pemerintah dan membutuhkan persetujuan DPR. Dengan demikian, penentuan BUMN mana yang dapat menerima PMN merupakan kebijaksanaan politik pemerintah dan DPR. Menteri BUMN dan Menteri Keuangan, setelah berkonsultasi dengan DPR, mencapai kesepakatan bersama tentang BUMN mana yang harus diberikan PMN.

BUMN-BUMN strategis yang memiliki beban utang yang terlalu tinggi dan yang peringkatnya diturunkan ke tingkat yang tidak berkelanjutan adalah BUMN yang mendapatkan PMN, atau suntikan modal, melalui APBN. BUMN yang lebih sehat biasanya tidak mendapatkan PMN. BUMN-BUMN yang tidak mendapatkan PMN harus menggunakan keuangan mereka sendiri, seringkali dengan berutang; dan hal ini rentan terhadap perubahan suku bunga. Kenaikan suku bunga meningkatkan biaya untuk membayar utang yang ada atau mendapatkan pinjaman baru. Selain itu, peringkat kredit BUMN juga dapat mempengaruhi aksesnya ke pasar utang dan biaya pinjaman. Peringkat kredit yang lebih rendah dapat mengakibatkan suku bunga utang yang lebih tinggi.

Gambar 2 menunjukkan tiga BUMN infrastruktur terbesar yang menghadapi peningkatan liabilitas karena penugasan pemerintah untuk membangun berbagai proyek infrastruktur. Jadi, apa implikasi keuangan dari meningkatnya liabilitas BUMN?

Implikasi keuangan
Menanggapi memburuknya kesehatan keuangan BUMN Karya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan Rp 28,16 triliun dalam APBN 2024 untuk mendukung BUMN ini dengan penyertaan modal negara (PMN). Kebijakan ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk melanjutkan pembangunan infrastruktur pada masa transisi kepemimpinan berikutnya pada Oktober 2024.

Untuk proyek-proyek infrastruktur, PMN akan dialokasikan kepada PT Hutama Karya (Persero) sebesar Rp 18,6 triliun dan PT Wijaya Karya Tbk sebesar Rp 6 triliun. Namun, PT Waskita Karya (Persero) Tbk tidak akan menerima PMN karena masalah internal terkait tuduhan penipuan dan beberapa praktik manajemen yang buruk.

Di antara tiga BUMN Karya, yaitu PT Waskita Karya (WSKT), PT Wijaya Karya (WIKA), dan PT Hutama Karya (HK), HK memiliki aset terbesar, yaitu Rp 156 triliun, diikuti oleh Waskita yang memiliki total aset Rp 98 triliun, dan WIKA dengan total aset Rp 75 triliun (Gambar 3). Nilai aset BUMN Karya telah meningkat secara signifikan seiring dengan pembangunan infrastruktur yang masif di Indonesia.

Gambar 3: Nilai Total Aset BUMN Karya

Sumber: Laporan tahunan perusahaan

Menariknya, nilai aset Waskita telah menurun sejak tahun 2019. Pada tahun 2019, aset Waskita (Rp 122 triliun) lebih besar dari HK (Rp 93 triliun). Namun pada tahun 2022, aset HK telah melampaui aset Waskita. Berdasarkan laporan keuangannya, pendapatan Waskita mulai menurun pada tahun 2019. Pada tahun 2019, Waskita membukukan kerugian sebesar Rp 2,8 triliun, yang pada tahun 2020 meningkat menjadi Rp 9,2 triliun. Ekuitas perusahaan juga mengalami penurunan sejak tahun 2019 (Gambar 4). Menurut manajemen Waskita, kerugian tersebut disebabkan oleh penurunan pendapatan akibat pandemi COVID-19 dan biaya nilai tukar atas kewajiban mereka.

Gambar 4: Situasi Keuangan PT Waskita Karya (Persero) Tbk

Sumber: Laporan tahunan PT Waskita Karya (Persero) Tbk

Baru-baru ini, Waskita menghadapi beberapa masalah yang rumit mulai dari utang yang tinggi dan peningkatan kerugian hingga korupsi internal dan pembatalan PMN. Perdagangan saham Waskita dihentikan pada Mei 2023 setelah perusahaan gagal melakukan pembayaran kupon obligasi tepat waktu. Otoritas Bursa Efek Indonesia sekarang mempertimbangkan untuk menghapus saham perusahaan dari pasar karena tidak adanya perbaikan yang signifikan.[8] Beberapa perusahaan juga telah menggugat Waskita atas keterlambatan pembayaran utang.

Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, dalam sebuah pernyataan publik pada September 2021, menyatakan bahwa peningkatan liabilitas Waskita disebabkan oleh penugasan dari pemerintah untuk memimpin beberapa proyek infrastruktur.[10] Tingginya beban utang mencapai puncaknya pada tahun 2019 setelah Waskita mengakuisisi beberapa ruas tol dari pihak swasta dari tahun 2015 hingga 2017 (Gambar 4). Pada tahun tersebut, utang Waskita mencapai Rp 70,9 triliun; utang ini terdiri dari pinjaman bank dan obligasi, serta utang sekitar Rp 20 triliun kepada para vendor. Selain itu, pandemi COVID-19 telah memperburuk kondisi keuangan perusahaan karena penurunan pendapatan, banyak proyek yang tertunda, dan pembengkakan biaya.

Berdasarkan kasus Waskita, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kesehatan keuangan BUMN. Masalah keuangan Waskita diperburuk oleh tata kelola yang buruk di dalam perusahaan. Mantan Direktur Utama Waskita ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan korupsi terkait penyelewengan penggunaan anak perusahaan (PT Waskita Beton Precas) pada tahun 2016-2020.11 Kasus ini membuat harga saham perusahaan turun secara drastis (Gambar 4) sekitar 6%, sehingga memaksa otoritas pasar untuk menghentikan sementara perdagangan untuk melindungi para pemegang sahamnya.

Gambar 5: Situasi Keuangan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk

Sumber: Laporan tahunan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk

Faktanya, semua BUMN karya mengalami penurunan pendapatan akibat pandemi COVID-19. Laba mereka turun secara signifikan karena penundaan pembangunan proyek. WIKA, yang bisnis intinya adalah real estat dan properti, telah mengalami kerugian finansial sejak pandemi (Gambar 5). Saat ini WIKA sedang mengajukan penundaan pembayaran kewajiban pokok dan bunga kepada para krediturnya. Perusahaan ini akan menerima PMN sebesar Rp 6 triliun untuk mengatasi kesulitan keuangannya. Penyertaan modal negara ini terkait dengan pembengkakan biaya dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), di mana WIKA ikut berpartisipasi.[13] Sejauh ini, dukungan negara ini mungkin cukup bagi WIKA untuk mempertahankan struktur modalnya. 
 
Bersama dengan tiga BUMN Karya lainnya, WIKA telah menjadi pemain utama dalam pembangunan ibu kota baru (IKN) Nusantara di provinsi Kalimantan Timur.[14] WIKA bertanggung jawab atas dua konstruksi utama, yaitu tempat tinggal untuk para pekerja dan kantor untuk kementerian koordinator untuk urusan kemaritiman dan investasi. Total proyek ini bernilai sekitar Rp 1,3 triliun. 
Kondisi keuangan HK juga memburuk, meskipun tidak separah Waskita. Mulai tahun 2020, HK mengalami kerugian besar-besaran. Hal ini terus berlanjut hingga tahun 2022 (Gambar 6). Penyebab utama kerugiannya adalah rendahnya pendapatan dari proyek jalan tol Trans Sumatera. Proyek ini diprakarsai oleh pemerintah sebagai proyek strategis, dan oleh karena itu, pendapatan tidak menjadi pertimbangan utama dalam pembangunannya. Volume lalu lintas di Trans Sumatera sangat rendah, sehingga tidak menarik minat sektor swasta untuk proyek ini. [15] Meskipun demikian, pemerintah mendorong proyek ini untuk meningkatkan konektivitas dan mobilitas orang, dan untuk merangsang kegiatan ekonomi di seluruh pulau. Peningkatan kegiatan ekonomi pada gilirannya akan meningkatkan volume lalu lintas yang pada akhirnya akan menarik investasi swasta.

Gambar 6: Situasi Keuangan PT Hutama Karya (Persero) Tbk

Sumber: Laporan tahunan PT Hutama Karya (Persero) Tbk

Pendapatan dari proyek Trans Sumatera tidak mencukupi untuk menutupi biaya operasional HK. Hal ini terjadi bersamaan dengan proyek-proyek lain yang tidak menguntungkan yang telah dikerjakan oleh perusahaan. Akibatnya, HK harus meningkatkan keuangannya dengan mengajukan lebih banyak utang. Kondisi ini tercermin dari kinerja keuangannya, di mana HK membukukan kerugian yang cukup signifikan sekitar Rp 1,4 triliun. Untuk menyelamatkan HK, pemerintah memutuskan untuk menambah penyertaan modal negara (PMN) di perusahaan tersebut. HK juga terlibat dalam beberapa proyek IKN senilai sekitar Rp 4,3 triliun, yang meliputi jalan tol, kantor kementerian, serta perumahan untuk aparatur sipil negara dan pasukan pengamanan presiden.

Potensi resiko terhadap perekonomian
BUMN memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Jadi, utang yang berlebihan di pihak mereka dapat menimbulkan risiko bagi kesehatan ekonomi secara keseluruhan. Contohnya, jika BUMN tidak mampu membayar utang mereka, pemerintah harus turun tangan untuk menalangi mereka. Hal ini dapat membebani keuangan pemerintah, menyebabkan defisit anggaran, dan berpotensi meningkatkan utang publik.

Kesulitan keuangan BUMN yang terlilit utang juga dapat mendistorsi harga, karena pemerintah memberikan subsidi atau penyertaan modal negara agar perusahaan-perusahaan ini tetap bertahan. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan pasar dan misalokasi sumber daya. Terlebih lagi, selama pemerintahan Jokowi, kita telah melihat bagaimana BUMN menyerap sebagian besar kredit yang tersedia, menghambat investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi, dan memadati pinjaman sektor swasta.

Peringkat kredit pemerintah Indonesia berpotensi terpengaruh jika utang BUMN menjadi beban serius bagi pemerintah. Peringkat kredit yang lebih rendah dapat mengakibatkan biaya pinjaman yang lebih tinggi bagi pemerintah dan sektor swasta. Selain itu, jika sebuah BUMN besar seperti Waskita gagal membayar utang, hal ini dapat merembet ke BUMN lain dan sistem keuangan negara. Hal ini dapat menyebabkan risiko sistemik dan ketidakstabilan keuangan. Pada gilirannya, gagal bayar BUMN yang besar yang menyebabkan kesulitan keuangan dapat mengikis kepercayaan investor terhadap negara dan menyebabkan pelarian modal dan mengurangi investasi asing langsung.

Oleh karena itu, utang BUMN harus dikelola dengan hati-hati. Jika berlebihan, hal ini dapat berdampak buruk pada stabilitas keuangan dan menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang negara. Terlalu banyak penugasan negara yang diberikan kepada BUMN tentu akan membebani sumber daya fiskal yang terbatas, sehingga mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi pada program-program penting lainnya. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam berinvestasi pada proyek-proyek infrastruktur.

Dari sudut pandang pemerintah, menugaskan BUMN untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek infrastruktur seperti jalan tol, bandara, bendungan, pembangkit listrik, dan rel kereta api memiliki keuntungan dalam jangka pendek. Mengharapkan sektor swasta untuk memimpin proyek-proyek pembangunan infrastruktur tidaklah realistis, terutama jika proyek tersebut dimaksudkan untuk mendorong pembangunan di daerah-daerah yang kurang padat penduduk dan kurang menguntungkan. Oleh karena itu, untuk pembangunan strategis, BUMN memainkan peran utama. Namun, dalam jangka panjang, penting untuk mengembangkan peta jalan dan mendefinisikan sektor mana yang harus melibatkan BUMN dan sektor mana yang harus melibatkan sektor swasta, mitra nasional dan/atau internasional. Menugaskan BUMN bukan berarti mengabaikan manajemen risiko dan tata kelola yang hati-hati. Faktanya, tata kelola yang baik sangat penting untuk meminimalisir kecurangan dan perilaku korup yang berkaitan dengan proyek infrastruktur.

Kesimpulan
Mengelola utang BUMN dapat menjadi isu politik yang kontroversial. Sangat mengkhawatirkan bahwa BUMN yang diberi mandat untuk fokus pada proyek-proyek infrastruktur mengalami masalah pembiayaan yang serius yang menghambat daya saing dan keberlanjutan mereka. Pemerintah perlu menghindari tingkat utang BUMN yang tinggi untuk mendanai proyek-proyek yang bermotif politik dan tidak produktif, dengan manfaat yang tidak jelas.

Faktanya, salah satu kandidat Presiden telah menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa pemikiran yang matang di bawah pemerintahan saat ini telah menempatkan BUMN Karya dalam kondisi keuangan yang kritis. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan BUMN Karya 'tutup buku' adalah tata kelola yang buruk.

Kurangnya independensi dari pihak manajemen BUMN Karya untuk menerima atau menolak sebuah proyek, dan untuk menentukan kriteria apa saja yang harus dipenuhi sebelum membangun proyek tersebut adalah alasan lain untuk kesulitan keuangan mereka saat ini. Manajemen hanya memiliki sedikit wewenang dalam hal ini, dan harus mengikuti perintah pemerintah. Salah satu solusi untuk hal ini adalah dengan mengundang investor internasional atau perusahaan konstruksi dan operasi ke dalam proyek-proyek tersebut sebagai pemegang saham.

Disadur dari:

Kami melihat dari tiga kasus BUMN Karya bahwa kurangnya transparansi dalam utang BUMN dapat menjadi risiko tersendiri. Terdapat kebutuhan untuk menyediakan informasi yang jelas mengenai tingkat dan persyaratan pinjaman BUMN; hal ini penting untuk menilai dan mengelola risiko secara efektif. Untuk menghentikan memburuknya utang BUMN lebih lanjut, pemerintah perlu membangun mekanisme pengawasan dan tata kelola yang kuat dan mengadopsi kebijakan fiskal dan moneter yang hati-hati.

Untuk mengatasi utang BUMN yang terus meningkat, diperlukan kombinasi antara restrukturisasi keuangan, perbaikan operasional, dan mungkin privatisasi atau penjualan aset (seperti yang terjadi pada INA). Penting untuk menyeimbangkan peran strategis BUMN dan keberlanjutan keuangan mereka untuk meminimalkan risiko terhadap kesehatan fiskal negara secara keseluruhan.

Peran Otoritas Investasi Indonesia (INA) dapat lebih ditingkatkan dengan partisipasinya dalam proyek-proyek strategis. Waskita telah melepas dua ruas jalan tol dan menyiapkan empat ruas jalan tol lainnya untuk diambil alih oleh INA. Hal ini akan membuat kondisi keuangannya menjadi lebih sehat. Inisiatif lainnya adalah penggunaan Pembiayaan Infrastruktur Non-Anggaran Pemerintah (PINA) yang lebih baik.

PINA diprakarsai oleh Bappenas untuk proyek-proyek strategis dan prioritas, terutama di sektor infrastruktur. Pembiayaan PINA dapat berasal dari pasar modal, dana kelolaan, asuransi, perbankan, dan pembiayaan lain yang sah. Beberapa proyek telah menggunakan skema PINA, seperti jalan tol Sumatera Utara dan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulan Progo. Pada dasarnya, PINA menawarkan pembiayaan kreatif dengan mencocokkan kebutuhan investor tertentu dengan skema pembiayaan tertentu, melalui instrumen hibrida, dana penyertaan terbatas, dan pembiayaan rantai pasok yang disesuaikan. Skema-skema ini dapat dikembangkan dan diperluas untuk proyek-proyek infrastruktur di masa depan.

Disadur dari: iseas.edu.sg