Mengapa Integrasi Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang Semakin Mendesak?
Indonesia adalah salah satu negara paling rawan bencana di dunia—mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, hingga tanah longsor. Letak geografis di cincin api Pasifik, perubahan iklim ekstrem, dan tekanan populasi yang terus meningkat memperparah kerentanan wilayah. Dalam konteks ini, tata ruang bukan sekadar dokumen teknis, melainkan instrumen vital untuk mengurangi risiko dan korban bencana. Namun, bagaimana memastikan rencana tata ruang benar-benar responsif terhadap risiko bencana? Paper S G Rozita dan R Setiadi (2020) menawarkan kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana (MRB) yang dapat menjadi panduan praktis dan strategis bagi perencana, pemerintah, dan masyarakat.
Latar Belakang: Tantangan Integrasi MRB dalam Tata Ruang Indonesia
Realitas di Lapangan
- Regulasi nasional sudah mewajibkan pertimbangan kebencanaan dalam penyusunan rencana tata ruang.
- Namun, belum ada panduan terintegrasi yang benar-benar operasional untuk menerjemahkan konsep MRB ke dalam dokumen tata ruang.
- Akibatnya, banyak rencana tata ruang hanya menampilkan peta kawasan rawan bencana tanpa strategi mitigasi yang konkret.
Urgensi Integrasi
- 80–95% kerugian bencana di Indonesia setiap tahun berasal dari bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, badai).
- Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi memperbesar paparan risiko, terutama di kota-kota pesisir dan dataran rendah.
- Studi di Semarang menunjukkan bahwa tanpa integrasi MRB, tata ruang gagal mengantisipasi banjir dan rob yang makin sering terjadi.
Konsep Dasar: Apa Itu Manajemen Risiko Bencana dalam Tata Ruang?
MRB adalah proses sistematis untuk mengelola risiko bencana melalui strategi mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan. Dalam konteks tata ruang, MRB menuntut:
- Mitigasi: Mengurangi potensi dampak bencana melalui pengaturan pola ruang, struktur ruang, dan pengendalian pemanfaatan lahan.
- Kesiapsiagaan: Menyediakan infrastruktur evakuasi, sistem peringatan dini, dan fasilitas penampungan.
- Respon: Tindakan darurat saat bencana terjadi (kurang relevan untuk substansi tata ruang).
- Pemulihan: Penataan ulang kawasan pasca-bencana agar lebih tahan terhadap risiko di masa depan.
Metodologi: Sintesis Literatur dan Pengembangan Kerangka Kerja
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif berbasis studi literatur. Data utama diambil dari berbagai sumber nasional dan internasional tentang MRB dan tata ruang, termasuk studi kasus di Amerika, Jepang, Eropa, dan China. Analisis dilakukan dengan mengelompokkan strategi MRB ke dalam muatan rencana tata ruang di Indonesia, mulai dari level nasional (RTRWN), provinsi/kabupaten/kota (RTRWP/RTRWK), hingga rencana detail (RDTR).
Temuan Utama: Kerangka Kerja Penilaian Tata Ruang Berbasis MRB
1. Dominasi Mitigasi dalam Tata Ruang
- Mitigasi adalah komponen MRB yang paling mudah dan luas diintegrasikan ke dalam tata ruang.
- Contoh strategi mitigasi:
- Pembatasan pembangunan di zona rawan bencana.
- Penetapan sabuk hijau (green belt) di kawasan pesisir rawan tsunami.
- Pengaturan kepadatan penduduk dan infrastruktur di daerah rawan gempa atau banjir.
- Pembangunan tanggul, kanal, sistem polder, dan normalisasi sungai.
2. Kesiapsiagaan dan Pemulihan: Masih Terbatas
- Kesiapsiagaan: Hanya sebagian kecil yang bisa diakomodasi, seperti penyediaan jalur evakuasi, shelter, dan sistem peringatan dini.
- Pemulihan: Lebih banyak terkait penataan ulang kawasan pasca-bencana, misal penetapan permukiman baru yang lebih aman.
3. Respon: Tidak Relevan untuk Tata Ruang
- Komponen respon bencana (tindakan darurat) tidak dapat langsung dituangkan dalam dokumen tata ruang karena sifatnya reaktif dan operasional.
4. Studi Kasus: Integrasi MRB di Berbagai Skala Perencanaan
a. Level Nasional (RTRWN)
- Fokus pada strategi mitigasi makro, seperti perlindungan DAS, konservasi hutan, dan penetapan pusat kegiatan nasional di zona aman.
- Tidak ada substansi kesiapsiagaan dan pemulihan karena skala terlalu luas.
b. Level Provinsi/Kabupaten/Kota (RTRWP/RTRWK)
- Penetapan kawasan rawan bencana (gempa, tsunami, banjir) sebagai zona terbatas atau ruang terbuka.
- Pengembangan jaringan jalan arteri dan tol tahan bencana.
- Pengaturan kepadatan penduduk dan infrastruktur mitigasi di kawasan rawan.
- Penyediaan jalur evakuasi, shelter, dan sistem jaringan energi cadangan.
- Penataan kawasan baru pasca-bencana dan rehabilitasi kawasan terdampak.
c. Level Rencana Detail (RDTR)
- Pengaturan zona budidaya dan pusat pelayanan di daerah aman.
- Penetapan zona rawan bencana secara rinci.
- Pengaturan kode bangunan, jaringan jalan, dan infrastruktur pendukung.
- Penataan jalur pejalan kaki, jalur sepeda, dan aksesibilitas evakuasi.
- Pembangunan kolam retensi, polder, dan sistem drainase modern.
5. Angka-Angka Penting dari Studi
- Hanya 3% SMK di Indonesia yang memiliki akses sertifikasi LSP P1, menandakan rendahnya kesiapan SDM dalam mendukung tata ruang berbasis MRB.
- 86% wilayah Albania rawan bencana, dengan 62% bencana berasal dari faktor hidrometeorologi—menunjukkan pentingnya integrasi MRB di negara-negara rawan bencana.
- Kerugian ekonomi akibat banjir di negara OECD meningkat 170% sejak 1990, menegaskan urgensi tata ruang adaptif.
Kekuatan
- Kerangka kerja komprehensif: Mengakomodasi berbagai jenis bencana (tsunami, gempa, banjir) dan dapat disesuaikan dengan skala perencanaan.
- Fleksibilitas: Dapat diadaptasi untuk berbagai wilayah dan jenis bencana, tidak kaku pada satu model saja.
- Operasional: Memberikan panduan konkret bagi perencana untuk menilai dan menyusun rencana tata ruang berbasis MRB.
Kelemahan dan Tantangan
- Keterbatasan pada komponen respon: Tidak semua aspek MRB bisa diintegrasikan, terutama tindakan darurat saat bencana.
- Kesenjangan implementasi: Banyak daerah belum memiliki kapasitas SDM dan data risiko yang memadai.
- Kurangnya literatur komprehensif: Sebagian besar penelitian hanya membahas satu aspek MRB, belum ada yang benar-benar holistik.
Implikasi Kebijakan
- Perlu regulasi teknis yang lebih detail untuk memastikan setiap dokumen tata ruang mengadopsi kerangka MRB.
- Peningkatan kapasitas SDM: Pelatihan perencana dan penguatan LSP P1 di seluruh Indonesia.
- Digitalisasi data risiko: Integrasi data spasial, peta risiko, dan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendukung perencanaan berbasis bukti.
Studi Kasus Nyata: Kota Semarang dan Penanganan Banjir
Kota Semarang adalah contoh nyata pentingnya integrasi MRB dalam tata ruang. Dengan topografi pesisir dan dataran rendah, Semarang kerap dilanda banjir dan rob. Studi Buchori et al. (2017) menunjukkan bahwa tanpa pengaturan zona rawan dan infrastruktur mitigasi, kerugian ekonomi dan sosial terus meningkat. Setelah penerapan tata ruang berbasis MRB, terjadi:
- Penurunan area terdampak banjir hingga 30% dalam 5 tahun.
- Peningkatan kapasitas drainase dan pembangunan kolam retensi di kawasan rawan.
- Penetapan zona hijau di pesisir untuk menahan gelombang rob.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Global
- Burby et al. (2000): Menekankan pentingnya land-use planning untuk menciptakan komunitas tahan bencana.
- Greiving & Fleischhauer (2006): Studi di Eropa menunjukkan bahwa integrasi MRB dalam tata ruang mempercepat pemulihan pasca-bencana dan mengurangi kerugian ekonomi.
- Sutanta et al. (2010): Integrasi tata ruang dan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal menjadi kunci spatially enabled government.
Tren Industri dan Inovasi
- Digitalisasi tata ruang: Penggunaan SIG, drone, dan data satelit untuk pemetaan risiko dan monitoring implementasi tata ruang.
- Kolaborasi multi-sektor: Keterlibatan swasta, masyarakat, dan akademisi dalam penyusunan dan evaluasi tata ruang.
- Pendekatan nature-based solutions: Penanaman mangrove, sabuk hijau, dan ruang terbuka hijau sebagai bagian dari mitigasi berbasis ekosistem.
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Tata Ruang Berbasis MRB
- Wajibkan penilaian MRB dalam setiap revisi dokumen tata ruang di semua level pemerintahan.
- Bangun database risiko bencana yang terintegrasi dan mudah diakses oleh perencana dan masyarakat.
- Perkuat pelatihan dan sertifikasi SDM di bidang perencanaan tata ruang dan MRB.
- Dorong inovasi teknologi untuk pemetaan, monitoring, dan evaluasi implementasi tata ruang.
- Libatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan implementasi tata ruang.
Opini: Menuju Tata Ruang Adaptif dan Berkelanjutan
Kerangka kerja yang ditawarkan Rozita dan Setiadi adalah terobosan penting untuk menjembatani gap antara teori MRB dan praktik tata ruang di Indonesia. Namun, tantangan terbesar adalah implementasi di lapangan—mulai dari keterbatasan data, kapasitas SDM, hingga komitmen politik. Di era krisis iklim dan urbanisasi pesat, tata ruang adaptif berbasis MRB bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah, perencana, dan masyarakat harus berkolaborasi untuk memastikan setiap rencana tata ruang benar-benar melindungi warga dari risiko bencana, sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan.
Kesimpulan: Kerangka Kerja MRB sebagai Pilar Tata Ruang Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa integrasi manajemen risiko bencana dalam tata ruang adalah fondasi utama untuk membangun wilayah yang aman, tangguh, dan berkelanjutan. Kerangka kerja yang dihasilkan tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat diadaptasi di negara-negara lain dengan risiko bencana tinggi. Dengan komitmen bersama, inovasi teknologi, dan penguatan kapasitas, tata ruang berbasis MRB akan menjadi kunci utama menghadapi tantangan bencana di masa depan.
Sumber asli:
S G Rozita, R Setiadi. 2020. "Kerangka kerja penilaian rencana tata ruang berbasis manajemen risiko bencana." REGION: Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif, Vol. 15(2), 189-205.