Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Gender, Interseksionalitas, dan Adaptasi Iklim
Isu perubahan iklim dan adaptasi bukan sekadar soal teknis atau ekologi, melainkan juga sangat terkait dengan keadilan sosial, gender, dan kerentanan multidimensi. Studi “Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions” yang diterbitkan Adaptation Fund (2022) membedah bagaimana strategi gender mainstreaming dalam program adaptasi iklim harus bertransformasi menjadi lebih interseksional—yaitu, mengakui dan mengatasi tumpang tindih kerentanan dan identitas sosial (gender, usia, etnis, status ekonomi, disabilitas, dll). Artikel ini mengulas isi, data, studi kasus, serta kritik dan rekomendasi praktis dari laporan penting ini.
Konsep Kunci: Dari Gender Mainstreaming Menuju Interseksionalitas
Evolusi Gender Mainstreaming
Mengapa Interseksionalitas Penting dalam Adaptasi Iklim?
Metodologi Studi
Temuan Utama: Praktik & Tantangan Interseksionalitas
1. Interseksionalitas dalam Kebijakan dan Program
2. Studi Kasus: Praktik Interseksional di Lapangan
Tanzania: Toolkit Pamoja Voices
Nepal: GESI dalam Penyuluhan Pertanian
Bangladesh: “Double Vulnerabilities” Gender dan Etnisitas
Analisis Sektor: Interseksionalitas dalam Adaptasi
1. Pertanian & Ketahanan Pangan
2. Kehutanan
3. Pengurangan Risiko Bencana
4. Air, Sanitasi, dan Kesehatan
Tantangan Implementasi: Data, Kapasitas, dan Politik
Nilai Tambah & Rekomendasi Praktis
Nilai Tambah Interseksionalitas
Rekomendasi
Hubungan dengan Tren Global & Industri
Kritik dan Opini
Kelebihan
Kekurangan
Kesimpulan: Interseksionalitas, Gender, dan Adaptasi Iklim—Dari Wacana ke Aksi
Studi Adaptation Fund ini menegaskan bahwa tanpa lensa interseksional, upaya adaptasi iklim berisiko memperkuat ketimpangan lama dan menciptakan kerentanan baru. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional dalam gender mainstreaming, program adaptasi dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan efektif. Kunci suksesnya adalah data terpilah, pelibatan kelompok rentan, inovasi metode, dan komitmen perubahan struktural. Transformasi ini adalah proses bertahap, namun setiap langkah kecil menuju interseksionalitas akan memperkuat ketahanan masyarakat di era krisis iklim.
Sumber Artikel
Adaptation Fund Board. (2022). A Study on Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions. AFB/B.37-38/Inf.1, 17 February 2022.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Air sebagai Isu Pembangunan dan Ancaman
Wilayah Arab, yang terdiri dari 22 negara dan lebih dari 360 juta jiwa, menghadapi tantangan air terberat di dunia. Dengan mayoritas wilayah berupa gurun, curah hujan minim, dan tekanan populasi yang meningkat pesat, kawasan ini hanya memiliki seperdelapan ketersediaan air per kapita dibanding rata-rata global. Laporan UNDP 2013 ini mengupas akar krisis air, menyoroti data dan studi kasus, serta menawarkan strategi tata kelola air yang adaptif dan inklusif.
Fakta dan Angka: Krisis Air yang Semakin Mendesak
Rata-rata ketersediaan air terbarukan di kawasan Arab hanya 743,5 meter kubik per kapita per tahun pada 2011, jauh di bawah ambang batas kelangkaan air (1.000 m³/kapita) dan rata-rata dunia (7.240 m³/kapita). Lima belas negara Arab sudah berada di bawah ambang kelangkaan parah, bahkan tujuh di antaranya di bawah 200 m³/kapita per tahun.
Populasi Arab diperkirakan melonjak dari 360 juta jiwa pada 2011 menjadi 634 juta jiwa pada 2050, dengan urbanisasi yang meningkat dari 57% ke 75%. Kesenjangan antara pasokan dan permintaan air yang sudah mencapai 43 kilometer kubik per tahun pada 2009, diprediksi membesar menjadi 127 kilometer kubik per tahun pada 2020–2030 jika tidak ada perubahan mendasar.
Sumber Air: Ketergantungan dan Inovasi
Kawasan Arab sangat bergantung pada sumber air nonkonvensional. Kapasitas desalinasi di wilayah ini menyumbang lebih dari 50% kapasitas dunia. Pada 2011, desalinasi memenuhi 1,8% kebutuhan air, dan diproyeksikan naik menjadi 8,5% pada 2025. Selain itu, air limbah terolah mencapai 6,5 miliar meter kubik per tahun, terutama untuk irigasi dan lanskap.
Strategi virtual water trade juga semakin penting. Impor pangan yang “mengandung” air meningkat dua kali lipat dalam satu dekade, dari 147,93 miliar meter kubik pada tahun 2000 menjadi 309,89 miliar meter kubik pada 2010. Ini menandakan ketergantungan pangan Arab pada sumber air luar negeri.
Studi Kasus: Praktik, Tantangan, dan Inovasi
Bendungan Aswan di Mesir
Pembangunan Aswan High Dam membawa manfaat besar: menjamin irigasi, mengurangi risiko banjir dan kekeringan, memperluas lahan pertanian, dan menghasilkan listrik. Namun, dampak sosialnya juga besar, seperti relokasi satu juta warga dan hilangnya situs sejarah Nubia. Secara lingkungan, bendungan ini menyebabkan penurunan kesuburan tanah delta, peningkatan salinitas, penyebaran penyakit air, dan penurunan hasil perikanan. Meski demikian, manfaat ekonominya tetap signifikan, setara dua persen PDB Mesir pada 1997.
Great Man-Made River di Libya
Proyek jaringan pipa terbesar dunia ini menyalurkan 6,5 juta meter kubik air per hari dari akuifer Nubian ke kota-kota utama Libya. Biaya proyek mencapai 20 miliar dolar AS, namun dinilai sepuluh kali lebih hemat daripada desalinasi. Tantangannya adalah ketergantungan pada air non-renewable yang bisa habis dalam 100 tahun, sementara 70% airnya digunakan untuk irigasi. Efisiensi ekonomi dan kelestarian akuifer menjadi pertanyaan besar.
Penurunan Air Tanah dan Salinisasi
Di Maroko, penurunan muka air tanah di Saïss Basin mencapai 70 meter dalam 25 tahun. Di Bahrain, seluruh akuifer alami telah hilang akibat pengambilan air berlebihan, dengan biaya pengganti setara 160 juta dolar AS per tahun. Gaza menghadapi krisis kualitas air, dengan 70–80% akuifer pantai terintrusi air laut dan kadar nitrat jauh di atas batas aman WHO.
Desalinasi dan Energi di Negara Teluk
Arab Saudi memiliki 35% kapasitas desalinasi Arab, menggunakan seperempat produksi minyak dan gasnya untuk listrik dan air—angka ini diprediksi naik hingga 50% pada 2030. Biaya desalinasi di kawasan ini berkisar 1–2 dolar AS per meter kubik, lebih mahal dibandingkan negara lain. Target kapasitas desalinasi akan naik signifikan, membutuhkan investasi puluhan miliar dolar AS.
Pengelolaan Air Limbah
Wilayah Arab menghasilkan 13,2 miliar meter kubik air limbah per tahun, namun hanya 40% yang diolah. Di GCC, 40% air limbah terolah digunakan untuk irigasi non-pangan, sementara di Yordania, 20% irigasi nasional berasal dari air limbah terolah. Tantangan utama adalah standar kualitas, penerimaan sosial, dan kapasitas monitoring yang masih rendah.
Rainwater Harvesting dan Cloud Seeding
Yordania berhasil meningkatkan efisiensi pertanian dan air domestik melalui rainwater harvesting. Sementara itu, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Yordania telah menguji cloud seeding yang meningkatkan curah hujan hingga 13% pada musim tertentu. Namun, tantangan teknis dan isu kepemilikan “awan” antarnegara masih menjadi hambatan.
Tantangan Tata Kelola: Kelembagaan, Sosial, dan Politik
Banyak negara Arab sudah memiliki kerangka hukum tata kelola air, namun implementasinya lemah akibat tumpang tindih otoritas, sentralisasi, dan kurang koordinasi. Pendanaan menjadi masalah besar, dengan kebutuhan investasi 200 miliar dolar AS dalam satu dekade ke depan. Negara kaya minyak relatif mampu, sementara negara miskin sangat bergantung pada donor.
Privatisasi layanan air diupayakan untuk efisiensi, namun sering menimbulkan kontroversi karena risiko ketidakadilan akses dan hilangnya kontrol publik. Kesenjangan akses masih lebar: pada 2010, 18% penduduk Arab belum memiliki akses air bersih, dan 24% tanpa sanitasi layak. Kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat miskin, dan minoritas paling terdampak.
Konflik dan Ketergantungan Lintas Batas
Lebih dari separuh air permukaan di kawasan Arab berasal dari luar wilayah. Negara seperti Mesir, Irak, dan Suriah sangat bergantung pada sungai lintas negara, seperti Nil, Tigris, dan Efrat. Konflik air kerap terjadi, baik terkait sungai maupun akuifer lintas negara. Ini menambah kompleksitas tata kelola dan menuntut diplomasi serta perjanjian baru yang adil.
Polusi dan Degradasi Lingkungan
Polusi pertanian dan domestik menyebabkan kadar nitrat di Gaza dan Tunisia mencapai 800 mg/l, jauh di atas batas aman. Eutrofikasi dan limbah industri mencemari danau dan sungai utama, seperti Danau Manzala di Mesir dan Upper Litani di Lebanon. Dampak ekologisnya termasuk hilangnya oasis, penurunan keanekaragaman hayati, dan desertifikasi yang semakin luas.
Analisis Kritis: Kelebihan, Gap, dan Peluang
Laporan UNDP ini sangat rinci dan komparatif, menghubungkan isu air, pangan, energi, kesehatan, dan keadilan sosial dengan pendekatan holistik. Studi kasus nyata dari berbagai negara memperkuat urgensi reformasi tata kelola air. Namun, implementasi kebijakan masih lemah, inovasi digital dan teknologi belum dioptimalkan, dan peran perempuan dalam tata kelola air belum diarusutamakan.
Peluang besar terbuka jika efisiensi irigasi bisa ditingkatkan, penggunaan air limbah terolah diperluas, dan desalinasi berbasis energi terbarukan diadopsi lebih luas. Rainwater harvesting dan teknologi murah sangat relevan untuk desa dan kota kecil. Kerja sama lintas negara dan pendekatan demand management juga menjadi kunci masa depan.
Hubungan dengan Tren Global dan Industri
Laporan ini sangat relevan dengan SDG 6 (Clean Water & Sanitation) dan SDG 13 (Climate Action). Konsep water-food-energy nexus mulai diadopsi, begitu pula solusi berbasis alam seperti restorasi lahan basah dan pengelolaan DAS partisipatif. Negara-negara maju seperti Singapura dan Belanda sudah memimpin dalam digitalisasi monitoring air, sesuatu yang perlu diadopsi di Arab.
Kritik dan Opini
Laporan ini wajib dibaca oleh pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi air di kawasan kering. Studi kasus dan data aktual memperkuat urgensi reformasi tata kelola air, dan analisis biaya-manfaat menegaskan bahwa investasi air dan sanitasi sangat menguntungkan. Namun, roadmap digitalisasi dan inovasi teknologi masih kurang, begitu pula pembahasan tentang adaptasi berbasis komunitas dan gender.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air Adaptif dan Inklusif
Krisis air di dunia Arab adalah krisis tata kelola, bukan sekadar kelangkaan fisik. Dengan tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan politik, hanya tata kelola yang adaptif, transparan, dan inklusif yang bisa menjamin masa depan air kawasan ini. Investasi pada efisiensi, inovasi, kerja sama lintas negara, dan pelibatan kelompok rentan adalah kunci. Laporan UNDP ini menjadi peta jalan penting menuju masa depan air yang aman, adil, dan berkelanjutan di dunia Arab.
Sumber Artikel
United Nations Development Programme, Regional Bureau for Arab States. (2013). Water Governance in the Arab Region: Managing Scarcity and Securing the Future. New York: UNDP.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Krisis Air dan Adaptasi di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi ketersediaan air dan ketahanan hidup masyarakat pedesaan, terutama di negara berkembang seperti Tanzania. Studi Theodory & Massoi (2023/24) membedah secara mendalam bagaimana komunitas petani dan pastoral di Distrik Kilosa menghadapi tantangan ini melalui tata kelola air adaptif. Artikel ini mengulas temuan utama, data lapangan, studi kasus, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan tata kelola air di era iklim ekstrem.
Konteks dan Relevansi: Mengapa Kilosa?
Kilosa, salah satu distrik di Morogoro, Tanzania, dikenal sebagai kawasan rawan konflik petani-penggembala dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Wilayah ini memiliki tiga zona agro-ekologi (dataran tinggi, dataran banjir, pegunungan) dan curah hujan tahunan 600–1400 mm, namun tetap menghadapi kekurangan air kronis akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan lahan.
Kombinasi Data Kualitatif dan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan campuran:
Perubahan Iklim: Persepsi dan Bukti Lapangan
Persepsi Masyarakat
“Rains were not sufficient, and they lasted for only a short period of time. We tried to prepare our farms early enough, but it did not rain on time.”
(Wawancara Petani, Mabwerebwere)
Bukti Kuantitatif
Dampak Perubahan Iklim terhadap Air dan Penghidupan
Ketersediaan Air
Dampak pada Pertanian dan Peternakan
Dampak Sosial-Ekonomi
Studi Kasus: Tata Kelola Air Adaptif di Parakuyo dan Mabwerebwere
Parakuyo: Integrasi Adat dan Formal
Mabwerebwere: Tantangan Infrastruktur dan Kesehatan
Collective Action: Kunci Ketahanan
Analisis Kritis: Tata Kelola Adaptif dan Tantangan Lapangan
Dimensi Tata Kelola Air
Kelebihan Sistem Adaptif
Tantangan dan Kesenjangan
Hubungan dengan Tren Global: SDGs, IWRM, dan Adaptasi Lokal
Opini, Kritik, dan Perbandingan
Nilai Tambah Studi
Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Ketahanan Air Dimulai dari Tata Kelola Adaptif
Studi Theodory & Massoi menegaskan bahwa ketahanan air di era perubahan iklim hanya bisa dicapai melalui tata kelola yang adaptif, partisipatif, dan kontekstual. Kunci keberhasilan di Kilosa adalah kolaborasi antara lembaga formal dan adat, aksi kolektif masyarakat, serta pembelajaran berkelanjutan. Tantangan infrastruktur, kualitas air, dan konflik tetap ada, namun dengan penguatan kapasitas lokal dan investasi berkelanjutan, komunitas pedesaan dapat menjadi garda depan ketahanan air dan adaptasi iklim di Afrika dan dunia.
Sumber Artikel
Theodory, T.F., Massoi, L. (2023). Adaptive Water Governance and Climate Change Resilience among Rural Communities in Kilosa District, Tanzania. REPOA, Dar es Salaam.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Tantangan Ketidakpastian Iklim dalam Perencanaan Air
Perubahan iklim telah menimbulkan tantangan baru dalam perencanaan dan desain proyek sumber daya air. Ketidakpastian terhadap curah hujan, suhu, dan pola hidrologi membuat pendekatan konvensional berbasis data historis menjadi kurang relevan. Laporan World Bank karya Patrick A. Ray dan Casey M. Brown (2015) menawarkan kerangka kerja inovatif—Decision Tree Framework—untuk membantu perencana dan pengambil keputusan menilai, mengelola, dan merancang proyek air yang tangguh terhadap ketidakpastian iklim. Artikel ini mengulas konsep, studi kasus, angka-angka, serta relevansi framework ini terhadap tren global dan praktik industri.
Mengapa Kerangka Baru Diperlukan?
Kelemahan Pendekatan Konvensional
1. Top-down Approach
2. Keterbatasan Analisis Risiko
Decision Tree Framework: Solusi Praktis Berbasis Bottom-Up
Prinsip Utama
Empat Fase Utama Decision Tree
1. Project Screening
2. Initial Analysis
3. Climate Stress Test
4. Climate Risk Management
Studi Kasus: Run-of-the-River Hydropower
Aplikasi Framework
Keunggulan Decision Tree Framework
Tantangan Implementasi
Hubungan dengan Tren Industri & Kebijakan Global
Kritik dan Opini
Kelebihan
Kekurangan
Rekomendasi Praktis
Menuju Infrastruktur Air yang Tangguh dan Adaptif
Decision Tree Framework dari Ray & Brown adalah terobosan penting dalam perencanaan sumber daya air di era perubahan iklim. Dengan pendekatan bottom-up, proporsional, dan fokus pada robustnes, framework ini menjawab kebutuhan praktisi dan pembuat kebijakan untuk menghasilkan proyek air yang tangguh, efisien, dan adaptif. Di tengah ketidakpastian iklim yang makin besar, adopsi framework ini bisa menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan perlindungan masyarakat dari risiko air di masa depan.
Sumber Artikel
Ray, Patrick A., and Casey M. Brown. 2015. Confronting Climate Uncertainty in Water Resources Planning and Project Design: The Decision Tree Framework. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0477-9.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kota, Air, dan Tantangan Iklim Abad ke-21
Urbanisasi pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah tantangan pengelolaan air di kota-kota dunia. Dalam 70 tahun terakhir, populasi perkotaan melonjak dari 0,8 miliar (29,6%) pada 1950 menjadi 4,4 miliar (56,2%) pada 2020, dan diproyeksikan mencapai 6,7 miliar (68,4%) pada 2050. Bersamaan dengan itu, konsumsi air meningkat enam kali lipat, terutama didorong kebutuhan pertanian, industri, dan domestik1.
Di tengah krisis ini, paper karya Vinagre dkk. (2023) menyoroti pentingnya integrasi antara pengelolaan air perkotaan (urban water management) dan perencanaan kota (city planning) sebagai kunci adaptasi perubahan iklim. Melalui tinjauan sistematis literatur, artikel ini mengidentifikasi konsep, tren, tantangan, dan peluang kolaborasi lintas sektor yang dapat memperkuat ketahanan air perkotaan di era iklim ekstrem.
Metodologi: Tinjauan Sistematis dan Analisis Bibliometrik
Penulis menggunakan pendekatan systematic literature review berbasis PRISMA untuk menelusuri, menyeleksi, dan menganalisis 39 artikel ilmiah utama dari total 524 publikasi terkait tema “climate change”, “sustainable urban water management”, dan “city planning” hingga 2022. Proses seleksi melibatkan kombinasi kata kunci, iterasi pencarian, dan snowballing untuk memastikan cakupan dan relevansi1.
Hasil utama:
Konsep Kunci: Evolusi Paradigma Pengelolaan Air Perkotaan
Dari Sentralisasi Menuju Hybridisasi Sistem
Sejak abad ke-19, sistem air kota didesain terpusat untuk menjamin kesehatan dan sanitasi. Namun, sistem ini kini menghadapi tantangan besar:
Paradigma baru yang berkembang:
Konsep dan Praktik SUWM (Sustainable Urban Water Management)
Berbagai konsep dan pendekatan telah dikembangkan:
Studi Kasus:
Analisis Vektor Adaptasi: Sinergi dan Tantangan
1. Vektor Operasional
2. Vektor Organisasi & Institusi
3. Vektor Ekonomi
4. Vektor Perilaku
5. Vektor Teknologi
6. Vektor Perencanaan Kota
Studi Kasus Global: Implementasi dan Pelajaran
Israel: Daur Ulang Air untuk Pertanian
California Selatan: Hybridisasi Sistem
China: Sponge City dan Urban Flooding
Diskusi: Gap, Tantangan, dan Arah Masa Depan
Gap Pengetahuan dan Praktik
Tantangan Utama
Peluang dan Rekomendasi
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
Kritik dan Opini
Kelebihan
Kekurangan
Kesimpulan: Adaptasi Bersama, Kota Tangguh Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di kota hanya bisa berhasil jika pengelolaan air dan perencanaan kota berjalan seiring. Kolaborasi, inovasi teknologi, edukasi publik, dan pendekatan sistemik menjadi kunci. Kota masa depan harus mampu mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan untuk membangun ketahanan air dan kualitas hidup yang berkelanjutan.
Sumber Artikel
Vinagre, V.; Fidélis, T.; Luís, A. How Can We Adapt Together? Bridging Water Management and City Planning Approaches to Climate Change. Water 2023, 15, 715.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kota sebagai Arena Utama Transformasi Iklim
Kota-kota dunia kini berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim. Dengan lebih dari separuh populasi dunia tinggal di wilayah urban, kota menjadi pusat emisi gas rumah kaca sekaligus korban utama dampak perubahan iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut. Namun, kota juga menyimpan potensi besar sebagai laboratorium inovasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim.
Disertasi Katharina Hölscher (2019) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kota dapat mengubah tata kelola iklimnya agar lebih transformatif. Dengan membedah dua studi kasus—Rotterdam (Belanda) dan New York City (AS)—penelitian ini membangun kerangka kapasitas tata kelola yang dapat direplikasi di kota-kota lain di dunia.
Kerangka Teoritis: Transformative Climate Governance
Mengapa Butuh Pendekatan Transformatif?
Hölscher menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan gejala dan pemicu dari ketergantungan jalur pembangunan kota yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi parsial atau reaktif tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik—baik dalam tata kelola, perilaku, maupun institusi—yang mampu mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Empat Kapasitas Kunci Tata Kelola Transformatif
Penelitian ini merumuskan empat kapasitas utama yang harus dimiliki kota untuk mewujudkan tata kelola iklim yang transformatif:
Studi Kasus: Rotterdam dan New York City
Rotterdam: Kota Delta yang Tangguh
Angka Kunci:
New York City: Resiliensi Pasca Sandy
Angka Kunci:
Analisis Perbandingan: Bagaimana Kapasitas Tata Kelola Terbentuk?
Stewarding Capacity
Unlocking Capacity
Transformative Capacity
Orchestrating Capacity
Tantangan dan Kesenjangan
Kesenjangan Implementasi
Hambatan Sosial dan Politik
Studi Kasus Mikro: Benthemplein Water Square & Living Breakwaters
Benthemplein Water Square (Rotterdam)
Living Breakwaters (NYC)
Opini & Kritik: Apa yang Bisa Dipelajari Kota Lain?
Nilai Tambah Penelitian
Kritik
Hubungan dengan Tren Global & Industri
Rekomendasi Praktis untuk Kota Menuju Transformasi Iklim
Menuju Kota Tahan Iklim yang Inklusif dan Inovatif
Transformasi tata kelola iklim kota bukan sekadar soal teknologi atau kebijakan, tetapi tentang membangun kapasitas kolektif untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan. Studi Rotterdam dan New York City menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian bereksperimen, keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang. Kota masa depan adalah kota yang mampu belajar, berinovasi, dan menempatkan warganya sebagai aktor utama perubahan.
Sumber Artikel
Hölscher, K. (2019). Transforming urban climate governance: Capacities for transformative climate governance. Doctoral thesis, Erasmus University Rotterdam.