Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Di tengah pesatnya pertumbuhan industri teknologi dan transformasi digital global, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain dalam Global Software Development (GSD) semakin mendapat sorotan. Paper berjudul “Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective” oleh Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di ranah global. Penelitian ini tidak hanya menyajikan daftar kompetensi, tetapi juga menyusun pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan menggunakan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasilnya sangat relevan, baik untuk kebijakan pendidikan, pengembangan talenta digital, maupun strategi ekspor layanan IT Indonesia.
Latar Belakang: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam GSD
Global Software Development telah menjadi norma baru dalam industri IT sejak awal 1990-an, memungkinkan kolaborasi lintas negara dalam pengembangan perangkat lunak. Negara-negara seperti India, China, dan Filipina telah lama menjadi pemain utama. Sementara itu, Indonesia, meski memiliki potensi besar, belum sepenuhnya diakui sebagai pemain utama GSD. Padahal, menurut Kearney Global Services Location Index 2019, Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 50 negara tujuan outsourcing. Namun, rendahnya peringkat Indonesia dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020 mengindikasikan lemahnya kapabilitas SDM digital, khususnya dalam kompetensi software engineering.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Literatur dan AHP
Penulis menggunakan pendekatan literatur dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk mengidentifikasi dan mengurutkan kompetensi penting. Sebanyak 6.693 artikel disaring, dan melalui proses bertahap, hanya 27 yang relevan dijadikan referensi utama. Dari situ, dirumuskan 40 sub-kompetensi yang dikelompokkan ke dalam delapan kriteria utama—empat hard competencies dan empat soft competencies.
Kriteria tersebut antara lain:
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada lima pakar GSD dan software engineering dari berbagai institusi di Indonesia. Skor kepentingan diberikan melalui metode perbandingan berpasangan, lalu diproses menggunakan rumus AHP.
Hasil: Ranking Kompetensi dan Clustering
Dari hasil analisis AHP, diperoleh bobot global dari masing-masing sub-kompetensi. Tiga sub-kompetensi tertinggi berada pada kategori Programming Techniques, yaitu:
Sementara sub-kompetensi dengan bobot terendah terdapat pada kategori Collaboration and Knowledge Management, yaitu:
Menariknya, dari 40 sub-kompetensi yang disusun secara global, tak ada dominasi mutlak antara hard dan soft competencies. Meski hard competencies menempati posisi teratas, soft competencies seperti kemampuan memahami budaya kerja lintas negara, membangun kepercayaan dalam tim, dan kemampuan komunikasi global juga berada dalam 10 besar.
Berikut adalah lima kluster kompetensi yang dihasilkan:
Kluster 1 (Kompetensi Paling Esensial)
Kluster 2 (Sangat Penting)
Kluster 3 (Penting)
Kluster 4 (Cukup Penting)
Kluster 5 (Penting tapi Tidak Mendesak)
Studi Kasus: Analisis Kekuatan dan Kelemahan Engineer Indonesia
Dari pengamatan pakar dan hasil pemeringkatan, diketahui bahwa software engineer Indonesia cukup kuat dalam soft competencies, terutama pada aspek kolaborasi dan pemahaman budaya. Hal ini tak mengherankan mengingat karakter sosial dan budaya kerja kolektif di Indonesia.
Namun, tantangan besar terletak pada aspek teknis, terutama:
Rendahnya skor pada aspek-aspek ini menunjukkan perlunya peningkatan kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan industri, dan pengalaman proyek nyata agar engineer Indonesia mampu bersaing dengan engineer dari India, Filipina, dan Vietnam.
Implikasi Kebijakan dan Strategi
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi berbagai pihak:
Perbandingan dengan Studi Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Saldaña-Ramos et al. (2014) yang juga menyusun kompetensi untuk GSD, pendekatan paper ini lebih menyeluruh karena memadukan AHP dan kontekstualisasi lokal (Indonesia). Paper ini juga lebih aplikatif karena tidak hanya memberikan deskripsi, tapi juga prioritas pengembangan.
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan:
Kekurangan:
Penutup dan Rekomendasi
Artikel ini berhasil menjawab kebutuhan mendesak dalam pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di kancah global. Dengan metodologi yang solid dan hasil yang aplikatif, studi ini menjadi referensi penting bagi strategi pengembangan SDM digital nasional.
Namun, untuk meningkatkan daya saing, langkah lanjutan seperti pelibatan responden lintas negara, penerapan hasil dalam bentuk pelatihan dan program pendidikan, serta pengukuran dampak setelah implementasi sangat disarankan.
Pengembangan ke depan dapat diarahkan pada pemetaan kompetensi dalam tim Agile (Scrum), yang kini menjadi standar dalam proyek GSD. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai “the next India” dalam outsourcing IT, maka investasi pada pengembangan hard competencies mutlak diperlukan.
Sumber asli artikel: Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari. "Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective." Tehnički vjesnik 29, 2(2022), 683–691.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 April 2025
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan bahasa luar biasa: lebih dari 700 bahasa daerah hidup berdampingan dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan Bahasa Inggris sebagai bahasa global. Di tengah kompleksitas ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana mahasiswa teknik—calon profesional masa depan—menyikapi peran masing-masing bahasa dalam kehidupan mereka?
Artikel "Language Attitudes and Valorization Among Indonesian Engineering Students" menggali pertanyaan ini dengan pendekatan kualitatif mendalam. Penelitian ini menyoroti bagaimana mahasiswa teknik memaknai Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan bahasa warisan (heritage language) seperti Jawa, Sunda, atau Batak, dalam konteks akademik, sosial, dan budaya.
70 mahasiswa teknik melalui kuesioner.
10 peserta wawancara mendalam untuk memperkaya konteks.
Responden berasal dari berbagai latar belakang etnis dan bahasa daerah.
Pendekatan ini memungkinkan eksplorasi yang holistik atas sikap bahasa mereka dalam konteks multibahasa yang dinamis.
Bahasa Inggris sebagai Simbol Kesempatan dan Status Global
44,3% responden sangat setuju bahwa Bahasa Inggris penting dipelajari.
50% menyatakan Bahasa Inggris krusial untuk masa depan.
63,4% merasa lebih mudah memahami Bahasa Inggris jika digunakan setiap hari.
Para mahasiswa melihat Bahasa Inggris sebagai:
Alat untuk mengakses pendidikan dan literatur global.
Pintu masuk ke pasar kerja internasional.
Simbol status intelektual dan kecanggihan.
Contohnya, mahasiswa menyatakan bahwa mengikuti konten seperti film, podcast, atau game berbahasa Inggris membantu mereka meningkatkan kemampuan berbahasa dan menyesuaikan diri dengan standar internasional.
Bahasa Indonesia: Simbol Persatuan dan Identitas Nasional
60% sangat setuju bahwa Bahasa Indonesia penting dipelajari.
52,9% merasa penggunaan harian Bahasa Indonesia mempermudah pemahaman.
54,3% merasa berbicara Bahasa Indonesia di kelas meningkatkan kemampuan berbahasa.
Bahasa Indonesia dihargai karena:
Memfasilitasi komunikasi antar suku.
Memperkuat identitas nasional.
Digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dan akademik.
Banyak peserta mengungkapkan kebanggaan bisa berbicara fasih dalam Bahasa Indonesia, karena mencerminkan identitas sebagai warga negara Indonesia.
“Bahasa Indonesia itu jembatan. Tanpa itu, kita tidak bisa saling mengerti di negeri seberagam ini,” kata salah satu mahasiswa asal Sumatera.
Bahasa Daerah: Jejak Budaya yang Ingin Dipertahankan
73% menyatakan bahasa daerah penting.
71,8% menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
80% merasa lebih terhubung dengan budaya leluhur saat menggunakan bahasa warisan mereka.
Namun:
Hanya 14,3% yang sangat setuju bahasa daerah penting untuk masa depan.
35,7% menyatakan tidak yakin dengan nilai praktis bahasa daerah dalam kehidupan profesional.
Persepsi ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa meskipun bahasa daerah dihargai secara emosional dan kultural, penggunaannya terancam oleh tekanan modernisasi dan globalisasi.
Tabel Ringkasan Sikap Bahasa Mahasiswa Teknik
Bahasa Nilai Fungsional Nilai IdentitasTantanganBahasa InggrisTinggi (akses global, karier)Rendah (tidak identitas lokal)Ketimpangan akses belajarBahasa IndonesiaSedang (nasional,akademik)Tinggi (identitasnasional)Terpinggirkan dalam globalisasiBahasa DaerahRendah (fungsi terbatas)Sangat tinggi (akar budaya)Terancam punah
Penelitian ini mencatat berbagai inisiatif mahasiswa untuk mempromosikan trilingualisme (Inggris–Indonesia–Daerah):
Engineering English Club: klub bahasa yang mendorong pembelajaran Bahasa Inggris melalui diskusi dan kegiatan.
Festival Multibahasa: pertunjukan dan pameran budaya dalam berbagai bahasa daerah.
Konten digital: mahasiswa membuat vlog, podcast, dan posting sosial media dalam Bahasa Inggris dan Indonesia.
Tutor Bahasa Online: beberapa mahasiswa menjadi mentor bahasa bagi teman atau komunitas melalui platform daring.
Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya pasif dalam menerima kebijakan bahasa, tapi juga proaktif dalam menciptakan ruang multibahasa yang inklusif.
Analisis dan Opini: Apa Artinya Bagi Pendidikan dan Industri?
1. Implikasi untuk Kurikulum Pendidikan Tinggi
Temuan ini menunjukkan pentingnya:
Menerapkan pendekatan multibahasa dalam pengajaran, tidak hanya fokus pada Bahasa Inggris.
Meningkatkan literasi digital dalam tiga bahasa, karena ketiganya berperan dalam ranah sosial, akademik, dan profesional.
Memasukkan bahasa warisan dalam kegiatan akademik dan nonformal, seperti tugas presentasi atau kegiatan budaya.
2. Relevansi di Dunia Industri
Perusahaan multinasional mencari talenta dengan kompetensi multibahasa.
Bahasa lokal bisa menjadi nilai tambah dalam pemasaran berbasis budaya atau layanan publik.
Perusahaan digital seperti e-commerce atau startup teknologi membutuhkan konten dalam berbagai bahasa untuk menjangkau pasar lokal.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga aset strategis dalam dunia kerja yang makin kompleks.
3. Tantangan yang Perlu Dijawab
Kurangnya dukungan kebijakan institusi untuk pelestarian bahasa daerah.
Ketimpangan akses pembelajaran Bahasa Inggris di luar kampus besar atau kota.
Sikap superioritas linguistik: menganggap satu bahasa lebih unggul bisa merusak semangat inklusivitas.
H2: Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi-studi sebelumnya seperti:
Dragojevic et al. (2021) tentang sikap bahasa sebagai ekspresi kognitif dan emosional.
Manan & Hajar (2022) yang menekankan peran Bahasa Inggris dalam ekonomi neoliberal.
Namun, berbeda dengan Ullah & Ming Yit Ho (2021) yang memprediksi globalisasi akan menghapuskan bahasa daerah. Di sini, para mahasiswa justru menunjukkan upaya pelestarian.
H2: Kesimpulan: Trilingualisme sebagai Jalan Tengah Identitas dan Globalisasi
Sikap bahasa mahasiswa teknik Indonesia mencerminkan keseimbangan antara:
Bahasa Inggris untuk mobilitas global.
Bahasa Indonesia untuk kohesi nasional.
Bahasa daerah sebagai identitas budaya.
Penelitian ini menegaskan bahwa multilingualisme bukan sekadar fenomena linguistik, tetapi juga proyek sosial, ekonomi, dan budaya. Mahasiswa tidak hanya pengguna bahasa pasif, tetapi juga agen perubahan yang mampu memelihara keberagaman sambil tetap adaptif terhadap tantangan global.
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Apa yang dimaksud dengan "valorization" dalam konteks bahasa?
Valorization adalah proses memberi nilai atau penghargaan terhadap suatu bahasa, biasanya terkait identitas, budaya, dan fungsi sosialnya.
Apakah Bahasa Inggris mengancam bahasa lokal?
Bisa iya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kebijakan pendidikan dan budaya diatur. Tanpa pelestarian, bahasa lokal bisa tersingkir.
Apa peran teknologi dalam pelestarian bahasa?
Sangat besar. Platform seperti YouTube, podcast, bahkan TikTok, bisa digunakan untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah.
Sumber Asli Artikel (tanpa link):
Nurlia, V., Indarti, D., & Manara, C. (2025). Language Attitudes and Valorization Among Indonesian Engineering Students. JOLLT Journal of Languages and Language Teaching, 13(1), 268–280.