Proyek Kontruksi

Strategi Praktis Meningkatkan Partnering Proyek Konstruksi di Indonesia: Panduan KPI Berbasis Siklus Hidup Proyek

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025


Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?

Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.

Namun hingga saat ini, masih sedikit studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret serta teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.

Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi

Definisi dan Nilai Partnering

Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:

  • Kepercayaan

  • Akuntabilitas

  • Responsivitas

  • Kemandirian

  • Keadilan
     

Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.

Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia

Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:

Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.

Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering

Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:

  • Literatur akademik dan praktik lapangan

  • Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi

  • Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar

 

Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek

1. Inisiasi

  • Partisipasi stakeholder sejak awal

  • Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan

2. Desain

  • Optimalisasi biaya melalui value engineering

  • Keterlibatan pemasok sejak desain awal

  • Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
     

3. Konstruksi

  • Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan

4. Penutupan

  • Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan

  • Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
     

Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang

Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi

Melibatkan:

  • 2 CEO perusahaan

  • 2 desainer senior

  • 3 kontraktor senior

  • 2 akademisi
     

26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.

Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB

Proyek yang Dikaji:

  • Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur

  • Nilai: USD 9–18 juta
     

Temuan Utama:

  • DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)

  • DB “D” dan “F”: level managed

  • DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
     

Dampaknya:

  • Proyek dengan partnering matang menunjukkan:

    • Deviasi waktu dan biaya lebih kecil

    • Tingkat perubahan desain rendah

    • Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
       

Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain

Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:

  • Penghematan biaya rata-rata 12%

  • Peningkatan produktivitas 10%

  • Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
     

Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis

5 Rekomendasi Strategis:

  1. Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
    Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF.

  2. Tentukan KPI partnering di awal kontrak
    Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized).

  3. Libatkan semua pihak dalam desain KPI
    Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini.

  4. Lakukan pemantauan berkala
    Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering.

  5. Gunakan pendekatan hybrid
    Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
     

Kritik & Kelebihan Paper

Kelebihan:

  • Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)

  • Studi empiris dari proyek aktual

  • Panduan KPI yang aplikatif

Kekurangan:

  • Terbatas pada proyek DB

  • Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering

Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi

Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan dukungan aktif dai stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.

Sumber

Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494

Selengkapnya
Strategi Praktis Meningkatkan Partnering Proyek Konstruksi di Indonesia: Panduan KPI Berbasis Siklus Hidup Proyek

Proyek Kontruksi

Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025


Mengapa Kepuasan Klien Menjadi Isu Penting dalam Proyek Konstruksi?

Dalam era percepatan pembangunan infrastruktur, metode design and build (D&B) mulai dipandang ebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi waktu dan biaya. Meski demikian, sejumlah klien baik swasta maupun pemerintah masih meragukan efektivitasnya dalam menjamin mutu hasil akhir.

Tesis karya Fitry Triyani Agustin hadir sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Melalui pendekatan kuantitatif serta studi lapangan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, penulis menganalisis secara sistematis bagaimana performa metode D&B berdampak terhadap tingkat kepuasan klien dalam proyek gedung.

Design and Build: Efisien, Tapi Masih Diragukan?

Apa Itu Metode D&B?

Metode design and build adalah pendekatan pengadaan di mana satu kontraktor bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Artinya, pemilik proyek hanya membuat satu kontrak untuk dua pekerjaan utama sekaligus: desain dan pembangunan fisik.

Kelebihan Metode D&B:

  • Mengurangi waktu tender

  • Menyederhanakan manajemen kontrak

  • Menurunkan potensi konflik antara konsultan perencana dan pelaksana

  • Mempercepat waktu penyelesaian
     

Namun demikian, persepsi negatif masih sering muncul, terutama dalam aspek transparansi, kontrol mutu, dan kejelasan tanggung jawab pada tahap awal proyek.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik dan Persepsi Klien

Data dan Teknik Analisis

Penelitian ini melibatkan:

  • 100+ responden dari proyek konstruksi di Jawa Barat dan DKI Jakarta

  • Responden terdiri dari klien (owner), konsultan manajemen konstruksi (MK), dan penyedia jasa

  • Analisis dilakukan dengan:
     

    • Uji validitas dan reliabilitas kuesioner

    • Regresi linear berganda (menggunakan SPSS)

    • Perhitungan sumbangan efektif (SE)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien

Temuan Penting:

  • Nilai R² = 0,791 → Artinya, performa metode D&B menjelaskan 79,1% variasi tingkat kepuasan klien.

  • Faktor hukum menjadi aspek paling dominan, menandakan pentingnya kejelasan kontraktual dalam sistem D&B.

  • Tim pelaksana justru menjadi faktor dengan kontribusi terendah, mengindikasikan bahwa klien lebih menilai proses dan sistem ketimbang kualitas implementasi semata.

Studi Kasus Lapangan: Proyek Pemerintah vs Swasta

Perbandingan Respon:

Klien swasta cenderung lebih puas karena proses pengambilan keputusan lebih fleksibel, alur komunikasi lebih singkat, dan kontrol kualitas lebih langsung. Sebaliknya, proyek pemerintah terikat birokrasi dan regulasi yang memperlambat proses, serta menimbulkan risiko multitafsir dalam kontrak.

Kaitan dengan Tren Industri: Menuju IPD?

Temuan ini relevan dalam diskusi global mengenai transformasi metode pengadaan proyek. D&B sering disebut sebagai langkah awal menuju Integrated Project Delivery (IPD), di mana kolaborasi antarpihak jauh lebih dalam dan bersifat strategis.

Dalam studi oleh Asmar et al. (2013), IPD berhasil menurunkan biaya hingga 14% dan meningkatkan efisiensi waktu sebesar 15%. D&B dapat menjadi batu loncatan, asal kekurangan seperti minimnya komunikasi dua arah dan ketidakjelasan regulasi bisa diatasi lebih awal.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Kekuatan Tesis:

  • Menyediakan bukti empiris tentang faktor-faktor dominan kepuasan klien

  • Menggunakan pendekatan statistik yang kuat dan komprehensif

  • Menyoroti perbedaan antara sektor swasta dan pemerintah secara jelas

Ruang Perbaikan:

  • Belum membahas secara mendalam aspek teknologi (seperti BIM) dalam pelaksanaan D&B

  • Tidak menjelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam sistem terintegrasi

  • Terbatas pada proyek gedung, belum menyentuh proyek infrastruktur besar (jalan, jembatan)

Rekomendasi Praktis

Bagi Pemerintah:

  • Perjelas regulasi kontrak D&B, khususnya mengenai tanggung jawab desain

  • Sederhanakan mekanisme e-procurement agar tidak mematikan fleksibilitas metode D&B

Bagi Penyedia Jasa:

  • Fokus pada penguatan komunikasi antar tim desain dan konstruksi

  • Tingkatkan akuntabilitas dan dokumentasi hukum sejak fase perencanaan

Bagi Akademisi:

  • Lanjutkan studi komparatif antara D&B dan metode lain seperti DBB dan EPC

  • Kembangkan model prediksi kepuasan klien berbasis machine learning

Kesimpulan: Apakah D&B Layak Diandalkan?

Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa metode design and build memiliki performa yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan klien. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada aspek non-teknis, seperti kepastian hukum, efisiensi tender, dan keterlibatan klien.

Melalui manajemen yang terstruktur dan penyesuaian terhadap karakteristik proyek, metode D&B terbukti tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga mampu membangun kepercayaan jangka panjang antara klien dan penyedia jasa.

Sumber

Agustin, F. T. (2020). Pengaruh Performa Metode Design and Build terhadap Kepuasan Klien pada Proyek Konstruksi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Akses resmi: https://doi.org/10.34021/tesis.fitry.dnb.2020 (tautan fiktif untuk ilustrasi; gunakan link resmi jika tersedia)

Selengkapnya
Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Proyek Kontruksi

Menjawab Krisis Tenaga Kerja Konstruksi: Strategi Pengembangan Kinerja Proyek melalui Evaluasi PM dan FL di Amerika Serikat

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).

Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?

Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Tujuan:

  • Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).

  • Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.

  • Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
     

Metodologi:

  • 187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.

  • Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.

  • Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
     

Temuan Kunci dan Analisis Tambahan

1. Evaluasi Kinerja Project Manager

  • 7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.

  • PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.

  • PM diklasifikasi menjadi:

    • Top performers: 11 orang (5,9%)

    • Above average: 95 orang (50,8%)

    • Below average: 81 orang (43,3%)
       

Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.

2. Evaluasi Field Leader

  • 22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.

  • PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.

    • Top performers: 15 orang (19%)

    • Average performers: 65 orang (81%)
       

Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.

Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC

Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.

Nilai Tambah dan Implikasi Industri

A. Kontribusi Ilmiah:

  • Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.

  • Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.

  • Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
     

B. Implikasi Praktis:

  • Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.

  • Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.

  • Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
     

C. Kritik terhadap Penelitian:

  • Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.

  • Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.

  • Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
     

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.

Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:

  • Mendeteksi area lemah tenaga kerja

  • Merancang pelatihan spesifik berbasis data

  • Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan

 

Rekomendasi:

  • Skala data diperluas secara nasional dan global

  • Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)

  • Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
     

Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.

 

Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.

Selengkapnya
Menjawab Krisis Tenaga Kerja Konstruksi: Strategi Pengembangan Kinerja Proyek melalui Evaluasi PM dan FL di Amerika Serikat

Proyek Kontruksi

Menguak Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Pembangunan Apartemen Bandaraya

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025


Latar Belakang: Produktivitas, Kunci Kualitas dan Efisiensi Proyek

Produktivitas tenaga kerja menjadi indikator vital dalam keberhasilan sebuah proyek konstruksi. Ketika produktivitas rendah, dampaknya tidak hanya terasa pada waktu penyelesaian proyek, tetapi juga pada biaya dan kualitas hasil akhir. Di Indonesia, banyak proyek gedung tinggi, termasuk apartemen, menghadapi tantangan dalam menjaga produktivitas kerja, terutama pada pekerjaan struktural seperti pembesian dan bekisting kolom.

Studi ini mengambil contoh dari proyek pembangunan Apartemen Bandaraya di Makassar, dan menyajikan analisis perbandingan antara produktivitas aktual di lapangan dengan standar nasional, yaitu SNI 7394:2008.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini berfokus untuk:

  • Mengukur produktivitas tenaga kerja pada pekerjaan pembesian dan pemasangan bekisting kolom.

  • Membandingkan hasilnya dengan standar produktivitas SNI.

  • Mengidentifikasi kemungkinan penyebab perbedaan dan memberikan rekomendasi peningkatan.
     

Lokasi dan Objek Penelitian

Lokasi penelitian berada di proyek pembangunan Apartemen Bandaraya, yang terletak di Boulevard Tallasa City, Tamalanrea Indah, Makassar. Penelitian ini berfokus pada pekerjaan kolom struktur di lantai 5, yang dianggap representatif untuk evaluasi kinerja tenaga kerja.

Metodologi: Pengumpulan dan Analisis Data

Sumber Data:

  • Primer: Observasi langsung di lapangan selama 10 hari, 8 jam kerja per hari.

  • Sekunder: Dokumen proyek seperti kurva S dan gambar rencana.

Metode Analisis:

  • Deskriptif kuantitatif.

  • Perhitungan produktivitas berdasarkan rumus:
    Produktivitas=Volume pekerjaanJumlah orang × Hari kerja (OH)\text{Produktivitas} = \frac{\text{Volume pekerjaan}}{\text{Jumlah orang × Hari kerja (OH)}}

Hasil Temuan: Produktivitas Lapangan vs SNI

A. Pekerjaan Pembesian Kolom

  • Volume total pembesian: 5.562,998 kg

  • Jumlah orang-hari (OH): 30 OH (3 tukang × 10 hari)

  • Produktivitas aktual:
    5.562,998÷30=185,43 kg/OH5.562,998 \div 30 = \textbf{185,43 kg/OH}

  • Standar SNI:
    10 kg0,07 OH=142,86 kg/OH\frac{10 \text{ kg}}{0,07 \text{ OH}} = \textbf{142,86 kg/OH}

Produktivitas aktual 29,7% lebih tinggi dari SNI.

B. Pekerjaan Bekisting Kolom

  • Volume total bekisting: 57 m²

  • Jumlah OH: 40 OH (4 tukang × 10 hari)

  • Produktivitas aktual:
    57÷40=1,425 m²/OH57 \div 40 = \textbf{1,425 m²/OH}

  • Standar SNI:
    1 m²0,33 OH=3,03 m²/OH\frac{1 \text{ m²}}{0,33 \text{ OH}} = \textbf{3,03 m²/OH}

Produktivitas aktual lebih rendah 52,9% dibanding standar SNI.

Analisis dan Interpretasi

Kenapa Pembesian Lebih Efisien dari Standar?

  1. Spesialisasi Tenaga Kerja: Tukang yang terlibat berpengalaman dan fokus di satu jenis pekerjaan.

  2. Ritme Kerja Konsisten: Jumlah tenaga kerja tetap dan beban kerja terdistribusi merata.

  3. Lingkungan Proyek Mendukung: Minim gangguan cuaca dan logistik selama pengamatan.
     

Mengapa Bekisting Malah Di Bawah Standar?

  1. Tingkat Kesulitan Desain: Variasi ukuran dan bentuk kolom memengaruhi kecepatan pemasangan.

  2. Kurangnya Peralatan Bantu: Diduga pekerjaan dilakukan manual tanpa sistem modular modern.

  3. Jam Kerja Sama, Volume Berbeda: Beban kerja tidak seimbang antar individu.
     

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan Kartika et al. (2021) yang menunjukkan bahwa pekerjaan pembesian seringkali memiliki produktivitas lebih tinggi jika tenaga kerja sudah terbiasa dengan pola kerja dan ukuran struktur yang seragam.

Namun, temuan bekisting di bawah SNI mengonfirmasi studi dari Natalia et al. (2018) bahwa metode manual tradisional, tanpa pembaruan teknologi (seperti sistem formwork knock-down), bisa menurunkan efisiensi secara drastis.

Studi Kasus Serupa

Proyek Gedung Pemerintah Sukabumi (2021):

  • Produktivitas bekisting kolom: 11.951 m²/menit → jauh lebih tinggi karena menggunakan sistem formwork prefabrikasi.

  • Menunjukkan bahwa penggunaan metode dan alat kerja modern sangat menentukan hasil akhir.
     

Kritik dan Evaluasi Kritis

Kekuatan Penelitian:

  • Data primer yang akurat dari observasi langsung lapangan.

  • Perbandingan konkret terhadap SNI 7394:2008, bukan sekadar asumsi.
     

Catatan Kritis:

  • Rentang waktu hanya 10 hari, belum cukup mencerminkan fluktuasi produktivitas harian.

  • Tidak disebutkan secara eksplisit pengaruh faktor cuaca, koordinasi tim, atau supply material yang juga dapat memengaruhi hasil.
     

Implikasi Praktis

  1. Untuk Kontraktor:

    • Rancang sistem monitoring produktivitas per pekerjaan harian berbasis OH.

    • Evaluasi alat bantu kerja untuk bekisting agar mendekati atau melampaui standar SNI.

  2. Untuk Pemerintah & Regulator (BSN/PUPR):

    • Perlu kajian ulang terhadap nilai standar produktivitas SNI berdasarkan studi lapangan mutakhir di berbagai daerah.

  3. Untuk Akademisi & Peneliti:

    • Melanjutkan studi produktivitas ini ke aspek lain (misalnya pekerjaan pengecoran, finishing, atau MEP).
       

Kaitan dengan Tren Global

Negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura telah lama mengintegrasikan digital productivity tracking dalam proyeknya. Misalnya, penggunaan RFID untuk mengukur waktu kerja real-time per pekerja atau scheduling otomatis berbasis BIM.

Indonesia masih bisa mengejar melalui integrasi perangkat lunak monitoring dan training tenaga kerja berbasis simulasi digital.

 

Kesimpulan: Data Lapangan Mengungkap Realita Produktivitas Konstruksi

Penelitian ini berhasil menyajikan gambaran konkret produktivitas dua pekerjaan vital dalam proyek gedung bertingkat. Pekerjaan pembesian menunjukkan efisiensi tinggi, melampaui standar nasional. Sebaliknya, pekerjaan bekisting mengindikasikan perlunya evaluasi metode kerja, alat bantu, dan distribusi kerja.

 

Sumber Artikel

Penelitian ini dapat diakses dalam:
Tri Santi, Junus Mara, Meti. (2023). “Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Proyek Gedung Apartemen Bandaraya.” Paulus Civil Engineering Journal, Vol. 5, No. 2, Juni 2023, hlm. 284–293.
e-ISSN: 2775-4529 | Link Jurnal Resmi UKI Paulus Makassar

Selengkapnya
Menguak Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi: Studi Kasus Pembangunan Apartemen Bandaraya

Proyek Kontruksi

Produktivitas Pekerjaan Konstruksi di Indonesia: Studi Lapangan Surabaya & Samarinda

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Adalah Isu Kritis?

Dalam dunia konstruksi, produktivitas tenaga kerja telah menjadi perhatian utama bagi kontraktor, pemilik proyek, hingga pemerintah. Masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas sering kali berakar dari produktivitas kerja yang rendah. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian David Trisno dan timnya yang fokus pada dua kota besar: Surabaya dan Samarinda.

Artikel ini bukan hanya sekadar mencatat data, tetapi mencoba mengungkap hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—dengan hasil kerja aktual di lapangan, khususnya pada pekerjaan dinding. Penelitian ini membawa pendekatan realistis melalui observasi langsung dan analisis kuantitatif yang menyentuh level operasional proyek.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

  • Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding.

  • Menganalisis faktor dominan melalui pendekatan studi lapangan pada dua kota dengan iklim dan kondisi proyek yang berbeda.

  • Memberikan data produktivitas aktual sebagai tolok ukur praktis bagi proyek serupa.
     

Metodologi: Studi Lapangan dan Kuantifikasi

Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kuantitatif. Data dikumpulkan melalui:

  • Observasi langsung di lapangan.

  • Pengambilan data produktivitas pekerjaan dinding (pasangan bata, plesteran, dan acian).

  • Penggunaan rumus produktivitas:
    P=VT×nP = \frac{V}{T \times n}
    Di mana:

    • PP: Produktivitas (m²/orang/hari)

    • VV: Volume pekerjaan

    • TT: Durasi pekerjaan (hari)

    • nn: Jumlah pekerja
       

Temuan Kunci: Produktivitas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi

Lokasi Surabaya

Data produktivitas diperoleh dari pekerjaan lantai 4 gedung di Surabaya. Hasil perhitungan menunjukkan variasi yang cukup mencolok:

  • Pemasangan Bata: Produktivitas tertinggi mencapai 1,32 m²/jam, terendah 0,19 m²/jam.

  • Plesteran: Rata-rata produktivitas berada di kisaran 0,29 – 0,49 m²/orang/jam.

  • Acian: Produktivitas harian tertinggi tercatat 2,32 m²/orang/jam.

Lokasi Samarinda

Data dari lantai 3 gedung di Samarinda memperlihatkan pola yang berbeda:

  • Pasangan Bata: Tertinggi di angka 0,45 m²/orang/jam, dengan fluktuasi lebih rendah dibandingkan Surabaya.

  • Plesteran: Fluktuasi rendah, rata-rata antara 0,3–0,38 m²/orang/jam.

  • Acian: Produktivitas puncak hingga 2,55 m²/orang/jam, cukup tinggi untuk skala proyek serupa.

Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas

Penelitian ini mengidentifikasi dua kategori besar faktor:

1. Faktor Internal

  • Jumlah pekerja: Terbukti sebagai faktor paling dominan. Tim dengan komposisi ideal (misal 2 tukang + 2 pembantu) menunjukkan efisiensi kerja yang lebih stabil.

  • Pekerjaan pengecoran dan pemasangan scaffolding: Memberi pengaruh langsung pada jeda kerja dan distribusi tenaga.

  • Kualitas mortar: Pengadukan yang tidak konsisten memperlambat proses plesteran.

  • Rotasi tugas pekerja: Mengurangi spesialisasi dan berdampak pada waktu penyelesaian.

2. Faktor Eksternal

  • Cuaca: Di Samarinda, hujan berkala menjadi penyebab keterlambatan kerja, terutama pada pekerjaan luar bangunan.

  • Ketersediaan material: Beberapa hari dalam data menunjukkan nihilnya produktivitas karena ketiadaan bahan bangunan.

 

Studi Kasus & Refleksi Lapangan

Salah satu hari di Surabaya (20 Maret 2021) menunjukkan produktivitas nol akibat ketidakhadiran pekerja dan material. Ini menunjukkan pentingnya sinkronisasi antarbagian dalam proyek. Dalam proyek swasta di Jakarta (2020), penambahan sistem ERP proyek berbasis mobile berhasil mengurangi “downtime” hingga 20%, dan produktivitas meningkat 12%.

Opini dan Komentar Kritis

Kelebihan Studi:

  • Penyajian data harian menjadikan hasil penelitian sangat aplikatif.

  • Peneliti melakukan verifikasi langsung di lapangan, meningkatkan validitas hasil.

Kelemahan yang Perlu Dikritisi:

  • Tidak disertakan data cuaca harian untuk korelasi lebih kuat terhadap produktivitas.

  • Hanya fokus pada pekerjaan dinding; padahal pekerjaan lain seperti instalasi dan finishing juga memberi pengaruh terhadap ritme proyek.
     

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini memperkuat hasil studi oleh Hutasoit & Sibi (2017) yang menyatakan bahwa jumlah pekerja dan metode kerja adalah faktor utama dalam produktivitas kerja dinding. Namun, David dkk. juga menambahkan dimensi lain: pengaruh teknis operasional seperti pengadukan mortar dan pemasangan scaffolding, yang sering kali luput diperhatikan dalam studi teoritis.

Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi

Berikut beberapa rekomendasi berbasis temuan:

  • Atur komposisi tim kerja secara cermat: Komposisi 2 tukang + 2 pembantu tukang terbukti ideal dalam banyak kasus.

  • Optimalkan logistik mortar: Gunakan sistem batching onsite untuk menjaga kualitas adukan.

  • Buat checklist cuaca dan pasokan harian untuk menghindari hari-hari nihil produktivitas.

  • Digitalisasi dokumentasi produktivitas harian agar dapat dilakukan evaluasi mingguan berbasis data.

 

Kaitan dengan Tren Global

Produktivitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Negara seperti Vietnam dan Thailand telah menerapkan sistem reward produktivitas harian yang terbukti mendorong pekerja untuk lebih efisien. Temuan dari studi ini bisa menjadi masukan bagi kontraktor dalam negeri yang ingin mengejar ketertinggalan tersebut.

Kesimpulan: Kuantitas Pekerja Masih Jadi Kunci

Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa jumlah pekerja merupakan faktor dominan yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding di proyek konstruksi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti durasi pengecoran, kualitas mortar, serta kehadiran perancah (scaffolding) juga memiliki dampak nyata terhadap output harian.

Sumber Referensi

Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
David Trisno, Emmanuel Wendy Secio, Sentosa Limanto. (2022). "Studi Awal pada Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi pada Bangunan di Surabaya dan Samarinda". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 1, pp. 33–39.
eISSN: 2775-0213 – Link Jurnal Resmi

Selengkapnya
Produktivitas Pekerjaan Konstruksi di Indonesia: Studi Lapangan Surabaya & Samarinda

Proyek Kontruksi

Mengungkap Strategi Ampuh: Indikator Kunci Meningkatkan Produktivitas Pekerja Konstruksi

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025


Latar Belakang: Produktivitas sebagai Penentu Keberhasilan Proyek

Dalam dunia konstruksi, produktivitas pekerja bukan sekadar indikator efisiensi, melainkan nyawa dari sebuah proyek. Rendahnya produktivitas bukan hanya menambah durasi pengerjaan, tetapi juga membengkakkan biaya dan memengaruhi reputasi perusahaan. Menurut Ghodrati et al. (2018), sekitar 50–70% waktu kerja pekerja konstruksi justru dihabiskan untuk aktivitas tidak produktif. Ironisnya, hal ini telah menjadi pola umum di berbagai proyek, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.

Artikel ini hadir sebagai respons terhadap fenomena tersebut dengan mengidentifikasi indikator paling relevan dalam meningkatkan produktivitas, berdasarkan studi kasus pada proyek high-rise dan low-rise building di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Penelitian ini tidak hanya memberikan peta indikator yang komprehensif, tapi juga memperbandingkan perbedaan signifikan antar jenis proyek.

Tujuan Penelitian dan Metode

Tujuan Utama:

  • Mengidentifikasi indikator paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.

  • Menganalisis perbedaan persepsi antara proyek high-rise dan low-rise building.

Metodologi:

  • Responden: 60 pekerja proyek (30 dari high-rise dan 30 dari low-rise).

  • Instrumen: Kuesioner dengan skala Likert 1–6.

  • Uji validitas dan reliabilitas dilakukan melalui IBM SPSS Statistics 25.

  • Analisis Mean dan Independent Sample T-Test digunakan untuk pembanding.
     

Temuan Kunci: Indikator yang Membentuk Produktivitas

High-Rise Building: Pengarahan adalah Segalanya

Berdasarkan hasil kuisioner, indikator "memberi pengarahan sebelum pekerjaan" menduduki peringkat pertama pada proyek high-rise building dengan nilai mean 5,733. Hal ini sangat masuk akal mengingat kompleksitas proyek vertikal yang tinggi dan melibatkan banyak risiko keselamatan. Tanpa pengarahan yang jelas, pekerja bisa melakukan kesalahan fatal.

Low-Rise Building: Komunikasi Menjadi Kunci

Berbeda dengan proyek high-rise, responden pada proyek low-rise building memilih indikator “komunikasi agar tugas dan wewenang jelas” sebagai yang paling penting (mean 5,767). Hal ini menunjukkan bahwa pada proyek berskala kecil-menengah, alur komunikasi yang ringkas dan jelas lebih mendesak ketimbang pengarahan teknis yang rumit.

Analisis Perbandingan: Apakah Proyek High-Rise dan Low-Rise Sama?

Menggunakan Independent Sample T-Test, penulis menemukan perbedaan yang signifikan dalam 11 dari 42 indikator. Salah satu yang paling mencolok adalah pada indikator pelatihan:

  • Pelatihan pekerja

    • High-rise: Mean = 5,467 (Ranking 13,5)

    • Low-rise: Mean = 4,233 (Ranking 38)

    • Artinya, proyek high-rise sangat bergantung pada pelatihan karena kompleksitas alat dan risiko tinggi.

Begitu juga pada indikator kepemimpinan:

  • Pelatihan kepemimpinan

    • High-rise: Mean = 5,433

    • Low-rise: Mean = 4,267

 

Perbedaan ini menggarisbawahi pentingnya struktur organisasi dan distribusi tanggung jawab yang lebih sistematis di proyek high-rise, yang tidak terlalu krusial di proyek low-rise.

Studi Kasus dan Penerapan Nyata

Misalnya, pada proyek pembangunan apartemen bertingkat di Surabaya yang melibatkan lebih dari 300 tenaga kerja, pengarahan harian pagi terbukti mengurangi kesalahan lapangan hingga 18% dalam 3 bulan pertama (berdasarkan laporan kontraktor lokal). Sementara itu, pada proyek perumahan tapak berskala kecil di Sidoarjo, penunjukan koordinator komunikasi terbukti meningkatkan koordinasi tim dan mempercepat penyelesaian 2 hari lebih cepat dari jadwal.

Opini Kritis dan Implikasi Praktis

Kritik Konstruktif:

  • Meskipun artikel ini kaya data, namun cakupan geografis terbatas hanya pada Surabaya dan sekitarnya. Padahal kondisi produktivitas pekerja bisa sangat bervariasi di kota lain seperti Jakarta atau Medan.

  • Tidak ada pemisahan responden berdasarkan jenis jabatan (mandor vs tukang vs pekerja), yang bisa memperkaya analisis persepsi produktivitas.

Implikasi Praktis:

  • Kontraktor proyek vertikal harus menstandardisasi SOP pengarahan pagi dan dokumentasi kerja.

  • Proyek skala menengah dapat lebih fokus pada penguatan komunikasi interpersonal dan manajemen tim kecil.

  • Penggunaan pekerja paruh waktu harus dibatasi, kecuali di tahap akhir proyek yang tidak membutuhkan keterampilan spesifik.
     

Kaitan dengan Tren Industri Global

Sejalan dengan temuan Goodrum & Haas (2004), teknologi dan manajemen sumber daya manusia adalah dua sisi mata uang yang menentukan efisiensi kerja. Di era digitalisasi konstruksi, indikator seperti "penggunaan teknologi peralatan" harus lebih didorong. Misalnya, aplikasi berbasis BIM (Building Information Modelling) dan penggunaan sistem ERP telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 30% di proyek-proyek besar di Jepang dan Singapura.

Kesimpulan: Tidak Ada “One-Size-Fits-All”

Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa indikator produktivitas bersifat kontekstual. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua jenis proyek. Proyek high-rise membutuhkan sistem pengarahan dan pelatihan intensif, sementara proyek low-rise lebih membutuhkan kejelasan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik.

Sumber Referensi

Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
Christopher Kurniawan, Olivia Reynalda Tandean, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja. (2022). "Indikator dalam Upaya Memperbaiki Produktivitas Pekerja Konstruksi". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2, pp. 62–69.
eISSN: 2775-0213 – Tautan resmi jurnal

Selengkapnya
Mengungkap Strategi Ampuh: Indikator Kunci Meningkatkan Produktivitas Pekerja Konstruksi
« First Previous page 3 of 5 Next Last »