Ekonomi Hijau

Mengukur Kemajuan Sirkular: Pemantauan dan Evaluasi Ekonomi Sirkular dalam Pembangunan Nasional

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Transisi menuju ekonomi sirkular tidak dapat berjalan tanpa sistem pemantauan dan evaluasi yang kuat. Dalam konteks pembangunan nasional, keberhasilan kebijakan hanya dapat diukur apabila tersedia mekanisme yang memastikan setiap langkah implementasi sesuai dengan rencana strategis yang telah disusun. Karena itu, ekonomi sirkular sebagai agenda lintas sektor memerlukan pendekatan monitoring and evaluation (M&E) yang terintegrasi dalam siklus perencanaan nasional.

Berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006, siklus pembangunan terdiri atas empat tahapan utama: penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan. Dalam konteks ekonomi sirkular, tahapan ini berfungsi memastikan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas program lintas kementerian dan daerah, sekaligus menjadi sarana pembelajaran untuk penyempurnaan kebijakan di masa depan.

Keterpaduan Perencanaan dan Pemantauan

Integrasi ekonomi sirkular dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029 menandai langkah penting menuju kebijakan pembangunan yang adaptif terhadap keberlanjutan sumber daya. Melalui dokumen ini, rencana aksi ekonomi sirkular menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam penyusunan strategi sektoral dan perencanaan daerah.

Agar implementasi berjalan efektif, Kementerian PPN/Bappenas bertindak sebagai koordinator pemantauan lintas lembaga, dibantu oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di tingkat daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pemerintah provinsi berperan sebagai pengawas serta fasilitator untuk sinkronisasi program pusat dan daerah.

Kerangka koordinasi pemantauan ini membagi peran aktor menjadi tiga kategori utama:

  1. Promotor, yaitu Kementerian PPN/Bappenas yang memastikan strategi nasional berjalan sesuai visi pembangunan jangka panjang.

  2. Fasilitator, seperti Kemendagri, yang berperan menghubungkan kebijakan pusat dan daerah.

  3. Enabler, yaitu kementerian teknis dan pelaku non-pemerintah (industri, akademisi, NGO) yang menjadi pelaksana sekaligus penyedia data lapangan.

Pelaksanaan dan Evaluasi Program Sirkular

Pemantauan ekonomi sirkular dilakukan melalui dua mekanisme utama:

  1. Pelaksana dan Pemantau Aksi Ekonomi Sirkular, yang bertanggung jawab atas perencanaan, pengumpulan data, dan pelaporan capaian setiap program prioritas.

  2. Pelaksana Evaluasi dan Pelaporan Aksi Ekonomi Sirkular, yang menilai efektivitas dan dampak kebijakan secara menyeluruh, dikoordinasikan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan input, output, dan outcome dari setiap program. Indikator yang digunakan meliputi efisiensi penggunaan sumber daya, nilai tambah ekonomi, serta tingkat pengurangan limbah. Proses ini tidak hanya bertujuan menilai keberhasilan, tetapi juga memperkuat mekanisme transparansi publik melalui pelaporan terbuka kepada para pemangku kepentingan.

Tujuan Strategis Pemantauan dan Evaluasi

Sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) ekonomi sirkular memiliki tiga tujuan utama:

  • Mengetahui capaian secara reguler, untuk mengukur kemajuan implementasi rencana aksi sesuai target tahunan RPJMN.

  • Memperkuat kebijakan, melalui pembaruan berbasis bukti (evidence-based policy).

  • Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, dengan memperluas akses data dan pelibatan masyarakat dalam penilaian capaian pembangunan.

Melalui pendekatan ini, data hasil pemantauan tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga sumber inovasi kebijakan yang dapat menyesuaikan arah strategi nasional terhadap dinamika ekonomi global dan kebutuhan lokal.

Kesimpulan

Pemantauan dan evaluasi bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan jantung dari tata kelola pembangunan berkelanjutan. Dengan integrasi ekonomi sirkular dalam RPJPN dan RPJMN, Indonesia menegaskan komitmennya terhadap sistem perencanaan yang akuntabel dan berbasis hasil. Penguatan mekanisme pelaporan dan koordinasi lintas sektor akan memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau berjalan terukur, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Program Pembangunan Nasional Berbasis Hasil. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Kerangka Pembiayaan Ekonomi Hijau dan Mekanisme Pelaporan Kinerja Fiskal Berkelanjutan. Jakarta: Kemenkeu RI.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Panduan Sinkronisasi Program Ekonomi Sirkular Pusat dan Daerah. Jakarta: Kemendagri RI.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2022). Laporan Nasional Implementasi Ekonomi Sirkular dan Pengurangan Limbah. Jakarta: KLHK RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Measuring Circular Economy Progress: Policy Indicators and Evaluation Frameworks. Paris: OECD Publishing.

United Nations Development Programme (UNDP). (2023). Monitoring and Evaluation Frameworks for Circular Economy Transitions. New York: UNDP.

World Bank. (2024). Green Growth Policy Implementation and Evaluation in Developing Economies. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Mengukur Kemajuan Sirkular: Pemantauan dan Evaluasi Ekonomi Sirkular dalam Pembangunan Nasional

Ekonomi Hijau

Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan: Ekonomi Sirkular dalam Sektor Pertanian Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional. Namun, di tengah dinamika perubahan iklim, degradasi lahan, urbanisasi cepat, dan pertumbuhan populasi yang diproyeksikan mencapai 319 juta jiwa pada 2045, sistem pangan Indonesia menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Tantangan tersebut tidak hanya menyangkut ketersediaan dan distribusi pangan, tetapi juga efisiensi sumber daya, kesejahteraan petani, dan dampak ekologis dari proses produksi yang masih linear.

Selama beberapa dekade, model pertanian konvensional cenderung mengandalkan input tinggi—pupuk kimia, pestisida sintetis, dan eksploitasi lahan intensif—untuk mengejar produktivitas jangka pendek. Namun, pendekatan ini justru menimbulkan ketergantungan struktural terhadap sumber daya tak terbarukan dan memperparah penurunan kualitas tanah serta kerentanan terhadap perubahan iklim. Laporan Peta Jalan Ekonomi Sirkular Nasional (Bappenas, 2024) menegaskan bahwa sistem pangan Indonesia menghasilkan 48 juta ton limbah setiap tahun, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai Rp551 triliun.

Kondisi tersebut mengindikasikan urgensi transformasi mendasar dalam sistem pangan nasional. Pendekatan ekonomi sirkular menawarkan paradigma baru—dari pola produksi “ambil, buat, buang” menjadi sistem yang menjaga nilai sumber daya selama mungkin, meminimalkan limbah, dan menciptakan keseimbangan antara efisiensi ekonomi serta keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks pangan dan pertanian, hal ini berarti mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam, memperpanjang umur bahan pangan, serta menutup siklus nutrien melalui pengelolaan limbah organik.

Lebih dari sekadar konsep lingkungan, ekonomi sirkular berpotensi menjadi strategi pembangunan pedesaan yang inklusif. Melalui inovasi teknologi seperti Internet of Things (IoT), sistem pertanian presisi, dan rantai pasok digital, petani kecil dapat meningkatkan efisiensi dan memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Di sisi lain, sektor swasta memiliki peluang besar untuk mengembangkan model bisnis baru berbasis biomassa, kompos, dan bahan pangan alternatif.

Dengan demikian, penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan dan pertanian tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global yang semakin menuntut keberlanjutan.

 

Transformasi Sistem Pangan Melalui Prinsip Sirkularitas

Penerapan ekonomi sirkular dalam sektor pangan menuntut perubahan paradigma yang menyeluruh — dari bagaimana bahan pangan diproduksi, diproses, hingga dikonsumsi. Prinsip dasarnya adalah menjaga sumber daya tetap berada dalam siklus ekonomi selama mungkin melalui desain sistem pangan yang regeneratif. Pendekatan ini tidak hanya menekan pemborosan, tetapi juga membangun ketahanan terhadap guncangan iklim dan pasar global.

Secara konseptual, ekonomi sirkular di bidang pangan beroperasi melalui empat prinsip utama:

  1. Regenerasi Sumber Daya Alam.
    Sistem pertanian sirkular tidak lagi mengekstraksi sumber daya hingga habis, tetapi memulihkannya. Praktik seperti pertanian organik, agroforestri, dan rotasi tanaman mampu meningkatkan kesuburan tanah serta menekan emisi karbon. Penggunaan pupuk organik dan biochar juga membantu menyimpan karbon di tanah sambil meningkatkan produktivitas jangka panjang. Inisiatif seperti Sustainable Landscape Management Program di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa sistem ini dapat menekan deforestasi hingga 12% per tahun sambil menjaga hasil panen stabil.

  2. Desain untuk Ketahanan Pangan.
    Diversifikasi pangan lokal menjadi kunci mengurangi ketergantungan pada komoditas impor seperti gandum dan kedelai. Pengembangan tanaman adaptif—sorgum, sagu, porang, hingga singkong—dapat memperkuat cadangan pangan nasional sekaligus menyesuaikan dengan kondisi agroekologis daerah. Pendekatan ini mendukung kemandirian pangan dan menghidupkan kembali rantai nilai komoditas lokal yang selama ini terpinggirkan.

  3. Pengelolaan Limbah Pangan sebagai Sumber Daya.
    Limbah organik memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola secara tepat. Konversi sisa pangan menjadi pakan ternak, pupuk cair, atau biogas dapat mengurangi beban TPA sekaligus membuka peluang usaha baru di tingkat komunitas. Di Bali, program Waste-to-Energy telah memanfaatkan lebih dari 1.000 ton limbah organik per bulan untuk menghasilkan listrik bagi fasilitas publik. Sementara di Yogyakarta, startup lokal mengubah ampas kopi menjadi media tanam jamur, memperlihatkan bahwa inovasi berbasis limbah dapat menciptakan nilai tambah ekonomi yang nyata.

  4. Digitalisasi dan Ketelusuran (Traceability).
    Digitalisasi rantai pasok pangan merupakan fondasi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Melalui pemanfaatan Internet of Things (IoT), blockchain, dan precision agriculture, petani dapat mengoptimalkan pemakaian air, pupuk, dan tenaga kerja. Sistem ketelusuran berbasis blockchain juga membantu konsumen memastikan keamanan dan keberlanjutan produk yang mereka beli. Model ini mulai diterapkan di industri perikanan dan kopi, namun potensinya besar untuk diperluas ke subsektor pangan pokok seperti beras dan sayuran.

Penerapan prinsip-prinsip di atas menuntut koordinasi lintas sektor yang kuat—antara kementerian, pelaku usaha, lembaga riset, dan masyarakat. Namun, keberhasilan jangka panjangnya akan menciptakan sistem pangan yang lebih adil, efisien, dan tangguh terhadap krisis.

Inovasi dan Praktik Terbaik di Indonesia (versi diperluas)

Transformasi menuju ekonomi sirkular dalam sistem pangan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran inovasi, kolaborasi lintas sektor, dan inisiatif berbasis komunitas. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelaku usaha, startup agritech, dan lembaga pemerintah telah mulai menerapkan praktik sirkular yang mengubah cara pangan diproduksi, diolah, dan dikonsumsi.

  1. Integrasi Sistem Closed-Loop di Industri Pangan Besar.
    Salah satu contoh paling menonjol datang dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk, yang mengimplementasikan sistem closed-loop supply chain dengan mengubah limbah hasil produksi seperti kulit singkong dan sisa tepung menjadi pakan ternak serta bahan bakar alternatif. Langkah ini tidak hanya mengurangi limbah produksi hingga 30%, tetapi juga menurunkan biaya energi secara signifikan. Strategi serupa mulai diterapkan oleh industri kelapa sawit dan tebu melalui pemanfaatan residu biomassa menjadi energi.

  2. Digitalisasi dan Efisiensi Melalui Agritech.
    Perkembangan teknologi digital memainkan peran penting dalam mempercepat adopsi sirkularitas di tingkat petani. Platform seperti eFishery, TaniHub, dan Sayurbox membantu memperpendek rantai distribusi, menghubungkan petani langsung ke konsumen, sekaligus menekan kehilangan hasil panen akibat distribusi panjang. Startup eFishery, misalnya, menggunakan sensor IoT untuk mengatur pakan ikan secara otomatis, mengurangi limbah pakan hingga 30% dan meningkatkan produktivitas budidaya sebesar 25%.

  3. Pengelolaan Limbah Organik oleh Komunitas Lokal.
    Di tingkat daerah, sejumlah inisiatif berbasis komunitas menunjukkan keberhasilan ekonomi sirkular skala kecil. Program Zero Waste Village di Kabupaten Banyumas dan Denpasar, misalnya, mengolah limbah organik rumah tangga menjadi pupuk kompos dan biogas untuk kebutuhan energi desa. Selain mengurangi beban TPA hingga 70%, kegiatan ini juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan, terutama perempuan.

  4. Inovasi Start-up dan Industri Kreatif.
    Inovasi di sektor pangan kini juga bergerak ke arah material alternatif dan pangan fungsional. Waste4Change, misalnya, berhasil membangun model bisnis berbasis pengelolaan limbah makanan restoran menjadi pupuk cair dan bahan baku biogas. Sementara MYCL (Mycotech Lab) mengembangkan teknologi berbasis mycelium untuk memanfaatkan limbah pertanian menjadi bahan pangan dan kemasan biodegradable. Praktik semacam ini menunjukkan potensi besar bagi penciptaan green jobs di sektor kreatif.

  5. Kemitraan Pemerintah dan Swasta.
    Pemerintah mulai menginisiasi model kemitraan Public-Private Partnership (PPP) dalam pengelolaan pangan sirkular. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Kementerian Pertanian, Bappenas, dan FAO dalam proyek Food Loss and Waste Roadmap 2022–2030. Program ini menargetkan pengurangan limbah pangan sebesar 50% pada 2040, melalui insentif fiskal, peningkatan infrastruktur penyimpanan dingin, dan kampanye konsumsi berkelanjutan.

Kombinasi inovasi digital, efisiensi rantai pasok, serta penguatan komunitas lokal menjadikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep, tetapi arah baru dalam membangun sistem pangan nasional yang lebih tangguh dan inklusif.

 

Kebijakan dan Arah Strategis Nasional 

Keberhasilan transformasi menuju sistem pangan dan pertanian sirkular sangat bergantung pada arah kebijakan dan koordinasi antar-lembaga pemerintah. Selama satu dekade terakhir, Indonesia telah menapaki serangkaian langkah strategis menuju ekonomi hijau, di mana sektor pangan menjadi fokus utama karena keterkaitannya langsung dengan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan ekologis.

Pemerintah Indonesia telah menempatkan isu pangan berkelanjutan dalam berbagai dokumen perencanaan nasional, antara lain:

  1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
    RPJMN generasi baru menegaskan pergeseran paradigma pembangunan menuju ekonomi hijau dan biru, dengan menempatkan pertanian regeneratif dan efisiensi rantai pasok pangan sebagai prioritas utama. Strategi ini menggarisbawahi pentingnya transisi menuju low-carbon agriculture, peningkatan produktivitas tanpa ekspansi lahan, serta perlindungan ekosistem pertanian dan pesisir.

  2. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG).
    Dokumen ini menekankan pentingnya pengurangan kehilangan dan pemborosan pangan (food loss and waste), peningkatan nilai tambah bahan pangan lokal, serta sinergi antara produksi dan konsumsi berkelanjutan. RAN-PG juga menjadi payung kebijakan untuk program Satu Data Pangan Nasional, yang memungkinkan sinkronisasi antara BPS, Kementerian Pertanian, dan Bappenas.

  3. Inisiatif Food Loss and Waste Roadmap 2022–2030.
    Disusun oleh Bappenas bekerja sama dengan FAO dan UNEP, peta jalan ini menargetkan pengurangan 50% limbah pangan pada 2040 melalui strategi pencegahan, redistribusi, dan pemanfaatan ulang. Fokus kebijakan diarahkan pada peningkatan kapasitas rantai dingin, insentif fiskal bagi pelaku usaha yang menerapkan praktik sirkular, serta integrasi sektor informal ke dalam sistem pengelolaan limbah pangan nasional.

  4. Program Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture / CSA).
    Didorong oleh Kementerian Pertanian dan dukungan lembaga internasional seperti IFAD dan World Bank, CSA menggabungkan inovasi teknologi pertanian presisi dengan pengelolaan sumber daya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Program ini berperan penting dalam memastikan transisi sirkular berjalan seiring dengan ketahanan ekonomi petani.

  5. Sinergi Ekonomi Hijau dan Biru.
    Integrasi program green economy (daratan) dan blue economy (kelautan) menjadi prioritas lintas kementerian, terutama dalam konteks rantai pangan terpadu. Sinergi ini melibatkan Kementerian KKP dan Kementerian Pertanian dalam pengelolaan limbah hasil laut menjadi pakan, pupuk organik, serta bahan baku bioenergi.

Kebijakan nasional ini menunjukkan bahwa arah transformasi ekonomi sirkular sektor pangan tidak hanya berfokus pada efisiensi produksi, tetapi juga pada keadilan sosial dan inklusivitas ekonomi. Pendekatan lintas sektor memastikan bahwa petani kecil, nelayan, dan UMKM pangan dapat menjadi bagian aktif dari transisi ini, bukan sekadar penerima dampaknya.

Lebih jauh lagi, Indonesia juga berperan di tingkat global. Dalam forum G20 2022 di Bali, pemerintah memperkenalkan komitmen Food Loss and Waste Reduction Initiative sebagai bagian dari agenda Sustainable Consumption and Production (SCP). Komitmen ini memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang mengedepankan kebijakan pangan sirkular berbasis data dan kolaborasi internasional.

 

Dampak Ekonomi dan Lingkungan

Penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan dan pertanian Indonesia membawa potensi manfaat yang sangat besar — tidak hanya dari sisi efisiensi sumber daya, tetapi juga pada penciptaan nilai ekonomi baru dan penguatan kesejahteraan masyarakat desa. Kajian simulatif Bappenas (2024) menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pangan sirkular dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi hijau nasional dengan dampak lintas sektor yang signifikan.

Secara kuantitatif, penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam rantai pasok pangan berpotensi:

  • Mengurangi limbah pangan hingga 50% pada 2040, melalui sistem pengumpulan dan redistribusi yang lebih efisien.

  • Menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 43 juta ton CO₂ per tahun, terutama dari sektor pertanian dan pengelolaan sampah organik.

  • Menghasilkan nilai ekonomi tambahan mencapai Rp330 triliun per tahun, yang bersumber dari pemanfaatan kembali limbah organik, inovasi bioteknologi, dan pengembangan produk pangan alternatif.

  • Menciptakan lebih dari 2,3 juta lapangan kerja baru, mayoritas di sektor pedesaan, yang berfokus pada pengelolaan sampah, kompos, logistik rantai dingin, dan pertanian presisi.

Selain manfaat ekonomi, transisi ini juga berdampak langsung terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial. Penggunaan kembali limbah organik sebagai pupuk dan energi mampu mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia serta memperbaiki struktur tanah. Dalam jangka panjang, hal ini menurunkan degradasi lahan dan meningkatkan produktivitas pertanian hingga 15–20% di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem regeneratif.

Dari perspektif sosial, penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan juga memperkuat ketahanan komunitas pedesaan. Melalui program seperti Desa Mandiri Energi dan Desa Pangan Lestari, masyarakat lokal memperoleh keterampilan baru di bidang pengolahan limbah, pengelolaan rantai nilai, hingga wirausaha sosial berbasis sumber daya alam. Dengan demikian, sirkularitas tidak hanya berorientasi pada efisiensi, tetapi juga pada pemberdayaan dan pemerataan ekonomi.

Lebih jauh, pengurangan food loss and waste juga memiliki dimensi moral dan etika yang penting. Setiap ton makanan yang diselamatkan berarti tambahan konsumsi bagi masyarakat rentan yang mengalami kekurangan gizi. Dalam konteks ini, sirkularitas pangan membantu mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 2 (Zero Hunger) dan nomor 12 (Responsible Consumption and Production) secara bersamaan.

Indonesia juga berpotensi menjadi hub pangan berkelanjutan Asia Tenggara, dengan kemampuan untuk mengekspor produk pertanian sirkular seperti pupuk organik, biofertilizer, dan bahan pangan alternatif berbasis tanaman lokal. Jika strategi nasional ini dijalankan secara konsisten, pada 2045 Indonesia dapat beralih dari negara agraris konvensional menjadi ekonomi pangan regeneratif, yang tidak hanya memberi makan rakyatnya tetapi juga menjaga keseimbangan ekologis planet.

 

Kesimpulan

Transformasi menuju sistem pangan dan pertanian yang sirkular merupakan langkah strategis bagi Indonesia untuk menjawab tiga tantangan besar abad ini: krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan keberlanjutan sumber daya. Pendekatan ekonomi sirkular bukan sekadar inovasi teknis, tetapi perubahan paradigma dalam melihat hubungan antara manusia, alam, dan ekonomi.

Melalui penerapan prinsip regeneratif, pemanfaatan teknologi digital, serta kebijakan lintas sektor yang terintegrasi, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem pangan yang tangguh dan adil. Upaya mengurangi limbah, memperkuat nilai tambah di hulu, dan memperluas pasar bagi produk berkelanjutan dapat menjadikan sektor pangan sebagai motor pertumbuhan hijau sekaligus pilar ketahanan nasional.

Lebih dari itu, ekonomi sirkular mengembalikan keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan. Ia membuka ruang bagi inovasi lokal, memperkuat peran petani dan pelaku UMKM, serta menegaskan bahwa pembangunan tidak harus menafikan kelestarian alam. Dengan arah kebijakan yang jelas dan komitmen lintas aktor, sektor pangan Indonesia dapat menjadi contoh nyata bagaimana ekonomi hijau dijalankan — bukan sekadar wacana, melainkan praktik yang memberi manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis secara bersamaan.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Program Climate-Smart Agriculture untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Kementan RI.

Kementerian PPN/Bappenas & Food and Agriculture Organization. (2022). Food Loss and Waste Roadmap Indonesia 2022–2030. Jakarta: FAO Indonesia.

Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Green Economy Framework Indonesia 2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular Economy and Food Systems: Closing the Loop for Sustainable Growth. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Circular Food Systems for Sustainable Future: Asia-Pacific Outlook. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Low Carbon Agriculture and Food Systems Transition in Indonesia. Washington, DC: World Bank Group.

Waste4Change. (2023). Circular Waste Management and Food Waste Innovation in Indonesia. Jakarta: Waste4Change.

eFishery. (2023). Impact Report: Smart Aquaculture and Circular Food Systems. Bandung: eFishery Indonesia.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan: Ekonomi Sirkular dalam Sektor Pertanian Indonesia

Ekonomi Hijau

Menenun Masa Depan Berkelanjutan: Transisi Ekonomi Sirkular di Sektor Tekstil Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Sektor tekstil merupakan salah satu tulang punggung industri manufaktur Indonesia, menyumbang 1,3% terhadap PDB nasional dan mempekerjakan jutaan tenaga kerja di berbagai rantai nilai. Namun, proses produksinya dikenal intensif sumber daya—baik energi, air, maupun bahan baku—dan menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Seiring meningkatnya tekanan global terhadap keberlanjutan industri fashion, Indonesia perlu mengarahkan transformasi sektor tekstil menuju ekonomi sirkular yang efisien, inklusif, dan rendah emisi.

Data Bappenas (2024) menunjukkan bahwa tingkat input material sirkular di sektor tekstil baru mencapai 2%, sementara tingkat daur ulang sekitar 12%, dan daya guna produk belum terukur karena keterbatasan data. Ini menandakan ruang yang luas untuk memperkuat strategi keberlanjutan di sepanjang rantai nilai tekstil nasional.

Tantangan Implementasi Ekonomi Sirkular Tekstil

Industri tekstil menghadapi empat tantangan utama:

  1. Permintaan produk tekstil berkelanjutan yang masih rendah.
    Konsumen belum sepenuhnya menghargai produk sirkular karena harga yang lebih tinggi. Meski beberapa perusahaan seperti PT Pan Brothers dan PT Asia Pacific Rayon (APR) telah menguji bahan daur ulang hingga 20%, pasar domestik belum cukup kuat untuk mendorong produksi berkelanjutan secara masif.

  2. Ekosistem pengelolaan limbah yang belum terintegrasi.
    Sekitar 462.000 ton limbah tekstil post-consumer per tahun masih berakhir di TPA atau dibakar. Tanpa sistem pengumpulan, pemilahan, dan daur ulang yang terstruktur, konsep close-loop system sulit diterapkan.

  3. Keterbatasan data nasional terkait praktik sirkular.
    Informasi tentang aliran material, penggunaan energi, dan daur ulang masih tersebar di berbagai lembaga tanpa standarisasi. Hal ini menyulitkan pengambilan keputusan berbasis bukti.

  4. Variasi skala industri dan umur mesin yang tua.
    Dari sektor hulu hingga hilir, terdapat ketimpangan besar antara industri besar (IBS) dan industri mikro kecil (IMK). Mesin berusia tua menghambat efisiensi sumber daya dan menghasilkan 10–20% limbah pra-konsumsi, yang sebagian besar belum dimanfaatkan kembali.

Inovasi dan Praktik Terbaik: Dari Pable hingga MYCL

Beberapa inisiatif lokal menunjukkan arah positif dalam mendorong sirkularitas tekstil:

  • Pable menerapkan pendekatan textile-to-textile recycling dengan memilah limbah kain berdasarkan warna untuk menghindari pencelupan berlebih dan menghemat air.

  • MYCL (Mycotech Lab) memanfaatkan limbah pertanian seperti ampas tebu dan serbuk kayu untuk menciptakan bahan tekstil alternatif berbasis jamur (mycelium), memperkenalkan bio-material yang ramah lingkungan.

  • PT Superbtex mengubah limbah tekstil pra dan pasca konsumsi menjadi bahan isolasi untuk industri otomotif dan konstruksi, menunjukkan potensi industrial symbiosis.

Kerangka Kebijakan dan Perbandingan Global

Indonesia telah mengeluarkan regulasi kunci, termasuk:

  • Permenperin No. 37 dan No. 40 Tahun 2022 tentang Standar Industri Hijau (SIH) Tekstil,

  • Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, dan

  • UU No. 18 Tahun 2008 serta PP No. 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga.

Sementara itu, Belanda telah menerapkan skema Extended Producer Responsibility (EPR) untuk tekstil sejak 2023, mewajibkan produsen mengelola daur ulang dan pembiayaan pengumpulan limbah. Model ini bisa menjadi inspirasi kebijakan di Indonesia.

Tahapan Implementasi dan Dampak Ekonomi

Peta jalan ekonomi sirkular sektor tekstil membagi tahapan transisi hingga 2045:

  • 2025–2029: Pembentukan ekosistem EPR dan infrastruktur pengumpulan limbah.

  • 2030–2034: Implementasi SIH, teknologi zero waste, dan recycled content.

  • 2035–2039: Penguatan daya saing global melalui efisiensi energi dan ekodesain.

  • 2040–2045: Sektor tekstil menjadi pilar utama ekonomi nasional berbasis sirkularitas.

Dampaknya tidak kecil: penerapan penuh ekonomi sirkular berpotensi menciptakan Rp19,3 triliun nilai ekonomi tambahan (5,5% dari PDB sektor tekstil) dan 164.000 lapangan kerja baru pada 2030, dengan 89% di antaranya diisi perempuan.

Kesimpulan

Transisi menuju ekonomi sirkular di sektor tekstil bukan hanya agenda lingkungan, melainkan strategi industrialisasi modern yang berkeadilan. Melalui kombinasi kebijakan EPR, inovasi teknologi, dan kolaborasi lintas aktor, Indonesia dapat menenun masa depan industri tekstil yang tangguh, hijau, dan berdaya saing global.

Selengkapnya
Menenun Masa Depan Berkelanjutan: Transisi Ekonomi Sirkular di Sektor Tekstil Indonesia

Ekonomi Hijau

Membangun Konstruksi Sirkular: Jalan Menuju Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Sektor konstruksi memiliki posisi penting dalam perekonomian nasional, menyumbang sekitar 10,1% terhadap PDB Indonesia pada 2019. Namun, aktivitas pembangunan yang masih bersifat linear telah menimbulkan tantangan besar terhadap lingkungan, termasuk tingginya emisi karbon dan volume limbah konstruksi. Pendekatan ekonomi sirkular menjadi jawaban strategis untuk menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dengan keberlanjutan sumber daya.

Melalui prinsip reduce, reuse, recycle, dan remanufacture, sektor ini dapat menekan konsumsi energi serta memperpanjang umur material bangunan. Analisis Bappenas menunjukkan bahwa tingkat input material sirkular sektor konstruksi telah mencapai 73%, sementara daya guna material baru 40% dan tingkat daur ulang 25%. Artinya, masih terdapat ruang besar untuk memperkuat efisiensi sumber daya di seluruh rantai nilai konstruksi nasional.

Kebijakan dan Praktik Konstruksi Berkelanjutan di Indonesia

Kementerian PUPR telah menerbitkan Permen No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan yang menegaskan pentingnya desain ramah lingkungan, efisiensi material, serta penggunaan bahan lokal dan prafabrikasi. Meski regulasi sudah tersedia, penerapannya masih terbatas dan bersifat sukarela.

Selain itu, Indonesia memiliki berbagai Green Rating System seperti:

  • Bangunan Gedung Hijau (BGH) dari Kementerian PUPR,

  • Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI), dan

  • EDGE Certification hasil kolaborasi dengan International Finance Corporation (IFC).

Ketiga sistem ini menilai efisiensi energi, air, dan penggunaan material berkelanjutan. Namun, hingga 2023, luas bangunan bersertifikat hijau baru mencapai 0,06% dari total luasan bangunan di Indonesia, menandakan rendahnya adopsi di lapangan.

Transformasi Teknologi: BIM dan Prefabrikasi sebagai Penggerak Efisiensi

Penerapan Building Information Modelling (BIM) menjadi elemen penting dalam mengubah paradigma konstruksi. BIM meningkatkan efisiensi desain, mengurangi kesalahan material, dan mampu menekan limbah konstruksi hingga 15%. Meski telah diatur melalui Permen PUPR No. 22/2018 dan No. 21/2021, hanya 42,5% proyek strategis nasional (PSN) yang telah mengimplementasikannya.

Selain BIM, penggunaan material prafabrikasi juga menjadi strategi utama dalam konstruksi berkelanjutan. Contohnya, 32 proyek infrastruktur Ibu Kota Negara (IKN) telah menggunakan beton prafabrikasi yang terbukti mempercepat waktu pengerjaan dan mengurangi limbah produksi.

Best Practices dan Inovasi Lokal

Beberapa inisiatif di dalam negeri menunjukkan arah positif penerapan ekonomi sirkular:

  • Jakarta International Stadium (JIS) menjadi contoh stadion pertama dengan sertifikasi greenship platinum karena menerapkan desain hemat energi, daur ulang air limbah, serta penggunaan cat netral karbon.

  • PT Semen Indonesia (SBI) mengintegrasikan waste heat recovery system dan bahan bakar alternatif RDF dari sampah perkotaan untuk produksi semen, menurunkan emisi hingga 11,4%.

  • Rebricks, startup lokal, mengubah limbah plastik fleksibel menjadi bahan bangunan seperti paving block dan roster, menunjukkan potensi urban mining dan inovasi berbasis sirkularitas.

Strategi dan Tahapan Implementasi Nasional

Peta jalan Bappenas menguraikan empat tahap implementasi hingga tahun 2045:

  1. 2025–2029: Pembentukan ekosistem dan regulasi pengelolaan limbah konstruksi.

  2. 2030–2034: Insentif dan investasi hijau untuk proyek berkelanjutan.

  3. 2035–2039: Regulasi daerah dan penerapan Green Rating System secara masif.

  4. 2040–2045: Konstruksi sirkular menjadi standar nasional dan rujukan internasional.

Dampaknya signifikan: pada 2030, penerapan ekonomi sirkular di sektor konstruksi dapat mengurangi 20% limbah, menciptakan 1,6 juta lapangan kerja baru, dan menghasilkan nilai ekonomi hingga Rp172,5 triliun, setara 6,3% dari PDB sektor konstruksi.

Kesimpulan

Transformasi menuju konstruksi sirkular bukan sekadar wacana lingkungan, melainkan investasi strategis bagi masa depan industri Indonesia. Dengan sinergi kebijakan, teknologi, dan partisipasi swasta, Indonesia dapat memperkuat ketahanan bahan baku, menekan emisi karbon, serta mendorong pertumbuhan ekonomi hijau yang inklusif.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2021). Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian PUPR RI.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia. (2018). Peraturan Menteri PUPR No. 22 Tahun 2018 tentang Building Information Modelling. Jakarta: Kementerian PUPR RI.

Green Building Council Indonesia (GBCI). (2023). Laporan Tahunan Greenship dan Perkembangan Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia. Jakarta: GBCI.

Ellen MacArthur Foundation. (2022). Circular Construction: Building a Framework for the Future. Cowes: EMF.

OECD. (2023). Circular Economy in the Built Environment: Closing Material Loops in Construction. Paris: OECD Publishing.

World Bank. (2023). Indonesia Green Construction Outlook 2023: Opportunities in Sustainable Infrastructure. Washington, DC: World Bank Group.

Asian Development Bank. (2022). Sustainable Infrastructure and Circular Economy Integration in Southeast Asia. Manila: ADB Publications.

Rebricks. (2024). Circular Innovation in Urban Waste Management. Jakarta: Rebricks Indonesia.

PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. (2023). Sustainability Report 2023: Toward Low-Carbon Cement Production. Jakarta: SIG.

Selengkapnya
Membangun Konstruksi Sirkular: Jalan Menuju Pembangunan Rendah Karbon Indonesia

Ekonomi Hijau

Paradigma Baru Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 20 Juni 2025


Mengapa Paradigma Ekonomi Hijau Kini Jadi Keniscayaan?

Indonesia, negara kepulauan terbesar keempat di dunia, telah mencatat pertumbuhan ekonomi stabil selama dua dekade terakhir. Namun, keberhasilan ekonomi ini dibayangi oleh ketergantungan tinggi pada eksploitasi sumber daya alam dan model pembangunan berkarbon tinggi yang menyebabkan kerusakan lingkungan, emisi gas rumah kaca (GRK) masif, dan ancaman serius terhadap keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Paper “Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia” yang dipimpin oleh Bappenas dan didukung berbagai pakar nasional-internasional, menjadi tonggak penting dalam mendorong perubahan paradigma pembangunan nasional menuju ekonomi hijau dan rendah karbon1.

Artikel ini akan membedah isi, angka-angka, serta studi kasus dari laporan tersebut, lalu mengaitkannya dengan tren global, kritik, dan peluang nyata bagi Indonesia.

Konteks Global: Dari “Business as Usual” ke Revolusi Ekonomi Hijau

Tren Dunia

Laporan New Climate Economy (2018) menegaskan, negara-negara yang berani bertransformasi ke ekonomi rendah karbon justru menikmati pertumbuhan lebih inklusif, inovatif, dan tahan krisis. Indonesia, sebagai negara G20 dan pengemisi karbon ke-4 dunia, menjadi laboratorium penting bagi dunia—apakah pertumbuhan ekonomi dan aksi iklim bisa berjalan beriringan?

Tantangan Indonesia

  • Emisi GRK naik 54% sejak 2000
  • 95% energi masih dari fosil (2015)
  • Deforestasi masif: 8 juta ha hutan primer hilang 2000–2017
  • Kerugian ekonomi akibat degradasi alam setara 7,2% GNI/tahun

Low Carbon Development Initiative (LCDI): Visi, Target, dan Skema Skenario

Visi LCDI

LCDI diluncurkan Bappenas pada 2017, bertujuan mengintegrasikan aksi iklim ke dalam agenda pembangunan nasional. Target utamanya:

  • Memastikan pertumbuhan ekonomi tetap tinggi,
  • Mengurangi kemiskinan,
  • Menjaga daya dukung lingkungan,
  • Mencapai target NDC (Nationally Determined Contribution) Paris Agreement.

Catatan: LCDI High mampu menurunkan emisi hampir 43% pada 2030, melampaui target NDC 41%1.

Studi Kasus & Angka Kunci: Manfaat Nyata Jalur Rendah Karbon

Dampak Ekonomi & Sosial

  • Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% per tahun hingga 2045
  • Penambahan lebih dari US$5,4 triliun ke PDB pada 2045
  • 15,3 juta lapangan kerja baru yang lebih hijau dan layak
  • Penurunan kemiskinan ekstrem jadi 4,2% pada 2045
  • 40.000 kematian per tahun dapat dicegah (perbaikan kualitas udara)
  • Hilangnya 16 juta ha hutan dapat dicegah

Dampak Lingkungan

  • Emisi GRK turun 43% pada 2030 (LCDI High)
  • Pada 2045, emisi turun 75% dibanding Base Case (LCDI Plus)
  • Perlindungan 41,1 juta ha hutan primer dan 15 juta ha gambut

Studi Kasus: Moratorium Hutan & Energi Terbarukan

  • Moratorium izin hutan dan sawit: 42,5 juta ha hutan dan gambut dilindungi, namun deforestasi masih terjadi, terutama di Papua dan Kalimantan.
  • Transisi energi: Target bauran energi terbarukan naik dari 8% (2015) ke 23% (2030), dan 30% (2045). Namun, subsidi energi fosil masih tinggi (US$30 miliar/tahun).

Analisis Skenario: Apa yang Terjadi Jika Tidak Berubah?

Base Case (Business as Usual)

  • Pertumbuhan ekonomi melambat ke 4,3% pada 2045
  • Emisi naik 23,9% pada 2030
  • Kemiskinan, kematian akibat polusi, dan kerugian ekonomi memburuk
  • Kerugian pendapatan kumulatif US$130 miliar (2019–2024)
  • Lebih dari 1 juta orang jatuh miskin dibanding skenario rendah karbon

LCDI High & Plus

  • Pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkelanjutan
  • Investasi tambahan yang dibutuhkan US$22–70 miliar/tahun (1,7–2,34% PDB)
  • Rasio investasi terhadap PDB justru lebih rendah dibanding skenario BAU, karena investasi lebih efisien dan produktif

Sektor Kunci: Energi, Lahan, dan Infrastruktur

1. Energi: Transisi dari Fosil ke Terbarukan

  • 95% energi dari fosil (2015): 44% minyak, 29% batu bara, 22% gas
  • Emisi energi naik 4,1%/tahun (2000–2017)
  • Biaya eksternalitas batu bara (polusi, kematian dini) sangat besar
  • Studi biaya (Gambar 4): Energi terbarukan (angin, surya, hidro) kini lebih murah dari batu bara jika memperhitungkan eksternalitas

2. Lahan: Deforestasi, Gambut, dan Moratorium

  • Deforestasi 8 juta ha hutan primer (2000–2017)
  • Konversi lahan terbesar: dari hutan sekunder ke pertanian (6,8 juta ha, 2000–2014)
  • Kebakaran hutan dan lahan gambut: 15% emisi lahan, bisa naik 40% di tahun kering
  • Moratorium hutan sawit dan tambang: efektif jika disertai penegakan hukum dan insentif ekonomi

3. Infrastruktur: Dari “Grey” ke “Green”

  • Investasi infrastruktur US$50 miliar/tahun (20% APBN)
  • Infrastruktur berkelanjutan (transportasi massal, energi bersih, perlindungan ekosistem) harus menjadi prioritas
  • Infrastruktur “grey” (jalan, PLTU batu bara, dsb) justru memperparah emisi dan kerusakan lingkungan

Kelebihan, Kritik, dan Perbandingan Global

Kelebihan LCDI

  • Pendekatan sistemik: Integrasi lintas sektor (energi, lahan, air, SDM)
  • Berbasis sains & model dinamis: IV2045, GLOBIOM-Indonesia, SpaDyn
  • Konsultasi multi-stakeholder: Pemerintah, swasta, LSM, donor internasional

Kritik & Tantangan

  • Implementasi kebijakan sering terhambat kepentingan politik dan ekonomi jangka pendek
  • Subsidi energi fosil masih masif
  • Penegakan moratorium hutan belum konsisten
  • Kapasitas kelembagaan dan pembiayaan hijau perlu ditingkatkan
  • Transisi harus adil (just transition): pekerja di sektor fosil dan masyarakat adat perlu perlindungan dan pelatihan ulang

Perbandingan Negara Lain

  • China: Sukses menurunkan kemiskinan, tapi dengan biaya lingkungan tinggi. Kini beralih ke ekonomi hijau, namun dengan tantangan polusi berat.
  • Vietnam & Malaysia: Mulai mengadopsi kebijakan energi terbarukan dan moratorium hutan, meski skalanya belum sebesar Indonesia.

Peluang & Rekomendasi: Menuju Indonesia Emas 2045 yang Hijau

Peluang

  • Indonesia bisa jadi contoh global transisi ekonomi hijau di negara berkembang
  • Potensi investasi hijau sangat besar: blended finance, green bonds, dana internasional
  • Teknologi terbarukan (surya, angin, baterai) semakin murah dan kompetitif
  • Peningkatan produktivitas lahan & efisiensi energi = pertumbuhan ekonomi lebih tinggi

Rekomendasi

  1. Reformasi Subsidi Energi: Alihkan subsidi fosil ke energi bersih dan infrastruktur hijau.
  2. Penegakan Moratorium Hutan: Perkuat monitoring, insentif ekonomi, dan perlindungan masyarakat adat.
  3. Investasi Infrastruktur Hijau: Prioritaskan transportasi massal, energi terbarukan, dan perlindungan ekosistem.
  4. Pendidikan & Pelatihan Ulang: Siapkan tenaga kerja untuk ekonomi hijau.
  5. Kolaborasi Global: Manfaatkan peluang pendanaan internasional dan transfer teknologi.

Tidak Ada Trade-Off, Hanya Kesempatan

Studi LCDI membuktikan, Indonesia tidak perlu memilih antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Jalur pembangunan rendah karbon justru menawarkan “win-win-win”: ekonomi tumbuh lebih tinggi, kemiskinan berkurang, lingkungan lebih lestari, dan Indonesia siap menjadi negara maju pada 2045. Tantangannya adalah keberanian politik, inovasi kebijakan, dan kolaborasi lintas sektor.

Sumber Artikel 

Low Carbon Development: A Paradigm Shift Towards a Green Economy in Indonesia. Ministry of National Development Planning/BAPPENAS (2019).

Selengkapnya
Paradigma Baru Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia
page 1 of 1