Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Air dan Hak Asasi di Perbatasan Afghanistan-Iran
Kawasan Asia Barat Daya, khususnya sepanjang Sungai Helmand yang membentang dari Afghanistan ke Iran, menjadi panggung konflik air lintas negara yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Paper ini mengupas secara mendalam bagaimana konflik pengelolaan Sungai Helmand berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi jutaan penduduk di kedua negara, serta menelaah instrumen hukum nasional dan internasional yang dapat menjadi solusi damai dan berkeadilan.
Latar Belakang: Sungai Helmand, Sumber Kehidupan dan Sumber Konflik
Data dan Fakta Kunci
Sejarah Konflik dan Upaya Penyelesaian
Kronologi Perjanjian dan Sengketa
Analisis Hukum Nasional: Hak Atas Air di Iran dan Afghanistan
Iran
Afghanistan
Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Sistan dan Baluchestan, Iran
Instrumen Hukum Internasional dan Prinsip Kunci
Hak Atas Air di Kancah Internasional
Perjanjian dan Standar Relevan
Kewajiban Ekstrateritorial: Tanggung Jawab Lintas Negara
Paper ini menyoroti bahwa pelanggaran hak atas air di negara hilir (Iran) akibat tindakan negara hulu (Afghanistan) dapat menimbulkan tanggung jawab internasional. Negara hulu wajib:
Studi Perbandingan: Praktik Global dalam Penyelesaian Konflik Air
Solusi dan Rekomendasi Kebijakan
1. Revisi dan Penguatan Perjanjian 1973
Perjanjian Helmand perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekologis. Komisi Delta Helmand harus diaktifkan dengan mandat yang jelas dan transparan.
2. Penguatan Infrastruktur dan Pengelolaan Bersama
Investasi bersama dalam pembangunan kanal, sistem irigasi efisien, dan pemantauan debit air akan mengurangi pemborosan dan meningkatkan keadilan distribusi.
3. Implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM)
Pendekatan IWRM yang melibatkan kedua negara, masyarakat lokal, dan komunitas internasional dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa mengorbankan hak dasar manusia.
4. Prioritaskan Hak Atas Air dalam Setiap Kebijakan
Setiap kebijakan, baik nasional maupun bilateral, harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan ekonomi atau politik jangka pendek.
5. Transparansi dan Partisipasi Publik
Kedua negara harus membuka akses data, melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan, dan membangun sistem monitoring bersama yang dapat diaudit secara independen.
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Konflik air lintas negara kini menjadi isu strategis di banyak kawasan dunia. Paper ini sangat relevan dengan tren global menuju pengakuan hak atas air sebagai hak asasi, integrasi IWRM, dan pentingnya tata kelola kolaboratif dalam menghadapi perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
Kesimpulan: Hak Atas Air, Keadilan, dan Masa Depan Sungai Helmand
Paper ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik air Helmand harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan politik atau ekonomi sempit. Kerjasama, transparansi, dan pembaruan perjanjian berbasis prinsip keadilan dan hak asasi manusia adalah kunci menuju solusi damai dan berkelanjutan. Pengalaman Helmand dapat menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era krisis air global.
Sumber Artikel
Farnaz Shirani Bidabadi and Ladan Afshari, ‘Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran’ (2020) 16(2) Utrecht Law Review pp. 150–162.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Tantangan Investasi Air di Era Krisis dan Ketidakpastian
Krisis air global semakin nyata, ditandai dengan kekeringan, banjir, polusi, dan tekanan perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pasokan air bersih. Di Eropa dan dunia, kebutuhan investasi infrastruktur air—baik untuk suplai, sanitasi, irigasi, maupun pengendalian banjir—terus meningkat, sementara sumber pembiayaan publik semakin terbatas, dan biaya modal naik. Paper OECD “Water Investment Planning and Financing” (Helen Laubenstein & Xavier Leflaive, 2024) membedah bagaimana perencanaan investasi air yang strategis, adaptif, dan berbasis pathway dapat meningkatkan efisiensi, ketahanan, dan daya tarik sektor air bagi pembiayaan swasta. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan kebutuhan akan kolaborasi lintas sektor untuk mencapai target SDG 6 (air bersih dan sanitasi).
Latar Belakang: Skala Tantangan dan Kebutuhan Investasi
Angka-angka Kunci
Perencanaan Investasi dalam Ketidakpastian: Dari Risiko ke Resiliensi
1. Resilience Thinking dan Adaptive Planning
Tradisi lama perencanaan air mengandalkan pendekatan risk-based, yakni membangun infrastruktur tangguh menghadapi skenario ekstrem berdasarkan data historis. Namun, perubahan iklim dan dinamika sosial-ekonomi membuat pola lama tak lagi relevan. Paper ini menekankan pentingnya resilience-based approach: membangun sistem air yang adaptif, mampu pulih dari gangguan, dan fleksibel menghadapi masa depan yang tidak pasti.
Studi Kasus: Delta Programme, Belanda
Belanda mengembangkan Delta Programme dengan horizon perencanaan hingga 2100, didukung Delta Fund (rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun untuk 2022–2035). Program ini mengintegrasikan pengelolaan banjir, suplai air, dan perencanaan spasial, serta mengadopsi prinsip solidaritas, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Anggaran dialokasikan adaptif, dengan EUR 309 juta pada 2034 untuk prioritas baru yang muncul.
Studi Kasus: Water Resources Strategy, Inggris & Wales
Inggris menggunakan skenario berbasis tata kelola dan permintaan, dikombinasikan proyeksi iklim untuk tiap river basin. Penilaian kebutuhan e-flows (environmental flows) menjadi kunci dalam menentukan berapa banyak air yang harus tetap tersedia untuk ekologi sungai, bukan hanya kebutuhan manusia.
2. Integrasi Iklim dan Ketidakpastian dalam Perencanaan
Banyak negara Eropa belum sepenuhnya memasukkan proyeksi perubahan iklim dalam RBMPs mereka. Hanya sekitar setengah negara yang memasukkan kekeringan sebagai faktor utama, dan sedikit yang punya Drought Management Plans. Analisis biaya-manfaat sering hanya menghitung “avoided damage”, jarang memasukkan nilai ekosistem dan co-benefits dari solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS).
Dari Proyek ke Pathway: Paradigma Baru Investasi Air
1. Pentingnya Investment Pathways
Pendekatan tradisional yang hanya fokus pada proyek individual sering gagal menangkap sinergi, eksternalitas, dan manfaat jangka panjang. Strategic Investment Pathways (SIPs) adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif, memperhitungkan urutan, sinergi, dan dampak agregat dari berbagai proyek dalam satu sistem air.
Studi Kasus Global
2. Lima Langkah SIPs
3. Analitik dan Tools Pendukung
Pembiayaan: Menutup Gap dengan Inovasi dan Kolaborasi
1. Tantangan Pembiayaan
2. Solusi dan Inovasi Pembiayaan
a. Monetisasi Manfaat dan Revenue Stream
b. Blended Finance dan De-risking
c. Peran Intermediaries dan Platform
d. Asuransi dan Risk Financing
Studi Kasus dan Angka-angka
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Masa Depan Investasi Air – Adaptif, Inovatif, dan Kolaboratif
Paper ini menegaskan bahwa investasi air di era ketidakpastian membutuhkan pendekatan baru yang adaptif, berbasis pathway, dan kolaboratif. Dengan SIPs, negara dan pelaku industri dapat merancang portofolio investasi yang tangguh, efisien, dan menarik bagi pembiayaan swasta. Inovasi instrumen keuangan, penguatan enabling environment, dan integrasi kebijakan lintas sektor adalah kunci menuju sistem air yang berkelanjutan. Tanpa transformasi ini, gap investasi dan risiko sistemik akan terus membesar. Namun, dengan strategi yang tepat, masa depan air yang tangguh dan inklusif sangat mungkin diwujudkan.
Sumber Artikel
Helen Laubenstein, Xavier Leflaive. Water investment planning and financing. OECD Environment Working Paper No. 237, ENV/WKP(2024)7, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Urgensi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi memperparah permasalahan seperti sampah, pencemaran, dan kerusakan ekosistem. Paper karya Muhammad Alrizky Ekiawan ini menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dalam bingkai norma hukum Indonesia, mengulas dasar-dasar hukum, asas, pendekatan, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan12.
Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pilar Konstitusi dan Undang-Undang
Dasar Konstitusional
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berakar kuat pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan peran negara sebagai pengelola utama sumber daya alam, bukan sekadar regulator, tapi juga pelindung hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat12.
Undang-Undang Pokok
Permasalahan Lingkungan Hidup: Data, Fakta, dan Dampak
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2020, di 384 kota di Indonesia, produksi sampah mencapai 80.235,87 ton per hari. Dari jumlah ini, hanya 4,2% diangkut ke TPA, 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani secara layak. Sampah yang tidak terkelola ini menjadi sumber utama pencemaran tanah, air, dan udara, serta menimbulkan ancaman kesehatan dan bencana lingkungan1.
Selain sampah, pencemaran air dan udara akibat limbah industri, pertambangan, dan urbanisasi juga menjadi masalah akut. Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Bandung, misalnya, menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan, di mana pemerintah daerah dan provinsi harus memediasi dan menindak perusahaan pelaku pencemaran sesuai UU No. 32 Tahun 20095.
Asas dan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 2 memuat 10 asas utama yang menjadi landasan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia:
Pendekatan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Paper ini mengidentifikasi 8 pendekatan utama yang dapat diadopsi secara simultan maupun selektif, tergantung karakteristik wilayah dan masalah lingkungan:
1. Pendekatan Teknologi
Mengganti teknologi yang merusak lingkungan dengan yang ramah lingkungan, seperti prinsip 4R (reuse, reduce, recycle, recovery). Contoh: teknologi composting untuk limbah organik, daur ulang limbah non-B3, dan mesin pabrik ramah lingkungan1.
2. Pendekatan Administrasi, Hukum, dan Peraturan
Melalui regulasi ketat seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL/UPL, baku mutu lingkungan, dan tata ruang. Penegakan hukum dilakukan baik secara administratif (izin, sanksi administratif) maupun melalui pengadilan (pidana, perdata)1346.
3. Pendekatan Ekonomi
Memberi nilai ekonomi pada sumber daya lingkungan sehingga biaya lingkungan diinternalisasikan dalam produksi. Contoh: pajak lingkungan, insentif bagi industri hijau, dan skema pembayaran jasa lingkungan1.
4. Pendekatan Pendidikan dan Pelatihan
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pendidikan formal, informal, dan pelatihan lingkungan. Contoh: diklat AMDAL, pelatihan pengolahan sampah, edukasi sekolah dan komunitas1.
5. Pendekatan Sosial Budaya
Mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Contoh: sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas1.
6. Pendekatan Sosio-Politik
Mengelola konflik kepentingan antar pihak melalui musyawarah dan negosiasi, menciptakan win-win solution dalam pengelolaan sumber daya lintas sektor, wilayah, atau etnis1.
7. Pendekatan Ekologis
Berbasis pada konservasi ekosistem, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh: perlindungan kawasan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional1.
8. Pendekatan Agama
Menumbuhkan moral dan etika lingkungan melalui ajaran agama, sehingga masyarakat lebih bijak dalam mengelola alam1.
9. Pendekatan Institusi
Melibatkan lembaga formal dan non-formal, seperti dinas kebersihan, LSM, dan kelompok masyarakat, dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta sumber daya lingkungan1.
Studi Kasus: Penegakan Hukum Lingkungan
Kasus Sungai Cikijing, Bandung
Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Kabupaten Bandung menjadi contoh nyata penerapan UU No. 32 Tahun 2009. Pemerintah daerah dan provinsi menindak perusahaan pelaku pencemaran dengan upaya administratif dan perdata, serta memediasi agar limbah cair tidak lagi dibuang ke sungai. Kasus ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator, penegak hukum, dan pelindung hak masyarakat atas lingkungan sehat5.
Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg
Studi lain menyoroti kepastian hukum dalam penegakan lingkungan melalui Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, di mana hakim menggunakan logika hukum indoktriner dan argumentum ad verecundiam untuk memenangkan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski perangkat hukum sudah ada, implementasi dan interpretasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan4.
Tantangan dan Kritik: Implementasi, Kepastian Hukum, dan Partisipasi
Implementasi Hukum
Meski kerangka hukum sudah kuat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak kasus pencemaran yang tidak ditindak tegas, sanksi yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring serta pengawasan. Penegakan hukum lingkungan seringkali baru berjalan setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan346.
Kepastian Hukum
Kepastian hukum bagi masyarakat masih lemah, terutama dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga. UU No. 32 Tahun 2009 memang membuka ruang bagi sanksi administratif, perdata, dan pidana, namun dalam praktiknya, proses hukum sering lambat dan tidak berpihak pada korban456.
Partisipasi dan Edukasi
Partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya edukasi, akses informasi, dan kesadaran lingkungan. Padahal, keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat12.
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini sejalan dengan literatur lain yang menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dan multi-aktor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kelebihan utama paper ini adalah analisis komprehensif atas asas, pendekatan, dan dasar hukum, serta penekanan pada pentingnya kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Namun, paper ini bisa lebih kuat jika menambahkan data kuantitatif kerusakan lingkungan, studi kasus lebih banyak, dan analisis mendalam tentang efektivitas sanksi hukum di Indonesia.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Efektif dan Berkeadilan
Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat, implementasi yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi harus didukung pendekatan teknologi, pendidikan, budaya, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan dapat benar-benar terwujud.
Sumber Artikel
Muhammad Alrizky Ekiawan. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia. JURNAL RECHTEN: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 5 No. 2 (2023), hlm. 34–42.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Kelangkaan Air di Eropa dan Tantangan Ekonomi Global
Air adalah sumber daya vital yang semakin langka di banyak kawasan dunia, termasuk Eropa. Paper “The Economics of Water Scarcity” karya Xavier Leflaive dari OECD ini membedah secara komprehensif status ketersediaan air, permintaan, dan pengaruh perubahan iklim di Uni Eropa (UE). Dengan menyoroti instrumen ekonomi, kebijakan, serta studi kasus nyata, paper ini menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kelangkaan air dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi kebijakan permintaan, alokasi, dan insentif harga. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan pada sumber daya air yang semakin intens.
Status Ketersediaan dan Permintaan Air di Eropa: Angka dan Fakta Kunci
Ketersediaan Air: Ketimpangan Regional dan Musiman
Eropa secara umum memiliki sumber air tawar melimpah, namun distribusinya sangat tidak merata. Negara seperti Kroasia, Finlandia, Norwegia, dan Swedia memiliki ketersediaan air per kapita di atas 10.000 m³/tahun, sementara Siprus, Ceko, Malta, dan Polandia sudah masuk kategori water stress dengan ketersediaan di bawah 1.700 m³/kapita/tahun. Di beberapa negara seperti Denmark, lebih dari 99% air yang digunakan berasal dari air tanah, sedangkan Malta sangat bergantung pada air laut yang didesalinasi.
Permintaan Air: Dominasi Sektor Pertanian dan Energi
Dampak Perubahan Iklim: Stres Air dan Kerugian Ekonomi
Studi Kasus: Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Air di Eropa dan Dunia
Studi Kasus 1: Efektivitas Harga dan Elastisitas Permintaan Air
Studi Kasus 2: Pengelolaan Air Pertanian dan Kolektif di Prancis
Studi Kasus 3: Inovasi Water Reuse di Israel
Studi Kasus 4: Nature-Based Solutions (NbS) di Polandia
Instrumen Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Kelangkaan Air
1. Manajemen Permintaan: Kombinasi Harga dan Non-Harga
2. Augmentasi Pasokan: Reuse, Desalinasi, dan NbS
3. Alokasi Air: Regime yang Adaptif dan Berkeadilan
4. Abstraction Charges: Insentif Ekonomi dan Tantangan Implementasi
5. Agro-environmental Schemes dan Payment for Ecosystem Services (PES)
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sangat relevan dengan tren ekonomi sirkular, transisi energi bersih (yang justru meningkatkan kebutuhan air di beberapa sektor), dan integrasi kebijakan iklim-lingkungan. Prinsip nature-based solutions dan eco-schemes kini menjadi arus utama dalam kebijakan air dan pertanian global.
Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri
Kesimpulan: Menata Ulang Ekonomi Air untuk Masa Depan Berkelanjutan
Paper ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi ekonomi, teknis, dan sosial secara terpadu. Kebijakan harga, alokasi adaptif, inovasi reuse, dan nature-based solutions harus menjadi pilar utama pengelolaan air modern. Tanpa reformasi serius, Eropa (dan dunia) akan menghadapi risiko ekonomi, ekologi, dan sosial yang makin besar akibat kelangkaan air. Namun, dengan kombinasi kebijakan berbasis data dan insentif yang tepat, masa depan air yang berkelanjutan masih sangat mungkin diraih.
Sumber Artikel
Xavier Leflaive. The economics of water scarcity. OECD Environment Working Papers No. 239, ENV/WKP(2024)9, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.
Sumber Daya Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Krisis Alam dan Risiko Sistemik bagi Ekonomi Global
Dunia kini menghadapi krisis alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi yang saling terkait. Paper IMF ini menyoroti bagaimana ekonomi global sepenuhnya “embedded in nature”—tertanam dan tergantung pada stabilitas ekosistem—namun justru mendorong degradasi alam yang mengancam keberlanjutan ekonomi dan stabilitas keuangan. Dengan kerangka konseptual baru, analisis empiris, dan rekomendasi kebijakan konkret, paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, regulator keuangan, dan pelaku industri yang ingin memahami serta mengelola risiko terkait alam.
Kerangka Konseptual: Double Materiality dan Saluran Risiko Alam
Penulis mengembangkan kerangka “double materiality” yang menegaskan dua arah hubungan antara ekonomi dan alam:
Kerangka ini menyoroti bahwa risiko alam dapat bereskalasi dari level lokal menjadi ancaman sistemik global melalui saluran makroekonomi (pertumbuhan, inflasi, utang, perdagangan) dan saluran keuangan (kredit, pasar, likuiditas, asuransi, operasional).
Krisis Alam: Angka, Fakta, dan Batasan Planet
Studi Kasus & Analisis Empiris: Risiko Transisi dan Fisik di Sektor Keuangan
Eksposur Bank Global terhadap Risiko Alam
Risiko Fisik: Kesiapan Perusahaan Menghadapi Degradasi Alam
Saluran Dampak Makroekonomi: Dari Produktivitas hingga Stabilitas Fiskal
Studi Kebijakan: Inisiatif Global dan Praktik Negara
Tantangan Utama: Data, Model, dan Kesenjangan Kapasitas
Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi dan Keuangan Ramah Alam
Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Paper ini memperkuat temuan Dasgupta Review (2021) dan IPBES (2019) tentang keterbatasan substitusi modal alam, pentingnya tipping point, dan perlunya kerangka ekonomi baru yang mengakui keterbatasan planet. Namun, kontribusi utama paper ini adalah pemetaan saluran risiko alam ke sistem keuangan global secara empiris—misal, angka 38% eksposur pinjaman bank ke sektor subsidi merusak dan 44% ke area konservasi—yang sebelumnya jarang dibahas secara kuantitatif.
Dibanding studi sebelumnya, paper ini juga menyoroti kebutuhan mendesak akan disclosure, taksonomi, dan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi antara alam dan iklim. Penekanan pada “double materiality” dan “nature Minsky moment” menambah perspektif baru dalam diskusi risiko sistemik global.
Implikasi Industri dan Tren Masa Depan
Mengelola Risiko Alam untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan
Paper IMF ini menegaskan bahwa ekonomi dan keuangan global tidak akan stabil tanpa perlindungan alam. Risiko alam kini telah menjadi sumber risiko sistemik, setara dengan risiko iklim, yang menuntut perubahan paradigma kebijakan ekonomi dan keuangan. Tanpa aksi cepat dan terkoordinasi—mulai dari penghapusan subsidi merusak, disclosure risiko, hingga penguatan taksonomi dan data—dunia berisiko menghadapi krisis ekonomi dan keuangan akibat keruntuhan ekosistem. Integrasi kebijakan alam dan iklim, inovasi keuangan, dan kolaborasi global adalah kunci menuju masa depan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.
Sumber Artikel
Charlotte Gardes-Landolfini, William Oman, Jamie Fraser, Mariza Montes de Oca Leon, and Bella Yao. Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations. IMF Staff Climate Notes NOTE/2024/002, October 2024.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025
Air Tanah, Kunci Ketahanan di Asia Tengah
Air tanah di Asia Tengah, khususnya Uzbekistan, adalah sumber kehidupan yang menopang kebutuhan domestik, pertanian, dan industri di tengah iklim kering dan ketergantungan pada aliran sungai musiman dari gletser. Namun, pengelolaan air tanah di kawasan ini menghadapi tantangan besar: mulai dari over-ekstraksi, polusi, hingga kegagalan institusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Paper karya Sylvia Schmidt, Ahmad Hamidov, dan Ulan Kasymov ini membedah kompleksitas tata kelola air tanah Uzbekistan dengan menggabungkan kerangka Social-Ecological Systems (SES) dan Informational Governance. Pendekatan ini menyoroti peran krusial informasi—atau seringnya, ketiadaan informasi—dalam keberhasilan atau kegagalan pengelolaan air tanah.
Kerangka Analisis: Integrasi SES dan Informational Governance
Penulis mengadaptasi kerangka SES Ostrom (2007) untuk menelaah interaksi manusia-lingkungan, dengan fokus pada subsistem: ekosistem terkait, pengaturan ekonomi dan sosial-politik, sistem sumber daya, unit sumber daya, aktor, interaksi, sistem tata kelola, dan outcome. Untuk memperdalam analisis, paper ini mengintegrasikan empat tema utama dari informational governance (Mol 2006):
Metodologi: Tinjauan Sistematis Literatur dan Studi Kasus Uzbekistan
Penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis terhadap 54 sumber (artikel, laporan, bab buku) tentang tata kelola air tanah di Asia Tengah, dengan fokus khusus pada 14 sumber relevan untuk Uzbekistan. Analisis konten kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang dalam tata kelola serta penyebaran informasi air tanah.
Sumber Daya dan Penggunaan Air Tanah di Uzbekistan: Angka-angka Kunci
Studi Kasus: Tata Kelola Air Tanah dan Dampaknya
Aktor dan Interaksi
Aktor utama mencakup rumah tangga, petani, perusahaan industri, serta lembaga pemerintah dan lokal. Di tingkat komunitas, pengetahuan lokal (misal: “wise men” di mahalla) sering lebih diandalkan daripada pengetahuan teknis formal. Namun, interaksi antara aktor seringkali terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan minimnya koordinasi.
Studi oleh Karimov dkk. (2022) menunjukkan bahwa irigasi berbasis air tanah memang menjamin ketepatan waktu penyiraman, namun membutuhkan biaya listrik dan tenaga kerja lebih tinggi dibanding irigasi gravitasi, sehingga petani didorong untuk efisiensi.
Sistem Tata Kelola: Regulasi, Monitoring, dan Sanksi
Kebijakan utama meliputi:
Namun, hanya sebagian kecil sumur yang terdaftar resmi. Banyak sumur didaftarkan ke pemerintah lokal atau penyedia listrik, bukan ke otoritas geologi nasional. Sumur kecil (<25 m, <5 m³/hari) tidak diatur secara formal.
Outcome: Over-ekstraksi, Salinisasi, dan Polusi
Informational Governance: Tantangan, Kesenjangan, dan Reformasi
Dinamika dan Mekanisme Informasi
Monitoring air tanah di Uzbekistan masih didominasi sistem negara yang sentralistik, berbasis sains alam, dan cenderung tertutup. Data tahunan hanya didistribusikan ke sekitar 40 lembaga pemerintah, tidak tersedia untuk publik. Sistem pelaporan formal dan informal berjalan paralel, menciptakan redundansi, inefisiensi, dan kebingungan.
Kekurangan data tentang penggunaan industri, tumpang tindih otoritas, dan menurunnya jumlah sumur observasi memperburuk ketidakpastian status air tanah. Distribusi sumur monitoring tidak merata, dan sering tidak cukup spesifik untuk kebutuhan lokal.
Ketidakpastian dan Multiple Knowledges
Variasi data antara sumur monitoring yang berdekatan menunjukkan adanya nugget variance (variabilitas kecil-skala) dan kemungkinan error pengukuran. Metode penilaian yang berbeda, kurangnya pertukaran informasi, serta adanya sistem pelaporan ganda menimbulkan “multiple knowledges” yang saling bertentangan. Hal ini menurunkan kepercayaan pengguna terhadap data dan menyulitkan perencanaan adaptasi.
Informasi tentang kondisi akuifer jarang tersedia bagi pengguna, sehingga masyarakat sulit mengambil tindakan kolektif atau adaptif. Pengetahuan lokal memang ada, namun sering tidak terintegrasi dengan data formal atau teknologi modern.
Power Constellations: Hierarki dan Monopoli Informasi
Penguasaan informasi oleh lembaga negara menciptakan hierarki dan monopoli, baik di tingkat nasional maupun lokal. Water Consumer Associations (WCA) yang seharusnya menjadi jembatan ke petani, justru lemah dalam pengambilan keputusan dan sering diintervensi pemerintah daerah. Sistem pewarisan otoritas dari era Soviet masih terasa, dengan dominasi negara dan minimnya ruang partisipasi masyarakat.
Ketergantungan pada ahli dan birokrasi memperkuat hierarki, sementara akses informal ke informasi hanya tersedia bagi mereka yang punya koneksi. Konflik kepentingan antara petani besar, industri, dan pengguna domestik sering tidak terselesaikan akibat lemahnya mekanisme koordinasi dan transparansi.
Desain Reformasi: Upaya dan Hambatan
Uzbekistan mulai menunjukkan minat pada reformasi tata kelola informasi air tanah, sejalan dengan tren global keterbukaan data dan Integrated Water Resources Management (IWRM). Beberapa langkah reformasi:
Namun, implementasi masih terbatas, koordinasi antarlembaga lemah, dan akses publik terhadap data tetap rendah. Monitoring dan penegakan hukum di sektor pertambangan dan pertanian masih perlu diperkuat.
Studi Kasus: Praktik Lokal dan Inovasi
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Paper
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global
Paper ini sejalan dengan tren global menuju tata kelola air berbasis data terbuka, kolaborasi multi-pihak, dan integrasi teknologi digital. Praktik di Uzbekistan mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang: ketergantungan pada sumber air tanah di tengah perubahan iklim, tekanan populasi, dan kebutuhan reformasi institusional.
Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Menuju Tata Kelola Air Tanah yang Adaptif dan Inklusif
Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan tata kelola air tanah di Uzbekistan (dan Asia Tengah) sangat bergantung pada kualitas, keterbukaan, dan distribusi informasi. Tanpa perbaikan sistem informasi dan kolaborasi lintas aktor, risiko over-ekstraksi, polusi, dan konflik akan terus meningkat. Reformasi informational governance, integrasi pengetahuan lokal, dan digitalisasi adalah kunci menuju sistem air tanah yang tangguh dan berkelanjutan—sebuah pelajaran penting bagi negara-negara lain dengan tantangan serupa.
Sumber Artikel
Schmidt, S., Hamidov, A., & Kasymov, U. (2024). Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance. International Journal of the Commons, 18(1), 203–217.