Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Dalam dunia konstruksi bangunan bertingkat dan struktur bawah tanah seperti basement, teknologi penyangga galian fondasi dalam (deep foundation pit support) menjadi salah satu faktor krusial dalam menjamin stabilitas, keselamatan, dan efisiensi proyek. Paper ini menelaah beragam pendekatan teknologi penyangga yang digunakan dalam pembangunan kawasan hunian bertingkat di Jiangxi, Tiongkok Selatan. Dengan semakin padatnya pemanfaatan lahan dan meningkatnya tuntutan teknis dalam konstruksi bawah tanah, kombinasi metode seperti diaphragm wall, struktur angkur tarik, serta barisan tiang bor menjadi solusi yang wajib disesuaikan dengan kondisi hidrogeologi dan lingkungan sekitar proyek.
Latar Proyek: Tantangan Fondasi dalam di Pinggiran Kota Jiangxi
Spesifikasi Proyek:
Tantangan Lokasi:
Teknologi Penyangga Galian: Ragam Metode dan Kombinasi Strategis
1. Dinding Diafragma (Diaphragm Wall)
Kelebihan:
Tahapan konstruksi:
Aplikasi: Menjadi pilihan utama di proyek ini karena kualitas air tanah dan kebutuhan kekakuan tinggi.
2. Struktur Angkur Tarik (Anchor-Pull Retaining)
Konsep: Menggunakan batang angkur pratekan (prestressed anchor) untuk menahan tekanan lateral tanah di sekitar galian.
Keunggulan:
Catatan teknis:
3. Barisan Tiang (Row Pile Support)
Tahapan:
Kunci sukses:
Aplikasi: Dipilih di proyek ini untuk melengkapi peran dinding diafragma, terutama pada area dengan tingkat risiko menengah.
4. Dinding Turap Baja (Steel Sheet Pile)
Keunggulan:
Kelemahan:
Aplikasi: Tidak digunakan dalam proyek ini karena faktor ekonomi dan ketidakcocokan tanah.
Evaluasi Proyek: Integrasi Strategis untuk Minimalkan Risiko
Karena kombinasi tantangan lingkungan seperti tinggi muka air tanah, keberadaan pipa bawah tanah, dan permukiman warga, tim konstruksi memutuskan:
Strategi ini berhasil meminimalkan deformasi tanah, mencegah insiden retakan struktur sekitar, dan mengurangi insiden kecelakaan kerja.
Studi Kasus Lapangan: Peristiwa Lumpur dan Pelanggaran Lingkungan
Pada tahap awal pembangunan dinding pandu, lumpur dari pengeboran mengalir keluar dan mencemari jalan umum, hingga menyebabkan:
Pelajaran penting: Pengelolaan limbah pengeboran dan lumpur harus menjadi prioritas utama dalam proyek galian dalam di kawasan padat penduduk.
Rekomendasi Manajemen Konstruksi: Fokus pada Keselamatan dan Lingkungan
1. Pemilihan Metode Sesuai Karakter Proyek
Pendekatan berbasis studi geoteknik lokal diperlukan. Jangan hanya menggunakan metode “standar industri”, tapi lakukan:
2. Penguatan Kesadaran Keselamatan
Sebagian besar insiden terjadi karena:
3. Proteksi Lingkungan: Lumpur & Limbah
Analisis Perbandingan Pendekatan
Dalam perencanaan sistem penyangga untuk konstruksi bangunan bawah tanah atau struktur pendukung, pemilihan metode sangat dipengaruhi oleh faktor biaya, kekakuan, dampak lingkungan, dan keunggulan teknis masing-masing metode. Diaphragm wall merupakan metode dengan biaya tinggi namun menawarkan kekakuan yang sangat tinggi dan gangguan lingkungan yang rendah, menjadikannya pilihan ideal untuk proyek di area perkotaan yang padat dan membutuhkan ketahanan terhadap air. Sementara itu, metode anchor-pull memberikan keseimbangan antara biaya menengah dan kekakuan tinggi, dengan tingkat gangguan lingkungan yang rendah, sehingga sangat cocok untuk kondisi tanah lunak. Row pile menawarkan solusi dengan biaya sedang dan kekakuan menengah, serta gangguan lingkungan yang relatif moderat, menjadikannya pilihan fleksibel untuk berbagai jenis proyek. Di sisi lain, steel sheet pile memiliki biaya tinggi dan kekakuan rendah, namun dapat digunakan kembali dan memiliki tingkat gangguan lingkungan yang tinggi, menjadikannya lebih cocok untuk aplikasi sementara atau proyek yang memerlukan mobilisasi cepat. Perbandingan ini menekankan pentingnya penyesuaian metode penyangga berdasarkan kebutuhan teknis dan kondisi lingkungan proyek secara spesifik.
Kesimpulan: Fondasi Dalam Bukan Hanya Masalah Teknis, Tapi Strategis
Studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek fondasi dalam tidak hanya bergantung pada kekuatan struktur, tapi juga manajemen risiko, pemilihan metode yang tepat, dan kepatuhan pada protokol keselamatan serta lingkungan. Teknologi penyangga seperti diaphragm wall, anchor-pull, dan row pile menjadi tulang punggung proyek galian dalam modern, asalkan dipilih berdasarkan analisis teknis dan bukan sekadar pengalaman. Bagi dunia konstruksi di negara berkembang, terutama di wilayah urban padat dan bertanah lunak seperti Jakarta, Surabaya, atau Medan, pendekatan ini sangat relevan dan dapat diadopsi untuk meningkatkan ketahanan struktur dan keselamatan kerja.
Sumber : Zhuan Zhang, Sheng Zhang, & Siming Lu. Application of Supporting Construction Technology for Deep Foundation Pit in Building Foundation Engineering. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, Vol. 787 (2021), Paper No. 012177.
Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Pendahuluan: Tantangan Geoteknik di Bawah Permukaan
Dalam banyak proyek infrastruktur, masalah utama bukan pada struktur di atas tanah, tetapi pada kondisi tanah di bawahnya. Ketika tanah memiliki karakteristik lemah dan muka air tanah yang tinggi, maka fondasi standar seperti raft foundation sering gagal menahan beban struktur secara stabil. Dalam konteks tersebut, desain fondasi yang responsif terhadap kondisi tanah dan muka air menjadi keharusan. Studi oleh Nazile Ural dan Abdulselam Gergin menyajikan pendekatan berbasis numerik dengan perangkat lunak Plaxis 2D untuk mengevaluasi desain fondasi pada berbagai tipe tanah bermasalah dengan muka air tinggi, baik dalam kondisi statis maupun seismik.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini mengevaluasi dua sistem fondasi utama:
Diuji pada:
Tujuannya adalah mengetahui pengaruh muka air tanah terhadap deformasi vertikal fondasi dan menentukan konfigurasi fondasi yang paling stabil serta ekonomis.
Metodologi: Simulasi Fondasi dengan Plaxis 2D
Karakteristik Tanah dan Model
Masing-masing model memiliki dua lapisan:
Jenis tanah yang diuji meliputi:
Setiap tanah dimodelkan menggunakan parameter Modulus Young, Poisson ratio, sudut geser dalam, dan kohesi. Seluruh model dianalisis di muka air -2,0 m dan -5,0 m dengan fondasi seluas 22 x 50 m.
Desain Fondasi dan Parameter Simulasi
1. Raft Foundation
2. Piled Raft Foundation
Hasil Analisis Statis: Penurunan pada Raft Foundation
Pada muka air -2,0 m, raft foundation mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan -5,0 m, membuktikan bahwa kedalaman muka air tanah sangat memengaruhi deformasi vertikal.
Penurunan tertinggi terjadi pada:
Penurunan terendah ditemukan pada:
Artinya, tanah dengan dasar GC (gravelly clay) memberikan respons deformasi terbaik dibandingkan dasar SM (silty sand).
Hasil Piled Raft Foundation: Efektivitas terhadap Penurunan
Pengujian sistem piled raft foundation menunjukkan bahwa penambahan panjang tiang secara signifikan menurunkan deformasi vertikal pondasi, terutama pada kondisi muka air tanah tinggi. Berdasarkan hasil simulasi, penurunan rata-rata vertikal untuk panjang tiang 10 meter berkisar antara 36–131 mm pada muka air tanah -2.0 m, dan 32–116 mm pada -5.0 m. Seiring peningkatan panjang tiang menjadi 15, 20, hingga 25 meter, nilai penurunan semakin menurun secara konsisten. Pada panjang tiang 25 meter, penurunan hanya berada pada kisaran 27–101 mm (GWL -2.0 m) dan 24–90 mm (GWL -5.0 m). Efektivitas paling tinggi terjadi pada panjang tiang 25 meter, di mana deformasi dapat berkurang hingga 60% dibandingkan dengan penggunaan raft foundation tanpa tiang. Hal ini membuktikan bahwa desain piled raft yang tepat, terutama dalam hal kedalaman tiang, sangat berperan dalam mengendalikan penurunan vertikal dan meningkatkan stabilitas struktur di atas tanah bermasalah.
Analisis Beban Gempa: Efek Seismik Terhadap Fondasi
Simulasi beban gempa dengan magnitudo M = 5.4 dilakukan setelah proses pembebanan statik untuk mengevaluasi kinerja fondasi dalam kondisi dinamis. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada arah horizontal (Ux), baik sistem raft foundation maupun piled raft foundation memberikan respons yang relatif serupa, menunjukkan kestabilan lateral yang hampir setara. Namun, perbedaan mencolok muncul pada arah vertikal (Uy), di mana raft foundation mengalami penurunan vertikal yang lebih besar dibandingkan piled raft. Persentase peningkatan deformasi vertikal pada raft dibanding piled raft bervariasi tergantung model tanah yang digunakan, dengan selisih mencapai 8% pada Model 1, 13% pada Model 2, 6% pada Model 3, 4% pada Model 4, dan 28% pada Model 5, sementara pada Model 6 hampir tidak terdapat perbedaan. Temuan ini mengindikasikan bahwa piled raft foundation memberikan performa vertikal yang lebih stabil dalam kondisi gempa, khususnya pada tanah yang lunak atau kurang padat seperti pada Model 5.
Analisis Berdasarkan Kombinasi Tanah
Lapisan Dasar GC (Clayey Gravel)
Lapisan Dasar SM (Silty Sand)
Hal ini mengindikasikan sifat dinamis tanah silty yang sangat sensitif terhadap muka air dan gaya lateral gempa.
Kritik dan Pengembangan
Kelebihan Penelitian
Kekurangan
Implikasi Industri: Praktik Terbaik Desain Fondasi
Studi ini dapat diadaptasi pada:
Rekomendasi:
Kesimpulan: Pilihan Fondasi Menentukan Stabilitas Bangunan
Piled raft foundation terbukti efektif dalam mengurangi penurunan fondasi hingga 60%, terutama pada tanah dengan karakteristik bermasalah dan muka air tanah tinggi. Panjang tiang yang lebih besar, serta kondisi tanah dasar yang kaku seperti GC, menghasilkan performa terbaik. Dalam desain fondasi modern, pendekatan berbasis numerik seperti Plaxis 2D sangat membantu untuk:
Sumber : Ural, Nazile & Gergin, Abdulselam (2020). Foundation Design on Problematic Soils with High Underground Water Level. Revista de la Construcción, Vol. 19(3), 233–245.
Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian
Pondasi rakit bertiang (piled raft foundation) telah menjadi solusi populer untuk konstruksi di tanah lunak karena kemampuannya mendistribusikan beban secara merata dan mengurangi penurunan (settlement). Namun, tantangan seperti tingginya momen lentur dan biaya konstruksi mendorong inovasi, salah satunya dengan penggunaan geo-foam sebagai material cushion. Penelitian oleh Gultom dkk. (2021) ini mengeksplorasi efektivitas geo-foam (EPS) dalam mengurangi penurunan pondasi rakit bertiang melalui pendekatan eksperimen laboratorium dan simulasi numerik dengan PLAXIS 2D.
Metodologi dan Studi Kasus
Penelitian ini menggabungkan dua metode utama:
1. Eksperimen Laboratorium:
- Model pondasi rakit bertiang dengan dimensi 2 x 1.5 x 1.5 m diuji di bawah beban statis bertahap (2.5–12.5 kN).
- Variasi kondisi air tanah (GWL) dan ketebalan geo-foam (50 cm dan 90 cm) diuji untuk melihat pengaruhnya terhadap penurunan.
2. Simulasi Numerik (PLAXIS 2D):
- Model tanah menggunakan kriteria Mohr-Coulomb dengan elemen segitiga 15-node.
- Tiga skenario GWL dianalisis:
Temuan Kunci dan Angka Penting
- Pengurangan Penurunan:
- Peran Hidrostatik:
- Ketebalan Geo-Foam:
Analisis dan Nilai Tambah
1. Kritik terhadap Desain Konvensional:
- Penelitian ini mengungkap kelemahan pondasi konvensional yang mengabaikan interaksi tanah-struktur-waktu, terutama di tanah lunak.
2. Perbandingan dengan Penelitian Lain:
- Studi oleh Sharma dkk. (2015) menunjukkan bahwa cushion fleksibel (seperti EPS) lebih efektif daripada material kaku dalam redistribusi beban.
- El-Gendy (2018) menemukan bahwa sistem unconnected piled raft dengan EPS lebih stabil di bawah beban dinamis.
3. Aplikasi di Dunia Nyata:
- Teknik ini cocok untuk proyek di daerah rawa atau pesisir dengan water table tinggi, seperti di Semarang atau Jakarta.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Geo-foam terbukti efektif mengurangi penurunan pondasi hingga 50%, terutama jika dipasang dengan mempertimbangkan posisi GWL.
Rekomendasi untuk Praktisi:
Sumber : Gultom, J., Pratikso, H., Rochim, A., & Taufik, S. (2021). Behavior of Piled Raft Foundation in Soft Clay Layer with Geo-Foam Application. BIRCI Journal.
Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Pondasi adalah elemen tak tergantikan dalam kestabilan struktur bangunan. Namun, tantangan terbesar muncul saat konstruksi dilakukan di daerah bertanah lunak, yaitu tanah yang memiliki kadar air tinggi, kekuatan geser rendah, dan sifat mudah mengalami deformasi. Kondisi ini umum ditemukan di wilayah bekas rawa, danau, atau delta sungai yang banyak tersebar di kawasan pesisir Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Makalah yang ditulis oleh Yi Liu dari Henan Transportation Vocational and Technical College membahas secara menyeluruh tentang desain dan teknologi konstruksi rekayasa fondasi di daerah bertanah lunak. Artikel ini menyajikan sintesis teori, praktik teknik, dan strategi konstruksi terkini, yang dapat menjadi acuan utama bagi insinyur sipil dalam menghadapi proyek pembangunan di lingkungan geoteknik yang sulit.
Karakteristik Geologis Tanah Lunak dan Dampaknya
Jenis-Jenis Tanah Lunak
Ciri Geologi Tanah Lunak:
Dampaknya: fondasi di atas tanah lunak sering mengalami penurunan diferensial, retakan struktural, dan kegagalan stabilitas, terutama jika tidak dilakukan perlakuan tanah yang tepat.
Metode Desain Rekayasa Fondasi di Tanah Lunak
A. Teknik Perkuatan Tanah
1. Teknik Penguatan (Reinforcement):
2. Teknik Peningkatan (Improvement):
3. Teknik Prakonstruksi (Preprocessing):
B. Pemilihan dan Desain Jenis Fondasi
1. Fondasi Dangkal:
2. Fondasi Dalam:
Prinsip desain: sesuaikan tipe fondasi dengan data geologi lokal, seperti kedalaman lapisan lunak, kadar air, dan struktur butiran.
C. Pemilihan Material & Kontrol Kualitas
1. Material Perkuatan:
2. Material Struktur:
Catatan penting: kualitas beton dan baja sangat menentukan masa pakai fondasi, terutama dalam lingkungan lembap dan korosif.
Teknik Konstruksi di Lapangan
1. Persiapan Pra-Konstruksi
2. Pelaksanaan Teknik Perkuatan di Lapangan
3. Pengawasan Kualitas Konstruksi
Pemeliharaan Pasca-Konstruksi
1. Sistem Monitoring Terstruktur
2. Inspeksi dan Diagnostik
3. Tindakan Pemeliharaan
4. Evaluasi Data Monitoring
Tinjauan Kritis dan Hubungannya dengan Tren Industri
1. Perlunya Inovasi Adaptif
Kondisi geoteknik tanah lunak sangat bervariasi. Maka, pendekatan desain dan konstruksi tak bisa satu pola. Perlu integrasi teknologi terbaru seperti:
2. Koneksi dengan Infrastruktur Strategis
Proyek seperti:
3. Kesadaran Lingkungan
Desain yang baik juga harus mempertimbangkan:
Kesimpulan: Stabilitas Tanah Lunak Dimulai dari Desain yang Cerdas
Desain dan teknologi konstruksi fondasi di tanah lunak adalah kombinasi antara analisis geologi mendalam, strategi perkuatan yang tepat, pemilihan material presisi, dan pengawasan kualitas ketat. Studi ini menyajikan panduan komprehensif untuk menghadapi salah satu tantangan paling kompleks dalam dunia teknik sipil.
Dengan penerapan prinsip-prinsip yang dibahas, para praktisi teknik dapat merancang fondasi yang aman, stabil, dan tahan lama, bahkan dalam kondisi tanah yang paling tidak bersahabat sekalipun.
Sumber : Liu, Yi. Research on foundation engineering design and construction technology in soft soil area. Journal of Civil Engineering and Urban Planning (2024), Clausius Scientific Press.
Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Di balik kokohnya struktur bangunan tahan gempa, tersembunyi interaksi kompleks antara tanah, fondasi, dan struktur itu sendiri. Interaksi ini dikenal sebagai Soil-Foundation-Structure Interaction (SFSI). Studi oleh Dimitris Pitilakis dan Nicos Makris berjudul “A Study on the Effects of the Foundation Compliance on the Response of Yielding Structures Using Dimensional Analysis” menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana kelenturan fondasi memengaruhi respons dinamis struktur saat gempa besar.
Penelitian ini sangat relevan di tengah pergeseran paradigma rekayasa gempa yang kini tak hanya berfokus pada kekuatan bangunan, tetapi juga pada perilaku sistem secara keseluruhan, termasuk respons tanah dan fondasi.
Metode dan Tujuan Penelitian
Studi ini menggunakan analisis dimensional sebagai pendekatan utama untuk memahami pengaruh parameter fisik terhadap deformasi seismik maksimum. Model sistem yang digunakan adalah struktur elastoplastik satu derajat kebebasan (SDOF) yang ditempatkan pada fondasi lentur.
Parameter penting yang dianalisis antara lain:
Hasil Kunci & Temuan Utama
1. Resonansi adalah Masalah Serius
Salah satu temuan penting adalah bahwa ketika frekuensi fondasi mendekati frekuensi dominan dari impuls gempa, respons struktur meningkat tajam. Ini disebut kondisi resonansi, yang bisa menyebabkan deformasi ekstrem bahkan pada struktur yang relatif kuat.
2. Tambahan Massa Tanah Justru Bisa Meningkatkan Risiko
Secara intuitif, kita mengira massa tanah di bawah fondasi bisa "menyerap" energi gempa. Namun, studi menunjukkan bahwa semakin besar massa tanah relatif terhadap struktur, justru semakin besar demand seismik (Π1 = umaxωp2/αp). Hal ini bertentangan dengan asumsi umum dalam beberapa regulasi teknik sipil.
Studi Kasus: Jembatan Layang Hanshin (Kobe, 1995)
Penelitian ini mengaplikasikan model matematisnya pada kasus nyata: runtuhnya 630 meter Jembatan Layang Hanshin saat gempa Kobe 1995. Analisis menunjukkan bahwa interaksi fondasi-tanah yang lentur justru meningkatkan respons seismik kolom jembatan hingga melampaui batas aman.
Parameter aktual:
Hasil: Dengan nilai Π3 (normalized uy) antara 0.1–0.75, sistem lentur menunjukkan respons yang lebih besar dibanding struktur dengan fondasi kaku. Ini membenarkan bahwa SFSI dapat merugikan, tergantung pada kondisi dinamis sistem.
Efek dari Parameter Kunci: Uji Numerik
A. Perpindahan Leleh (uy)
Dalam uji dengan pulse Type-A (maju) dan Type-B (maju-mundur):
B. Massa Tanah Fondasi
Dengan Π4 (mf/m) dari 1 hingga 4:
C. Pulse Gempa Nyata
Data digunakan dari:
Hasil:
Kontribusi Penting: Analisis Dimensional & Self-Similarity
Pendekatan analisis dimensional memungkinkan semua parameter fisik dikonversi ke bentuk tak berdimensi (Π-terms), menghasilkan satu kurva utama yang menggambarkan berbagai skenario:
Kelebihannya? Kurva-kurva ini self-similar, bisa diterapkan ke berbagai ukuran dan kondisi struktur—dari bangunan 1 lantai hingga jembatan raksasa.
Tinjauan Kritis & Hubungan ke Industri
1. Tantangan Bagi Praktik Rekayasa Gempa Modern
Mayoritas standar perencanaan struktur gempa (misalnya Eurocode 8, ASCE 7) mengasumsikan bahwa interaksi SFSI mengurangi respons struktur. Namun, penelitian ini memperlihatkan bahwa dalam banyak kasus, justru terjadi sebaliknya—terutama ketika fondasi terlalu fleksibel atau resonansi terjadi.
2. Relevansi di Era Infrastruktur Vertikal
Dengan menjamurnya gedung tinggi, jembatan layang, dan pelabuhan laut dalam yang berdiri di atas tanah lunak, pemahaman tentang pengaruh fondasi lentur terhadap respons gempa sangat vital. Integrasi model seperti ini dalam software analisis struktur (SAP2000, ETABS, OpenSees) perlu ditingkatkan.
Kesimpulan: Fleksibel Tidak Selalu Baik
Penelitian ini membuktikan bahwa fondasi lentur bisa menjadi pedang bermata dua. Dalam kondisi tertentu, ia meredam energi gempa; dalam situasi lain, ia memperparah deformasi struktur.
Poin Penting:
Sumber : Pitilakis, D. & Makris, N. A study on the effects of the foundation compliance on the response of yielding structures using dimensional analysis. Aristotle University of Thessaloniki & University of Patras.
Rekayasa Fondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Pendahuluan: Masalah Umum Pondasi dan Inovasi dalam Solusinya
Dalam dunia teknik sipil, penurunan pondasi (settlement) adalah masalah krusial yang dapat menyebabkan kerusakan struktural serius. Ketika pondasi diletakkan di atas tanah pasir, penurunan yang tidak terkendali bisa menyebabkan deformasi bangunan, keretakan dinding, dan bahkan kegagalan total struktur. Untuk itu, inovasi dalam desain pondasi sangat diperlukan.
Penelitian oleh M.Y. Al-Aghbari dari Sultan Qaboos University memperkenalkan pendekatan sederhana namun efektif untuk mengurangi penurunan tersebut: menggunakan structural skirts. Artikel ini akan merangkum dan mengembangkan penelitian tersebut dengan analisis praktis, angka-angka uji eksperimental, serta konteks aplikatif yang lebih luas dalam teknik sipil modern.
Apa Itu Structural Skirts dan Mengapa Penting?
Structural skirts adalah pelat baja yang dipasang secara vertikal di tepi pondasi dangkal. Fungsinya:
Metode ini sudah lama digunakan dalam fondasi laut untuk menghadapi erosi, namun jarang diterapkan secara sistematis dalam pondasi konvensional darat. Penelitian ini menunjukkan potensi luar biasa dari metode ini.
Tujuan Penelitian
Metodologi Uji: Simulasi Lapangan dalam Skala Laboratorium
Peralatan Uji
Bahan Uji
Hasil Uji: Pondasi Tanpa Skirt Struktural
Pengujian pondasi tanpa skirt struktural dilakukan dengan variasi kedalaman relatif Df/B = 0 dan 0.5, di mana Df adalah kedalaman pondasi dan B lebar pondasi. Hasil grafik hubungan antara tegangan dan penurunan menunjukkan data yang konsisten, memberikan dasar yang kuat untuk perbandingan dengan teori klasik. Ketika dibandingkan dengan beberapa metode perhitungan teoritis, terlihat bahwa metode Terzaghi & Peck (1967) memprediksi penurunan sebesar 0.16 mm dengan rasio perbandingan Skal/Smeasured sebesar 0.71, yang artinya cenderung meremehkan penurunan aktual. Sementara itu, metode Bazaraa (1967) menunjukkan hasil paling mendekati kenyataan dengan prediksi 0.22 mm dan rasio 0.99. Di sisi lain, metode Schmertmann (1970) dan Meyerhof (1965) cenderung melebihkan estimasi, masing-masing dengan penurunan 0.25 mm (Skal/Smeasured = 1.13) dan 0.84 mm (Skal/Smeasured = 3.7). Temuan ini menegaskan bahwa pilihan metode teoritis sangat memengaruhi akurasi desain, dan Bazaraa menjadi pendekatan yang paling representatif untuk kondisi uji aktual.
Hasil Uji: Pengaruh Skirt Struktural terhadap Penurunan
Pengujian terhadap pengaruh skirt struktural terhadap penurunan pondasi menunjukkan bahwa peningkatan kedalaman skirt secara signifikan mampu mengurangi penurunan vertikal. Rasio kedalaman skirt terhadap lebar pondasi (Ds/B) divariasikan mulai dari 0.05 hingga 1.5, dengan beban uji berkisar antara 25 hingga 230 kN/m². Untuk mengukur efektivitas skirt, digunakan parameter Settlement Reduction Factor (SRF), yang didefinisikan sebagai SRF = Ss / Sf, di mana Ss adalah penurunan tanpa skirt dan Sf adalah penurunan dengan skirt. Sebagai contoh, pada beban 100 kN/m², penurunan berkurang drastis dari 1.5 mm (Ds/B = 0.5) menjadi hanya 0.32 mm saat Ds/B meningkat ke 1.5, dengan nilai SRF turun dari 0.42 menjadi 0.09. Berdasarkan hasil uji tersebut, penulis mengusulkan rumus regresi empiris: SRF = exp(-0.18σ(Ds/B)), yang menunjukkan tingkat korelasi sangat tinggi (R² = 0.95), menandakan bahwa model ini sangat akurat untuk memprediksi efektivitas skirt dalam mereduksi penurunan pondasi.
Analisis Tambahan:
1. Efek Tegangan terhadap Efektivitas Skirt
2. Perilaku Elastisitas Pondasi
Aplikasi Praktis dan Potensi Pengembangan
Konteks Industri:
Opini dan Kritik Konstruktif:
Hubungan dengan Tren Global
Penelitian ini menyatu dengan tren:
Negara seperti Indonesia, Filipina, atau Mesir dengan banyak tanah berpasir dan risiko likuifaksi bisa mengadopsi metode ini dalam proyek jembatan, pelabuhan, dan bangunan air.
Kesimpulan: Inovasi Sederhana, Dampak Besar
Structural skirts terbukti secara eksperimental mengurangi penurunan pondasi hingga lebih dari 90% tergantung kedalamannya. Dengan parameter kuantitatif SRF, insinyur kini dapat:
Penelitian ini bukan hanya tambahan akademis, tetapi juga solusi praktis yang siap diterapkan di lapangan.
Sumber : Al-Aghbari, M.Y. (2007). Settlement of Shallow Circular Foundations with Structural Skirts Resting on Sand. The Journal of Engineering Research, Vol. 4, No. 1, pp. 11–16.