Rumah Adat di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

06 Mei 2024, 07.38

Sumber: en.wikipedia.org

Rumah adat adalah rumah tradisional yang dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia, yang secara kolektif termasuk dalam arsitektur Austronesia. Rumah adat dan pemukiman dari ratusan suku bangsa di Indonesia sangat bervariasi dan semuanya memiliki sejarahnya masing-masing.  Ini adalah varian Indonesia dari seluruh arsitektur Austronesia yang ditemukan di seluruh tempat yang dihuni oleh orang-orang Austronesia dari Pasifik hingga Madagaskar, masing-masing memiliki sejarah, budaya dan gaya mereka sendiri.

Kelompok-kelompok etnis di Indonesia sering dikaitkan dengan bentuk rumah adat mereka yang khas. Rumah-rumah tersebut merupakan pusat dari adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan agama yang mengikat penduduk desa bersama-sama. Rumah menjadi fokus utama bagi keluarga dan komunitasnya, dan menjadi titik tolak dari berbagai aktivitas penghuninya. Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau komunitas mengumpulkan sumber daya mereka untuk sebuah struktur yang dibangun di bawah arahan seorang tukang atau tukang kayu.

Sebagian besar orang Indonesia tidak lagi tinggal di rumah adat, dan jumlahnya telah menurun dengan cepat karena perubahan ekonomi, teknologi, dan sosial.

Bentuk umum

Dengan beberapa pengecualian, masyarakat di kepulauan Indonesia memiliki nenek moyang yang sama, yaitu Austronesia (berasal dari Taiwan, sekitar 6.000 tahun yang lalu) atau Sundaland, sebuah wilayah yang cekung di Asia Tenggara, dan rumah-rumah adat di Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang sama, seperti konstruksi kayu dan struktur atap yang bervariasi dan rumit. Struktur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang komunal di atas panggung, dengan atap miring yang curam dan atap pelana yang berat, seperti yang terlihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi dari prinsip rumah panjang komunal ditemukan di antara orang Dayak di Kalimantan, serta orang Mentawai.

Normalnya adalah sistem struktur tiang, balok, dan ambang yang menerima beban langsung ke tanah dengan dinding kayu atau bambu yang tidak menahan beban. Secara tradisional, alih-alih menggunakan paku, digunakan sambungan mortis dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan alami - kayu, bambu, rumbia dan ijuk - membentuk rumah adat. Kayu keras umumnya digunakan untuk tiang pancang dan kombinasi kayu lunak dan keras digunakan untuk dinding bagian atas rumah yang tidak menahan beban, dan sering kali terbuat dari kayu yang lebih ringan atau rumbia. Bahan rumbia dapat berupa daun kelapa dan aren, rumput alang alang dan jerami padi.

Rumah tradisional telah berkembang untuk merespon kondisi lingkungan alam, terutama iklim musim hujan yang panas dan basah di Indonesia. Seperti yang umum terjadi di seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas panggung, dengan pengecualian di Jawa, Bali, dan rumah-rumah lain di Indonesia Timur. Membangun rumah di atas panggung memiliki beberapa tujuan: memungkinkan angin sepoi-sepoi untuk meredam suhu tropis yang panas; meninggikan tempat tinggal di atas limpasan air hujan dan lumpur; memungkinkan rumah-rumah dibangun di atas sungai dan pinggiran sawah; menjaga orang, barang dan makanan dari kelembaban dan kelembaban; mengangkat tempat tinggal di atas nyamuk pembawa malaria; dan mengurangi risiko busuk kering dan rayap. Atap yang miring tajam memungkinkan hujan tropis yang deras dengan cepat turun, dan atap yang menjorok ke dalam menjaga air keluar dari rumah dan memberikan keteduhan saat panas. Di daerah pesisir pantai yang panas dan lembab, rumah dapat memiliki banyak jendela yang menyediakan ventilasi silang yang baik, sedangkan di daerah pedalaman pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah sering memiliki atap yang luas dan sedikit jendela.

Contoh

Contoh-contoh rumah adat antara lain:

  • Rumoh Aceh, adalah jenis rumah adat terbesar dan tertinggi di Aceh. Rumah ini memiliki atap runcing dari kayu, dihiasi dengan ukiran kayu bermotif bunga atau geometris pada bagian luarnya.
  • Arsitektur Batak (Sumatera Utara) termasuk rumah jabu berbentuk perahu dari orang Batak Toba, dengan atap pelana berukir yang mendominasi dan atap besar yang dramatis, dan didasarkan pada model kuno. Sementara itu, rumah Batak Karo memiliki atap yang tinggi, berupa kombinasi atap pelana atau dua atap pelana yang disilangkan di atas atap pinggul. Kelompok Batak lainnya juga memiliki gaya rumah tradisional mereka sendiri.
  • Orang Minangkabau di Sumatera Barat membangun rumah gadang, yang khas dengan atap pelana yang banyak dengan ujung bubungan yang menanjak secara dramatis.
  • Rumah-rumah orang Nias termasuk rumah kepala suku Omo Sebua yang dibangun di atas pilar-pilar kayu ulin yang besar dengan atap yang menjulang tinggi. Rumah-rumah ini tidak hanya hampir tidak dapat ditembus oleh serangan dalam perang suku sebelumnya, tetapi juga konstruksi tanpa paku yang fleksibel dan tahan terhadap gempa.
  • Rumah panjang Uma adalah rumah adat tradisional Mentawai di pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, dengan bentuk persegi panjang dan beranda di setiap ujungnya.
  • Rumah Melayu Rumah tradisional Melayu yang dibangun di atas panggung di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya. Ada banyak gaya rumah Melayu; misalnya rumah beratap melengkung dari pantai timur Sumatera Utara dan Kampar (Riau), rumah beratap runcing dengan ujung-ujungnya yang bersilangan membentuk puncak "x" di sudut-sudut atapnya dari Riau dan Jambi, rumah beratap limas dengan lantai berundak dari Sumatera Selatan, dan rumah beratap pinggul bertingkat-tingkat dari Kalimantan Barat.
  • Nuwo Balak dari Lampung, yang berarti rumah besar, memiliki atap yang ujung-ujungnya berpusat pada satu titik pusat dan terbuat dari kayu bulat yang disusun sejajar dan dilapisi tembaga. Rumah ini digunakan sebagai tempat tinggal kepala suku.
  • Rumah Kebaya adalah salah satu rumah adat Betawi. Ciri utama dari rumah ini adalah terasnya yang luas, yang dapat berfungsi untuk menerima tamu dan sebagai tempat bersantai.
  • Rumah imah Sunda biasanya mengambil bentuk dasar atap runcing yang disebut atap gaya kampung, terbuat dari bahan rumbia (ijuk serat aren hitam atau daun hateup) dengan dinding anyaman bambu dan struktur yang dibangun di atas panggung pendek. Atap runcing yang lebih rumit dan menjorok ke dalam disebut julang ngapak.
  • Tidak seperti kebanyakan rumah vernakular Asia Tenggara, omah Jawa tidak dibangun di atas tiang pancang, dan telah menjadi gaya vernakular Indonesia yang paling banyak dipengaruhi oleh elemen-elemen arsitektur Eropa.
  • Tanean Lanjhang, yang berarti pekarangan yang panjang, adalah rumah tradisional Madura yang merupakan kumpulan rumah yang terdiri dari beberapa keluarga yang masih dalam satu ikatan keluarga.
  • Rumah tradisional Bali adalah kumpulan bangunan individu yang sebagian besar terbuka (termasuk bangunan terpisah untuk dapur, area tidur, area mandi dan tempat suci) di dalam kompleks taman yang berdinding tinggi.
  • Orang Dayak secara tradisional tinggal di rumah panjang komunal yang dibangun di atas tiang pancang. Panjang rumah-rumah ini bisa melebihi 300 m, dalam beberapa kasus membentuk satu desa. Sementara rumah bundar baluk Dayak Bidayuh dibangun di atas panggung yang sangat tinggi dengan atap berbentuk kerucut yang ikonik.
  • Bubungan Tinggi, dengan atapnya yang miring, adalah rumah besar para bangsawan dan bangsawan Banjar di Kalimantan Selatan.
  • Orang Sasak di Lombok membangun lumbung, lumbung padi beratap tumpang, yang sering kali lebih khas dan rumit daripada rumah mereka (lihat arsitektur Sasak).
  • Dalam Loka di Sumbawa adalah bekas kediaman sultan Sumbawa dengan bentuk rumah panggung kembar yang memanjang dan atap runcing dua tingkat.
  • Rumah saoraja atau balla Bugis-Makassar adalah rumah panggung, dengan atap runcing dan memiliki penutup atap pelana yang khas yang disebut timpalaja dengan jumlah tertentu sebagai simbol status sosial pemilik rumah.
  • Malige dari Buton memiliki tampilan yang mirip dengan rumah Bugis-Makassar namun dengan atap pelana yang bertingkat dua.
  • Toraja di dataran tinggi Sulawesi terkenal dengan tongkonan mereka, rumah-rumah yang dibangun di atas tiang-tiang dan dikerdilkan oleh atap pelana besar yang berlebihan.
  • Walewangko adalah kediaman para tetua adat Minahasa. Rumah ini memiliki dua tangga yang terletak di sebelah kiri dan kanan bagian depan rumah.
  • Masyarakat Flores dikenal dengan rumah tradisional mereka yang memiliki atap trapesium. Rumah ini disebut sa'o oleh orang Ngada atau mosalaki oleh orang Ende-Li'o.
  • Lopo dari Alor memiliki atap berbentuk limas dan ditopang oleh beberapa tiang yang terbuat dari kayu.
  • Uma Kalada dari Sumba memiliki atap jerami "topi tinggi" yang khas dan dibungkus dengan beranda yang terlindung.
  • Ume Le'u dari Timor adalah rumah tradisional milik suku Atoni. Terdiri dari dua bangunan, yaitu lopo dan ume kbubu. Lopo memiliki atap berbentuk kerucut tanpa dinding, sedangkan ume kbubu berbentuk bulat, tidak memiliki jendela, dan hanya memiliki satu pintu. Sementara itu, kepala suku tinggal di rumah sonaf yang beratap kerucut.
  • Orang Dani di Dataran Tinggi Papua secara tradisional tinggal di kompleks keluarga kecil yang terdiri dari beberapa gubuk melingkar yang dikenal sebagai honai dengan atap kubah jerami.
  • Masyarakat Tobati dan Sentani dikenal dengan rumah berbentuk kerucut yang disebut kariwari atau khombo yang dibangun di sekitar tepi Danau Sentani.
  • Rumah Rumsram dari masyarakat Biak Numfor berbentuk persegi dengan atap berbentuk perahu yang terbalik.
  • Masyarakat Mimika di Papua Tengah memiliki rumah tradisional yang disebut karapao, yang memiliki banyak pintu dan tikar yang terbuat dari pandan hutan.
  • Suku Asmat di Papua Selatan memiliki rumah panggung yang disebut jew yang berbentuk persegi panjang dan berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para pria yang belum menikah atau masih lajang.

Menurun

Jumlah rumah adat semakin berkurang di seluruh Indonesia. Tren ini berawal dari masa penjajahan, di mana orang Belanda pada umumnya memandang arsitektur tradisional sebagai arsitektur yang tidak higienis, dengan atap besar yang menjadi sarang tikus. Rumah multi-keluarga dipandang dengan penuh kecurigaan oleh pihak berwenang agama, begitu pula aspek-aspek rumah adat yang terkait dengan kepercayaan tradisional. Di beberapa wilayah di Hindia Belanda, pihak berwenang kolonial memulai program pembongkaran yang gencar, menggantikan rumah adat dengan rumah-rumah yang dibangun dengan teknik konstruksi Barat, seperti batu bata dan atap seng, fasilitas sanitasi yang memadai, dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional dilatih kembali dalam teknik bangunan Barat. Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan 'rumah sehat sederhana' ('rumah sehat sederhana') daripada rumah adat.

Keterpaparan terhadap ekonomi pasar membuat pembangunan rumah adat yang padat karya, seperti rumah Batak, menjadi sangat mahal (sebelumnya desa-desa akan bekerja sama untuk membangun rumah baru) untuk dibangun dan dipelihara. Selain itu, penggundulan hutan dan pertumbuhan penduduk berarti bahwa kayu tidak lagi menjadi sumber daya gratis yang dapat diambil sesuai kebutuhan dari hutan-hutan di sekitarnya, melainkan menjadi komoditas yang terlalu mahal. Dikombinasikan dengan selera umum terhadap modernitas, sebagian besar orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada di rumah adat tradisional.

Di daerah yang banyak dikunjungi turis, seperti Tanah Toraja, rumah adat dilestarikan sebagai tontonan bagi para turis, mantan penghuninya tinggal di tempat lain, dengan elemen desain yang dilebih-lebihkan sampai-sampai rumah-rumah adat tersebut jauh lebih tidak nyaman daripada desain aslinya. Meskipun di sebagian besar daerah, rumah adat sudah ditinggalkan, di beberapa daerah terpencil rumah-rumah tersebut masih digunakan, dan di daerah lain bangunan bergaya rumah adat tetap dipertahankan untuk tujuan seremonial, sebagai museum atau bangunan resmi.

Adaptasi kontemporer

Selama masa kolonial Hindia Belanda sekitar paruh pertama abad ke-20, gaya khas dan elemen-elemen vernakular rumah adat Indonesia sering digunakan sebagai inspirasi, dibuat ulang dan ditiru dengan sengaja untuk mewakili keanekaragaman budaya koloni, juga dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang meriah dengan arsitektur yang fantastis. Pasar Gambir yang diselenggarakan setiap tahun antara tahun 1906 dan 1942 di Batavia, dikenal memiliki gerbang, panggung, menara dan paviliun yang dibangun dengan gaya rumah adat yang berasal dari seluruh penjuru nusantara. Setiap tahun, paviliun-paviliun rumah adat yang didesain secara unik ini dibuat dan dibangun kembali dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia secara lokal, dan dengan demikian juga menjadi daya tarik pameran ini.

Periode ini juga menunjukkan kebanggaan dan keinginan untuk menunjukkan keanekaragaman budaya koloni dengan menampilkan arsitektur vernakular nusantara. Pada tahun 1931, selama Pameran Kolonial Paris, Belanda menampilkan perpaduan budaya yang indah dari daerah jajahannya - Hindia Belanda. Paviliun kolonial Belanda terletak di lahan pameran seluas 3 hektar dan dibangun berdasarkan perpaduan berbagai elemen budaya Nusantara, kombinasi arsitektur vernakular Indonesia. Bangunan ini memiliki dinding yang terdiri dari 750.000 batang kayu ulin dari Kalimantan. Sebagai pusat perhatian, bagian depan dihiasi dengan menara Meru Bali kembar setinggi 50 meter. Atap paviliun dibuat dengan gaya tumpang atau tajug, ciri khas masjid Jawa, dilengkapi dengan pintu kayu berukir kori agung khas portal menjulang tinggi pura Bali, dipadukan dengan atap melengkung khas rumah gadang Minangkabau. Perpaduan arsitektur vernakular Indonesia ini menghadirkan sebuah paviliun yang megah dan megah seperti istana. Namun, pada tanggal 28 Juni 1931, sebuah kebakaran besar menghanguskan paviliun Belanda ini beserta seluruh benda-benda budaya yang ada di dalamnya.

Bangunan terkadang dibangun dengan teknik konstruksi modern yang menyertakan elemen-elemen gaya dari rumah adat, seperti The House of the Five Senses di Efteling, sebuah bangunan yang dimodelkan pada rumah gadang Minangkabau. Pada masa kolonial, beberapa orang Eropa membangun rumah sesuai dengan desain hibrida Barat dan adat, seperti Bendegom, yang membangun rumah 'peralihan' Barat-Batak Karo.

Di beberapa tempat, elemen atau ornamen rumah adat telah menjadi identitas daerah provinsi atau kabupaten. Oleh karena itu, pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan publik didorong untuk memasukkan atau menampilkan elemen-elemen arsitektur asli ini. Meskipun secara teknis bangunan-bangunan baru dibangun dengan teknik kontemporer dengan rangka beton dan dinding bata, bukan dengan pertukangan kayu tradisional. Yang paling sering terjadi adalah penanaman atap tradisional di atas bangunan modern. Kecenderungan ini dapat dilihat di Sumatera Barat dan Tana Toraja, di mana atap khas Minang bagonjong (bertanduk) dan atap tongkonan Toraja ditanamkan di hampir semua bangunan publik; dari bandara hingga hotel, restoran, dan kantor pemerintah.

Telah dicatat bahwa rumah-rumah kayu tradisional umumnya lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah-rumah bata modern, meskipun lebih rentan terhadap kebakaran. Pembangunan rumah adat modern yang berbingkai beton dan berdinding batu bata telah merusak ciri khas rumah kayu tradisional, yaitu fleksibilitasnya dalam menyerap gelombang kejut yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Bangunan rumah adat yang terbuat dari beton ini sering kali tidak mampu menahan gempa dan runtuh, seperti yang terjadi pada gempa Padang tahun 2009. Di beberapa daerah, konsep rumah adat 'semi-modern' telah diadopsi, seperti di antara beberapa orang Ngada, dengan elemen tradisional ditempatkan di dalam cangkang beton.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/