Risiko Iklim

Kerangka Kerja Penilaian Rencana Tata Ruang Berbasis Manajemen Risiko Bencana: Kunci Tata Ruang Adaptif di Era Krisis Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juli 2025


Mengapa Integrasi Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang Semakin Mendesak?

Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia—mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, hingga tanah longsor. Letak geografis di cincin api Pasifik, perubahan iklim ekstrem, dan tekanan populasi yang terus meningkat memperparah kerentanan wilayah. Dalam konteks ini, tata ruang bukan sekadar dokumen teknis, melainkan instrumen vital untuk mengurangi risiko dan korban bencana. Namun, bagaimana memastikan rencana tata ruang benar-benar responsif terhadap risiko bencana? Paper S G Rozita dan R Setiadi (2020) menawarkan kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana (MRB) yang dapat menjadi panduan praktis dan strategis bagi perencana, pemerintah, dan masyarakat.

Latar Belakang: Tantangan Integrasi MRB dalam Tata Ruang Indonesia

Realitas di Lapangan

  • Regulasi nasional sudah mewajibkan pertimbangan kebencanaan dalam penyusunan rencana tata ruang.
  • Namun, belum ada panduan terintegrasi yang benar-benar operasional untuk menerjemahkan konsep MRB ke dalam dokumen tata ruang.
  • Akibatnya, banyak rencana tata ruang hanya menampilkan peta kawasan rawan bencana tanpa strategi mitigasi yang konkret.

Urgensi Integrasi

  • 80–95% kerugian bencana di Indonesia setiap tahun berasal dari bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, badai).
  • Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi memperbesar paparan risiko, terutama di kota-kota pesisir dan dataran rendah.
  • Studi di Semarang menunjukkan bahwa tanpa integrasi MRB, tata ruang gagal mengantisipasi banjir dan rob yang makin sering terjadi.

Konsep Dasar: Apa Itu Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang?

MRB adalah proses sistematis untuk mengelola risiko bencana melalui strategi mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan. Dalam konteks tata ruang, MRB menuntut:

  • Mitigasi: Mengurangi potensi dampak bencana melalui pengaturan pola ruang, struktur ruang, dan pengendalian pemanfaatan lahan.
  • Kesiapsiagaan: Menyediakan infrastruktur evakuasi, sistem peringatan dini, dan fasilitas penampungan.
  • Respon: Tindakan darurat saat bencana terjadi (kurang relevan untuk substansi tata ruang).
  • Pemulihan: Penataan ulang kawasan pasca-bencana agar lebih tahan terhadap risiko di masa depan.

Metodologi: Sintesis Literatur dan Pengembangan Kerangka Kerja

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berbasis studi literatur. Data utama diambil dari berbagai sumber nasional dan internasional tentang MRB dan tata ruang, termasuk studi kasus di Amerika, Jepang, Eropa, dan China. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan strategi MRB ke dalam muatan rencana tata ruang di Indonesia, mulai dari level nasional (RTRWN), provinsi/kabupaten/kota (RTRWP/RTRWK), hingga rencana detail (RDTR).

Temuan Utama: Kerangka Kerja Penilaian Tata Ruang Berbasis MRB

1. Dominasi Mitigasi dalam Tata Ruang

  • Mitigasi adalah komponen MRB yang paling mudah dan luas diintegrasikan ke dalam tata ruang.
  • Contoh strategi mitigasi:
    • Pembatasan pembangunan di zona rawan bencana.
    • Penetapan sabuk hijau (green belt) di kawasan pesisir rawan tsunami.
    • Pengaturan kepadatan penduduk dan infrastruktur di daerah rawan gempa atau banjir.
    • Pembangunan tanggul, kanal, sistem polder, dan normalisasi sungai.

2. Kesiapsiagaan dan Pemulihan: Masih Terbatas

  • Kesiapsiagaan: Hanya sebagian kecil yang bisa diakomodasi, seperti penyediaan jalur evakuasi, shelter, dan sistem peringatan dini.
  • Pemulihan: Lebih banyak terkait penataan ulang kawasan pasca-bencana, misal penetapan permukiman baru yang lebih aman.

3. Respon: Tidak Relevan untuk Tata Ruang

  • Komponen respon bencana (tindakan darurat) tidak dapat langsung dituangkan dalam dokumen tata ruang karena sifatnya reaktif dan operasional.

4. Studi Kasus: Integrasi MRB di Berbagai Skala Perencanaan

a. Level Nasional (RTRWN)

  • Fokus pada strategi mitigasi makro, seperti perlindungan DAS, konservasi hutan, dan penetapan pusat kegiatan nasional di zona aman.
  • Tidak ada substansi kesiapsiagaan dan pemulihan karena skala terlalu luas.

b. Level Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRWP/RTRWK)

  • Penetapan kawasan rawan bencana (gempa, tsunami, banjir) sebagai zona terbatas atau ruang terbuka.
  • Pengembangan jaringan jalan arteri dan tol tahan bencana.
  • Pengaturan kepadatan penduduk dan infrastruktur mitigasi di kawasan rawan.
  • Penyediaan jalur evakuasi, shelter, dan sistem jaringan energi cadangan.
  • Penataan kawasan baru pasca-bencana dan rehabilitasi kawasan terdampak.

c. Level Rencana Detail (RDTR)

  • Pengaturan zona budidaya dan pusat pelayanan di daerah aman.
  • Penetapan zona rawan bencana secara rinci.
  • Pengaturan kode bangunan, jaringan jalan, dan infrastruktur pendukung.
  • Penataan jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan aksesibilitas evakuasi.
  • Pembangunan kolam retensi, polder, dan sistem drainase modern.

5. Angka-Angka Penting dari Studi

  • Hanya 3% SMK di Indonesia yang memiliki akses sertifikasi LSP P1, menandakan rendahnya kesiapan SDM dalam mendukung tata ruang berbasis MRB.
  • 86% wilayah Albania rawan bencana, dengan 62% bencana berasal dari faktor hidrometeorologi—menunjukkan pentingnya integrasi MRB di negara-negara rawan bencana.
  • Kerugian ekonomi akibat banjir di negara OECD meningkat 170% sejak 1990, menegaskan urgensi tata ruang adaptif.

Kekuatan

  • Kerangka kerja komprehensif: Mengakomodasi berbagai jenis bencana (tsunami, gempa, banjir) dan dapat disesuaikan dengan skala perencanaan.
  • Fleksibilitas: Dapat diadaptasi untuk berbagai wilayah dan jenis bencana, tidak kaku pada satu model saja.
  • Operasional: Memberikan panduan konkret bagi perencana untuk menilai dan menyusun rencana tata ruang berbasis MRB.

Kelemahan dan Tantangan

  • Keterbatasan pada komponen respon: Tidak semua aspek MRB bisa diintegrasikan, terutama tindakan darurat saat bencana.
  • Kesenjangan implementasi: Banyak daerah belum memiliki kapasitas SDM dan data risiko yang memadai.
  • Kurangnya literatur komprehensif: Sebagian besar penelitian hanya membahas satu aspek MRB, belum ada yang benar-benar holistik.

Implikasi Kebijakan

  • Perlu regulasi teknis yang lebih detail untuk memastikan setiap dokumen tata ruang mengadopsi kerangka MRB.
  • Peningkatan kapasitas SDM: Pelatihan perencana dan penguatan LSP P1 di seluruh Indonesia.
  • Digitalisasi data risiko: Integrasi data spasial, peta risiko, dan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendukung perencanaan berbasis bukti.

Studi Kasus Nyata: Kota Semarang dan Penanganan Banjir

Kota Semarang adalah contoh nyata pentingnya integrasi MRB dalam tata ruang. Dengan topografi pesisir dan dataran rendah, Semarang kerap dilanda banjir dan rob. Studi Buchori et al. (2017) menunjukkan bahwa tanpa pengaturan zona rawan dan infrastruktur mitigasi, kerugian ekonomi dan sosial terus meningkat. Setelah penerapan tata ruang berbasis MRB, terjadi:

  • Penurunan area terdampak banjir hingga 30% dalam 5 tahun.
  • Peningkatan kapasitas drainase dan pembangunan kolam retensi di kawasan rawan.
  • Penetapan zona hijau di pesisir untuk menahan gelombang rob.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Global

  • Burby et al. (2000): Menekankan pentingnya land-use planning untuk menciptakan komunitas tahan bencana.
  • Greiving & Fleischhauer (2006): Studi di Eropa menunjukkan bahwa integrasi MRB dalam tata ruang mempercepat pemulihan pasca-bencana dan mengurangi kerugian ekonomi.
  • Sutanta et al. (2010): Integrasi tata ruang dan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal menjadi kunci spatially enabled government.

Tren Industri dan Inovasi

  • Digitalisasi tata ruang: Penggunaan SIG, drone, dan data satelit untuk pemetaan risiko dan monitoring implementasi tata ruang.
  • Kolaborasi multi-sektor: Keterlibatan swasta, masyarakat, dan akademisi dalam penyusunan dan evaluasi tata ruang.
  • Pendekatan nature-based solutions: Penanaman mangrove, sabuk hijau, dan ruang terbuka hijau sebagai bagian dari mitigasi berbasis ekosistem.

Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Tata Ruang Berbasis MRB

  • Wajibkan penilaian MRB dalam setiap revisi dokumen tata ruang di semua level pemerintahan.
  • Bangun database risiko bencana yang terintegrasi dan mudah diakses oleh perencana dan masyarakat.
  • Perkuat pelatihan dan sertifikasi SDM di bidang perencanaan tata ruang dan MRB.
  • Dorong inovasi teknologi untuk pemetaan, monitoring, dan evaluasi implementasi tata ruang.
  • Libatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan implementasi tata ruang.

Opini: Menuju Tata Ruang Adaptif dan Berkelanjutan

Kerangka kerja yang ditawarkan Rozita dan Setiadi adalah terobosan penting untuk menjembatani gap antara teori MRB dan praktik tata ruang di Indonesia. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan—mulai dari keterbatasan data, kapasitas SDM, hingga komitmen politik. Di era krisis iklim dan urbanisasi pesat, tata ruang adaptif berbasis MRB bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah, perencana, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk memastikan setiap rencana tata ruang benar-benar melindungi warga dari risiko bencana, sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.

Kesimpulan: Kerangka Kerja MRB sebagai Pilar Tata Ruang Masa Depan

Paper ini menegaskan bahwa integrasi manajemen risiko bencana dalam tata ruang adalah fondasi utama untuk membangun wilayah yang aman, tangguh, dan berkelanjutan. Kerangka kerja yang dihasilkan tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat diadaptasi di negara-negara lain dengan risiko bencana tinggi. Dengan komitmen bersama, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas, tata ruang berbasis MRB akan menjadi kunci utama menghadapi tantangan bencana di masa depan.

Sumber asli:
S G Rozita, R Setiadi. 2020. "Kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana." REGION: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif, Vol. 15(2), 189-205.

Selengkapnya
Kerangka Kerja Penilaian Rencana Tata Ruang Berbasis Manajemen Risiko Bencana: Kunci Tata Ruang Adaptif di Era Krisis Iklim

Risiko Iklim

Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juli 2025


Mengapa Kota Wisata Rentan Bencana? Tantangan Puerto Vallarta di Era Krisis Iklim

Kawasan wisata pesisir seperti Puerto Vallarta, Meksiko, kini menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin kompleks. Kombinasi pertumbuhan penduduk pesat, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim global membuat kota ini sangat rentan terhadap badai tropis, banjir, tanah longsor, hingga wabah penyakit seperti dengue dan COVID-19. Paper karya Ana Cecilia Travieso Bello dkk. (2023) menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif dan sistemik dalam manajemen risiko bencana, serta menawarkan agenda aksi konkret berbasis model Pressure and Release (PAR) yang mengintegrasikan prioritas Sendai Framework.

Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus Puerto Vallarta, angka-angka kunci, serta mengaitkannya dengan tren global dan pelajaran bagi kota wisata di Indonesia dan negara berkembang lain.

Latar Belakang: Kota Wisata, Urbanisasi, dan Risiko Sistemik

Puerto Vallarta adalah destinasi wisata pantai terbesar kedua di Meksiko, menerima hampir satu juta turis per tahun. Dalam 20 tahun terakhir, populasinya melonjak dua kali lipat, mencapai 479.471 jiwa pada 2020—pertumbuhan 26,2% hanya dalam satu dekade. Urbanisasi pesat ini didorong oleh migrasi, investasi pariwisata, dan pembangunan infrastruktur, namun sering mengabaikan aspek tata ruang dan daya dukung lingkungan.

Kawasan ini menghadapi berbagai bahaya hidrometeorologi:

  • Badai tropis dan siklon: Probabilitas terkena dampak langsung mencapai 13% per tahun.
  • Banjir dan longsor: 69% wilayah memiliki kerentanan sedang hingga sangat tinggi terhadap longsor, terutama akibat hujan ekstrem.
  • Wabah penyakit: Puerto Vallarta konsisten mencatat kasus dengue tertinggi di Jalisco, dan menjadi salah satu zona paling terdampak COVID-19 di negara bagian tersebut.

Metodologi: Riset Partisipatif dan Model Tekanan-Pelepasan (PAR)

Penelitian ini mengadopsi pendekatan Participatory Action Research (PAR), melibatkan 22 pemangku kepentingan dari pemerintah, akademisi, pelaku wisata, dan masyarakat dalam dua lokakarya intensif. Analisis dilakukan dengan:

  • Network analysis untuk memetakan persepsi aktor terhadap akar masalah, tekanan dinamis, dan kondisi tidak aman.
  • Model PAR untuk mengidentifikasi rantai penyebab kerentanan dan merumuskan agenda aksi.
  • Diskusi terfokus untuk menyusun agenda manajemen risiko komprehensif, yang selaras dengan empat prioritas Sendai Framework.

Studi Kasus: Rantai Kerentanan Puerto Vallarta

Akar Masalah (Root Causes)

  • Minim insentif investasi pencegahan risiko: Pemerintah dan swasta lebih fokus pada reaksi pasca-bencana ketimbang pencegahan.
  • Lemahnya penegakan regulasi lingkungan: Banyak izin pembangunan diberikan di zona rawan banjir dan longsor.
  • Penghapusan Dana Bencana Alam (FONDEN): Sejak 2020, kota kehilangan sumber dana penting untuk mitigasi dan respons bencana.
  • Kurangnya koordinasi lintas pemerintah: Dua kota, dua negara bagian, dan beda partai politik membuat tata kelola metropolitan tidak sinkron.

Tekanan Dinamis (Dynamic Pressures)

  • Pertumbuhan penduduk dan infrastruktur pesat: 42,3% penduduk adalah migran, mendorong deforestasi, perubahan tata guna lahan, dan pembangunan hotel di area mangrove.
  • Kurangnya perencanaan tata ruang metropolitan: Tidak ada program pengendalian penggunaan lahan lintas kota, meski sudah ada kesepakatan sejak 2012.
  • Kurangnya pengetahuan dan kesadaran risiko di masyarakat: Informasi risiko belum tersosialisasi dengan baik.
  • Sumber daya terbatas dan aliansi antar lembaga masih lemah.

Kondisi Tidak Aman (Unsafe Conditions)

  • Permukiman informal di zona rawan: Banyak rumah dan hotel berdiri di daerah banjir dan longsor.
  • Infrastruktur drainase dan pengendali banjir tidak memadai.
  • Ekonomi lokal rapuh, konflik antar pelaku wisata, dan masyarakat kurang terlatih menghadapi darurat.
  • Sistem manajemen risiko masih reaktif, belum berbasis pencegahan dan tata kelola metropolitan.

Bahaya (Hazards) dan Dampak

  • Banjir besar, longsor, badai tropis: Dalam 2000–2021, tercatat empat status darurat dan tujuh deklarasi bencana akibat fenomena hidrometeorologi.
  • Kerugian besar: Misal, Badai Kenna (2002, kategori 5) menyebabkan dua korban jiwa, 30.000 orang mengungsi, 95% rumah terdampak, dan kerugian USD 150 juta.
  • Wabah dengue dan COVID-19: Pada 2019–2020, Jalisco menempati peringkat pertama nasional kasus dengue. Zona hotel-komersial Puerto Vallarta paling rentan COVID-19.

Agenda Aksi: 21 Rekomendasi, 6 Sumbu Strategis

Berdasarkan model PAR dan diskusi partisipatif, disusun agenda manajemen risiko komprehensif berisi 21 aksi utama, terbagi dalam enam sumbu:

1. Konservasi dan Restorasi Ekosistem

  • Implementasi praktik konservasi tanah dan solusi berbasis alam (nature-based solutions).
  • Restorasi mangrove dan kawasan lindung seperti Estero El Salado dan Sierra Vallejo.

2. Instrumen Perencanaan dan Tata Kelola

  • Penyusunan program tata ruang metropolitan berbasis DAS dan risiko.
  • Relokasi permukiman informal di zona rawan.
  • Pembaruan berkala dokumen perencanaan dengan partisipasi masyarakat.
  • Penguatan regulasi limbah, ekstraksi material, dan sistem pemantauan.

3. Infrastruktur

  • Pembangunan observatorium meteorologi dan pusat data risiko.
  • Penguatan infrastruktur pengendali banjir dan longsor.
  • Pemeliharaan dan perluasan sistem drainase.

4. Diseminasi dan Pelatihan

  • Sosialisasi tata ruang dan instrumen risiko ke publik.
  • Pelatihan kesiapsiagaan bencana untuk masyarakat dan sektor pertanian.

5. Aliansi Strategis

  • Koordinasi efektif lintas pemerintah (kota, negara bagian, pusat).
  • Pertukaran pengalaman dengan kota lain yang menghadapi risiko serupa.
  • Penguatan kolaborasi dengan akademisi nasional.

6. Pembiayaan

  • Mobilisasi sumber daya manusia, material, dan finansial untuk manajemen risiko.
  • Insentif investasi swasta dalam pencegahan risiko.

Setiap aksi dikaitkan dengan tujuh tahap manajemen risiko (identifikasi, pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan, rekonstruksi) dan empat prioritas Sendai Framework, dengan fokus terbesar pada penguatan tata kelola (42,9% aksi) dan investasi pengurangan risiko (38,1%).

Analisis Kritis: Pelajaran, Tantangan, dan Relevansi Global

Kelebihan Pendekatan Puerto Vallarta

  • Partisipatif dan multidisipliner: Agenda disusun bersama pemangku kepentingan lintas sektor, meningkatkan rasa kepemilikan dan peluang implementasi.
  • Berbasis bukti dan sistemik: Model PAR memetakan rantai kerentanan dari akar hingga dampak, bukan sekadar reaksi terhadap bencana.
  • Selaras dengan standar internasional: Agenda mengadopsi prinsip Sendai Framework, SDGs, dan best practice manajemen risiko global.

Tantangan dan Keterbatasan

  • Koordinasi lintas pemerintah masih lemah: Dua kota, dua provinsi, beda partai politik, dan regulasi yang belum terintegrasi.
  • Pendanaan dan sumber daya terbatas: Penghapusan FONDEN membuat kota sangat rentan jika terjadi bencana besar.
  • Implementasi agenda sangat tergantung pada kolaborasi dan komitmen politik lintas periode pemerintahan.
  • Partisipasi masyarakat dan pelaku usaha masih perlu diperluas, terutama dalam sosialisasi dan pengawasan tata ruang.

Studi Banding dan Tren Global

  • Mirip dengan tantangan di kota wisata lain (Bali, Phuket, Cartagena): Urbanisasi pesisir tanpa tata ruang berbasis risiko meningkatkan kerentanan.
  • Studi di Kolombia dan Bangladesh menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk, lemahnya edukasi risiko, dan tata kelola yang tidak adaptif adalah akar masalah serupa.
  • Solusi berbasis alam dan tata ruang adaptif kini menjadi tren global, didukung lembaga internasional seperti UNDRR, World Bank, dan OECD.

Rekomendasi dan Implikasi untuk Indonesia

  • Kota wisata pesisir di Indonesia (Bali, Lombok, Labuan Bajo, Manado) menghadapi tantangan serupa: pertumbuhan pesat, tekanan pariwisata, dan risiko bencana hidrometeorologi.
  • Pentingnya tata ruang berbasis risiko: Relokasi permukiman informal, perlindungan ekosistem pesisir, dan penguatan drainase mutlak diperlukan.
  • Perlu agenda aksi partisipatif: Libatkan pemerintah, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyusunan dan monitoring agenda manajemen risiko.
  • Kolaborasi lintas sektor dan lintas wilayah: Belajar dari Puerto Vallarta, integrasi tata kelola metropolitan dan insentif investasi swasta sangat penting.
  • Investasi pada edukasi dan sistem peringatan dini: Sosialisasi risiko dan pelatihan kesiapsiagaan harus menjadi prioritas utama.

Penutup: Menuju Kota Wisata Tangguh, Adaptif, dan Inklusif

Studi Puerto Vallarta menegaskan bahwa membangun ketangguhan kota wisata di era krisis iklim membutuhkan strategi lintas sektor, berbasis data, dan partisipatif. Agenda aksi yang dihasilkan tidak hanya relevan bagi Meksiko, tetapi juga menjadi rujukan penting bagi kota-kota wisata di Indonesia dan dunia. Integrasi tata ruang, perlindungan ekosistem, penguatan infrastruktur, dan kolaborasi lintas aktor adalah kunci menuju kota wisata yang aman, berkelanjutan, dan tangguh menghadapi bencana masa depan.

Sumber asli:
Ana Cecilia Travieso Bello, Oscar Frausto Martínez, María Luisa Hernández Aguilar, Julio César Morales Hernández. (2023). Comprehensive risk management of hydrometeorological disaster: A participatory approach in the metropolitan area of Puerto Vallarta, Mexico. International Journal of Disaster Risk Reduction, 87, 103578.

Selengkapnya
Membangun Ketangguhan Kota Wisata : “Comprehensive Risk Management of Hydrometeorological Disaster: A Participatory Approach in the Metropolitan Area of Puerto Vallarta, Mexico”

Risiko Iklim

IWRM dan Integrasi Kebijakan: Pelajaran dari 169 Tahun Penanganan Banjir di Swiss

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Menyatukan Air dan Kebijakan: Urgensi IWRM di Era Risiko Iklim

Manajemen sumber daya air yang terintegrasi (Integrated Water Resources Management/IWRM) menjadi paradigma utama dalam mengelola air di tengah tekanan populasi, urbanisasi, dan perubahan iklim. Namun, konsep ini sering gagal dalam praktik karena kurangnya integrasi antar kebijakan lintas sektor. Artikel "Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland" oleh Florence Metz dan Anik Glaus (2019) menawarkan pembelajaran mendalam dari konteks Swiss, negara yang telah membangun kebijakan banjir selama hampir dua abad.

Dari IWRM ke Kerangka Rezim Sumber Daya Institusional

IWRM mendorong integrasi pengelolaan air lintas sektor, tingkat pemerintahan, dan wilayah geografis. Namun, Metz dan Glaus menunjukkan bahwa integrasi ini tidak bisa dilepaskan dari evolusi kebijakan publik yang cenderung membentuk sektor-sektor tersendiri. Di sinilah mereka memperkenalkan kerangka Institutional Resource Regime (IRR) yang menggabungkan dua dimensi utama:

  1. Extent (luasnya cakupan kebijakan): jumlah sektor, pengguna, dan fungsi air yang diatur.
  2. Coherence (koherensi kebijakan): tingkat konsistensi dan sinergi antar kebijakan yang ada.

Ketika jumlah kebijakan meningkat (extent bertambah), tanpa upaya integrasi aktif, sistem bisa menjadi kompleks dan tidak koheren.

Studi Kasus: Kebijakan Banjir Swiss 1848–2017

Lonjakan Kebijakan, Banjir Tak Surut

Dalam 169 tahun, Swiss mengadopsi 92 instrumen kebijakan banjir pada tingkat nasional. Namun, dari semua itu, hanya 27 yang digantikan atau dihentikan, sisanya tetap berjalan. Ini mencerminkan fenomena path dependency: begitu kebijakan diterapkan, cenderung sulit diubah.

Menariknya, meski jumlah kebijakan meningkat secara eksponensial, kerusakan akibat banjir tidak berkurang. Bahkan, delapan tahun antara 1972–2007 ditandai sebagai periode banjir besar dengan kerugian tahunan mencapai rata-rata €220 juta, dan puncaknya pada 2005 dengan kerugian > €1,8 miliar.

Jenis Kebijakan yang Digunakan

Tujuh pendekatan utama dalam kebijakan banjir Swiss mencakup:

  • Perlindungan lingkungan
  • Infrastruktur teknik
  • Perencanaan spasial
  • Pemeliharaan sungai
  • Monitoring
  • Asuransi
  • Perlindungan sipil

Peralihan besar terjadi sejak 1990-an dari pendekatan teknik ke pendekatan integratif berbasis tata ruang dan risiko.

Survei 146 Pakar: Apa yang Penting dalam Desain Kebijakan?

Metz dan Glaus melakukan survei terhadap 146 pakar manajemen banjir di tiga wilayah sungai (Aare, Kander, Thur). Mereka diminta menilai 10 indikator desain kebijakan. Hasilnya:

Empat Aspek Paling Dihargai:

  1. Integrasi antar kebijakan
  2. Tekanan (coercion) terhadap kelompok sasaran
  3. Sanksi atas ketidakpatuhan
  4. Pendanaan publik yang jelas dan mencukupi

Ini mencerminkan pentingnya kebijakan yang tidak hanya banyak, tetapi juga berdaya paksa dan memiliki ekosistem kelembagaan yang mendukung.

Studi Kasus Lokal:

  • Aare: karena keterbatasan ruang dan risiko tinggi, pakar mendorong monitoring ketat dan sanksi.
  • Thur: konflik antar aktor membuat fleksibilitas dan keterlibatan publik menjadi krusial.
  • Kander: dalam proyek terpadu, fleksibilitas dan tujuan kebijakan adaptif lebih dihargai.

Stabil Tapi Tidak Adaptif: Tantangan Reformasi Kebijakan

Meski kebijakan meningkat, desainnya menunjukkan pola yang tetap (sticky) dari waktu ke waktu. Ini menandakan bahwa gaya kebijakan nasional memainkan peran besar, dan reformasi bersifat inkremental.

Kritik penting: tanpa perubahan desain kebijakan yang fleksibel dan adaptif, integrasi hanya menjadi jargon. Hal ini relevan bagi negara-negara seperti Indonesia yang menghadapi risiko banjir tinggi tapi sistem kebijakan masih terfragmentasi.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

1. Evaluasi Periodik Desain Kebijakan

Pemerintah harus melakukan audit terhadap efektivitas, koherensi, dan adaptabilitas instrumen kebijakan yang telah ada.

2. Fokus pada Koherensi, Bukan Jumlah

Lebih baik sedikit kebijakan dengan desain matang dan terkoordinasi daripada banyak kebijakan yang tumpang tindih.

3. Desain Adaptif

Terapkan prinsip "adaptive policy design" dengan target yang bisa direvisi dan sistem umpan balik berbasis data.

4. Peran Anggaran

Tanpa pendanaan yang memadai, instrumen kebijakan hanya menjadi dokumen mati. Asuransi banjir dan insentif ekonomi dapat menjadi inovasi.

5. Harmonisasi Lintas Sektor

Perlu kerangka regulasi yang memaksa koordinasi antar sektor (pertanian, infrastruktur, lingkungan, tata ruang).

Mengaitkan dengan Konteks Global

Studi ini relevan bagi negara lain dengan sistem federal atau otonomi daerah tinggi. Misalnya:

  • India dan Indonesia yang sering mengalami bencana banjir tapi memiliki fragmentasi antar kementerian.
  • Amerika Serikat, dengan pendekatan berbasis sungai (river basin commissions), bisa mengambil pelajaran tentang pentingnya coherent policy design daripada hanya menambah aturan.

Kesimpulan: Integrasi IWRM Harus Dimulai dari Desain Kebijakan

Penelitian ini menegaskan bahwa IWRM tidak cukup dijalankan dengan menambah kebijakan baru, tetapi harus ditunjang oleh integrasi antar kebijakan yang telah ada—baik secara sektoral maupun temporal. Swiss menjadi laboratorium unik untuk menunjukkan bagaimana sejarah kebijakan yang panjang bisa menjadi aset atau hambatan tergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi.

Tanpa desain kebijakan yang fleksibel, koheren, dan berdaya paksa, IWRM berisiko menjadi jargon tanpa implementasi nyata.

Sumber: Metz, F., & Glaus, A. (2019). Integrated Water Resources Management and Policy Integration: Lessons from 169 Years of Flood Policies in Switzerland. Water, 11(6), 1173.

Selengkapnya
IWRM dan Integrasi Kebijakan: Pelajaran dari 169 Tahun Penanganan Banjir di Swiss
page 1 of 1