Sumber Daya Air

Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Air dan Hak Asasi di Perbatasan Afghanistan-Iran

Kawasan Asia Barat Daya, khususnya sepanjang Sungai Helmand yang membentang dari Afghanistan ke Iran, menjadi panggung konflik air lintas negara yang telah berlangsung lebih dari satu abad. Paper ini mengupas secara mendalam bagaimana konflik pengelolaan Sungai Helmand berdampak pada pemenuhan hak asasi manusia atas air bagi jutaan penduduk di kedua negara, serta menelaah instrumen hukum nasional dan internasional yang dapat menjadi solusi damai dan berkeadilan.

Latar Belakang: Sungai Helmand, Sumber Kehidupan dan Sumber Konflik

Data dan Fakta Kunci

  • Helmand River: Mengalir sepanjang 1.150 km dari pegunungan Hindu Kush di Afghanistan ke Delta Sistan di Iran.
  • Debit rata-rata: 2.200 juta m³/tahun.
  • Penduduk terdampak: Lebih dari 400.000 jiwa di provinsi Sistan dan Baluchestan, Iran, serta ratusan ribu petani dan komunitas adat di Afghanistan.
  • Penggunaan air: 93% air Sungai Helmand di Afghanistan digunakan untuk irigasi pertanian, sisanya untuk kebutuhan domestik, industri, dan pembangkit listrik.
  • Dampak kekurangan air: Penurunan produksi pertanian, migrasi petani ke kota, kematian ternak, peningkatan biaya air dan pangan, desertifikasi, badai pasir, dan kerusakan ekosistem Danau Hamoun.

Sejarah Konflik dan Upaya Penyelesaian

Kronologi Perjanjian dan Sengketa

  • 1900-an: Perselisihan dimulai, Afghanistan menganggap Helmand sebagai sungai domestik, Iran menuntut hak atas aliran lintas batas.
  • Perjanjian 1950 & 1973: Afghanistan dan Iran menandatangani Helmand Water Agreement, mengatur alokasi air minimum ke Iran. Namun, implementasi sering mandek akibat instabilitas politik dan pembangunan dam di hulu (Kajaki, Kamal Khan).
  • 2001–2013: Iran mengadukan pemblokiran aliran air oleh Afghanistan ke PBB. Afghanistan menegaskan kebutuhan air untuk pertanian dan energi nasional.
  • 2019: Negosiasi baru menghasilkan kesepakatan pemasangan alat ukur debit air, namun distribusi tetap tidak stabil.

Analisis Hukum Nasional: Hak Atas Air di Iran dan Afghanistan

Iran

  • Konstitusi: Tidak secara eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 45 menyatakan air sebagai milik publik di bawah kendali negara.
  • Charter on Citizens’ Rights (2016): Mengakui hak atas kehidupan layak, termasuk akses air bersih dan lingkungan sehat (Pasal 2 & 113).
  • Fair Distribution of Water Act (1983): Menetapkan kepemilikan publik atas air, pengelolaan oleh Kementerian Energi, dan prioritas penggunaan domestik.
  • Civil Code: Pasal 149-150 mengatur hak akses air untuk konsumsi pribadi.

Afghanistan

  • Konstitusi: Tidak eksplisit menyebut hak atas air, namun Pasal 9 menegaskan kewajiban negara mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.
  • Civil Code: Menyatakan air sebagai milik publik, setiap orang berhak mengairi lahan pribadi selama tidak merugikan kepentingan umum.
  • Water Act: Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan domestik dan minum, diikuti pertanian, industri, dan energi. Pemerintah wajib melindungi dan mengelola air sebagai sumber daya bersama.

Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Sistan dan Baluchestan, Iran

  • Penduduk: >400.000 jiwa sangat bergantung pada air Helmand untuk konsumsi, irigasi, dan sanitasi.
  • Krisis 2002–2013: Penurunan aliran air akibat pembangunan dam di Afghanistan menyebabkan Danau Hamoun mengering, produksi pertanian turun drastis, ribuan petani bermigrasi, dan terjadi badai pasir hebat.
  • Ekosistem: Hilangnya air mengancam keanekaragaman hayati, kematian massal satwa liar, dan rusaknya sistem danau-wetland yang menopang ekonomi lokal.
  • Akses air: Banyak desa harus mengandalkan air tangki keliling atau membeli air dengan harga mahal, meningkatkan beban ekonomi masyarakat miskin.

Instrumen Hukum Internasional dan Prinsip Kunci

Hak Atas Air di Kancah Internasional

  • Resolusi PBB 2010: Hak atas air minum yang aman dan sanitasi diakui sebagai hak asasi manusia.
  • General Comment No. 15 (CESCR, 2002): Negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas air, baik di dalam maupun lintas batas.
  • Prinsip-prinsip utama:
    • Equitable and Reasonable Use: Setiap negara berhak menggunakan air lintas batas secara adil, mempertimbangkan kebutuhan vital negara lain.
    • No-Harm Principle: Negara tidak boleh menyebabkan kerugian signifikan pada negara lain akibat pengelolaan air.
    • Duty to Consult & Information Exchange: Negara wajib berkonsultasi dan berbagi data sebelum mengambil tindakan yang berdampak pada negara lain.
    • Prioritas Kebutuhan Dasar: Dalam konflik penggunaan air, kebutuhan dasar manusia (drinking water, sanitasi, pangan) harus diutamakan.

Perjanjian dan Standar Relevan

  • Helmand Water Treaty (1973): Afghanistan wajib tidak mengurangi hak air Iran secara total maupun parsial.
  • UN Convention on the Law of the Non-navigational Uses of International Watercourses (1997): Menekankan prinsip equitable use, no-harm, dan konsultasi.
  • Berlin Rules (2004): Prioritas utama alokasi air untuk kebutuhan vital manusia.

Kewajiban Ekstrateritorial: Tanggung Jawab Lintas Negara

Paper ini menyoroti bahwa pelanggaran hak atas air di negara hilir (Iran) akibat tindakan negara hulu (Afghanistan) dapat menimbulkan tanggung jawab internasional. Negara hulu wajib:

  • Tidak menghalangi aliran air yang menjadi kebutuhan dasar negara hilir.
  • Menghindari pembangunan infrastruktur (dam, kanal) yang merugikan hak hidup dan ekonomi masyarakat di negara lain.
  • Melakukan konsultasi, berbagi data, dan transparansi dalam pengelolaan sungai lintas batas.

Studi Perbandingan: Praktik Global dalam Penyelesaian Konflik Air

  • Kasus AS-Meksiko (Sungai Colorado): Mekanisme komisi bersama, revisi berkala perjanjian, dan sistem monitoring debit air berhasil mengurangi konflik dan meningkatkan keadilan distribusi.
  • Perjanjian Mekong: Penetapan minimum environmental flow dan kewajiban konsultasi lintas negara sebagai syarat pembangunan dam baru.
  • India-Nepal (Mahakali Treaty): Penekanan pada kerjasama teknis, monitoring bersama, dan prioritas kebutuhan domestik.

Solusi dan Rekomendasi Kebijakan

1. Revisi dan Penguatan Perjanjian 1973

Perjanjian Helmand perlu diperbarui agar lebih responsif terhadap perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan ekologis. Komisi Delta Helmand harus diaktifkan dengan mandat yang jelas dan transparan.

2. Penguatan Infrastruktur dan Pengelolaan Bersama

Investasi bersama dalam pembangunan kanal, sistem irigasi efisien, dan pemantauan debit air akan mengurangi pemborosan dan meningkatkan keadilan distribusi.

3. Implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM)

Pendekatan IWRM yang melibatkan kedua negara, masyarakat lokal, dan komunitas internasional dapat memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi tanpa mengorbankan hak dasar manusia.

4. Prioritaskan Hak Atas Air dalam Setiap Kebijakan

Setiap kebijakan, baik nasional maupun bilateral, harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan ekonomi atau politik jangka pendek.

5. Transparansi dan Partisipasi Publik

Kedua negara harus membuka akses data, melibatkan masyarakat terdampak dalam pengambilan keputusan, dan membangun sistem monitoring bersama yang dapat diaudit secara independen.

Analisis Kritis dan Opini

Kelebihan Paper

  • Pendekatan komprehensif: Menggabungkan analisis hukum nasional, internasional, dan studi kasus nyata.
  • Penekanan pada hak asasi manusia: Tidak sekadar membahas konflik air sebagai isu teknis, tapi menempatkan hak hidup dan kesejahteraan manusia sebagai inti solusi.
  • Solusi aplikatif: Rekomendasi berbasis praktik global dan prinsip hukum internasional.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi di lapangan: Meski prinsip hukum jelas, realisasi di kawasan yang rawan konflik dan instabilitas politik tetap menjadi tantangan besar.
  • Kurangnya data kuantitatif: Paper ini bisa lebih kuat dengan menambahkan data terbaru tentang debit air, dampak ekonomi, dan jumlah penduduk terdampak secara lebih rinci.
  • Peran masyarakat lokal: Keterlibatan komunitas lokal dalam negosiasi dan pengawasan masih minim, padahal mereka yang paling terdampak.

Hubungan dengan Tren Global

Konflik air lintas negara kini menjadi isu strategis di banyak kawasan dunia. Paper ini sangat relevan dengan tren global menuju pengakuan hak atas air sebagai hak asasi, integrasi IWRM, dan pentingnya tata kelola kolaboratif dalam menghadapi perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.

Kesimpulan: Hak Atas Air, Keadilan, dan Masa Depan Sungai Helmand

Paper ini menegaskan bahwa penyelesaian konflik air Helmand harus menempatkan hak atas air sebagai prioritas utama, di atas kepentingan politik atau ekonomi sempit. Kerjasama, transparansi, dan pembaruan perjanjian berbasis prinsip keadilan dan hak asasi manusia adalah kunci menuju solusi damai dan berkelanjutan. Pengalaman Helmand dapat menjadi pelajaran penting bagi negara lain yang menghadapi tantangan serupa di era krisis air global.

Sumber Artikel 

Farnaz Shirani Bidabadi and Ladan Afshari, ‘Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran’ (2020) 16(2) Utrecht Law Review pp. 150–162.

Selengkapnya
Human Right to Water in the Helmand Basin: Setting a Path for the Conflict Settlement between Afghanistan and Iran

Sumber Daya Air

Strategi Investasi dan Pembiayaan Air: Menuju Sistem Air Tangguh dan Berkelanjutan di Era Ketidakpastian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Tantangan Investasi Air di Era Krisis dan Ketidakpastian

Krisis air global semakin nyata, ditandai dengan kekeringan, banjir, polusi, dan tekanan perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan pasokan air bersih. Di Eropa dan dunia, kebutuhan investasi infrastruktur air—baik untuk suplai, sanitasi, irigasi, maupun pengendalian banjir—terus meningkat, sementara sumber pembiayaan publik semakin terbatas, dan biaya modal naik. Paper OECD “Water Investment Planning and Financing” (Helen Laubenstein & Xavier Leflaive, 2024) membedah bagaimana perencanaan investasi air yang strategis, adaptif, dan berbasis pathway dapat meningkatkan efisiensi, ketahanan, dan daya tarik sektor air bagi pembiayaan swasta. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan kebutuhan akan kolaborasi lintas sektor untuk mencapai target SDG 6 (air bersih dan sanitasi).

Latar Belakang: Skala Tantangan dan Kebutuhan Investasi

Angka-angka Kunci

  • Total kebutuhan investasi untuk implementasi River Basin Management Plans (RBMPs) siklus kedua di Uni Eropa: minimal EUR 142 miliar.
  • Biaya mitigasi risiko banjir dalam Flood Risk Management Plans (FRMPs) siklus pertama: minimal EUR 14 miliar.
  • Biaya operasi dan pemeliharaan (2016–2021): minimal EUR 14 miliar per tahun.
  • Kesenjangan investasi sangat besar: di Prancis, gap investasi mencapai EUR 66,65 miliar untuk mencapai status air “baik”.
  • Dampak perubahan iklim: Tanpa adaptasi, kerugian banjir di Eropa diproyeksikan melonjak dari EUR 6,9 miliar/tahun menjadi EUR 45,9 miliar/tahun pada 2050.

Perencanaan Investasi dalam Ketidakpastian: Dari Risiko ke Resiliensi

1. Resilience Thinking dan Adaptive Planning

Tradisi lama perencanaan air mengandalkan pendekatan risk-based, yakni membangun infrastruktur tangguh menghadapi skenario ekstrem berdasarkan data historis. Namun, perubahan iklim dan dinamika sosial-ekonomi membuat pola lama tak lagi relevan. Paper ini menekankan pentingnya resilience-based approach: membangun sistem air yang adaptif, mampu pulih dari gangguan, dan fleksibel menghadapi masa depan yang tidak pasti.

Studi Kasus: Delta Programme, Belanda

Belanda mengembangkan Delta Programme dengan horizon perencanaan hingga 2100, didukung Delta Fund (rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun untuk 2022–2035). Program ini mengintegrasikan pengelolaan banjir, suplai air, dan perencanaan spasial, serta mengadopsi prinsip solidaritas, fleksibilitas, dan keberlanjutan. Anggaran dialokasikan adaptif, dengan EUR 309 juta pada 2034 untuk prioritas baru yang muncul.

Studi Kasus: Water Resources Strategy, Inggris & Wales

Inggris menggunakan skenario berbasis tata kelola dan permintaan, dikombinasikan proyeksi iklim untuk tiap river basin. Penilaian kebutuhan e-flows (environmental flows) menjadi kunci dalam menentukan berapa banyak air yang harus tetap tersedia untuk ekologi sungai, bukan hanya kebutuhan manusia.

2. Integrasi Iklim dan Ketidakpastian dalam Perencanaan

Banyak negara Eropa belum sepenuhnya memasukkan proyeksi perubahan iklim dalam RBMPs mereka. Hanya sekitar setengah negara yang memasukkan kekeringan sebagai faktor utama, dan sedikit yang punya Drought Management Plans. Analisis biaya-manfaat sering hanya menghitung “avoided damage”, jarang memasukkan nilai ekosistem dan co-benefits dari solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS).

Dari Proyek ke Pathway: Paradigma Baru Investasi Air

1. Pentingnya Investment Pathways

Pendekatan tradisional yang hanya fokus pada proyek individual sering gagal menangkap sinergi, eksternalitas, dan manfaat jangka panjang. Strategic Investment Pathways (SIPs) adalah rangkaian investasi yang dirancang dan dikelola secara adaptif, memperhitungkan urutan, sinergi, dan dampak agregat dari berbagai proyek dalam satu sistem air.

Studi Kasus Global

  • Nile, Mekong, Indus: Analisis pathway investasi bendungan menunjukkan sinergi dan trade-off antar proyek, serta pentingnya evaluasi multi-skenario dan multi-objektif.
  • Eropa: Implementasi Program of Measures (PoMs) dalam RBMPs sudah menuju pendekatan pathway, namun masih perlu perbaikan dalam integrasi jangka panjang dan prioritas investasi.

2. Lima Langkah SIPs

  1. Setting the Stage: Mendefinisikan sistem air, batas spasial, stakeholder, dan tujuan pengelolaan.
  2. Option Evaluation & Stress Testing: Mengevaluasi opsi investasi dengan simulasi berbagai skenario masa depan (iklim, permintaan, teknologi).
  3. Designing Pathways: Menyusun urutan investasi optimal, memperhitungkan “option value” dan fleksibilitas adaptasi.
  4. Mobilizing Investment: Mengidentifikasi sumber pendanaan (publik, swasta, filantropi), memetakan manfaat dan revenue stream, serta merancang instrumen blended finance.
  5. Navigating & Adaptive Management: Monitoring, evaluasi, dan penyesuaian pathway sesuai perubahan eksternal dan capaian indikator kunci.

3. Analitik dan Tools Pendukung

  • Hydro-economic Models: ECHO, WEAP, RiverWare untuk simulasi skenario air dan ekonomi.
  • Decision Tree Framework, CRIDA, RDM, DAPP: Metodologi pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian, digunakan untuk stress testing dan desain pathway adaptif.
  • River Basin Report Card, Water Governance Indicator Framework: Untuk penilaian kinerja sistem air dan tata kelola.

Pembiayaan: Menutup Gap dengan Inovasi dan Kolaborasi

1. Tantangan Pembiayaan

  • Dominasi dana publik: 92% negara Eropa mengandalkan dana publik/EU, 41% melibatkan dana swasta, dan hanya 6% pembiayaan air berasal dari sektor swasta.
  • Karakteristik investasi air: Proyek kecil, fragmented, jangka panjang, dengan revenue stream tidak pasti, membuat sektor ini kurang menarik bagi investor komersial.
  • Kesenjangan investasi: 64% River Basin Districts belum mengamankan dana untuk PoMs kedua, 79% menyebut kekurangan dana sebagai hambatan utama.

2. Solusi dan Inovasi Pembiayaan

a. Monetisasi Manfaat dan Revenue Stream

  • Tarif air, pajak earmarked, offset market: Menerapkan prinsip “beneficiary pays” dan “polluter pays”, seperti pajak air, skema offset nitrogen di Inggris (EnTrade), dan eco-label hidropower di Swedia.
  • Payments for Ecosystem Services (PES): Skema pembayaran jasa lingkungan untuk petani yang menjaga kualitas air, seperti Eau de Paris dan United Utilities di Inggris.
  • Private investment & risk reduction: Perusahaan seperti Mestä Board (Swedia) berinvestasi USD 31 juta untuk perbaikan bendungan, menghindari potensi kerugian hingga USD 218 juta.

b. Blended Finance dan De-risking

  • Blended finance: Kombinasi dana publik, filantropi, dan swasta untuk mengurangi risiko dan meningkatkan daya tarik proyek air.
  • Public guarantees, pooled bonds: Contoh pooled hydro bonds di Italia (Veneto) berhasil menghimpun EUR 500 juta untuk utilitas air kecil.
  • Green bonds, resilience bonds: EBRD menerbitkan resilience bond USD 700 juta untuk proyek air dan ekosistem.

c. Peran Intermediaries dan Platform

  • Water Fund Network, Natural Capital Financing Facility: Lembaga perantara yang menghubungkan penyedia proyek dan investor, menyediakan technical assistance, dan memperkuat ekosistem investasi air.
  • WWF Water Stewardship, pilot PES di Prancis: Kolaborasi multi-pihak untuk memperluas skema pembiayaan inovatif.

d. Asuransi dan Risk Financing

  • Flood insurance, catastrophe bonds: Sistem CatNat di Prancis dan CCS di Spanyol memberikan perlindungan risiko banjir berbasis solidaritas nasional.
  • Crop/weather insurance: Di Italia, asuransi pertanian menjadi alat utama mitigasi risiko kekeringan.

Studi Kasus dan Angka-angka

  • Delta Fund Belanda: Rata-rata EUR 1,4 miliar/tahun (2022–2035), dengan 50% untuk investasi dan 50% untuk operasional.
  • United Utilities Inggris: Investasi GBP 10,6 juta untuk program catchment management, diikuti fase kedua GBP 11,6 juta, dengan grant GBP 2,7 juta dari Natural England dan Forestry Commission.
  • EnTrade platform Inggris: Skema offset nitrogen menghemat 153 ton nitrogen di 3.000 hektar lahan.
  • EIP (Ecosystem Investment Partners), AS: USD 885 juta aset, restorasi 180 km² lahan basah dan 280 km sungai.
  • Pooled hydro bonds Veneto, Italia: EUR 500 juta untuk utilitas air kecil.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Paper

  • Komprehensif dan Praktis: Menggabungkan analisis ekonomi, studi kasus, dan rekomendasi kebijakan berbasis data.
  • Paradigma Pathway: Menawarkan kerangka baru yang adaptif dan relevan untuk era ketidakpastian iklim dan ekonomi.
  • Inovasi Pembiayaan: Menjelaskan berbagai instrumen dan skema yang dapat direplikasi di berbagai negara.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi SIPs: Membutuhkan kapasitas analitik, data, dan tata kelola yang kuat. Banyak negara masih lemah dalam enabling environment dan integrasi lintas sektor.
  • Keterbatasan Data: Banyak data kebutuhan dan pembiayaan air masih parsial dan heterogen antar negara.
  • Skala dan Fragmentasi Proyek: Proyek air yang kecil dan tersebar menyulitkan konsolidasi dan efisiensi pembiayaan swasta.

Hubungan dengan Tren Global

  • Nature-based solutions, circular economy, dan green finance kini menjadi mainstream dalam kebijakan air dan lingkungan.
  • Disclosure dan taksonomi keuangan berkelanjutan (misal, TNFD, EU Taxonomy) mulai mewajibkan pelaporan risiko dan dampak air dalam investasi.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri

  • Adopsi SIPs dalam perencanaan nasional dan daerah untuk mengoptimalkan sinergi proyek, efisiensi biaya, dan ketahanan sistem air.
  • Penguatan enabling environment: Regulasi, institusi, dan mekanisme insentif untuk menarik investasi swasta.
  • Pengembangan blended finance dan risk sharing: Kombinasikan dana publik, filantropi, dan swasta dengan skema de-risking yang adil.
  • Peningkatan kapasitas analitik dan data: Investasi pada tools, pelatihan SDM, dan platform data terbuka untuk mendukung perencanaan dan evaluasi.
  • Kolaborasi multi-pihak dan inovasi intermediaries: Perkuat peran lembaga perantara, platform, dan pilot project untuk menghubungkan proyek dan investor.

Kesimpulan: Masa Depan Investasi Air – Adaptif, Inovatif, dan Kolaboratif

Paper ini menegaskan bahwa investasi air di era ketidakpastian membutuhkan pendekatan baru yang adaptif, berbasis pathway, dan kolaboratif. Dengan SIPs, negara dan pelaku industri dapat merancang portofolio investasi yang tangguh, efisien, dan menarik bagi pembiayaan swasta. Inovasi instrumen keuangan, penguatan enabling environment, dan integrasi kebijakan lintas sektor adalah kunci menuju sistem air yang berkelanjutan. Tanpa transformasi ini, gap investasi dan risiko sistemik akan terus membesar. Namun, dengan strategi yang tepat, masa depan air yang tangguh dan inklusif sangat mungkin diwujudkan.

Sumber Artikel 

Helen Laubenstein, Xavier Leflaive. Water investment planning and financing. OECD Environment Working Paper No. 237, ENV/WKP(2024)7, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.

Selengkapnya
Strategi Investasi dan Pembiayaan Air: Menuju Sistem Air Tangguh dan Berkelanjutan di Era Ketidakpastian

Sumber Daya Alam

Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Urgensi Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan kekayaan sumber daya alam melimpah, kini menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan lingkungan hidup. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan industrialisasi memperparah permasalahan seperti sampah, pencemaran, dan kerusakan ekosistem. Paper karya Muhammad Alrizky Ekiawan ini menyoroti pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dalam bingkai norma hukum Indonesia, mengulas dasar-dasar hukum, asas, pendekatan, serta peran pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian lingkungan12.

Landasan Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup: Pilar Konstitusi dan Undang-Undang

Dasar Konstitusional

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia berakar kuat pada Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3), yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pasal ini menegaskan peran negara sebagai pengelola utama sumber daya alam, bukan sekadar regulator, tapi juga pelindung hak rakyat atas lingkungan yang baik dan sehat12.

Undang-Undang Pokok

  • UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup: Mendefinisikan pengelolaan lingkungan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan melalui penataan, pemanfaatan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian.
  • UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH): Memperkuat kerangka hukum dengan menegaskan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah upaya sistematis dan terpadu, serta menempatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi setiap warga negara132456.

Permasalahan Lingkungan Hidup: Data, Fakta, dan Dampak

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2020, di 384 kota di Indonesia, produksi sampah mencapai 80.235,87 ton per hari. Dari jumlah ini, hanya 4,2% diangkut ke TPA, 37,6% dibakar, 4,9% dibuang ke sungai, dan 53,3% tidak tertangani secara layak. Sampah yang tidak terkelola ini menjadi sumber utama pencemaran tanah, air, dan udara, serta menimbulkan ancaman kesehatan dan bencana lingkungan1.

Selain sampah, pencemaran air dan udara akibat limbah industri, pertambangan, dan urbanisasi juga menjadi masalah akut. Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Bandung, misalnya, menjadi preseden penting dalam penegakan hukum lingkungan, di mana pemerintah daerah dan provinsi harus memediasi dan menindak perusahaan pelaku pencemaran sesuai UU No. 32 Tahun 20095.

Asas dan Prinsip Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 2 memuat 10 asas utama yang menjadi landasan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia:

  1. Tanggung Jawab Negara: Negara wajib menjamin pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan mencegah pencemaran.
  2. Kelestarian dan Keberlanjutan: Setiap orang wajib menjaga daya dukung ekosistem untuk generasi kini dan mendatang.
  3. Keserasian dan Keseimbangan: Pemanfaatan lingkungan harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian.
  4. Kehati-hatian: Ketidakpastian dampak bukan alasan untuk menunda tindakan pencegahan.
  5. Keadilan: Perlindungan lingkungan harus adil lintas daerah, generasi, dan gender.
  6. Pencemar Membayar: Pelaku pencemaran wajib menanggung biaya pemulihan.
  7. Partisipatif: Masyarakat didorong aktif dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan.
  8. Kearifan Lokal: Pengelolaan harus memperhatikan nilai-nilai lokal.
  9. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan.
  10. Otonomi Daerah: Pemerintah daerah berwenang mengatur urusan lingkungan sesuai kekhasan wilayah12.

Pendekatan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Paper ini mengidentifikasi 8 pendekatan utama yang dapat diadopsi secara simultan maupun selektif, tergantung karakteristik wilayah dan masalah lingkungan:

1. Pendekatan Teknologi

Mengganti teknologi yang merusak lingkungan dengan yang ramah lingkungan, seperti prinsip 4R (reuse, reduce, recycle, recovery). Contoh: teknologi composting untuk limbah organik, daur ulang limbah non-B3, dan mesin pabrik ramah lingkungan1.

2. Pendekatan Administrasi, Hukum, dan Peraturan

Melalui regulasi ketat seperti AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), UKL/UPL, baku mutu lingkungan, dan tata ruang. Penegakan hukum dilakukan baik secara administratif (izin, sanksi administratif) maupun melalui pengadilan (pidana, perdata)1346.

3. Pendekatan Ekonomi

Memberi nilai ekonomi pada sumber daya lingkungan sehingga biaya lingkungan diinternalisasikan dalam produksi. Contoh: pajak lingkungan, insentif bagi industri hijau, dan skema pembayaran jasa lingkungan1.

4. Pendekatan Pendidikan dan Pelatihan

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat melalui pendidikan formal, informal, dan pelatihan lingkungan. Contoh: diklat AMDAL, pelatihan pengolahan sampah, edukasi sekolah dan komunitas1.

5. Pendekatan Sosial Budaya

Mengintegrasikan kearifan lokal dan tradisi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Contoh: sistem pertanian tradisional, pengelolaan hutan adat, dan pengelolaan sumber daya berbasis komunitas1.

6. Pendekatan Sosio-Politik

Mengelola konflik kepentingan antar pihak melalui musyawarah dan negosiasi, menciptakan win-win solution dalam pengelolaan sumber daya lintas sektor, wilayah, atau etnis1.

7. Pendekatan Ekologis

Berbasis pada konservasi ekosistem, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemanfaatan berkelanjutan. Contoh: perlindungan kawasan lindung, suaka margasatwa, dan taman nasional1.

8. Pendekatan Agama

Menumbuhkan moral dan etika lingkungan melalui ajaran agama, sehingga masyarakat lebih bijak dalam mengelola alam1.

9. Pendekatan Institusi

Melibatkan lembaga formal dan non-formal, seperti dinas kebersihan, LSM, dan kelompok masyarakat, dalam pengelolaan dan pemanfaatan limbah serta sumber daya lingkungan1.

Studi Kasus: Penegakan Hukum Lingkungan

Kasus Sungai Cikijing, Bandung

Kasus pencemaran Sungai Cikijing di Kabupaten Bandung menjadi contoh nyata penerapan UU No. 32 Tahun 2009. Pemerintah daerah dan provinsi menindak perusahaan pelaku pencemaran dengan upaya administratif dan perdata, serta memediasi agar limbah cair tidak lagi dibuang ke sungai. Kasus ini menegaskan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator, penegak hukum, dan pelindung hak masyarakat atas lingkungan sehat5.

Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg

Studi lain menyoroti kepastian hukum dalam penegakan lingkungan melalui Putusan Nomor 24/Pdt.G/2015/PN.Plg, di mana hakim menggunakan logika hukum indoktriner dan argumentum ad verecundiam untuk memenangkan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa meski perangkat hukum sudah ada, implementasi dan interpretasi di lapangan masih menghadapi tantangan, terutama dalam menyeimbangkan kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan4.

Tantangan dan Kritik: Implementasi, Kepastian Hukum, dan Partisipasi

Implementasi Hukum

Meski kerangka hukum sudah kuat, implementasi di lapangan masih lemah. Banyak kasus pencemaran yang tidak ditindak tegas, sanksi yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring serta pengawasan. Penegakan hukum lingkungan seringkali baru berjalan setelah kerusakan terjadi, bukan sebagai upaya pencegahan346.

Kepastian Hukum

Kepastian hukum bagi masyarakat masih lemah, terutama dalam kasus konflik antara perusahaan dan warga. UU No. 32 Tahun 2009 memang membuka ruang bagi sanksi administratif, perdata, dan pidana, namun dalam praktiknya, proses hukum sering lambat dan tidak berpihak pada korban456.

Partisipasi dan Edukasi

Partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya edukasi, akses informasi, dan kesadaran lingkungan. Padahal, keberhasilan pengelolaan lingkungan sangat bergantung pada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat12.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Paper ini sejalan dengan literatur lain yang menekankan pentingnya pendekatan multi-disiplin dan multi-aktor dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kelebihan utama paper ini adalah analisis komprehensif atas asas, pendekatan, dan dasar hukum, serta penekanan pada pentingnya kolaborasi pemerintah dan masyarakat. Namun, paper ini bisa lebih kuat jika menambahkan data kuantitatif kerusakan lingkungan, studi kasus lebih banyak, dan analisis mendalam tentang efektivitas sanksi hukum di Indonesia.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

  • Perkuat Implementasi Hukum: Pemerintah perlu meningkatkan monitoring, penegakan sanksi, dan transparansi dalam penanganan kasus pencemaran.
  • Edukasi dan Pelatihan Berkelanjutan: Program pendidikan lingkungan harus diperluas ke seluruh lapisan masyarakat, mulai dari sekolah hingga komunitas.
  • Dorong Inovasi Teknologi dan Ekonomi: Insentif untuk teknologi ramah lingkungan dan internalisasi biaya lingkungan dalam produksi harus diperluas.
  • Libatkan Masyarakat dan Lembaga Lokal: Partisipasi aktif masyarakat, LSM, dan lembaga adat harus didorong dalam perencanaan, pengawasan, dan pengelolaan lingkungan.
  • Integrasi Kearifan Lokal: Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal harus menjadi bagian dari strategi nasional pengelolaan lingkungan.

Menuju Pengelolaan Lingkungan Hidup yang Efektif dan Berkeadilan

Pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat, implementasi yang konsisten, serta kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan pengelolaan lingkungan tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, tetapi harus didukung pendekatan teknologi, pendidikan, budaya, dan partisipasi aktif seluruh pemangku kepentingan. Dengan demikian, cita-cita Pasal 33 UUD 1945 untuk kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan dapat benar-benar terwujud.

Sumber Artikel 

Muhammad Alrizky Ekiawan. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia. JURNAL RECHTEN: Riset Hukum dan Hak Asasi Manusia, Vol. 5 No. 2 (2023), hlm. 34–42.

Selengkapnya
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Norma Hukum Indonesia

Sumber Daya Air

The Economics of Water Scarcity

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Kelangkaan Air di Eropa dan Tantangan Ekonomi Global

Air adalah sumber daya vital yang semakin langka di banyak kawasan dunia, termasuk Eropa. Paper “The Economics of Water Scarcity” karya Xavier Leflaive dari OECD ini membedah secara komprehensif status ketersediaan air, permintaan, dan pengaruh perubahan iklim di Uni Eropa (UE). Dengan menyoroti instrumen ekonomi, kebijakan, serta studi kasus nyata, paper ini menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kelangkaan air dapat dikelola secara efektif melalui kombinasi kebijakan permintaan, alokasi, dan insentif harga. Artikel ini sangat relevan di tengah tren global perubahan iklim, urbanisasi, dan tekanan pada sumber daya air yang semakin intens.

Status Ketersediaan dan Permintaan Air di Eropa: Angka dan Fakta Kunci

Ketersediaan Air: Ketimpangan Regional dan Musiman

Eropa secara umum memiliki sumber air tawar melimpah, namun distribusinya sangat tidak merata. Negara seperti Kroasia, Finlandia, Norwegia, dan Swedia memiliki ketersediaan air per kapita di atas 10.000 m³/tahun, sementara Siprus, Ceko, Malta, dan Polandia sudah masuk kategori water stress dengan ketersediaan di bawah 1.700 m³/kapita/tahun. Di beberapa negara seperti Denmark, lebih dari 99% air yang digunakan berasal dari air tanah, sedangkan Malta sangat bergantung pada air laut yang didesalinasi.

Permintaan Air: Dominasi Sektor Pertanian dan Energi

  • Pertanian menyerap 24% dari seluruh pengambilan air dan sekitar 40% dari total penggunaan air tahunan di Eropa. Meski hanya 6% lahan pertanian yang diairi, sektor ini adalah konsumen air terbesar karena sebagian besar air tidak kembali ke lingkungan, melainkan hilang lewat evapotranspirasi.
  • Energi (terutama untuk pendinginan pembangkit listrik) menggunakan 28% air, diikuti industri/manufaktur (18%), dan rumah tangga (12%).
  • Permintaan air di Eropa meningkat selama 50 tahun terakhir, menyebabkan penurunan ketersediaan air per kapita sebesar 24%. Namun, berkat kebijakan efisiensi, total pengambilan air turun 19% sejak 1990.

Dampak Perubahan Iklim: Stres Air dan Kerugian Ekonomi

  • Sekitar 30% penduduk Eropa mengalami water stress setiap tahun, dengan 10% wilayah mengalami stres permanen dan hingga 30% mengalami stres musiman.
  • Proyeksi menunjukkan, pada skenario pemanasan 1,5°C, 7,4 juta orang dan €134 miliar aktivitas ekonomi tambahan akan terdampak water stress. Pada skenario 3°C, tambahan 7,7 juta orang dan €99 miliar aktivitas ekonomi akan terkena dampak lebih parah.
  • Kerugian akibat kekeringan di Eropa mencapai €9 miliar/tahun, dengan puncaknya pada 2018: kerugian pertanian €1,4 miliar di Belanda dan €770 juta di Jerman. Jika pemanasan global mencapai 3°C, kerugian tahunan akibat kekeringan bisa melonjak hingga €40 miliar/tahun.

Studi Kasus: Kebijakan dan Praktik Pengelolaan Air di Eropa dan Dunia

Studi Kasus 1: Efektivitas Harga dan Elastisitas Permintaan Air

  • Penelitian di Denmark menunjukkan kenaikan tarif air sebesar 54% selama dua dekade menurunkan konsumsi air hingga 20%.
  • Di New Zealand, pengenalan tarif berbasis volume mendorong konsumen mengadopsi kebiasaan hemat air.
  • Namun, elastisitas permintaan air domestik umumnya rendah (kisaran -1,0 hingga -0,1), artinya kenaikan harga hanya sedikit menurunkan konsumsi, kecuali untuk penggunaan non-esensial seperti taman atau kolam renang.

Studi Kasus 2: Pengelolaan Air Pertanian dan Kolektif di Prancis

  • Prancis menerapkan tarif pengambilan air berdasarkan volume dan tingkat kelangkaan air di setiap basin. Petani yang bergabung dalam manajemen kolektif (OUGC) mendapat tarif lebih murah, namun implementasinya menimbulkan kontroversi karena konflik kepentingan dan perubahan hak individu menjadi kuota kolektif.
  • Di Inggris dan Wales, petani irigasi membayar tarif dua komponen (tetap dan variabel), dengan kewajiban meterisasi dan pelaporan penggunaan air.

Studi Kasus 3: Inovasi Water Reuse di Israel

  • Israel adalah pelopor penggunaan air limbah olahan untuk irigasi. Pada 2017, 97% limbah cair dikumpulkan dan 85% diolah ulang untuk irigasi, setara dengan 21% total konsumsi air nasional dan 45% konsumsi pertanian.
  • Investasi besar pada WWTP (wastewater treatment plant) dan regulasi ketat mendorong efisiensi dan keamanan penggunaan air olahan, dengan tarif air domestik mencapai USD 2,6/m³ dan air limbah olahan untuk irigasi USD 0,3/m³.

Studi Kasus 4: Nature-Based Solutions (NbS) di Polandia

  • Di DAS Odra, Polandia, kombinasi polder alami dan tanggul tradisional terbukti efektif mengurangi risiko banjir besar (1.000 tahunan). NbS juga meningkatkan produksi pertanian, penyerapan karbon, dan nilai rekreasi, dengan manfaat ekonomi €1.400/ha/tahun dibanding sungai yang tidak direstorasi.

Instrumen Ekonomi dan Kebijakan Pengelolaan Kelangkaan Air

1. Manajemen Permintaan: Kombinasi Harga dan Non-Harga

  • Kebijakan permintaan air (demand management) adalah opsi “first best” untuk mengatasi kelangkaan air, karena lebih fleksibel dan murah dibanding menambah pasokan.
  • Instrumen harga (tarif, abstraction charges) harus dikombinasikan dengan regulasi, kampanye edukasi, dan promosi teknologi efisien.
  • Elastisitas permintaan air pertanian umumnya lebih tinggi dibanding rumah tangga, namun tetap rendah di kawasan yang sudah kekurangan air.
  • Di sektor industri, elastisitas lebih bervariasi dan tergantung pada jenis industri serta peluang substitusi air baku dengan air daur ulang.

2. Augmentasi Pasokan: Reuse, Desalinasi, dan NbS

  • Augmentasi pasokan (storage, reuse, desalination) harus diprioritaskan setelah upaya efisiensi permintaan. Pengalaman di Korea Selatan, Brasil, dan Afrika Selatan menunjukkan bahwa penambahan pasokan tanpa manajemen permintaan justru memicu konsumsi baru dan menunda solusi jangka panjang.
  • Water reuse di Eropa masih sangat rendah (2,4% dari total limbah cair diolah ulang; hanya 0,4% dari total pengambilan air), jauh di bawah Israel, Malta (60%), dan Siprus (90%).
  • Regulasi baru UE (2020) mewajibkan standar kualitas minimum untuk reuse air limbah di pertanian, dengan insentif ekonomi dan inovasi teknologi untuk memperluas penerapan.

3. Alokasi Air: Regime yang Adaptif dan Berkeadilan

  • Rezim alokasi air yang efektif harus menyeimbangkan efisiensi ekonomi, keberlanjutan lingkungan, dan keadilan sosial.
  • Prinsip utama: penetapan batas pengambilan (abstraction cap), prioritas kebutuhan ekologis (ecological flows), hak dan kuota air yang fleksibel, serta mekanisme monitoring dan sanksi yang jelas.
  • OECD “health check” menawarkan 14 indikator untuk menilai kesehatan rezim alokasi air, termasuk akuntabilitas, kejelasan hukum, monitoring, dan integrasi lintas sektor.

4. Abstraction Charges: Insentif Ekonomi dan Tantangan Implementasi

  • Abstraction charges (biaya pengambilan air) di banyak negara hanya merefleksikan 2–3% dari nilai ekonomi eksternalitas kelangkaan air (IEEP, 2021).
  • Banyak negara membedakan tarif berdasarkan sektor dan sumber air (permukaan vs air tanah), dengan tarif lebih tinggi untuk groundwater. Namun, sektor pertanian sering mendapat tarif rendah atau bahkan bebas biaya.
  • Di Prancis, tarif pengambilan air naik di kawasan yang kronis kekurangan air, dan insentif diberikan untuk manajemen kolektif.
  • Di Portugal, koefisien kelangkaan diterapkan untuk mencerminkan variasi spasial dan temporal kelangkaan air.

5. Agro-environmental Schemes dan Payment for Ecosystem Services (PES)

  • Skema agro-lingkungan (eco-schemes) dan PES memberi insentif kepada petani untuk praktik ramah air: rotasi tanaman, buffer zone, low-till agriculture, dan konversi ke organik.
  • Di Inggris, PES oleh perusahaan air terbukti lebih efektif dan murah dibanding upgrade instalasi pengolahan air.
  • Tantangan: risiko windfall profit (subsidi melebihi biaya nyata), ketidakadilan jika hanya “rewarding polluters”, dan perlunya baseline regulation yang ketat.

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kelebihan Paper

  • Komprehensif dan Praktis: Memadukan analisis data, studi kasus, dan rekomendasi kebijakan yang aplikatif untuk berbagai konteks regional di Eropa.
  • Integrasi Ekonomi-Lingkungan: Menekankan pentingnya internalisasi biaya eksternalitas dan penggunaan instrumen ekonomi untuk mencapai tujuan ekologi.
  • Studi Kasus Global: Mengambil pelajaran dari Israel, Korea, Prancis, dan negara lain untuk memperkaya wawasan dan solusi.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Data dan Model: Estimasi biaya kelangkaan air masih parsial dan konservatif, belum sepenuhnya mencakup nilai ekosistem dan dampak jangka panjang.
  • Implementasi Tarif dan Insentif: Banyak negara masih enggan menerapkan tarif yang mencerminkan kelangkaan, terutama untuk sektor pertanian karena alasan politik dan sosial.
  • Reformasi Alokasi Air: Proses reformasi sering lambat, penuh negosiasi, dan rawan resistensi dari kelompok yang sudah diuntungkan.

Hubungan dengan Tren Global

Paper ini sangat relevan dengan tren ekonomi sirkular, transisi energi bersih (yang justru meningkatkan kebutuhan air di beberapa sektor), dan integrasi kebijakan iklim-lingkungan. Prinsip nature-based solutions dan eco-schemes kini menjadi arus utama dalam kebijakan air dan pertanian global.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Industri

  • Prioritaskan Manajemen Permintaan: Kombinasikan instrumen harga dan non-harga, edukasi, serta teknologi efisiensi untuk menekan konsumsi.
  • Perkuat Rezim Alokasi Air: Terapkan prinsip cap, ecological flows, monitoring, dan hak air yang adaptif.
  • Tingkatkan Tarif Abstraction Charges: Sesuaikan tarif dengan tingkat kelangkaan dan biaya eksternalitas, serta pastikan dana digunakan untuk pengelolaan air.
  • Dorong Inovasi Water Reuse dan NbS: Berikan insentif investasi dan regulasi untuk memperluas reuse dan nature-based solutions.
  • Integrasikan Kebijakan Pertanian dan Air: Sinkronkan eco-schemes, subsidi, dan regulasi input pertanian dengan tujuan keberlanjutan air.
  • Transparansi dan Partisipasi Publik: Libatkan masyarakat, petani, dan pelaku industri dalam perencanaan dan monitoring kebijakan air.

Kesimpulan: Menata Ulang Ekonomi Air untuk Masa Depan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan solusi ekonomi, teknis, dan sosial secara terpadu. Kebijakan harga, alokasi adaptif, inovasi reuse, dan nature-based solutions harus menjadi pilar utama pengelolaan air modern. Tanpa reformasi serius, Eropa (dan dunia) akan menghadapi risiko ekonomi, ekologi, dan sosial yang makin besar akibat kelangkaan air. Namun, dengan kombinasi kebijakan berbasis data dan insentif yang tepat, masa depan air yang berkelanjutan masih sangat mungkin diraih.

Sumber Artikel 

Xavier Leflaive. The economics of water scarcity. OECD Environment Working Papers No. 239, ENV/WKP(2024)9, Organisation for Economic Co-operation and Development, 2024.

Selengkapnya
The Economics of Water Scarcity

Sumber Daya Alam

Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Krisis Alam dan Risiko Sistemik bagi Ekonomi Global

Dunia kini menghadapi krisis alam yang belum pernah terjadi sebelumnya, ditandai oleh perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi yang saling terkait. Paper IMF ini menyoroti bagaimana ekonomi global sepenuhnya “embedded in nature”—tertanam dan tergantung pada stabilitas ekosistem—namun justru mendorong degradasi alam yang mengancam keberlanjutan ekonomi dan stabilitas keuangan. Dengan kerangka konseptual baru, analisis empiris, dan rekomendasi kebijakan konkret, paper ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, regulator keuangan, dan pelaku industri yang ingin memahami serta mengelola risiko terkait alam.

Kerangka Konseptual: Double Materiality dan Saluran Risiko Alam

Penulis mengembangkan kerangka “double materiality” yang menegaskan dua arah hubungan antara ekonomi dan alam:

  • Ekonomi sangat bergantung pada jasa ekosistem (air, udara bersih, polinasi, regulasi iklim, dsb), namun aktivitas ekonomi juga mempercepat degradasi alam.
  • Risiko terkait alam diklasifikasikan menjadi empat:
    • Physical risks (kerusakan akibat hilangnya jasa ekosistem, bencana alam, polusi, dsb),
    • Transition risks (risiko akibat perubahan kebijakan, regulasi, dan preferensi pasar menuju ekonomi ramah alam),
    • Litigation risks (biaya hukum akibat gugatan lingkungan),
    • Institutional risks (perubahan tata kelola dan kepercayaan publik).

Kerangka ini menyoroti bahwa risiko alam dapat bereskalasi dari level lokal menjadi ancaman sistemik global melalui saluran makroekonomi (pertumbuhan, inflasi, utang, perdagangan) dan saluran keuangan (kredit, pasar, likuiditas, asuransi, operasional).

Krisis Alam: Angka, Fakta, dan Batasan Planet

  • Enam dari sembilan “planetary boundaries” telah terlewati, termasuk integritas biosfer, perubahan iklim, perubahan penggunaan lahan, aliran biokimia (nitrogen & fosfor), air tawar, dan entitas baru (bahan kimia sintetis)1.
  • Biodiversitas menurun lebih cepat dari sebelumnya: Lebih dari 90% kehilangan keanekaragaman hayati dan tekanan air berasal dari perubahan penggunaan lahan dan eksploitasi industri/pertanian1.
  • Ekonomi dunia sangat rentan: Lebih dari 50% GDP global sangat atau cukup bergantung pada alam (WEF 2020).
  • Nilai risiko air: Risiko air diperkirakan berdampak pada 7–16% GDP global, sedangkan risiko terkait polinasi, udara, dan kualitas air sekitar 1–3% GDP1.
  • Dampak ketidakberlanjutan: Studi Johnson dkk. (2021) memperkirakan kerugian tahunan akibat kerusakan tiga ekosistem utama setara dengan 2,3% GDP global pada 2030, dan bisa mencapai 10% di negara berpendapatan rendah dan menengah bawah.

Studi Kasus & Analisis Empiris: Risiko Transisi dan Fisik di Sektor Keuangan

Eksposur Bank Global terhadap Risiko Alam

  • 38% pinjaman bank terbesar dunia diberikan ke sektor yang sangat bergantung pada subsidi merusak alam (misal: pertanian, kehutanan, perikanan, pertambangan)1.
  • 44% pinjaman bank terekspos pada area konservasi yang akan terdampak kebijakan konservasi 30% daratan dan perairan global pada 2030 (Target 3 Global Biodiversity Framework/GBF)1.
  • Subsidi merusak alam mencapai $1,7 triliun pada 2022, terdiri dari $640 miliar di energi, $520 miliar pertanian, $350 miliar air, $155 miliar kehutanan, dan $50 miliar perikanan. Penghapusan subsidi ini akan berdampak besar pada sektor-sektor terkait dan menimbulkan risiko gagal bayar di portofolio bank1.
  • Risiko transisi: Sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan paling rentan terhadap kebijakan penghapusan subsidi dan ekspansi area konservasi. Bank-bank dengan kebijakan manajemen risiko alam yang kuat cenderung memiliki eksposur lebih rendah ke sektor-sektor ini, namun cakupan kebijakan masih terbatas dan belum mencakup seluruh instrumen pembiayaan1.

Risiko Fisik: Kesiapan Perusahaan Menghadapi Degradasi Alam

  • Korelasi kesiapan dan eksposur industri terhadap risiko alam hanya 0,37: Artinya, industri yang paling terekspos justru paling tidak siap mengelola risiko alam1.
  • Pada perusahaan terbesar di tiap industri, korelasi kesiapan dan eksposur meningkat (0,70), namun skor kesiapan rata-rata justru 47% lebih rendah dari rata-rata industri. Hal ini menandakan ketidaksiapan sistemik dan bias pelaporan sukarela1.
  • Hanya 55% perusahaan yang melaporkan manajemen risiko air telah mengintegrasikan isu air dalam rencana bisnis jangka panjang. Mayoritas pelaporan masih belum transparan, tidak seragam, dan cenderung melebih-lebihkan kesiapan1.

Saluran Dampak Makroekonomi: Dari Produktivitas hingga Stabilitas Fiskal

  • Dampak langsung: Hilangnya jasa ekosistem (misal mangrove, lahan basah) meningkatkan kerusakan akibat badai, menurunkan pertumbuhan ekonomi kawasan hingga 6,1–8,2% pasca bencana, dibanding kawasan yang masih terlindungi (2,6–5,5%)1.
  • Produktivitas tenaga kerja: Polusi dan degradasi alam menurunkan produktivitas fisik dan kognitif, terutama di pertanian dan jasa. Penurunan polinasi dan erosi tanah menurunkan hasil pertanian dan kesehatan masyarakat.
  • Dampak fiskal: Pendapatan negara turun akibat hilangnya daya tarik wisata alam (8% pasar pariwisata global berasal dari kawasan lindung), sementara belanja untuk pemulihan dan restorasi naik drastis. Negara berpendapatan rendah sangat rentan terhadap lonjakan utang akibat bencana ekologis1.
  • Inflasi dan neraca eksternal: Krisis air dan pangan akibat degradasi alam memicu volatilitas harga pangan dan energi, meningkatkan inflasi dan memperburuk neraca perdagangan1.
  • Risiko sistemik keuangan: Penurunan nilai aset, gagal bayar kredit, lonjakan klaim asuransi, dan perubahan ekspektasi pasar dapat memicu “nature Minsky moment”—krisis keuangan sistemik akibat guncangan alam1.

Studi Kebijakan: Inisiatif Global dan Praktik Negara

  • Regulasi dan pengawasan: Beberapa negara mulai mengintegrasikan risiko alam dalam kebijakan keuangan.
    • Brasil: Bank sentral sejak 2008 mewajibkan kredit pertanian di Amazon hanya untuk pelaku yang patuh lingkungan, terbukti menekan deforestasi1.
    • Hong Kong: Otoritas moneter sejak 2020 mewajibkan bank mengelola risiko lingkungan, termasuk keanekaragaman hayati dan deforestasi.
    • Uni Eropa: Regulasi perbankan terbaru mewajibkan pengungkapan, manajemen, dan tata kelola risiko ESG, termasuk degradasi ekosistem dan kehilangan biodiversitas.
  • Disclosure dan taksonomi: Task Force on Nature-Related Financial Disclosures (TNFD) dan International Sustainability Standards Board (ISSB) mendorong pelaporan risiko alam oleh korporasi dan lembaga keuangan. Beberapa negara (Prancis, Brasil, China, Turki) telah mengadopsi atau mewajibkan disclosure risiko biodiversitas.
  • Taksonomi hijau: 17 negara mega-biodiverse telah atau sedang mengembangkan taksonomi yang memasukkan kriteria pelestarian alam. ASEAN, China, Uni Eropa, dan beberapa negara Amerika Latin sudah mengadopsi taksonomi yang mewajibkan perlindungan biodiversitas dalam investasi1.

Tantangan Utama: Data, Model, dan Kesenjangan Kapasitas

  • Keterbatasan data: Mayoritas pelaporan risiko alam masih sukarela, tidak seragam, dan bias positif. Hanya sebagian kecil perusahaan dan bank yang benar-benar mengukur dan mengelola risiko alam secara sistemik.
  • Model ekonomi konservatif: Estimasi dampak makroekonomi cenderung meremehkan risiko karena hanya mencakup sebagian jasa ekosistem dan mengasumsikan substitusi modal alam dengan modal buatan, padahal substitusi ini sangat terbatas1.
  • Ketidakpastian tipping point: Lokasi dan waktu titik kritis ekosistem (tipping point) sulit diprediksi, sehingga prinsip kehati-hatian dan batas kuantitatif lebih efektif daripada sekadar instrumen harga atau pajak1.
  • Kesenjangan kapasitas: Negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan sistem data, regulasi, dan kapasitas pengawasan risiko alam.

Rekomendasi Kebijakan: Menuju Ekonomi dan Keuangan Ramah Alam

  1. Integrasi risiko alam dalam kebijakan makro dan keuangan: Negara harus mulai mengadopsi kerangka manajemen risiko alam, melengkapi kebijakan iklim, dan mengintegrasikan prinsip “do no harm” agar kebijakan iklim tidak merugikan alam, dan sebaliknya.
  2. Transparansi dan disclosure: Pemerintah dan regulator perlu mewajibkan pelaporan risiko alam dan subsidi merusak alam secara konsisten lintas negara.
  3. Penguatan taksonomi dan data: Pengembangan taksonomi hijau dan sistem data alam menjadi prioritas, dimulai dari sektor-sektor paling relevan (pertanian, kehutanan, energi, pertambangan).
  4. Inovasi keuangan: Pengembangan instrumen keuangan berbasis konservasi dan restorasi alam, serta penyesuaian due diligence bank dan asuransi untuk risiko alam.
  5. Kolaborasi global: Kerja sama internasional diperlukan untuk harmonisasi standar, pengembangan skenario risiko alam, dan penutupan kesenjangan pendanaan konservasi.
  6. Pendekatan kuantitatif dan kehati-hatian: Mengingat keterbatasan model dan ketidakpastian tipping point, kebijakan berbasis batas kuantitatif (misal, larangan deforestasi, perlindungan area kritis) lebih efektif daripada hanya mengandalkan instrumen harga.

Opini dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Paper ini memperkuat temuan Dasgupta Review (2021) dan IPBES (2019) tentang keterbatasan substitusi modal alam, pentingnya tipping point, dan perlunya kerangka ekonomi baru yang mengakui keterbatasan planet. Namun, kontribusi utama paper ini adalah pemetaan saluran risiko alam ke sistem keuangan global secara empiris—misal, angka 38% eksposur pinjaman bank ke sektor subsidi merusak dan 44% ke area konservasi—yang sebelumnya jarang dibahas secara kuantitatif.

Dibanding studi sebelumnya, paper ini juga menyoroti kebutuhan mendesak akan disclosure, taksonomi, dan kebijakan lintas sektor yang terintegrasi antara alam dan iklim. Penekanan pada “double materiality” dan “nature Minsky moment” menambah perspektif baru dalam diskusi risiko sistemik global.

Implikasi Industri dan Tren Masa Depan

  • Sektor keuangan akan menghadapi tuntutan disclosure dan due diligence risiko alam yang makin ketat.
  • Industri ekstraktif dan agrikultur harus bersiap menghadapi penghapusan subsidi dan perluasan area konservasi yang berdampak pada model bisnis dan akses pembiayaan.
  • Teknologi dan data akan menjadi tulang punggung sistem pelaporan dan penilaian risiko alam.
  • Negara berkembang perlu dukungan pendanaan dan transfer teknologi untuk membangun kapasitas manajemen risiko alam.

Mengelola Risiko Alam untuk Stabilitas Ekonomi dan Keuangan

Paper IMF ini menegaskan bahwa ekonomi dan keuangan global tidak akan stabil tanpa perlindungan alam. Risiko alam kini telah menjadi sumber risiko sistemik, setara dengan risiko iklim, yang menuntut perubahan paradigma kebijakan ekonomi dan keuangan. Tanpa aksi cepat dan terkoordinasi—mulai dari penghapusan subsidi merusak, disclosure risiko, hingga penguatan taksonomi dan data—dunia berisiko menghadapi krisis ekonomi dan keuangan akibat keruntuhan ekosistem. Integrasi kebijakan alam dan iklim, inovasi keuangan, dan kolaborasi global adalah kunci menuju masa depan ekonomi yang benar-benar berkelanjutan.

Sumber Artikel

Charlotte Gardes-Landolfini, William Oman, Jamie Fraser, Mariza Montes de Oca Leon, and Bella Yao. Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations. IMF Staff Climate Notes NOTE/2024/002, October 2024.

Selengkapnya
Embedded in Nature: Nature-Related Economic and Financial Risks and Policy Considerations

Sumber Daya Air

Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air Tanah, Kunci Ketahanan di Asia Tengah

Air tanah di Asia Tengah, khususnya Uzbekistan, adalah sumber kehidupan yang menopang kebutuhan domestik, pertanian, dan industri di tengah iklim kering dan ketergantungan pada aliran sungai musiman dari gletser. Namun, pengelolaan air tanah di kawasan ini menghadapi tantangan besar: mulai dari over-ekstraksi, polusi, hingga kegagalan institusi dan lemahnya koordinasi antar lembaga. Paper karya Sylvia Schmidt, Ahmad Hamidov, dan Ulan Kasymov ini membedah kompleksitas tata kelola air tanah Uzbekistan dengan menggabungkan kerangka Social-Ecological Systems (SES) dan Informational Governance. Pendekatan ini menyoroti peran krusial informasi—atau seringnya, ketiadaan informasi—dalam keberhasilan atau kegagalan pengelolaan air tanah.

Kerangka Analisis: Integrasi SES dan Informational Governance

Penulis mengadaptasi kerangka SES Ostrom (2007) untuk menelaah interaksi manusia-lingkungan, dengan fokus pada subsistem: ekosistem terkait, pengaturan ekonomi dan sosial-politik, sistem sumber daya, unit sumber daya, aktor, interaksi, sistem tata kelola, dan outcome. Untuk memperdalam analisis, paper ini mengintegrasikan empat tema utama dari informational governance (Mol 2006):

  • Dinamika dan Mekanisme Informasi: Bagaimana informasi dikumpulkan, diproses, dan dibagikan.
  • Ketidakpastian dan Multiple Knowledges: Tantangan akibat data yang tidak lengkap, metode berbeda, dan pengetahuan lokal vs. formal.
  • Power Constellations: Siapa yang mengendalikan informasi dan bagaimana hierarki mempengaruhi akses serta pengambilan keputusan.
  • Desain Reformasi Informasi: Upaya dan hambatan dalam memperbaiki sistem informasi untuk tata kelola yang lebih demokratis dan efektif.

Metodologi: Tinjauan Sistematis Literatur dan Studi Kasus Uzbekistan

Penelitian ini menggunakan tinjauan sistematis terhadap 54 sumber (artikel, laporan, bab buku) tentang tata kelola air tanah di Asia Tengah, dengan fokus khusus pada 14 sumber relevan untuk Uzbekistan. Analisis konten kualitatif digunakan untuk mengidentifikasi pola, tantangan, dan peluang dalam tata kelola serta penyebaran informasi air tanah.

Sumber Daya dan Penggunaan Air Tanah di Uzbekistan: Angka-angka Kunci

  • Cadangan air tanah Uzbekistan: 18,5 km³, dengan ekstraksi aktual 7,7 km³/tahun.
  • Recharge tahunan: 23–27 km³ (berbeda tergantung sumber).
  • Jumlah akuifer utama: 99, dengan 77 di antaranya berisi air tawar layak minum.
  • Jumlah sumur air tanah: >25.000 sumur.
  • Kontribusi air tanah untuk air minum: 50% kebutuhan domestik (3,4 km³/tahun).
  • Penggunaan untuk irigasi: 2,1 km³/tahun (28% dari total ekstraksi).
  • Penggunaan industri: 0,7 km³/tahun (10% dari total ekstraksi), termasuk untuk wisata kesehatan dan pabrik air mineral.

Studi Kasus: Tata Kelola Air Tanah dan Dampaknya

Aktor dan Interaksi

Aktor utama mencakup rumah tangga, petani, perusahaan industri, serta lembaga pemerintah dan lokal. Di tingkat komunitas, pengetahuan lokal (misal: “wise men” di mahalla) sering lebih diandalkan daripada pengetahuan teknis formal. Namun, interaksi antara aktor seringkali terhambat oleh keterbatasan akses informasi dan minimnya koordinasi.

Studi oleh Karimov dkk. (2022) menunjukkan bahwa irigasi berbasis air tanah memang menjamin ketepatan waktu penyiraman, namun membutuhkan biaya listrik dan tenaga kerja lebih tinggi dibanding irigasi gravitasi, sehingga petani didorong untuk efisiensi.

Sistem Tata Kelola: Regulasi, Monitoring, dan Sanksi

Kebijakan utama meliputi:

  • Water Sector Development Concept 2020–2030: Menargetkan pengurangan lahan irigasi dengan air tanah kritis dari 1.051.000 ha menjadi 773.000 ha, pengembangan sistem informasi status lahan dan air, serta perlindungan air tanah strategis.
  • Undang-Undang Air dan Penggunaan Air (1993): Menjamin keberlanjutan, perlindungan, dan hak kepemilikan air.
  • Regulasi Teknis: Syarat izin pengeboran untuk sumur >25 m atau ekstraksi >5 m³/hari, harga resmi air tanah untuk irigasi UZS 124,8/m³ (sekitar US$0,01).
  • Monitoring: 1.465 stasiun monitoring air tanah (2017), namun distribusi dan cakupan masih terbatas.

Namun, hanya sebagian kecil sumur yang terdaftar resmi. Banyak sumur didaftarkan ke pemerintah lokal atau penyedia listrik, bukan ke otoritas geologi nasional. Sumur kecil (<25 m, <5 m³/hari) tidak diatur secara formal.

Outcome: Over-ekstraksi, Salinisasi, dan Polusi

  • Salinisasi: 70% lahan irigasi tidak memiliki drainase bebas, menyebabkan peningkatan salinitas. Lahan dengan muka air tanah 1–2 m naik dari 743.500 ha (17,4%) pada 2008 menjadi 1.182.900 ha (27,5%) pada 2010. Lebih dari 46,6% lahan irigasi terdampak salinisasi (2,5% sangat asin, 13,3% sedang, 30,9% ringan).
  • Penurunan cadangan air tanah: Turun 40% antara 1965–2002; 35% cadangan hilang dalam 30–40 tahun terakhir.
  • Polusi: Kontaminasi oleh nitrat, pestisida, dan bahan kimia pertanian. Air tanah di Bukhara, Khorezm, dan Karakalpakstan tidak memenuhi standar air minum negara.
  • Kerugian ekonomi: Salinisasi dan air tanah dangkal menyebabkan kerusakan infrastruktur dan permukiman, dengan kerugian antara US$2,5–10 juta.

Informational Governance: Tantangan, Kesenjangan, dan Reformasi

Dinamika dan Mekanisme Informasi

Monitoring air tanah di Uzbekistan masih didominasi sistem negara yang sentralistik, berbasis sains alam, dan cenderung tertutup. Data tahunan hanya didistribusikan ke sekitar 40 lembaga pemerintah, tidak tersedia untuk publik. Sistem pelaporan formal dan informal berjalan paralel, menciptakan redundansi, inefisiensi, dan kebingungan.

Kekurangan data tentang penggunaan industri, tumpang tindih otoritas, dan menurunnya jumlah sumur observasi memperburuk ketidakpastian status air tanah. Distribusi sumur monitoring tidak merata, dan sering tidak cukup spesifik untuk kebutuhan lokal.

Ketidakpastian dan Multiple Knowledges

Variasi data antara sumur monitoring yang berdekatan menunjukkan adanya nugget variance (variabilitas kecil-skala) dan kemungkinan error pengukuran. Metode penilaian yang berbeda, kurangnya pertukaran informasi, serta adanya sistem pelaporan ganda menimbulkan “multiple knowledges” yang saling bertentangan. Hal ini menurunkan kepercayaan pengguna terhadap data dan menyulitkan perencanaan adaptasi.

Informasi tentang kondisi akuifer jarang tersedia bagi pengguna, sehingga masyarakat sulit mengambil tindakan kolektif atau adaptif. Pengetahuan lokal memang ada, namun sering tidak terintegrasi dengan data formal atau teknologi modern.

Power Constellations: Hierarki dan Monopoli Informasi

Penguasaan informasi oleh lembaga negara menciptakan hierarki dan monopoli, baik di tingkat nasional maupun lokal. Water Consumer Associations (WCA) yang seharusnya menjadi jembatan ke petani, justru lemah dalam pengambilan keputusan dan sering diintervensi pemerintah daerah. Sistem pewarisan otoritas dari era Soviet masih terasa, dengan dominasi negara dan minimnya ruang partisipasi masyarakat.

Ketergantungan pada ahli dan birokrasi memperkuat hierarki, sementara akses informal ke informasi hanya tersedia bagi mereka yang punya koneksi. Konflik kepentingan antara petani besar, industri, dan pengguna domestik sering tidak terselesaikan akibat lemahnya mekanisme koordinasi dan transparansi.

Desain Reformasi: Upaya dan Hambatan

Uzbekistan mulai menunjukkan minat pada reformasi tata kelola informasi air tanah, sejalan dengan tren global keterbukaan data dan Integrated Water Resources Management (IWRM). Beberapa langkah reformasi:

  • Moratorium pengeboran dan penggunaan air tanah di wilayah dengan penurunan muka air >5 m.
  • Kewajiban pemasangan meter air dan pelaporan tahunan untuk semua pengguna.
  • Pengembangan database lingkungan terpusat dan pengadaan alat monitoring baru.
  • Kerjasama internasional untuk observasi akuifer lintas negara dan adopsi teknologi digital (GIS, digital agriculture).

Namun, implementasi masih terbatas, koordinasi antarlembaga lemah, dan akses publik terhadap data tetap rendah. Monitoring dan penegakan hukum di sektor pertambangan dan pertanian masih perlu diperkuat.

Studi Kasus: Praktik Lokal dan Inovasi

  • Irigasi kolektif di masa kekeringan: Petani kecil (dehkan farms) mengembangkan aturan informal untuk berbagi biaya listrik dan pemeliharaan sumur, serta mengatur giliran penggunaan air tanah.
  • Penggunaan energi terbarukan: Beberapa komunitas mulai mengadopsi pompa air berbasis energi surya untuk mengurangi biaya listrik dan meningkatkan efisiensi.
  • Proyek Managed Aquifer Recharge: Studi di Fergana Valley menunjukkan potensi recharge terkelola untuk meningkatkan cadangan air tanah melalui kolaborasi lintas negara.

Analisis Kritis dan Perbandingan

Kelebihan Paper

  • Pendekatan Interdisipliner: Integrasi SES dan informational governance memberikan analisis mendalam tentang hubungan manusia-lingkungan dan peran informasi dalam tata kelola sumber daya.
  • Studi Kasus Konkrit: Data empiris dan contoh nyata dari Uzbekistan memperkuat argumen dan relevansi hasil penelitian.
  • Rekomendasi Kebijakan: Penulis tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi berbasis data dan pengalaman global.

Kritik dan Tantangan

  • Keterbatasan Data Primer: Mayoritas analisis berbasis tinjauan literatur; penelitian lapangan lebih lanjut dibutuhkan untuk memahami praktik lokal dan dinamika sosial secara mendalam.
  • Implementasi Reformasi: Meskipun ada kemajuan kebijakan, hambatan birokrasi dan budaya hierarkis masih menjadi tantangan utama.
  • Kurangnya Integrasi Pengetahuan Lokal: Potensi pengetahuan tradisional belum sepenuhnya dimanfaatkan dalam tata kelola air tanah.

Hubungan dengan Tren Global

Paper ini sejalan dengan tren global menuju tata kelola air berbasis data terbuka, kolaborasi multi-pihak, dan integrasi teknologi digital. Praktik di Uzbekistan mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak negara berkembang: ketergantungan pada sumber air tanah di tengah perubahan iklim, tekanan populasi, dan kebutuhan reformasi institusional.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Penguatan Informational Governance: Transparansi data, pertukaran informasi antarlembaga, dan akses publik harus diperluas untuk mendukung aksi kolektif dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Integrasi Pengetahuan Lokal dan Formal: Kolaborasi antara komunitas, akademisi, dan pemerintah penting untuk menggabungkan keunggulan pengetahuan lokal dan teknologi modern.
  • Monitoring dan Penegakan Hukum: Penegakan aturan, pemasangan meter air, dan monitoring polusi harus diperkuat, terutama di sektor pertanian dan pertambangan.
  • Pengembangan Database Terbuka dan Digitalisasi: Investasi pada sistem informasi digital dan pelatihan SDM menjadi kunci untuk memperbaiki tata kelola.
  • Kerjasama Regional: Koordinasi lintas negara di Asia Tengah sangat penting untuk mengelola akuifer bersama dan menghadapi tantangan perubahan iklim.

Menuju Tata Kelola Air Tanah yang Adaptif dan Inklusif

Paper ini menegaskan bahwa keberhasilan tata kelola air tanah di Uzbekistan (dan Asia Tengah) sangat bergantung pada kualitas, keterbukaan, dan distribusi informasi. Tanpa perbaikan sistem informasi dan kolaborasi lintas aktor, risiko over-ekstraksi, polusi, dan konflik akan terus meningkat. Reformasi informational governance, integrasi pengetahuan lokal, dan digitalisasi adalah kunci menuju sistem air tanah yang tangguh dan berkelanjutan—sebuah pelajaran penting bagi negara-negara lain dengan tantangan serupa.

Sumber Artikel 

Schmidt, S., Hamidov, A., & Kasymov, U. (2024). Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance. International Journal of the Commons, 18(1), 203–217.

Selengkapnya
Analysing Groundwater Governance in Uzbekistan through the Lenses of Social-Ecological Systems and Informational Governance
« First Previous page 61 of 1.104 Next Last »