Di tengah persaingan global dan revolusi industri 4.0, kualitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi sorotan utama dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Sertifikasi kompetensi kerja bukan lagi sekadar formalitas, melainkan syarat mutlak agar lulusan SMK diakui secara profesional dan mampu bersaing di pasar kerja nasional maupun internasional. Namun, seberapa efektif pelaksanaan sertifikasi ini di tingkat sekolah? Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Arif Rosyid (2020) yang mengevaluasi implementasi uji kompetensi dan sertifikasi kerja di LSP P1 (Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama) SMK, khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Latar Belakang: Tantangan dan Urgensi Sertifikasi Kompetensi
Sertifikasi Kompetensi: Pilar Utama Daya Saing
- Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2016 menegaskan revitalisasi SMK untuk meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia.
- BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) mempercepat pemberian lisensi LSP P1 di SMK, namun hingga 2019, baru 4.083 dari 14.500 SMK yang memiliki akses sertifikasi melalui LSP P1—hanya sekitar 3% dari total sekolah.
- Dampak Revolusi Industri 4.0: 35% keterampilan dasar di dunia kerja diprediksi hilang akibat otomasi dan digitalisasi, sehingga sertifikasi berbasis SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) menjadi sangat penting.
Permasalahan di Lapangan
- Akses terbatas: Mayoritas lulusan SMK belum memiliki sertifikat kompetensi yang diakui secara nasional.
- Fungsi LSP P1 belum optimal: Banyak LSP P1 di SMK yang belum mandiri dan belum maksimal menjalankan tugas sertifikasi.
- Kesenjangan antara kebutuhan industri dan pelaksanaan sertifikasi: Masih banyak lulusan yang belum siap kerja meski telah mengikuti uji kompetensi.
Metodologi Penelitian: Evaluasi Komprehensif dengan Model CIPP
Penelitian ini menggunakan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) yang menilai efektivitas program dari empat aspek utama:
- Context: Kesesuaian tujuan dan kebutuhan program dengan kondisi nyata.
- Input: Ketersediaan sumber daya, instrumen, dan kesiapan pelaksana.
- Process: Pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi di lapangan.
- Product: Hasil akhir berupa lulusan bersertifikat dan dampaknya.
Desain Studi
- Lokasi: 9 SMK di Pekalongan dan sekitarnya.
- Responden: Seluruh asesor uji kompetensi di LSP P1 SMK Muhammadiyah Kajen dan 8 SMK lain (negeri dan swasta).
- Instrumen: Kuesioner 55 item (skala 1–4), wawancara terstruktur, dan studi dokumen.
- Analisis: Data dikonversi ke T-score, lalu dikategorikan dengan model kuadran Glickman untuk menentukan tingkat efektivitas.
Temuan Utama: Efektivitas Pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi di LSP P1 SMK
1. Aspek Konteks: Efektif, Tapi Masih Ada Tantangan
- Hasil T-score: 66% responden menilai pelaksanaan uji kompetensi di aspek konteks sudah efektif.
- Fakta Lapangan: Tujuan program sudah sesuai dengan kebutuhan revitalisasi SMK, namun masih ada kendala dalam sosialisasi dan pemahaman standar kompetensi di tingkat sekolah.
2. Aspek Input: Sumber Daya Cukup, Tapi Belum Merata
- Hasil T-score: 61% responden menilai input (sumber daya, instrumen, asesor) sudah efektif.
- Studi Kasus: Beberapa SMK masih kekurangan asesor bersertifikat dan alat uji yang sesuai standar industri. Ada sekolah yang harus meminjam alat dari sekolah lain atau industri.
3. Aspek Proses: Pelaksanaan Sudah Baik, Perlu Peningkatan Monitoring
- Hasil T-score: 66% responden menilai proses pelaksanaan uji kompetensi berjalan efektif.
- Praktik Baik: Uji kompetensi dilakukan secara sistematis, mulai dari registrasi, verifikasi dokumen, pelaksanaan uji, hingga penetapan hasil.
- Tantangan: Monitoring dan evaluasi pasca-sertifikasi masih lemah, sehingga sulit mengukur dampak langsung ke dunia kerja.
4. Aspek Produk: Hasil Positif, Tapi Belum Maksimal
- Hasil T-score: 59% responden menilai produk (lulusan bersertifikat) sudah efektif.
- Data Penting: Lulusan yang memperoleh sertifikat kompetensi meningkat, namun belum semua terserap di industri sesuai bidang keahlian.
5. Evaluasi Komprehensif: Sangat Efektif (Kuadran I Glickman)
- Kesimpulan T-score: Semua aspek CIPP (context, input, process, product) berada di kategori positif (+ + + +), masuk Kuadran I Glickman—artinya pelaksanaan sertifikasi di LSP P1 SMK sangat efektif.
Studi Kasus: Implementasi Sertifikasi di SMK Muhammadiyah Kajen
Proses Sertifikasi
- Periode Uji: Maret–Juni 2019, melibatkan 13 Tempat Uji Kompetensi (TUK) di 9 SMK.
- Jumlah Asesor: Seluruh asesor diambil sebagai responden (total sampling).
- Hasil: Mayoritas peserta dinyatakan kompeten dan memperoleh sertifikat nasional.
Tantangan di Lapangan
- Keterbatasan alat uji: Beberapa TUK harus berbagi alat atau menyesuaikan jadwal uji.
- Variasi kualitas asesor: Ada perbedaan pengalaman dan pemahaman standar antar asesor.
- Kendala administratif: Proses administrasi dan pelaporan hasil uji masih manual di beberapa sekolah.
Dampak ke Dunia Kerja
- Peningkatan kepercayaan industri: Lulusan bersertifikat lebih mudah diterima di perusahaan mitra.
- Kendala penyerapan kerja: Tidak semua lulusan langsung terserap, terutama di sektor industri yang sangat spesifik.
Analisis Kritis: Kekuatan, Kelemahan, dan Implikasi Kebijakan
Kekuatan Program
- Pendekatan sistematis: Evaluasi CIPP memastikan seluruh aspek program dinilai secara menyeluruh.
- Validitas dan reliabilitas instrumen: Uji validitas dan reliabilitas menghasilkan skor tinggi (reliabilitas 0,842–0,974), menandakan instrumen evaluasi sangat andal.
- Dukungan regulasi nasional: Program didukung penuh oleh kebijakan pemerintah dan BNSP.
Kelemahan dan Tantangan
- Akses terbatas: Hanya 3–4% SMK yang memiliki LSP P1, sehingga mayoritas lulusan belum tersertifikasi.
- Kesenjangan fasilitas: Tidak semua sekolah memiliki alat uji dan asesor yang memadai.
- Monitoring pasca-sertifikasi: Belum ada sistem monitoring terintegrasi untuk melacak dampak sertifikasi terhadap penyerapan kerja.
- Keterlibatan industri: Masih perlu diperkuat, terutama dalam penyusunan skema uji dan penyesuaian standar dengan kebutuhan pasar.
Implikasi Kebijakan
- Perluasan akses LSP P1: Pemerintah perlu mempercepat lisensi LSP P1 di lebih banyak SMK.
- Investasi alat dan pelatihan asesor: Prioritaskan pengadaan alat uji dan pelatihan asesor secara berkala.
- Integrasi sistem digital: Digitalisasi proses sertifikasi dan pelaporan untuk efisiensi dan transparansi.
- Kolaborasi dengan industri: Libatkan industri dalam setiap tahap, mulai dari penyusunan standar hingga evaluasi hasil.
Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Industri
Studi Lain di Indonesia
- Pardjono et al. (2015): Menemukan bahwa keterlibatan industri dan asosiasi profesi sangat menentukan kualitas sertifikasi di SMK Jawa Tengah.
- Suharno et al. (2020): Menyoroti pentingnya link and match antara kurikulum SMK dan kebutuhan industri, yang masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Tren Global
- Negara maju seperti Jerman dan Jepang telah lama mengintegrasikan sertifikasi kompetensi dengan sistem pendidikan vokasi dan industri, sehingga lulusan langsung siap kerja.
- Digitalisasi sertifikasi: Negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan sudah mengadopsi sistem sertifikasi digital yang terintegrasi dengan database nasional dan industri.
Relevansi untuk Indonesia
- Revitalisasi SMK: Sertifikasi kompetensi harus menjadi bagian dari transformasi pendidikan vokasi nasional.
- Peluang di era industri 4.0: Sertifikasi berbasis digital dan kolaborasi dengan industri teknologi menjadi kunci daya saing.
Rekomendasi Praktis untuk Pengembangan Sertifikasi Kompetensi di SMK
- Perluas lisensi LSP P1 ke seluruh SMK, terutama di daerah yang belum terjangkau.
- Tingkatkan pelatihan asesor dan pengadaan alat uji sesuai standar industri.
- Digitalisasi proses sertifikasi untuk mempercepat administrasi dan pelaporan.
- Bangun sistem monitoring lulusan untuk melacak dampak sertifikasi terhadap penyerapan kerja.
- Perkuat kolaborasi dengan industri dalam penyusunan skema uji, pelaksanaan, dan evaluasi hasil.
- Sosialisasi dan edukasi kepada siswa, guru, dan orang tua tentang pentingnya sertifikasi kompetensi.
Opini: Menuju SMK yang Lebih Adaptif dan Kompetitif
Evaluasi yang dilakukan Rosyid membuktikan bahwa pelaksanaan sertifikasi kompetensi di LSP P1 SMK sudah berjalan sangat efektif, namun masih banyak ruang untuk perbaikan. Tantangan utama adalah memperluas akses, meningkatkan kualitas pelaksana, dan memastikan sertifikasi benar-benar berdampak pada daya saing lulusan di dunia kerja. Di era industri 4.0, SMK harus menjadi pusat inovasi dan pelatihan berbasis kebutuhan industri, bukan sekadar institusi pendidikan formal.
Sertifikasi kompetensi harus menjadi jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja, bukan sekadar syarat administratif. Dengan komitmen bersama antara pemerintah, sekolah, dan industri, Indonesia bisa membangun ekosistem pendidikan vokasi yang adaptif, kompetitif, dan relevan dengan tantangan zaman.
Kesimpulan: Sertifikasi Kompetensi sebagai Pilar Utama Transformasi SMK
Penelitian ini menegaskan bahwa sertifikasi kompetensi di SMK, khususnya melalui LSP P1, sangat efektif dalam meningkatkan kualitas lulusan. Namun, untuk menjawab tantangan masa depan, perlu upaya berkelanjutan dalam memperluas akses, meningkatkan kualitas pelaksana, dan memperkuat kolaborasi dengan industri. Sertifikasi kompetensi bukan hanya alat ukur, tetapi fondasi utama untuk membangun SDM Indonesia yang unggul dan siap bersaing di era global.
Sumber asli:
Rosyid, Arif. 2020. "Evaluation of Competency Test and Work Competency Certification Implementations at Professional Certification Institute - First Party (LSP P1)." Journal of Vocational Career Education, 5(2), 81-88.