Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025
Dalam dunia pembangunan infrastruktur modern, skema Public-Private Partnership (PPP) atau kemitraan pemerintah-swasta menjadi salah satu pilihan strategis yang terus berkembang. Namun, keberhasilan PPP sangat bergantung pada satu faktor penting: alokasi dan pembagian risiko (Risk Allocation and Sharing, RAS). Paper yang ditulis oleh Khwaja Mateen Mazher (2025) berjudul “Review of Studies on Risk Allocation and Sharing in Public-Private Partnership Projects for Infrastructure Delivery” merupakan state-of-the-art literature review yang secara sistematis memetakan tren, pendekatan, dan kesenjangan riset dalam studi RAS selama lebih dari dua dekade terakhir. Artikel ini menyisir 80 studi akademik yang terseleksi secara ketat dari tahun 2000 hingga 2023, sehingga menyajikan potret komprehensif tentang bagaimana dunia akademik dan praktik menghadapi tantangan kompleks dalam pembagian risiko pada proyek infrastruktur PPP.
Tren Publikasi dan Negara Dominan dalam Riset PPP
Publikasi Tahunan dan Lonjakan Minat Global
Berdasarkan hasil analisis, lonjakan publikasi riset RAS dalam proyek PPP mulai meningkat signifikan sejak tahun 2010. Dari total 80 artikel yang ditinjau, sebagian besar dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ternama seperti:
Negara Kontributor Terbesar
China mendominasi riset dengan kontribusi 26% dari total studi, diikuti Australia dan Inggris. Hal ini mencerminkan tingkat partisipasi dan pengalaman tinggi negara-negara tersebut dalam pelaksanaan proyek infrastruktur berbasis PPP.
Kategori Infrastruktur dan Kekosongan Penelitian
Sektor transportasi (jalan tol, pelabuhan, bandara) menjadi yang paling banyak diteliti, menyumbang 30 dari 80 studi. Disusul sektor air dan energi. Namun, sektor infrastruktur sosial seperti rumah sakit, penjara, dan perumahan lansia masih sangat minim dijelajahi, menandakan peluang riset yang besar di masa depan.
Metodologi dan Data yang Digunakan dalam Studi RAS
Sebagian besar penelitian menggunakan metode studi kasus (42 studi), diikuti dengan literature review, survei kuesioner, wawancara, dan simulasi Monte Carlo. Dari sisi data, 37,5% menggunakan data primer seperti wawancara dan survei lapangan, 7,5% mengandalkan data sekunder, dan sisanya tidak dijelaskan secara eksplisit.
Klasifikasi Tematik Penelitian RAS dalam PPP
Penelitian RAS dalam PPP dikelompokkan ke dalam lima kategori utama:
1. Preferensi, Praktik, dan Model RAS (49%)
Kategori ini menjadi yang paling dominan. Studi-studi di dalamnya menyoroti persepsi para ahli PPP terhadap pembagian risiko yang adil. Sebagai contoh:
Model yang digunakan dalam analisis ini meliputi Multi-Criteria Decision Making (MCDM), Game Theory, Neuro-Fuzzy Models, hingga Genetic Algorithm, menunjukkan kecanggihan pendekatan kuantitatif dalam memahami keputusan alokasi risiko.
2. Peran Dukungan Pemerintah dan Jaminan (28%)
Pemerintah seringkali memberikan jaminan pendapatan, konversi mata uang asing, serta perlindungan dari risiko politik untuk menarik sektor swasta. Namun, terlalu banyak jaminan dapat membebani anggaran negara dan membuka peluang moral hazard dari swasta.
3. Pembagian Risiko melalui Konsesi dan Tarif (10%)
Studi ini menyoroti pentingnya panjang konsesi dan skema penyesuaian tarif dalam menyelaraskan insentif risiko antara sektor publik dan swasta. Misalnya, terlalu pendeknya masa konsesi membuat proyek tidak menarik bagi investor, sementara terlalu panjang bisa merugikan publik.
4. Penentu Keberhasilan RAS (7%)
Penelitian ini mendalami faktor-faktor teoretis dan praktis yang menentukan alokasi risiko yang efisien. Salah satunya adalah capability-based allocation—prinsip bahwa risiko harus diberikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya. Namun, dalam praktik, prinsip ini sering diabaikan.
5. Pengaruh RAS terhadap Value for Money (VfM) dan Tata Kelola (6%)
Pembagian risiko yang tidak optimal berpotensi mengurangi VfM dan menyebabkan renegosiasi kontrak. Di Amerika Latin dan Portugal, lebih dari 50% kontrak mengalami renegosiasi, menunjukkan lemahnya struktur awal alokasi risiko.
Studi Kasus Terkait Alokasi Risiko
Beberapa studi kasus menonjol yang dibahas dalam paper ini:
Kritik dan Kesenjangan Penelitian
Meski banyak pendekatan telah dikembangkan, peneliti mencatat sejumlah kekosongan dalam literatur:
Kesimpulan: Masa Depan RAS dalam PPP
Makalah ini menegaskan bahwa keberhasilan proyek PPP tidak hanya ditentukan oleh kelayakan finansial dan teknis, tetapi juga pada struktur pembagian risikonya. Studi ini memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana risiko harus dipetakan, dimodelkan, dan ditransfer secara adil untuk mencapai efisiensi dan keberlanjutan proyek.
Secara keseluruhan, Review of Studies on Risk Allocation and Sharing in Public-Private Partnership Projects for Infrastructure Delivery karya Khwaja Mateen Mazher menawarkan panduan strategis bagi akademisi, praktisi, dan pembuat kebijakan untuk meningkatkan praktik RAS dan mendorong reformasi pada proyek-proyek infrastruktur berbasis kemitraan publik-swasta.
Sumber Asli : Mazher, K. M. (2025). Review of studies on risk allocation and sharing in public-private partnership projects for infrastructure delivery. Frontiers in Built Environment, 11:1505891. doi:10.3389/fbuil.2025.1505891.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Produktivitas adalah jantung dari efisiensi ekonomi—dan industri konstruksi telah lama dituduh gagal menjaganya. Dalam artikel mereka yang diterbitkan pada Maret 2023 di Journal of Construction Engineering and Management, Asitha Rathnayake dan Campbell Middleton dari University of Cambridge menyajikan tinjauan sistematis literatur produktivitas konstruksi selama lebih dari tiga dekade. Artikel ini merupakan salah satu kajian paling komprehensif, menelaah 108 studi dari 10 jurnal terbaik. Resensi ini mengurai temuan utama mereka dengan parafrase kritis, analisis tambahan, serta mengaitkannya dengan realita industri dan teknologi saat ini.
Mengapa Produktivitas Konstruksi Itu Penting?
Dengan kontribusi sebesar 13% terhadap PDB global dan menyerap sekitar 7% tenaga kerja dunia (Barbosa et al., 2017), konstruksi adalah industri vital. Namun, data menunjukkan pertumbuhan produktivitasnya jauh tertinggal: hanya 1% per tahun dibandingkan manufaktur yang mencapai 3,6% (Barbosa et al., 2017). Persoalannya bukan hanya stagnasi angka, tetapi dampaknya terhadap keterjangkauan infrastruktur, ketahanan rantai pasok, dan efisiensi proyek.
Fokus Kajian dan Metodologi
Studi ini mengkaji produktivitas konstruksi dalam dua kerangka:
Makro (ekonomi nasional): menggunakan data dari lembaga statistik (BLS, OECD, KLEMS)
Mikro (tingkat proyek atau aktivitas): menggunakan data aktual dari lapangan atau estimasi biaya tenaga kerja
Pencarian data dilakukan via Scopus dengan 211 makalah awal, disaring menjadi 108 artikel relevan. Peneliti memetakan:
Tingkatan analisis (industri, proyek, aktivitas)
Indikator produktivitas (tenaga kerja, multifaktor)
Sumber data (data primer, database industri, estimasi manual)
Temuan Utama dan Analisis Tambahan
1. Tren Produktivitas Konstruksi Global
Salah satu mitos terbesar adalah produktivitas konstruksi menurun secara global. Studi menunjukkan:
Di AS, data BLS menunjukkan penurunan 0,3% per tahun dalam 35 tahun.
Namun, data manual estimasi seperti RSMeans menunjukkan peningkatan 1,2% per tahun (Goodrum et al., 2002).
Perbedaan metode deflasi (pengaruh inflasi) dan pencatatan jam kerja subcontractor menjadi penyebab utama ketidakkonsistenan.
Analisis Tambahan:
Tren ini menggambarkan kesenjangan antara persepsi makroekonomi dan realitas proyek. Dalam industri yang makin padat modal (capital-intensive), labor productivity menjadi indikator yang semakin lemah.
2. Indikator Produktivitas: Mana yang Akurat?
Labor productivity (output per jam kerja) adalah yang paling umum, tetapi sering menyesatkan karena tidak memperhitungkan kontribusi modal dan teknologi.
Multifactor productivity (MFP) mencakup tenaga kerja, peralatan, material, dan energi. Ini memberikan gambaran lebih holistik.
Kritik:
Karena keterbatasan data, MFP jarang digunakan di level mikro. Namun, penulis menyarankan penggunaan kombinasi indikator agar hasil lebih akurat.
3. Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Dari 75 studi, faktor-faktor utama meliputi:
Tenaga kerja (keterampilan, motivasi, absensi)
Peralatan dan teknologi (ketersediaan, otomatisasi)
Jadwal proyek dan koordinasi
Manajer lapangan (supervisor) dan metode kerja
Tambahan Wawasan:
Data menunjukkan bahwa proyek dengan tenaga kerja lebih stabil dan supervisor berpengalaman cenderung memiliki produktivitas lebih tinggi. Ini sejalan dengan riset dari Jarkas & Bitar (2014) yang menekankan pentingnya hubungan interpersonal di lapangan.
4. Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas
Studi ini mengulas beberapa teknologi yang menjanjikan:
Offsite construction: Meningkatkan produktivitas hingga 5,5% per tahun di sektor industri (Eastman & Sacks, 2008)
Building Information Modeling (BIM): Meningkatkan produktivitas hingga 241% dalam satu kasus proyek instalasi pipa (Poirier et al., 2015)
RFID & GPS: Melacak material, mengurangi waktu pencarian hingga 87%
Automated Monitoring: Menggunakan AI dan sensor untuk melacak produktivitas secara real-time
Refleksi Industri:
Penerapan teknologi ini belum merata, terutama di negara berkembang. Namun, tren global menunjukkan arah yang positif.
Kritik Konstruktif dan Implikasi Riset
A. Kelebihan Kajian
Komprehensif: menggabungkan data lintas negara dan metodologi.
Menawarkan klasifikasi baru yang membedakan tingkat spesifikasi dan analisis.
Mengkritisi penggunaan indikator tunggal (labor productivity).
B. Keterbatasan
Masih dominan pada studi di AS (50 dari 108 studi)
Kurangnya database mikro di negara-negara berkembang
Hanya sedikit studi yang mengevaluasi dampak nyata dari teknologi
Studi Kasus Tambahan
Sebuah proyek pembangunan sekolah di Inggris (Jansen van Vuuren & Middleton, 2020) menunjukkan bahwa proyek dengan proporsi pre-manufactured value (PMV) tinggi memiliki produktivitas hingga 30% lebih besar (m2 per jam kerja). Ini menegaskan bahwa prefabrikasi adalah solusi nyata untuk menekan waktu dan biaya konstruksi.
Rekomendasi Praktis
Pemerintah: Dorong pengembangan database produktivitas mikro untuk kebijakan berbasis bukti.
Kontraktor: Kombinasikan BIM, prefabrikasi, dan pelatihan tenaga kerja untuk optimalisasi produktivitas.
Akademisi: Lanjutkan riset longitudinal terhadap produktivitas lintas sektor dan negara.
Kesimpulan
Rathnayake dan Middleton berhasil menyajikan peta besar produktivitas konstruksi global, lengkap dengan tantangan dan peluangnya. Artikel ini menekankan bahwa peningkatan produktivitas tidak bisa diukur dengan satu indikator semata. Dibutuhkan pendekatan multidimensi—menggabungkan teknologi, data mikro, dan pemahaman kontekstual proyek.
Sebagai catatan penutup, industri konstruksi akan sulit berevolusi jika terus mengandalkan indikator lama. Untuk mencapai revolusi produktivitas, seperti yang dibayangkan McKinsey, dibutuhkan sinergi antara data, desain, dan digitalisasi.
Sumber:
Rathnayake, A., & Middleton, C. (2023). Systematic Review of the Literature on Construction Productivity. Journal of Construction Engineering and Management. DOI: 10.1061/JCEMD4.COENG-13045
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025
Di tengah pesatnya pertumbuhan industri teknologi dan transformasi digital global, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain dalam Global Software Development (GSD) semakin mendapat sorotan. Paper berjudul “Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective” oleh Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di ranah global. Penelitian ini tidak hanya menyajikan daftar kompetensi, tetapi juga menyusun pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan menggunakan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasilnya sangat relevan, baik untuk kebijakan pendidikan, pengembangan talenta digital, maupun strategi ekspor layanan IT Indonesia.
Latar Belakang: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam GSD
Global Software Development telah menjadi norma baru dalam industri IT sejak awal 1990-an, memungkinkan kolaborasi lintas negara dalam pengembangan perangkat lunak. Negara-negara seperti India, China, dan Filipina telah lama menjadi pemain utama. Sementara itu, Indonesia, meski memiliki potensi besar, belum sepenuhnya diakui sebagai pemain utama GSD. Padahal, menurut Kearney Global Services Location Index 2019, Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 50 negara tujuan outsourcing. Namun, rendahnya peringkat Indonesia dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020 mengindikasikan lemahnya kapabilitas SDM digital, khususnya dalam kompetensi software engineering.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Literatur dan AHP
Penulis menggunakan pendekatan literatur dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk mengidentifikasi dan mengurutkan kompetensi penting. Sebanyak 6.693 artikel disaring, dan melalui proses bertahap, hanya 27 yang relevan dijadikan referensi utama. Dari situ, dirumuskan 40 sub-kompetensi yang dikelompokkan ke dalam delapan kriteria utama—empat hard competencies dan empat soft competencies.
Kriteria tersebut antara lain:
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada lima pakar GSD dan software engineering dari berbagai institusi di Indonesia. Skor kepentingan diberikan melalui metode perbandingan berpasangan, lalu diproses menggunakan rumus AHP.
Hasil: Ranking Kompetensi dan Clustering
Dari hasil analisis AHP, diperoleh bobot global dari masing-masing sub-kompetensi. Tiga sub-kompetensi tertinggi berada pada kategori Programming Techniques, yaitu:
Sementara sub-kompetensi dengan bobot terendah terdapat pada kategori Collaboration and Knowledge Management, yaitu:
Menariknya, dari 40 sub-kompetensi yang disusun secara global, tak ada dominasi mutlak antara hard dan soft competencies. Meski hard competencies menempati posisi teratas, soft competencies seperti kemampuan memahami budaya kerja lintas negara, membangun kepercayaan dalam tim, dan kemampuan komunikasi global juga berada dalam 10 besar.
Berikut adalah lima kluster kompetensi yang dihasilkan:
Kluster 1 (Kompetensi Paling Esensial)
Kluster 2 (Sangat Penting)
Kluster 3 (Penting)
Kluster 4 (Cukup Penting)
Kluster 5 (Penting tapi Tidak Mendesak)
Studi Kasus: Analisis Kekuatan dan Kelemahan Engineer Indonesia
Dari pengamatan pakar dan hasil pemeringkatan, diketahui bahwa software engineer Indonesia cukup kuat dalam soft competencies, terutama pada aspek kolaborasi dan pemahaman budaya. Hal ini tak mengherankan mengingat karakter sosial dan budaya kerja kolektif di Indonesia.
Namun, tantangan besar terletak pada aspek teknis, terutama:
Rendahnya skor pada aspek-aspek ini menunjukkan perlunya peningkatan kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan industri, dan pengalaman proyek nyata agar engineer Indonesia mampu bersaing dengan engineer dari India, Filipina, dan Vietnam.
Implikasi Kebijakan dan Strategi
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi berbagai pihak:
Perbandingan dengan Studi Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Saldaña-Ramos et al. (2014) yang juga menyusun kompetensi untuk GSD, pendekatan paper ini lebih menyeluruh karena memadukan AHP dan kontekstualisasi lokal (Indonesia). Paper ini juga lebih aplikatif karena tidak hanya memberikan deskripsi, tapi juga prioritas pengembangan.
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan:
Kekurangan:
Penutup dan Rekomendasi
Artikel ini berhasil menjawab kebutuhan mendesak dalam pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di kancah global. Dengan metodologi yang solid dan hasil yang aplikatif, studi ini menjadi referensi penting bagi strategi pengembangan SDM digital nasional.
Namun, untuk meningkatkan daya saing, langkah lanjutan seperti pelibatan responden lintas negara, penerapan hasil dalam bentuk pelatihan dan program pendidikan, serta pengukuran dampak setelah implementasi sangat disarankan.
Pengembangan ke depan dapat diarahkan pada pemetaan kompetensi dalam tim Agile (Scrum), yang kini menjadi standar dalam proyek GSD. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai “the next India” dalam outsourcing IT, maka investasi pada pengembangan hard competencies mutlak diperlukan.
Sumber asli artikel: Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari. "Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective." Tehnički vjesnik 29, 2(2022), 683–691.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 April 2025
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan bahasa luar biasa: lebih dari 700 bahasa daerah hidup berdampingan dengan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan Bahasa Inggris sebagai bahasa global. Di tengah kompleksitas ini, muncul pertanyaan penting: bagaimana mahasiswa teknik—calon profesional masa depan—menyikapi peran masing-masing bahasa dalam kehidupan mereka?
Artikel "Language Attitudes and Valorization Among Indonesian Engineering Students" menggali pertanyaan ini dengan pendekatan kualitatif mendalam. Penelitian ini menyoroti bagaimana mahasiswa teknik memaknai Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan bahasa warisan (heritage language) seperti Jawa, Sunda, atau Batak, dalam konteks akademik, sosial, dan budaya.
70 mahasiswa teknik melalui kuesioner.
10 peserta wawancara mendalam untuk memperkaya konteks.
Responden berasal dari berbagai latar belakang etnis dan bahasa daerah.
Pendekatan ini memungkinkan eksplorasi yang holistik atas sikap bahasa mereka dalam konteks multibahasa yang dinamis.
Bahasa Inggris sebagai Simbol Kesempatan dan Status Global
44,3% responden sangat setuju bahwa Bahasa Inggris penting dipelajari.
50% menyatakan Bahasa Inggris krusial untuk masa depan.
63,4% merasa lebih mudah memahami Bahasa Inggris jika digunakan setiap hari.
Para mahasiswa melihat Bahasa Inggris sebagai:
Alat untuk mengakses pendidikan dan literatur global.
Pintu masuk ke pasar kerja internasional.
Simbol status intelektual dan kecanggihan.
Contohnya, mahasiswa menyatakan bahwa mengikuti konten seperti film, podcast, atau game berbahasa Inggris membantu mereka meningkatkan kemampuan berbahasa dan menyesuaikan diri dengan standar internasional.
Bahasa Indonesia: Simbol Persatuan dan Identitas Nasional
60% sangat setuju bahwa Bahasa Indonesia penting dipelajari.
52,9% merasa penggunaan harian Bahasa Indonesia mempermudah pemahaman.
54,3% merasa berbicara Bahasa Indonesia di kelas meningkatkan kemampuan berbahasa.
Bahasa Indonesia dihargai karena:
Memfasilitasi komunikasi antar suku.
Memperkuat identitas nasional.
Digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dan akademik.
Banyak peserta mengungkapkan kebanggaan bisa berbicara fasih dalam Bahasa Indonesia, karena mencerminkan identitas sebagai warga negara Indonesia.
“Bahasa Indonesia itu jembatan. Tanpa itu, kita tidak bisa saling mengerti di negeri seberagam ini,” kata salah satu mahasiswa asal Sumatera.
Bahasa Daerah: Jejak Budaya yang Ingin Dipertahankan
73% menyatakan bahasa daerah penting.
71,8% menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
80% merasa lebih terhubung dengan budaya leluhur saat menggunakan bahasa warisan mereka.
Namun:
Hanya 14,3% yang sangat setuju bahasa daerah penting untuk masa depan.
35,7% menyatakan tidak yakin dengan nilai praktis bahasa daerah dalam kehidupan profesional.
Persepsi ini menunjukkan adanya kekhawatiran bahwa meskipun bahasa daerah dihargai secara emosional dan kultural, penggunaannya terancam oleh tekanan modernisasi dan globalisasi.
Tabel Ringkasan Sikap Bahasa Mahasiswa Teknik
Bahasa Nilai Fungsional Nilai IdentitasTantanganBahasa InggrisTinggi (akses global, karier)Rendah (tidak identitas lokal)Ketimpangan akses belajarBahasa IndonesiaSedang (nasional,akademik)Tinggi (identitasnasional)Terpinggirkan dalam globalisasiBahasa DaerahRendah (fungsi terbatas)Sangat tinggi (akar budaya)Terancam punah
Penelitian ini mencatat berbagai inisiatif mahasiswa untuk mempromosikan trilingualisme (Inggris–Indonesia–Daerah):
Engineering English Club: klub bahasa yang mendorong pembelajaran Bahasa Inggris melalui diskusi dan kegiatan.
Festival Multibahasa: pertunjukan dan pameran budaya dalam berbagai bahasa daerah.
Konten digital: mahasiswa membuat vlog, podcast, dan posting sosial media dalam Bahasa Inggris dan Indonesia.
Tutor Bahasa Online: beberapa mahasiswa menjadi mentor bahasa bagi teman atau komunitas melalui platform daring.
Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya pasif dalam menerima kebijakan bahasa, tapi juga proaktif dalam menciptakan ruang multibahasa yang inklusif.
Analisis dan Opini: Apa Artinya Bagi Pendidikan dan Industri?
1. Implikasi untuk Kurikulum Pendidikan Tinggi
Temuan ini menunjukkan pentingnya:
Menerapkan pendekatan multibahasa dalam pengajaran, tidak hanya fokus pada Bahasa Inggris.
Meningkatkan literasi digital dalam tiga bahasa, karena ketiganya berperan dalam ranah sosial, akademik, dan profesional.
Memasukkan bahasa warisan dalam kegiatan akademik dan nonformal, seperti tugas presentasi atau kegiatan budaya.
2. Relevansi di Dunia Industri
Perusahaan multinasional mencari talenta dengan kompetensi multibahasa.
Bahasa lokal bisa menjadi nilai tambah dalam pemasaran berbasis budaya atau layanan publik.
Perusahaan digital seperti e-commerce atau startup teknologi membutuhkan konten dalam berbagai bahasa untuk menjangkau pasar lokal.
Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tapi juga aset strategis dalam dunia kerja yang makin kompleks.
3. Tantangan yang Perlu Dijawab
Kurangnya dukungan kebijakan institusi untuk pelestarian bahasa daerah.
Ketimpangan akses pembelajaran Bahasa Inggris di luar kampus besar atau kota.
Sikap superioritas linguistik: menganggap satu bahasa lebih unggul bisa merusak semangat inklusivitas.
H2: Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi-studi sebelumnya seperti:
Dragojevic et al. (2021) tentang sikap bahasa sebagai ekspresi kognitif dan emosional.
Manan & Hajar (2022) yang menekankan peran Bahasa Inggris dalam ekonomi neoliberal.
Namun, berbeda dengan Ullah & Ming Yit Ho (2021) yang memprediksi globalisasi akan menghapuskan bahasa daerah. Di sini, para mahasiswa justru menunjukkan upaya pelestarian.
H2: Kesimpulan: Trilingualisme sebagai Jalan Tengah Identitas dan Globalisasi
Sikap bahasa mahasiswa teknik Indonesia mencerminkan keseimbangan antara:
Bahasa Inggris untuk mobilitas global.
Bahasa Indonesia untuk kohesi nasional.
Bahasa daerah sebagai identitas budaya.
Penelitian ini menegaskan bahwa multilingualisme bukan sekadar fenomena linguistik, tetapi juga proyek sosial, ekonomi, dan budaya. Mahasiswa tidak hanya pengguna bahasa pasif, tetapi juga agen perubahan yang mampu memelihara keberagaman sambil tetap adaptif terhadap tantangan global.
Pertanyaan yang Sering Diajukan
Apa yang dimaksud dengan "valorization" dalam konteks bahasa?
Valorization adalah proses memberi nilai atau penghargaan terhadap suatu bahasa, biasanya terkait identitas, budaya, dan fungsi sosialnya.
Apakah Bahasa Inggris mengancam bahasa lokal?
Bisa iya, bisa tidak. Tergantung bagaimana kebijakan pendidikan dan budaya diatur. Tanpa pelestarian, bahasa lokal bisa tersingkir.
Apa peran teknologi dalam pelestarian bahasa?
Sangat besar. Platform seperti YouTube, podcast, bahkan TikTok, bisa digunakan untuk menghidupkan kembali bahasa-bahasa daerah.
Sumber Asli Artikel (tanpa link):
Nurlia, V., Indarti, D., & Manara, C. (2025). Language Attitudes and Valorization Among Indonesian Engineering Students. JOLLT Journal of Languages and Language Teaching, 13(1), 268–280.