Pertanian

Pohon Kelapa: Keajaiban Tropis yang Menyegarkan dan Multifungsi

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 29 April 2025


Pohon kelapa, yang secara ilmiah dikenal sebagai Cocos nucifera, termasuk dalam keluarga pohon palem (Arecaceae) dan merupakan satu-satunya spesies yang masih hidup dalam genus Cocos. Terkenal dengan kegunaannya yang beragam, ikon tropis ini bukan hanya sekedar tanaman biasa, tetapi juga merupakan landasan ekosistem pesisir, yang menawarkan rezeki, sumber daya, dan makna budaya. Berasal dari Pulau Asia Tenggara, perjalanan kelapa dapat ditelusuri hingga ke era Neolitikum, menemani para pelancong Austronesia mengarungi samudera yang luas. Adopsi kelapa oleh beragam budaya, dari Kepulauan Pasifik hingga Madagaskar dan sekitarnya, menggarisbawahi perannya sebagai pendamping penting dalam ekspedisi pelayaran kuno.

Kontribusi kelapa menjangkau spektrum yang luas dari kebutuhan manusia, berfungsi sebagai sumber makanan, hidrasi, dan bahan bangunan. Buah berbiji yang sering disalahartikan sebagai kacang ini menyimpan harta karun berupa sumber daya yang berlimpah: mulai dari air kelapa yang menyegarkan hingga santan yang serbaguna, dan dari daging buahnya yang bergizi hingga minyaknya yang berharga yang diekstrak untuk keperluan kuliner dan kosmetik. Di luar dari hasil yang dapat dilihat, kelapa memiliki makna budaya dan religius yang mendalam di berbagai masyarakat. Dalam budaya Austronesia di Pasifik Barat, kelapa terjalin ke dalam mitologi dan ritual, sementara dalam agama Hindu, kelapa memiliki peran sentral dalam upacara dan pemujaan. Fenomena "kematian karena kelapa" yang penuh teka-teki menggarisbawahi keberadaannya dalam cerita rakyat dan takhayul.

Terlepas dari ketahanan dan kemampuannya untuk beradaptasi, pohon kelapa menghadapi ancaman dari hama dan penyakit, yang menimbulkan tantangan bagi budidaya komersial. Namun, nilai ekonomisnya tetap tak terbantahkan, dengan Indonesia, India, dan Filipina yang secara kolektif menyumbang sebagian besar pasokan kelapa dunia. Secara etimologis, istilah "kelapa" berasal dari bahasa Portugis "coco" yang berarti "kepala" atau "tengkorak", setelah tiga lekukan pada tempurung kelapa yang menyerupai ciri wajah.

Deskripsi Pohon Kelapa

Cocos nucifera, pohon kelapa, berdiri tegak, mencapai ketinggian hingga 30 meter. Daunnya yang menyirip, dengan rentang 4-6 meter, menghiasi pohon yang megah ini dengan anggun. Dengan perawatan yang tepat, pohon kelapa ini menghasilkan buah yang melimpah, meskipun biasanya berkisar antara 30 hingga 75 buah per tahun. Di seluruh budaya Pasifik kuno, varietas kelapa kerdil yang sesuai dengan tipe aslinya telah dihargai karena pertumbuhannya yang lebih lambat dan airnya yang lebih manis. Saat ini, kultivar modern seperti Maypan dan King menawarkan spektrum rasa dan warna yang memperkaya lanskap kelapa.


Telapak tangan penuh dengan buah

Secara botani, kelapa adalah buah berbiji, dengan lapisan yang terdiri dari eksokarp, mesokarp, dan endokarp. Strukturnya yang unik menjadi tempat penyimpanan air dan daging kelapa yang berharga, mendukung perkecambahan dan memberi nutrisi pada bibit. Kelapa yang dibudidayakan, dengan bentuknya yang bulat dan endosperma yang banyak, berbeda dengan varietas liar yang memiliki buah memanjang dan cocok untuk disebarkan ke laut. Perbedaan ini, yang dikenal sebagai niu kafa dan niu vai, mencerminkan interaksi manusia selama berabad-abad dengan buah serbaguna ini.

Dengan berat sekitar 1,4 kilogram, kelapa matang dihargai karena airnya yang menyegarkan dan dagingnya yang lembut. Sementara kelapa yang dijual secara lokal tetap mempertahankan sabutnya, kelapa yang ditujukan untuk ekspor akan dibuang sabutnya, sehingga meningkatkan aksesibilitas konsumen namun mempersingkat penyimpanan pascapanen. Sistem perakaran kelapa sawit yang berserat dan tidak memiliki akar tunggang, memastikan stabilitas dan penyerapan nutrisi. Sementara itu, sifatnya yang berumah satu memfasilitasi pembungaan yang berkelanjutan dan potensi penyerbukan silang.

Penyebaran dan Habitat

Kelapa yang rendah hati telah melakukan perjalanan yang luar biasa, menyebar dari rumah leluhurnya di wilayah Indo-Pasifik Tengah ke hampir setiap sudut daerah tropis. Pengembaraan yang luar biasa ini terkait erat dengan migrasi maritim prasejarah bangsa Austronesia, yang membawa kelapa sebagai tanaman sampan penting ke pulau-pulau yang baru dihuni.

Map of the Pacific and Indian oceans
Kronologis penyebaran masyarakat Austronesia di Indo-Pasifik

Studi genetika mengungkap kisah yang menarik - populasi kelapa terbagi menjadi dua garis keturunan yang berbeda. Kelompok Pasifik menunjukkan tanda-tanda domestikasi oleh bangsa Austronesia, seperti perawakan kerdil dan buahnya yang bulat. Sebaliknya, varietas Indo-Atlantik memiliki ciri-ciri leluhur yang menunjukkan bahwa mereka dibudidayakan secara mandiri oleh bangsa Dravida di India selatan.

Penyebaran kelapa ini dibantu oleh buahnya yang mengapung dan tahan air... cocok untuk perjalanan laut dalam jarak yang sangat jauh. Beberapa orang berpendapat bahwa kelapa berevolusi untuk penyebaran di laut, sementara yang lain berpendapat bahwa strukturnya yang kokoh melindungi kelapa dari benturan di medan berbatu. Apapun itu, pelaut yang luar biasa ini telah melintasi lautan selama ribuan tahun... pertama kali dibawa dengan sengaja oleh pelaut kuno, dan kemudian berkembang biak di seluruh dunia melalui jaringan perdagangan kolonial.

Dari pantai Melanesia yang bermandikan sinar matahari hingga pulau-pulau Karibia yang rimbun, kelapa menjadi bukti nyata dari keberanian nenek moyang kita dalam mengarungi samudra dan ikatan yang tak terpisahkan antara migrasi manusia dan tumbuhan selama berabad-abad.

Produksi dan Budidaya

Pada tahun 2022, produksi kelapa global mencapai 62 juta ton, didominasi oleh Indonesia, India, dan Filipina. Namun, membudidayakan pohon kelapa membutuhkan kondisi yang spesifik: iklim tropis yang panas dan lembab. Tanpa kehangatan dan kelembapan yang cukup, pohon kelapa sulit untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah, sehingga menjadi tantangan tersendiri di daerah kering.

Budidaya pohon kelapa secara ekstensif di daerah tropis telah menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan habitat, terutama di ekosistem bakau seperti hutan bakau Petenes di Yucatán. Hebatnya, pohon kelapa dapat mentolerir pengairan dengan air laut, sebuah sifat unik di antara tanaman lainnya.

Budidaya kelapa mencakup berbagai kultivar, yang dikategorikan sebagai tinggi, kerdil, atau hibrida. Beberapa, seperti 'Malayan dwarf,' menunjukkan ketahanan terhadap penyakit seperti penyakit kuning yang mematikan, sementara yang lain, seperti 'Jamaican tall,' lebih rentan. Faktor-faktor seperti ketahanan terhadap kekeringan dan karakteristik buah mempengaruhi pemilihan kultivar.

Memanen kelapa melibatkan metode tradisional seperti memanjat dan pendekatan yang lebih modern seperti menggunakan galah atau bahkan robot otomatis. Meskipun memanjat masih umum dilakukan, namun hal ini menimbulkan risiko bagi keselamatan dan kesehatan pekerja. Di wilayah seperti Filipina dan Guam, para pekerja menggunakan teknik inovatif seperti melubangi batang kelapa untuk membuat tangga darurat.

Keputusan kapan waktu yang tepat untuk memanen kelapa sangatlah penting, dan para peneliti sedang mengembangkan teknik yang tepat seperti sonometri untuk menilai kematangan secara akurat. Di beberapa daerah, seperti Papua Nugini, kelapa dikumpulkan begitu saja saat jatuh ke tanah, sementara daerah lain menggunakan kera terlatih untuk memanen kelapa, sebuah praktik kontroversial yang disorot oleh organisasi hak asasi hewan.

Di daerah beriklim lebih dingin, palem alternatif seperti palem ratu dan Beccariophoenix alfredii menawarkan pengganti kelapa, meskipun buahnya lebih kecil dan menyerupai kelapa. Sawit ini membutuhkan suhu di atas 18°C untuk tumbuh subur dan menghasilkan buah, sehingga cocok untuk daerah yang beriklim lebih sejuk.

Secara keseluruhan, budidaya dan pemanenan kelapa melibatkan perpaduan antara metode tradisional, teknik inovatif, dan pertimbangan lingkungan, yang mencerminkan keragaman yang kaya dan signifikansi global dari buah ikonik ini.

Pemanfaatan Pohon Kelapa

Pohon Kelapa, yang sering disebut sebagai "pohon kehidupan", memiliki posisi sentral dalam budaya tropis karena berbagai kegunaannya. Mulai dari kelezatan kuliner seperti santan dan minyak hingga aplikasi non-kuliner seperti kerajinan dan konstruksi, setiap bagian dari kelapa memiliki kegunaan. Dengan manfaat nutrisinya, produk serbaguna, dan signifikansi ekologisnya, kelapa benar-benar mendapatkan reputasi yang terhormat sebagai simbol kelimpahan dan keberlanjutan.


Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Pohon Kelapa: Keajaiban Tropis yang Menyegarkan dan Multifungsi

Pertanian

Mengenal Kapas, Serat Halus Alami yang Mendunia

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 29 April 2025


Kapas adalah serat alami yang tumbuh dalam selubung pelindung yang disebut boll di sekitar biji tanaman kapas yang termasuk dalam genus Gossypium dalam keluarga Malvaceae. Serat yang terutama terbuat dari selulosa ini juga dapat mengandung sejumlah kecil lilin, lemak, pektin, dan air. Di lingkungan alaminya, buah kapas membantu penyebaran benih.

Berasal dari daerah tropis dan subtropis di seluruh dunia, termasuk Amerika, Afrika, Mesir, dan India, kapas merupakan tanaman perdu dengan keanekaragaman spesies liar yang paling banyak ditemukan di Meksiko, Australia, dan Afrika. Kapas dibudidayakan secara mandiri di Dunia Lama dan Dunia Baru.

Serat kapas biasanya dipintal menjadi benang atau benang, menciptakan tekstil yang lembut, bernapas, dan tahan lama. Penggunaan kapas untuk kain sudah ada sejak zaman kuno, dengan sisa-sisa yang ditemukan di peradaban seperti Lembah Indus dan Peru, yang berasal dari milenium kelima sebelum masehi dan 4200 sebelum masehi. Namun, penemuan mesin pemintal kapaslah yang secara signifikan mengurangi biaya produksi, sehingga akhirnya digunakan secara luas. Saat ini, kapas adalah serat alami yang paling umum digunakan dalam pakaian.

Produksi kapas global diperkirakan mencapai sekitar 25 juta ton atau 110 juta bal per tahun, memanfaatkan 2,5% lahan subur di dunia. India memegang gelar sebagai produsen kapas terbesar, sementara Amerika Serikat tetap menjadi eksportir utama selama bertahun-tahun.

Jenis - jenis Kapas

Terdapat empat spesies utama kapas yang telah dibudidayakan untuk tujuan komersial sejak zaman kuno:

  • Gossypium hirsutum: Juga dikenal sebagai kapas dataran tinggi, kapas ini berasal dari Amerika Tengah, Meksiko, Karibia, dan Florida bagian selatan. Spesies ini menyumbang 90% produksi kapas dunia.
  • Gossypium barbadense: Disebut sebagai kapas serat ekstra panjang, kapas ini berasal dari daerah tropis Amerika Selatan dan menyumbang sekitar 8% produksi kapas global.
  • Gossypium arboreum: Dikenal sebagai kapas pohon, kapas ini berasal dari India dan Pakistan dan menyumbang kurang dari 2% produksi kapas.
  • Gossypium herbaceum: Spesies ini, yang juga disebut kapas Levant, berasal dari Afrika bagian selatan dan Jazirah Arab, dan menyumbang kurang dari 2% produksi kapas global.

Varietas kapas hibrida juga dibudidayakan. Spesies Dunia Baru, terutama Gossypium hirsutum dan Gossypium barbadense, mendominasi produksi kapas modern, sedangkan spesies Dunia Lama digunakan secara luas sebelum tahun 1900-an. Serat kapas alami tersedia dalam berbagai warna seperti putih, cokelat, merah muda, dan hijau. Kekhawatiran akan kontaminasi genetik telah membuat banyak wilayah melarang penanaman varietas kapas berwarna.

Penanaman Kapas

Budidaya kapas membutuhkan kondisi spesifik termasuk periode bebas embun beku yang panjang, sinar matahari yang cukup, dan curah hujan yang sedang, biasanya berkisar antara 50 hingga 100 cm per tahun. Meskipun kapas secara alami merupakan tanaman tahunan, kapas ditanam sebagai tanaman semusim untuk mengatasi hama. Penanaman dilakukan pada musim semi, bervariasi dari awal Februari hingga Juni di belahan bumi utara. Wilayah penghasil kapas terbesar, South Plains di Amerika Serikat, sangat bergantung pada irigasi, terutama dari Ogallala Aquifer. Toleransi kapas terhadap garam dan kekeringan membuatnya cocok untuk daerah kering, tetapi praktik irigasi yang tidak tepat dapat menyebabkan penggurunan, seperti yang terlihat di Uzbekistan.

Pemanenan kapas di wilayah seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia umumnya menggunakan metode mekanis seperti pemetik kapas atau alat pengupas. Metode-metode tersebut dilakukan setelah menggunakan bahan kimia perontok bulu kapas atau setelah proses defoliasi alami akibat suhu beku.

Kapas hasil rekayasa genetika (GM), yang dikenal sebagai kapas Bt, telah dikembangkan untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida. Penyisipan gen dari bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) memungkinkan tanaman kapas menghasilkan insektisida alami yang berbahaya bagi hama tertentu, sehingga mengurangi kebutuhan akan insektisida berspektrum luas. Akan tetapi, beberapa hama tetap tidak terpengaruh, sehingga membutuhkan penggunaan insektisida tambahan dalam situasi tertentu. Adopsi kapas transgenik telah menjadi signifikan secara global, terutama di negara-negara seperti India dan Amerika Serikat.

Produksi kapas organik menghindari modifikasi genetik dan bahan kimia pertanian sintetis, sehingga mendorong keanekaragaman hayati dan keberlanjutan ekologi. Terlepas dari tantangan yang ditimbulkan oleh hama seperti ulat kapas dan hama pengisap, produksi kapas organik berkembang pesat, terutama untuk produk-produk seperti pakaian bayi dan popok.

Secara historis, hama seperti kumbang buah kapas telah menghancurkan produksi kapas, tetapi program pemberantasan yang sukses, bersama dengan pengenalan kapas transgenik, telah meningkatkan manajemen hama di banyak wilayah. Akan tetapi, tantangan tetap ada, termasuk evolusi biotipe baru serangga dan patogen yang mengancam hasil panen kapas.

Pemanenan kapas

Pemanenan kapas di wilayah seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Australia umumnya melibatkan metode mekanis. Hal ini mencakup penggunaan pemetik kapas atau pengupas kapas. Pemetik kapas dengan hati-hati mengeluarkan kapas dari buah kapas tanpa merusak tanaman, sedangkan pengupas kapas membuang seluruh buah kapas dari tanaman. Di daerah yang rawan angin kencang, pengupas kapas lebih disukai daripada pemetik. Metode mekanis ini biasanya digunakan setelah penggunaan bahan kimia defoliant atau ketika defoliasi alami terjadi setelah suhu beku. Perlu dicatat bahwa di daerah tropis di mana kapas merupakan tanaman tahunan, penggundulan hutan atau pembekuan diperlukan untuk menghentikan pertumbuhan tanaman.


Disadur dari: en.wikipedia.org

 

Selengkapnya
Mengenal Kapas, Serat Halus Alami yang Mendunia

Pertanian

Kedaulatan Pangan: Sebuah Tinjauan Mendalam

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 29 April 2025


Definisi

Konsep "kedaulatan pangan" berasal dari Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional, pada tahun 1996, dan sejak saat itu telah diadopsi oleh berbagai entitas global, termasuk Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Awalnya diartikulasikan dalam "Deklarasi Nyéléni" pada tahun 2007 dan disempurnakan lebih lanjut di Eropa pada tahun 2011, kedaulatan pangan telah diintegrasikan ke dalam konstitusi dan undang-undang setidaknya di tujuh negara pada tahun 2020.

Sejarah

Kedaulatan pangan, sebuah gerakan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Slow Food, muncul baru-baru ini namun mendapatkan momentumnya seiring dengan upaya berbagai negara untuk membangun sistem pangan yang mengatasi ketidakadilan.

Pertemuan global

"Deklarasi Nyéléni," yang diadopsi oleh 500 delegasi dari lebih dari 80 negara di Forum Kedaulatan Pangan 2007 di Sélingué, Mali, menggarisbawahi kedaulatan pangan sebagai hak masyarakat untuk mendapatkan makanan yang sehat dan sesuai dengan budaya mereka yang diproduksi secara berkelanjutan. Forum ini menekankan pada ekonomi lokal dan nasional, pertanian yang digerakkan oleh petani, serta keberlanjutan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan kedaulatan pangan pemerintah

Tantangan dalam produksi, distribusi, dan akses pangan menyoroti dimensi politik. Para pengkritik berpendapat bahwa gerakan seperti Revolusi Hijau gagal mengatasi akses lahan dan kesenjangan ekonomi, sementara para pendukung kedaulatan pangan mengadvokasi kebijakan yang memberdayakan masyarakat lokal dan mempromosikan keanekaragaman pertanian. Contoh dari Venezuela dan Ekuador menggambarkan upaya untuk mengabadikan kedaulatan pangan ke dalam undang-undang, termasuk langkah-langkah untuk melindungi keanekaragaman hayati dan membatasi monokultur. Negara-negara lain seperti Mali, Bolivia, Nepal, Senegal, dan Mesir telah mengikuti langkah tersebut, mengintegrasikan kedaulatan pangan ke dalam kerangka hukum mereka.

Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat

1. Dampak Global
Perubahan iklim menimbulkan tantangan yang signifikan terhadap ketahanan pangan masyarakat adat di seluruh dunia, terutama penduduk Kepulauan Pasifik dan mereka yang berada di Lingkar Utara, karena naiknya permukaan air laut dan erosi.

2. Perampasan Budaya
Ada kekhawatiran bahwa kedaulatan pangan masyarakat adat sedang dirampas sebagai masakan trendi untuk konsumsi umum, yang mengakibatkan permintaan yang lebih besar untuk makanan pokok budaya di luar masyarakat adat, sehingga menyulitkan populasi ini untuk mengakses makanan tradisional mereka.

3. Kedaulatan Pangan Pribumi di Amerika Serikat
Penduduk asli Amerika menghadapi tantangan langsung dalam memperoleh dan menyiapkan makanan tradisional mereka, yang menyebabkan masalah kesehatan seperti diabetes dan penyakit jantung. Perpindahan dari tanah leluhur telah berkontribusi pada kerawanan pangan massal, sehingga mendorong para aktivis untuk mengadvokasi revitalisasi praktik-praktik tradisional, mengembangkan ekonomi pangan lokal, dan menegaskan hak atas kedaulatan pangan dan benih.

4. Tantangan dan Solusi
Terganggunya jalur pangan tradisional terkait dengan terputusnya hubungan antara masyarakat adat dengan tanah leluhur mereka, yang dipicu oleh faktor-faktor seperti rasisme dan kolonialisme. Terbatasnya akses terhadap makanan tradisional telah menyebabkan prevalensi kerawanan pangan dan masalah kesehatan yang lebih tinggi di kalangan masyarakat adat, yang diperparah oleh prevalensi makanan olahan. Meskipun merupakan negara berdaulat, suku-suku asli Amerika menerima dukungan terbatas dari pemerintah AS dalam merehabilitasi jalur makanan tradisional, yang menyoroti perlunya pengakuan yang lebih besar terhadap kedaulatan suku dalam proses pengambilan keputusan.

Kedaulatan pangan vs ketahanan pangan

Kedaulatan Pangan:
Kedaulatan pangan, sebuah konsep yang dicetuskan pada tahun 1996 oleh para produsen skala kecil yang terorganisir dalam gerakan sosial transnasional La Via Campesina (LVC), menekankan perlunya masyarakat memiliki kendali atas produksi, pengolahan, dan distribusi pangan mereka. Tidak seperti ketahanan pangan, yang berfokus pada memastikan akses terhadap makanan yang cukup dan bergizi, kedaulatan pangan melangkah lebih jauh dengan mengadvokasi petani kecil dan pertanian yang dimiliki secara kolektif, perikanan, dan sektor-sektor penghasil pangan lainnya. Hal ini bertujuan untuk menangkal jalur industrialisasi pangan dan mendorong distribusi yang adil atas lahan pertanian, air, dan benih, serta dukungan terhadap pertanian skala kecil yang produktif.

Ketahanan Pangan:
Ketahanan pangan, sebagaimana didefinisikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), mengacu pada ketersediaan, akses, dan pemanfaatan makanan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan makanan untuk hidup aktif dan sehat. Meskipun ketahanan pangan menekankan pada jaminan akses terhadap nutrisi yang cukup bagi semua orang, ketahanan pangan dapat bergantung pada produksi dalam negeri dan impor global. Namun, para kritikus berpendapat bahwa fokus pada ketahanan pangan sering kali mengarah pada dukungan terhadap pertanian korporat berskala besar dan industri, yang dapat berkontribusi pada perampasan produsen kecil dan degradasi ekologi dalam skala global.

Kritik terhadap Revolusi Hijau

Teori Sistem Pangan

Philip McMichael membahas dikotomi antara "pertanian dunia" berdasarkan Perjanjian Pertanian WTO dan gerakan kedaulatan pangan, yang menekankan pada lokalisme agroekologi. Penelitian terbaru oleh Harriet Friedman menunjukkan bahwa adopsi "makanan dari tempat lain" sudah terjadi dalam rezim lingkungan perusahaan.

Kritik
1. Asumsi yang salah: Beberapa ahli berpendapat bahwa gerakan kedaulatan pangan membuat asumsi yang salah, terutama mengenai pertanian skala kecil sebagai pilihan gaya hidup. Para pengkritik berpendapat bahwa meskipun gerakan ini mengkritik ideologi ekonomi neoliberal, gerakan ini mengabaikan masalah kelaparan di bawah rezim sosialis.
2. Model Politik-Hukum: Terdapat kekurangan konsensus dalam gerakan kedaulatan pangan mengenai bidang politik dan hukum untuk menuntut demokratisasi. Para pengkritik mempertanyakan kesesuaian antara kedaulatan nasional dengan kedaulatan masyarakat lokal.
3. Krisis Petani: Henry Bernstein mengkritik penggambaran gerakan ini mengenai populasi petani sebagai sebuah kategori sosial yang terpadu, dengan menyoroti keragaman di dalam komunitas-komunitas ini. Dia berpendapat bahwa kecenderungan konservatif gerakan ini muncul dari reaksi terhadap globalisasi.


Disadur dari: en.wikipedia.org 

Selengkapnya
Kedaulatan Pangan: Sebuah Tinjauan Mendalam

Pertanian

Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Menyusun IoT untuk Meningkatkan Efisiensi Pertanian Hidroponik

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 April 2025


BANDUNG, itb.ac.id—Salah satu akibat dari bertambahnya populasi manusia di muka bumi adalah permintaan pangan yang semakin meningkat. Tantangannya, luas lahan pertanian semakin berubah fungsinya menjadi pemukiman sebagai tempat tinggal manusia. Solusi yang dapat diterapkan salah satunya adalah teknologi hidroponik yang dapat dilakukan di lahan yang sempit sekalipun.

Peningkatan produksi akan sejalan dengan keuntungan yang didapat pada teknologi hidroponik. Oleh karena itu, tim peneliti yang terdiri atas Maman Budiman, Ph.D. (KK Fisika Instrumentasi dan Komputasi, FMIPA ITB), Dr. Nina Siti Aminah (KK Fisika Instrumentasi dan Komputasi, FMIPA ITB), dan Ant. Ardath Kristi, S.T., (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dengan dua mahasiswanya, Efraim Partogi dan Prianka Anggara, melakukan penelitian dengan merancang purwarupa sistem instrumentasi berbasis Internet of Things (IoT) pada pertanian berteknologi hidroponik.

Lewat sistem ini, parameter fisis dipantau untuk mengetahui pengaruh proses produksi sehingga dapat dikendalikan. Tak hanya itu, tim peneliti juga menggunakan Machine Learning (ML) sehingga dapat diprediksi hasil produksi dari hidroponik yang diuji. Program ML yang digunakan adalah algoritma dari random forest regressionlinear regression, dan polynomial regression.

Dikutip dari laman LPPM ITB, tanaman yang diteliti adalah pakcoy (Brassica rapa subsp. Chinensis) dan kangkung (Ipomoea aquatic) dengan sistem hidroponik Nutrient Film Technique (NFT).

“Penelitian ini dilakukan pada hidroponik ‘Blessing Farm’ di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Intensitas cahaya yang digunakan untuk penelitian kali ini diatur sedemikian rupa dengan atap, sehingga intensitas cahaya yang masuk tidak sama dengan yang keluar. Sedangkan sistem nutrisinya bertumpu pada satu tangki nutrisi untuk keseluruhan tanaman,” ujar tim peneliti.

Artikel ini telah dipublikasikan di Rubrik Rekacipta ITB Media Indonesia. Artikel lengkapnya dapat dibaca melalui tautan berikut: https://research.lppm.itb.ac.id/information/hidroponik_komersial_berbasis_internet_of_things

Untuk dapat memantau parameter fisis dari pertumbuhan tanaman hidroponik, diperlukan sistem instrumentasi yang tersusun dari sensor dan komponen. Keseluruhan sensor dihubungkan dengan mikrokontroler yang masing-masingnya memiliki modul wi-fi untuk menghubungkan sensor ke server. Kemudian, data yang didapat diolah dan disimpan dalam basis data dan dibagi menjadi data training dan data testing. Data training digunakan untuk membuat model prediksi, yang kemudian diuji performanya menggunakan data testing. Jika tingkat performa belum sesuai dengan kriteria performa yang diinginkan, ataupun jika terdapat penambahan data, maka dilakukan training kembali hingga model dapat mencapai tingkat performa yang diinginkan.

Dari data temperatur udara dan larutan, kelembapan udara, intensitas cahaya, hingga total dissolved solid (TDS) yang diamati sebagai variabel independen, didapat luas dan banyaknya daun serta tinggi tanaman sebagai variabel dependen yang diprediksi.

Koefisien determinasi tertinggi pada prediksi proses produksi tanaman pakcoy tertinggi didapat dari program algoritma random forest regression senilai 0,933. Selain itu, diperoleh data variabel independen pada produksi pakcoy dan kangkung yang paling mempengaruhi pertumbuhan tanaman –yang dengan begitu dapat menjadi variabel kontrol yang didapat, adalah TDS dan intensitas cahaya. Tidak berhenti sampai disini, sistem control TDS akan dibuat dari hasil beberapa model dengan menerapkan program random forest regression. Dengan begitu, produksi daun dapat tumbuh secara optimal pada berbagai cuaca.


Sumber: www.itb.ac.id 

Selengkapnya
Peneliti dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Menyusun IoT untuk Meningkatkan Efisiensi Pertanian Hidroponik

Pertanian

Kontribusi Perkebunan Rakyat pada Sektor Sawit di Indonesia

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 27 Maret 2025


Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mencatat perkebunan sawit rakyat berkontribusi besar terhadap industri kelapa sawit nasional, yang telah berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja dan kinerja ekspor. Kemenko Perekonomian mencatat kontribusi sawit nasional yaitu di antaranya mengentaskan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk lebih dari 16 juta tenaga kerja. Selain itu, industri komoditas tersebut memiliki kontribusi terbesar terhadap ekspor non migas dengan menyumbang 15,6 persen dari total ekspor non migas 2020.

Hal itu dinilai menjadi faktor utama untuk kelapa sawit menjadi tulang punggung perekonomian nasional dan primadona komoditas sektor industri ekspor. Terkait pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), peran minyak sawit dalam mencapai target yang telah disepakati secara global, antara lain sebagai sumber energi bersih dan terbarukan yang mendukung ketahanan energi nasional; penyediaan bahan makanan; penciptaan lapangan kerja; pengentasan kemiskinan; serta pengurangan ketimpangan sosial dan ekonomi.

Hasil rekonsiliasi luas tutupan kelapa sawit nasional yang dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian tahun 2019 telah mengidentifikasi seluas 16,38 juta ha, dengan distribusi luas perkebunan rakyat (baik swadaya maupun kemitraan) sebesar 6,72 juta ha (41 persen); perkebunan besar negara sebesar 0,98 juta ha (6 persen); dan perkebunan besar swasta sebesar 8,68 juta ha (53 persen).

Para ahli juga telah memproyeksikan sampai dengan tahun 2030 distribusi luas tutupan kelapa sawit akan didominasi oleh perkebunan rakyat mencapai 60 persen; perkebunan besar swasta sebesar 36 persen; dan perkebunan besar negara sebesar 4 persen. Data-data di atas menunjukan bahwa peranan perkebunan rakyat memiliki kontribusi yang signifikan dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sebagai negara produsen terbesar yang menguasai sekitar 55 persen pangsa pasar minyak sawit dunia, serta memanfaatkan tidak lebih dari 10 persen dari total global land bank for vegetable oil, Indonesia mampu menghasilkan 40 persen dari total minyak nabati dunia. “Keunggulan kelapa sawit dibanding komoditi pesaing minyak nabati lainnya adalah mempunyai produktivitas yang lebih tinggi, sehingga luas lahan yang digunakan untuk memproduksi minyak sawit lebih sedikit,” ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutannya pada webinar “Perkuat Kemitraan Petani Sawit dengan Pola Terkini untuk Masa Depan Sawit Indonesia Berkelanjutan” seperti dikutip dari siaran resmi, Selasa (5/10/2021).

Untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit hanya membutuhkan lahan 0,3 ha, sementara rapeseed oil butuh lahan seluas 1,3 ha, sunflower oil seluas 1,5 ha dan soybean oil seluas 2,2 ha. “Industri ini sangat strategis. Kami berharap semua komponen masyarakat termasuk juga Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR - Indonesia terus mengembangkan dan menjaga sustainability industri ini,” tutur Airlangga. Pemerintah juga tetap berkomitmen untuk melakukan peremajaan (replanting) sebanyak 540.000 ribu hektar kebun kelapa sawit milik petani sampai dengan tahun 2024. Tantangan yang dihadapi minyak sawit Indonesia dalam kompetisi perdagangan minyak nabati dunia saat ini semakin kompleks. Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil atau ISPO) diharapkan dapat menjadi hal yang bisa diterima secara global.

Di samping itu, pengembangan pola-pola kemitraan perlu dilakukan guna menjawab tantangan dan tentunya untuk memperkuat supply chain, serta agar petani kebun juga mendapatkan fasilitas terutama untuk meningkatkan produktivitas sekaligus bisa mendapatkan pembiayaan. Peranan asosiasi petani kelapa sawit dan asosiasi pengusaha kelapa sawit diharapkan dapat duduk bersama dengan Pemerintah untuk mencari titik temu dalam menjawab tantangan pola kemitraan perkebunan kelapa sawit sehingga tercipta iklim usaha yang sehat di masa yang akan datang.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat, atau ASPEKPIR-Indonesia , juga dapat berkontribusi dengan membangun awareness dan persepsi positif industri kelapa sawit dengan menyampaikan informasi yang akurat dan benar terkait pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia kepada khalayak umum. “Saya yakin, ASPEKPIR-Indonesia mampu berperan secara nyata bersama pemerintah serta stakeholder untuk membangun industri ini agar kuat, berkelanjutan, dan bermanfaat bagi masyarakat Indonesia,” tutup Airlangga.


Sumber: ekonomi.bisnis.com 

Selengkapnya
Kontribusi Perkebunan Rakyat pada Sektor Sawit di Indonesia

Pertanian

Membahas Tentang Konsep Perkebunan Inti Rakyat

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 27 Maret 2025


Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan model pengembangan perkebunan rakyat pada lahan terbuka baru yang inti merupakan perkebunan besar yang membangun dan menguasai perkebunan rakyat disekitarnya sebagai plasma dalam kerjasama yang saling menguntungkan, holistik dan berkelanjutan. Tanaman inti manusia adalah salah satu bentuk pertanian kontrak. Perkebunan inti sering dikaitkan dengan program imigrasi, seperti di Indonesia dan Papua Nugini, di mana tanaman seperti kelapa sawit, karet, teh, dll. Pembangunan pembibitan dan fasilitas umum seperti jalan, sekolah, tempat ibadah, klinik. dan lainnya terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga nuklir manusia.

Salah satu tujuan model pertanian skala kecil adalah untuk memobilisasi keunggulan atau keahlian teknis dan manajerial dari pertanian besar untuk membantu mengembangkan pertanian plasma bagi pemukim yang tidak memiliki tanah di lahan yang cocok untuk ditanami.

Konsep

Peternakan besar seperti inti dan petani kecil seperti plasma mempunyai hak dan kewajiban masing-masing. Tanggung Jawab Inti Perusahaan:

  • Membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengolahan yang dapat menampung hasil perkebunan inti dan plasma.
  • Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan standar operasional yang telah diatur.
  • Bertindak sebagai pelaksana penyiapan fasilitas umum.
  • Membina petani agar mampu mengusahakan kebunnya dengan baik.
  • Membeli hasil kebun plasma.

Kewajiban petani plasma:

  • Melaksanakan pemeliharaan dan pengusahaan kebunnya sesuai dengan standar operasional yang telah diatur oleh perusahaan inti.
  • Menjual hasil produksi kebun plasmanya kepada perusahaan inti.

Sejarah pelaksanaan pola PIR di Indonesia

Pengembangan perkebunan tipe PIR di Indonesia diawali dengan beberapa proses persiapan, yang dimulai dengan penguatan perusahaan perkebunan nasional bantuan dengan Bank Dunia hingga menjadi perusahaan inti yang potensial. Pengembangan model PIR dimulai dengan rangkaian proyek Assisted PIR yang kemudian menjadi SPN dengan bantuan Bank Dunia, disusul oleh Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Jerman. Pada awal pengembangan model PIR diterapkan oleh 7 PTP yang kini menjadi PT Perkebunan Nusantara (lihat Daftar Badan Usaha Milik Negara Indonesia), proses validasi model PTP dilaksanakan dalam tiga tahap.

  • Tahapan pertama (1969-1972), Memberikan bantuan Kredit Bank Dunia kepada 7 PTP.
  • Tahapan kedua (mulai 1973), Merintis proyek pola Unit Pelayanan Pengembangan (UPP) dan pola PIR yang dimulai dengan pembentukan Proyek Pengembangan Perkebunan Rakyat Sumatera Utara (P3RSU) dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN).
  • Tahapan ketiga (mulai 1973), Penandatanganan perjanjian pinjaman proyek NES I dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatera Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80-an, yaitu proyek NES IV Betung.
     

Sumber: id.wikipedia.org 

Selengkapnya
Membahas Tentang Konsep Perkebunan Inti Rakyat
« First Previous page 4 of 27 Next Last »