Studi Gender dan Budaya

Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Memahami Warisan Lewat Kacamata Gender

Distribusi warisan dalam masyarakat tradisional seringkali menjadi refleksi dari struktur sosial, relasi kekuasaan, dan norma budaya yang mengakar. Dalam konteks Bali, distribusi properti tidak hanya berkaitan dengan harta, tetapi juga melibatkan makna simbolik dan posisi gender dalam keluarga. Artikel "Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali" karya Ida Ayu Grhamtika Saitya menyoroti kompleksitas pembagian warisan di masyarakat pedesaan Bali, sekaligus mengungkap bagaimana perubahan sosial memengaruhi norma-norma tradisional dalam pembagian hak kepemilikan.

Struktur Sosial Bali dan Sistem Patrilineal (H2)

Norma Tradisional: Warisan untuk Anak Laki-laki (H3)

Dalam sistem kekerabatan patrilineal yang dominan di Bali, anak laki-laki secara tradisional dianggap sebagai pewaris utama. Hal ini berakar pada konsep bahwa laki-laki akan tetap tinggal di rumah asal dan menjaga pura keluarga, sementara perempuan akan "keluar" dari keluarga saat menikah. Dalam praktiknya:

  • Anak laki-laki menerima tanah warisan dan rumah adat.

  • Anak perempuan hanya mendapatkan "pembekalan" berupa barang bergerak saat menikah.

Posisi Perempuan dalam Tradisi Bali (H3)

Perempuan tidak diharapkan untuk menjadi ahli waris penuh, bahkan ketika mereka secara ekonomi berkontribusi dalam keluarga. Konsepsi bahwa perempuan adalah "tamu" dalam keluarga asal memperkuat eksklusi mereka dari hak kepemilikan penuh.

Perubahan Sosial dan Negosiasi Gender (H2)

Modernisasi dan Mobilitas Sosial (H3)

Penelitian Saitya mengungkap bahwa urbanisasi dan pendidikan mendorong perubahan cara pandang masyarakat terhadap gender dan warisan. Dalam keluarga yang memiliki lebih dari satu anak perempuan, muncul praktik kompromi:

  • Warisan dibagi merata antara anak laki-laki dan perempuan.

  • Anak perempuan diberikan tanah sebagai bentuk investasi masa depan.

Studi Kasus: Negosiasi dalam Pembagian Tanah (H3)

Salah satu informan perempuan berhasil mendapatkan sebidang tanah dari orang tuanya sebagai bentuk pengakuan atas kontribusinya selama merawat orang tua. Ini menjadi bukti bahwa:

  • Norma patriarkal tidak lagi mutlak.

  • Ada ruang negosiasi dalam keluarga berbasis dialog.

Ketimpangan Hak dan Praktik Hukum (H2)

Peran Hukum Adat vs Hukum Nasional (H3)

Hukum adat Bali cenderung memperkuat sistem patriarkal, sementara hukum nasional Indonesia membuka peluang kesetaraan gender. Namun dalam praktik:

  • Hukum adat masih dominan dalam penyelesaian sengketa warisan.

  • Perempuan yang menggugat hak warisan sering dianggap menyalahi norma.

Ketegangan antara Norma dan Realitas (H3)

Beberapa perempuan memilih tidak menuntut hak waris demi menjaga harmoni keluarga, meskipun mereka secara hukum berhak. Di sisi lain, keluarga yang lebih terbuka cenderung menerapkan prinsip keadilan berbasis kebutuhan dan kontribusi.

Analisis Teoritis dan Implikasi Sosial (H2)

Perspektif Feminisme dan Struktur Kekuasaan (H3)

Penelitian ini menggunakan lensa teori gender dan feminisme untuk membedah:

  • Bagaimana struktur kekuasaan dibentuk melalui warisan.

  • Peran perempuan yang dibatasi oleh norma tradisional dan simbolik.

Dampak pada Emansipasi Perempuan Bali (H3)

Dengan meningkatnya pendidikan dan kesadaran hukum, perempuan Bali mulai:

  • Menegosiasikan haknya secara aktif.

  • Mengembangkan strategi hukum maupun sosial untuk mengakses properti.

Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)

Bagi Pemerintah dan Aparat Desa:

  • Perlu edukasi hukum waris berbasis gender.

  • Pelatihan mediasi konflik keluarga berbasis kesetaraan.

Bagi Aktivis dan Akademisi:

  • Dorongan untuk mendokumentasikan praktik alternatif yang lebih setara.

  • Membuat model kebijakan lokal yang menyelaraskan adat dan hukum nasional.

Kesimpulan: Menuju Sistem Waris yang Lebih Inklusif (H2)

Penelitian ini membuka ruang diskusi kritis tentang bagaimana perubahan sosial dan kesadaran gender mempengaruhi pola distribusi warisan. Meskipun sistem adat masih kuat, terdapat tanda-tanda perubahan menuju praktik yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan. Perubahan ini harus didukung oleh pendidikan, kebijakan, dan kesadaran kolektif agar transmisi properti di masa depan tidak lagi timpang berdasarkan gender.

Sumber

Saitya, Ida Ayu Grhamtika. (2022). Gender and the Intergenerational Transmission of Property in Rural Bali.

Selengkapnya
Warisan, Gender, dan Perubahan Sosial: Studi Antargenerasi dalam Masyarakat Pedesaan Bali

Banjir Jakarta

Menimbang Efektivitas Waduk Bojonggede dan Ciawi dalam Reduksi Banjir Jakarta: Kajian Model dan Dampak Nyata

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Jakarta dan Warisan Banjirnya

Banjir adalah kenyataan yang akrab bagi warga Jakarta. Sejak era Batavia, banjir telah menjadi bagian dari sejarah ibukota, dari peristiwa tahun 1699 hingga yang terbaru di 2021. Di balik megahnya gedung-gedung yang memenuhi langit dan jalan tol layang, Jakarta berdiri di atas tanah rendah, rapuh oleh limpahan hujan udara dan limpasan dari daerah hulu.

Salah satu akar masalahnya adalah bahwa sistem pengendalian banjir Jakarta masih mengandalkan konsep lama dari Van Breen (1918), yang kala itu dirancang untuk kota seluas 125 km²—padahal kini Jakarta telah berkembang menjadi 650 km². Dalam konteks ini, penelitian Syahril, Hadihardaja, dan Rommy menjadi sangat relevan. Mereka meneliti efektivitas pemanfaatan waduk di DAS Ciliwung untuk meningkatkan kapasitas sistem pengendalian banjir di wilayah tengah Jakarta.

Menggali Penyebab: Limpasan Hulu dan Krisis Lahan Infiltrasi

Seiring pertumbuhan urbanisasi di kawasan Bogor dan Depok, alih fungsi lahan masif terjadi di daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung. Hutan yang dulunya menyerap air hujan kini berubah menjadi kawasan beton yang memantulkan air kembali ke permukaan. Akibatnya, koefisien limpasan meningkat tajam, mempercepat dan memperluas aliran permukaan ke Jakarta.

Data menunjukkan bahwa curah hujan pada puncak musim hujan di kawasan hulu meningkat dari 5.288 mm (2002) menjadi 7.065 mm (2007). Perubahan ini bersamaan dengan peningkatan intensitas banjir yang terjadi dalam kumpulan udara: dari 16.788 ha (2002) menjadi 45.500 ha (2007). Kerugian pun membengkak dua kali lipat, dari Rp 6 triliun menjadi Rp 12 triliun.

Waduk Sebagai Solusi: Antara Harapan dan Tantangan

Dua Kandidat Kunci: Bojonggede dan Ciawi

Penelitian mengidentifikasi dua lokasi potensial untuk pembangunan waduk: Bojonggede dan Ciawi. Keduanya terletak di daerah hulu Ciliwung yang strategis. Pemodelan dilakukan dengan menggunakan pendekatan unregulated reservoir , yaitu waduk tanpa sistem kontrol aliran keluar. Menguntungkan: mengurangi beban debit puncak yang mengalir ke Jakarta.

Pemodelan Hidrologi dan Simulasi HEC-RAS

Dengan menggunakan metode Snyder dan HEC-RAS 3.1.3, para peneliti membuat simulasi hidrograf banjir dan mengukur dampak waduk terhadap perubahan tinggi muka air dan volume banjir. Hasilnya cukup menjanjikan.

Dampak Nyata: Apa yang Terjadi Bila Waduk Dibangun?

Waduk Bojonggede

  • Penurunan tinggi muka air : 1,3 meter
  • Luas genangan berkurang : 414 ha
  • Volume banjir berkurang : 5 juta m³

Waduk Ciawi

  • Penurunan tinggi muka udara : 0,75 meter
  • Luas genangan berkurang : 237 ha
  • Volume banjir berkurang : 2,3 juta m³

Skenario Cascade (Bojonggede + Ciawi)

Ketika dua waduk digunakan bersama (cascade), pengurangan aliran semakin signifikan, namun masih belum cukup untuk mengatasi limpasan lokal di Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa waduk memang memberikan kontribusi penting, namun tidak dapat berfungsi sendiri tanpa sistem pendukung lainnya.

Membandingkan Strategi: Waduk vs Solusi Lain

1. Normalisasi Sungai

Program normalisasi Ciliwung pernah dijalankan dengan memotong liku-liku sungai dan memperlebar penampang. Efektif, namun mahal dan menyumbangkan banyak organisasi.

2. Sumur Resapan dan Kolam Retensi

Solusi berbasis komunitas seperti sumur resapan terbukti murah, cepat, dan bisa diterapkan secara luas. Namun skalanya kecil dan pendidikan membutuhkan keberlanjutan.

3. Teknologi Deteksi Dini

Kota-kota seperti Tokyo menggunakan sistem deteksi banjir berbasis IoT dan AI. Sistem ini memperingatkan warga secara real-time, mengurangi korban jiwa dan kerugian harta benda.

Kritik: Implementasi Keterbatasan dan Tantangan

Ketergantungan pada Infrastruktur

Pendekatan ini cenderung berat pada infrastruktur besar. Apa jadinya bila proyek tertunda atau tidak diperbaiki? Waduk yang seharusnya menjadi solusi justru bisa berubah menjadi beban.

Tidak Menjawab Run-Off Lokal

Penelitian ini mengakui bahwa run-off lokal dari Jakarta sendiri masih menjadi tantangan besar. Bahkan jika seluruh waduk dibangun, banjir akan tetap terjadi jika drainase kota tidak diperbaiki.

Opini: Menuju Integrasi Sistem

Penulis berpendapat bahwa solusi banjir Jakarta harus menempuh pendekatan integratif:

  • Pengelolaan DAS terpadu : menyatukan pengendalian dari hulu ke hilir.
  • Kolaborasi lintas wilayah dan sektor : Jakarta tidak bisa bekerja sendiri. Bogor dan Depok harus menjadi mitra aktif.
  • Penguatan kapasitas pompa dan sistem polder : memperkuat pertahanan kota bagian utara yang semakin tenggelam akibat penurunan tanah.
  • Pengembangan teknologi prediksi berbasis AI : agar penanganannya lebih cepat, adaptif, dan presisi.

Penutup: Banjir Jakarta dan Jalan Panjang Menuju Ketahanan

Penelitian ini menunjukkan bahwa pembangunan waduk Bojonggede dan Ciawi memang mampu menurunkan risiko banjir di Jakarta secara signifikan. Namun dampaknya akan sangat terbatas bila tidak dibarengi oleh strategi komprehensif yang mencakup penataan ruang, pembenahan sistem drainase, edukasi masyarakat, dan kesiapan teknologi.

Banjir Jakarta bukan soal satu solusi tunggal. Ia adalah kombinasi dari sistem alam, kelalaian manusia, dan kebijakan yang belum bersinergi. Maka, masa depan bebas banjir hanya bisa tercapai jika kita membangun sistem yang tidak hanya tahan air, tapi juga tahan politik dan tahan waktu.

Sumber:

Syahril, M., Hadiharraja, IK, & Rommy, M. (2007). Kajian Model Matematik Pengaruh Pemanfaatan Waduk pada Kapasitas Sistem Pengendalian Banjir Wilayah Jakarta Tengah . Jurnal Teknik Sipil, 14(4), 197–210.

Selengkapnya
Menimbang Efektivitas Waduk Bojonggede dan Ciawi dalam Reduksi Banjir Jakarta: Kajian Model dan Dampak Nyata

Risiko Banjir

Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Banjir, Bencana Tahunan yang Tak Pernah Selesai

Kota Langsa di Aceh menghadapi ancaman tahunan yang semakin kompleks: banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan dampaknya meningkat drastis, terutama di kawasan seperti Desa Seulalah dan Gampong Jawa. Ironisnya, di tengah geliat pembangunan, kawasan ini justru semakin rentan.

Artikel ini merefleksikan dan mengkritisi strategi mitigasi bencana berdasarkan studi ilmiah oleh Ayu Sekar Ningrum dan Kronika Br. Ginting. Penelitian mereka membuka tabir bagaimana pendekatan kuantitatif dan spasial bisa menjadi kebijakan yang efektif.

Potret Risiko: Ketika Alam dan Manusia Berseteru

Fakta Lapangan

Banjir yang melanda Langsa terjadi karena kombinasi antara curah hujan tinggi di kawasan hulu DAS Krueng Langsa dan buruknya tata ruang di kawasan hilir. Pada tahun 2020, banjir melumpuhkan aktivitas ribuan warga dengan ketinggian udara mencapai 50 cm di Desa Jawa Belakang dan Seulalah. Meski terlihat 'biasa', banjir ini mencerminkan akumulasi masalah struktural dan sosial.

Analisis Risiko: Metode dan Indikator

Penelitian ini menggunakan pendekatan overlay berbasis GIS untuk memetakan tiga aspek utama:

  1. Tingkat Bahaya : Dinilai dari kemiringan lereng, curah hujan, vegetasi, dan elevasi.
  2. Kerentanan : Dibagi ke dalam empat dimensi — sosial (kepadatan penduduk, kelompok rentan), ekonomi (nilai lahan produktif), fisik (bangunan dan infrastruktur), serta ekologi (kondisi tutupan lahan).
  3. Risiko : Merupakan produk dari bahaya × kerentanan, menghasilkan peta kawasan dengan risiko rendah, sedang, hingga tinggi.

Hasil overlay menunjukkan bahwa Desa Seulalah dan Gampong Jawa termasuk dalam klasifikasi risiko tinggi. Penduduk hidup turut serta dengan bahaya.

Strategi Mitigasi: Struktural dan Non-Struktural

Mitigasi Struktural

Mitigasi ini bersifat fisik dan teknis, ditujukan untuk menahan atau mengalihkan udara:

  • Tanggul dan Bendungan : kejadian luapan sungai langsung ke pemukiman.
  • Drainase dan Drop Structure : Sistem saluran udara terintegrasi untuk menghindari genangan.
  • Sudetan Sungai : Jalur alternatif untuk mengurangi tekanan pada aliran utama.

Namun perlu dicatat, pendekatan struktural bersifat mahal dan jangka panjang. Efektivitasnya juga tergantung pada pemeliharaan yang konsisten.

Mitigasi Non-Struktural

Pendekatan ini menyasar perubahan perilaku dan kesiapsiagaan masyarakat:

  • Pelatihan dan Simulasi : Warga dilatih menghadapi banjir, mulai dari mengeluarkan hingga penanganan darurat.
  • Pemetaan dan Sistem Informasi : Data spasial dimanfaatkan untuk prediksi dan deteksi dini.
  • Evaluasi Tata Ruang : Meninjau kembali kebijakan zonasi agar tidak membiarkan pemukiman tumbuh di zona merah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mitigasi non-struktural, meski murah, tetap membutuhkan intervensi berkelanjutan, edukasi publik, dan komitmen lintas sektor.

Kritik dan Catatan Penting: Dari Peta ke Tindakan

1. Kebijakan Integrasi Lemahnya

Meskipun strategi mitigasi telah dirumuskan, implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh fragmentasi birokrasi. Koordinasi antara dinas lingkungan hidup, perumahan, dan infrastruktur masih rendah.

2. Data Belum Real-Time

Studi ini bergantung pada data sekunder dan survei terbatas. Untuk strategi mitigasi yang lebih presisi, perlu integrasi data real-time seperti curah hujan harian, tingkat sedimentasi, hingga data sosial-ekonomi dinamis.

3. Tantangan Relokasi

Salah satu rekomendasi utama adalah relokasi warga dari zona merah banjir ke tempat yang lebih aman. Namun, relokasi bukan hanya soal lokasi baru, melainkan juga soal pekerjaan, akses pendidikan, dan penerimaan sosial.

4. Tren Industri & Solusi Berbasis Alam

Mengaitkan temuan ini dengan tren global, pendekatan solusi berbasis alam kini banyak dikembangkan. Hutan kota, lahan basah buatan, hingga pengembalian fungsi rawa menjadi solusi alami yang terbukti efektif mengurangi limpasan udara.

Langsa bisa belajar dari Jakarta dengan pembangunan kolam retensi dan normalisasi sungai, meski tetap harus melibatkan partisipasi publik.

Dampak Jangka Panjang: Investasi dalam Ketahanan

Mitigasi bukan hanya soal menghindari banjir. Ini soal:

  • Menyelamatkan ekonomi lokal dari stagnasi karena bencana tahunan.
  • Meningkatkan kualitas hidup warga di kawasan rentan.
  • Menarik investasi yang berbasis keingintahuan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek.

Pemerintah daerah harus berani mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan, bukan hanya pencegahan. Sebab, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam mitigasi bisa menghemat hingga tujuh kali lipat biaya kerugian pasca bencana (UNDRR, 2019).

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kota Tahan Banjir

Penelitian ini memberikan kontribusi nyata terhadap pengetahuan mitigasi banjir berbasis data spasial. Kota Langsa membutuhkan strategi adaptif yang menggabungkan pendekatan teknis, sosial, dan ekologis.

Namun, keberhasilannya tidak akan datang hanya dari peta dan data. Ia lahir dari kolaborasi—antara pemerintah, masyarakat, sejarawan, dan sektor swasta. Kota tahan banjir bukan mitos, jaminan adanya kemauan politik, kepemimpinan berbasis ilmu, dan partisipasi warga.

Sumber:

Ningrum, AS, & Ginting, KB (2020). Strategi Penanganan Banjir Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana Banjir di Daerah Aliran Sungai Seulalah Kota Langsa . Jurnal Pendidikan Sains Geografi (GEOSEE), 1(1), 6–13.

Selengkapnya
Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data

Banjir Bengkulu

Kritik atas Sentralisasi Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja: Belajar dari Banjir Bengkulu

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 28 Mei 2025


Bencana Banjir: Gejala Tahunan atau Kegagalan Tata Kelola?

Banjir bukan sekadar fenomena alam musiman di Indonesia; ia adalah cermin retaknya tata kelola ruang dan lingkungan. Dalam satu dekade terakhir, banjir konsisten menempati posisi teratas dalam daftar bencana nasional. Tahun 2019 saja, lebih dari 3.800 kejadian bencana tercatat, dengan banjir mencakup 784 di antaranya. Bengkulu menjadi salah satu daerah paling terdampak, dengan banjir yang melanda sembilan kabupaten/kota, menewaskan 30 orang, dan merusak ribuan rumah, fasilitas umum, dan lahan pertanian.

Namun, banjir di Bengkulu bukan hanya akibat curah hujan ekstrem, melainkan hasil dari tata ruang yang disalahgunakan dan lemahnya pengawasan lingkungan.

Menguraikan Akar Masalah: Gagalnya Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Penelitian Sri Nurhayati Qodriyatun mengangkat permasalahan serius: alih fungsi lahan besar-besaran di Provinsi Bengkulu, yang mengabaikan peruntukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Alih fungsi kawasan hulu dari hutan menjadi tambang dan kebun sawit, sepadan sungai menjadi hotel dan pasar, hingga kawasan hilir tanpa hutan lindung, menciptakan efek domino yang menghancurkan.

Data dari Global Forest Watch mencatat hilangnya 11.400 hektar tutupan hutan di DAS Bengkulu antara tahun 2001 hingga 2018. Kawasan hulu yang dulu menyerap air kini berubah menjadi penyumbang limpasan. DAS bagian tengah digunakan untuk sektor komersial, sementara hilir dibiarkan gundul tanpa penyangga alami.

UU Penataan Ruang dan Cita-cita Tata Ruang Berkelanjutan

UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Sejati telah memberikan kerangka hukum untuk mewujudkan ruang yang aman, produktif, dan berkelanjutan. Undang-undang ini mengizinkan pemanfaatan ruang dilakukan sesuai dengan RTRW, dengan prinsip integrasi antara ekologi, ekonomi, dan sosial.

Namun, penelitian Qodriyatun menemukan bahwa implementasi di lapangan sangat lemah. Pemerintah daerah tidak melakukan penertiban terhadap bangunan liar di kawasan lindung, tidak menindak pelanggaran, dan bahkan menyikapi pelanggaran dengan merevisi RTRW agar menjadi “legal”.

Sentralisasi dalam RUU Cipta Kerja: Solusi atau Masalah Baru?

Masalah ini diperparah oleh rencana perubahan besar dalam tata kelola ruang melalui RUU Cipta Kerja. RUU ini menghapus sejumlah kewenangan pemerintah daerah dalam pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang akan dipusatkan ke pemerintah pusat, dan jika daerah tidak segera menyusun RDTR, maka akan diambil alih oleh kementerian terkait.

Kebijakan ini dinilai kontraproduktif. Alih-alih memperbaiki pengawasan, sentralisasi justru berisiko memperpanjang rentang kendali dan memperlemah pengawasan di lapangan. Dalam praktiknya, pemerintah pusat mungkin akan merespons dengan cepat dan spesifik atas pelanggaran ruang yang terjadi di daerah seperti Bengkulu.

Studi Kasus: Pelanggaran di TWA Pantai Panjang dan Danau Dusun Besar

Pelanggaran pemanfaatan ruang di Bengkulu tidak sedikit. Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang—yang seharusnya dilindungi—dijadikan lokasi pembangunan PLTU, lapangan golf, hingga pemukiman. Di Danau Dusun Besar, sawah beririgasi teknis berubah menjadi sarang walet dan kebun sawit. Ini bukti bahwa “pengendalian” yang seharusnya dijalankan di daerah malah diabaikan atau bahkan dimanipulasi.

Tren Industri dan Lingkungan: Di Mana Letak Kompromi?

Pemerintah berdalih bahwa penyederhanaan perizinan melalui RUU Cipta Kerja penting untuk investasi. Namun, investasi yang merusak tata ruang dan lingkungan bukanlah kemajuan. Keberlanjutan justru menjadi tren global: ESG (Environmental, Social, Governance) menjadi standar penting di mata investor internasional.

Jika tata ruang Indonesia amburadul dan kawasan lindung terus menyusut, Indonesia justru bisa kehilangan kepercayaan global dalam jangka panjang.

Kawasan Lindung: Dari Target 30% Menjadi Realita yang Menyedihkan

UU Penataan Ruang menetapkan bahwa kawasan lindung minimal 30% dari luas daratan setiap pulau. Fakta di lapangan, Pulau Jawa hanya memiliki 16,4%, Sumatera 25,7%, dan Bali-Nusa Tenggara hanya 23,4%. Akibatnya, bencana banjir paling banyak terjadi di wilayah ketiga tersebut.

Studi di DAS Winongo Yogyakarta dan DAS Batang Arau Padang membuktikan bahwa konversi kawasan berhutan menjadi lahan terbangun meningkatkan debit banjir secara signifikan. Dengan terwujudnya kawasan lindung yang semakin rendah, dapat dipastikan frekuensi dan skala banjir akan semakin tinggi.

Kritik dan Rekomendasi: Tata Ruang Bukan Sekadar Peta

Pertama, pemerintah harus mengulangi sentralisasi tata ruang. Penanganan ruang tidak bisa satu arah dari pusat ke daerah; butuh respon lokal yang cepat dan adaptif. Kedua, audit tata ruang harus dilanjutkan dengan sanksi tegas, bukan sekadar evaluasi dokumen.

Ketiga, daerah yang tidak memenuhi target kawasan lindung harus didorong untuk melakukan reboisasi dan pemulihan ekosistem. Empati, keterlibatan publik, akademisi, dan LSM dalam pengawasan tata ruang harus dipaksakan untuk menghindari kebijakan oligarki yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Penutup: Banjir Adalah Alarm Kegagalan Tata Ruang

Banjir Bengkulu bukan sekedar bencana; ia adalah peringatan keras atas kegagalan tata ruang. UU Penataan Ruang adalah fondasi penting, tetapi jika pelaksanaannya lemah dan malah digeser demi investasi semata, maka kita sedang menyusun resep untuk bencana yang lebih besar.

Sentralisasi tata ruang dalam RUU Cipta Kerja bisa terjadi secara tiba-tiba jika tidak ada penguatan pengawasan dan partisipasi lokal. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus sadar bahwa tata ruang bukan hanya soal izin dan peta, tetapi soal masa depan ekologis dan keselamatan jutaan jiwa.

Daftar Pustaka

Qodriyatun, SN (2020). Bencana Banjir: Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Berdasarkan UU Penataan Ruang dan RUU Cipta Kerja . Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 11(1), 29–42.

Selengkapnya
Kritik atas Sentralisasi Tata Ruang dalam RUU Cipta Kerja: Belajar dari Banjir Bengkulu

Teknologi Pariwisata Digital

E-Tourism Bali Berbasis Laravel: Strategi Digital Promosi Wisata Domestik di Era Teknologi

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Tantangan Wisata Domestik dan Peluang Teknologi

Pariwisata Indonesia, khususnya di Bali, seringkali berorientasi pada wisatawan mancanegara. Padahal, wisatawan domestik juga menyimpan potensi besar sebagai penggerak ekonomi pariwisata lokal. Dalam konteks ini, aplikasi E-Tourism Provinsi Bali yang dikembangkan dengan framework Laravel menjadi langkah strategis untuk mendukung promosi wisata domestik yang lebih inklusif, informatif, dan interaktif. Paper oleh Rifky Lana Rahardian dan Ni Luh Gede Pivin Suwirmayanti (2020) menawarkan gambaran komprehensif tentang bagaimana digitalisasi pariwisata dapat menjangkau audiens lokal dengan pendekatan berbasis komunitas dan keterlibatan pengguna.

Tujuan dan Latar Belakang Sistem E-Tourism (H2)

Fokus pada Wisatawan Lokal (H3)

Salah satu keunikan dari proyek ini adalah orientasinya yang tidak biasa: mendekatkan pariwisata Bali kepada wisatawan domestik yang selama ini kurang terakomodasi. Data dari Badan Pusat Statistik (2020) menunjukkan penurunan wisatawan mancanegara hingga 4,26% pada Januari 2020. Penurunan ini memperkuat urgensi untuk merangkul pasar lokal melalui inovasi digital.

Membangun Komunitas Wisatawan (H3)

Aplikasi ini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga platform komunitas bagi wisatawan lokal untuk berbagi pengalaman dan testimoni, sekaligus memberikan nilai tambah melalui interaksi antar pengguna.

Metode Pengembangan Sistem (H2)

Pendekatan Waterfall (H3)

Pengembangan sistem mengikuti metode waterfall dengan tahapan:

  • Analisis kebutuhan: Mengumpulkan data tempat wisata berdasarkan tiga kategori: alam, sejarah-budaya, dan buatan.

  • Desain sistem: Membuat DFD dan ERD untuk menggambarkan arsitektur dan aliran data.

  • Coding: Implementasi dengan Laravel untuk efisiensi dan performa tinggi.

  • Pengujian: Menggunakan metode blackbox untuk menguji semua fungsionalitas sistem.

Studi Data Lokasi Wisata (H3)

Peneliti mengklasifikasikan lokasi wisata secara rinci berdasarkan kategori dan koordinat GPS, seperti:

  • Wisata Alam: Bukit Asah, Gunung Batur, Pantai Melasti.

  • Wisata Budaya/Sejarah: Tanah Lot, Taman Ujung, Desa Penglipuran.

  • Wisata Buatan: Waterbom Bali, Bali Safari & Marine Park, The Keranjang.

Struktur Sistem dan Fitur Utama (H2)

Frontend untuk Pengunjung (H3)

  • Beranda: Peta interaktif Bali dengan marker lokasi wisata.

  • Halaman Wisata: Menampilkan daftar destinasi berdasarkan kategori.

  • Detail Wisata: Informasi lengkap tempat wisata disertai galeri foto dan pemetaan.

  • Komentar: Fitur komunitas bagi wisatawan untuk berbagi pengalaman dan foto.

Backend untuk Admin (H3)

  • Dashboard: Menampilkan statistik jumlah pengunjung, pengguna aktif, dan penggunaan server.

  • Manajemen Data: Admin dapat menambahkan, mengedit, atau menghapus data wisata, kategori, kabupaten, dan kecamatan.

  • Manajemen Pengguna: Admin mengelola user dan validasi registrasi member.

Pengujian Sistem dan Hasil Evaluasi (H2)

Pengujian Blackbox (H3)

Setiap fitur diuji untuk memastikan sesuai dengan spesifikasi. Pengujian dilakukan baik untuk halaman admin maupun pengunjung. Semua pengujian, seperti login, registrasi, pengelolaan data, hingga interaksi antar pengguna, berhasil dan memenuhi kriteria fungsional.

Kelebihan Sistem (H3)

  • Interaktif dan mudah digunakan.

  • Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama antarmuka.

  • Responsif dan berbasis peta yang membantu navigasi pengguna.

  • Komunitas wisatawan menjadi nilai tambah unik dibanding sistem sebelumnya yang hanya bersifat informatif.

Analisis Tambahan dan Nilai Strategis (H2)

Inovasi dalam Promosi Digital (H3)

Berbeda dari portal pariwisata umum yang cenderung pasif, sistem ini berupaya membangun keterlibatan aktif melalui fitur komentar dan berbagi pengalaman. Ini secara tidak langsung menjadi strategi pemasaran berbasis testimoni (user-generated content), yang terbukti sangat efektif dalam membangun kepercayaan pengguna baru.

Efisiensi Pemetaan dan Lokalisasi (H3)

Integrasi dengan Google Maps menjadikan sistem ini tidak hanya sebagai media informasi, tetapi juga alat bantu navigasi. Dalam era pariwisata berbasis pengalaman, fitur ini menjadi penting bagi wisatawan yang mencari referensi lokasi secara langsung.

Komparasi dengan Sistem Sebelumnya (H3)

Sistem ini melampaui pendekatan informasi statis seperti Joomla CMS yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Keunggulannya terletak pada kemampuan interaktif, arsitektur data yang lebih kuat, dan orientasi terhadap wisatawan domestik.

Tantangan dan Rekomendasi (H2)

Tantangan:

  • Potensi overload jika jumlah user meningkat drastis.

  • Kurangnya konten multimedia untuk mendukung visualisasi pengalaman wisata.

  • Belum ada integrasi dengan sistem booking atau kalender acara lokal.

Rekomendasi:

  • Menambahkan sistem moderasi komentar untuk menjaga kualitas konten komunitas.

  • Integrasi sistem pembayaran atau reservasi hotel dan tiket objek wisata.

  • Pengembangan aplikasi mobile native sebagai pelengkap versi web.

Kesimpulan: Digitalisasi Pariwisata untuk Indonesia Lebih Inklusif (H2)

E-Tourism Provinsi Bali berbasis Laravel ini bukan hanya solusi teknologi, tetapi juga representasi strategi promosi wisata domestik yang relevan dan responsif. Dengan mengusung konsep komunitas, personalisasi, dan kemudahan akses informasi, sistem ini bisa menjadi acuan bagi pengembangan e-tourism di wilayah lain Indonesia.

Sumber

Rifky Lana Rahardian & Ni Luh Gede Pivin Suwirmayanti. (2020). E-Tourism Provinsi Bali Berbasis Web dengan Framework Laravel. Jurnal Sistem dan Informatika, Vol. 14 No. 2.

Selengkapnya
E-Tourism Bali Berbasis Laravel: Strategi Digital Promosi Wisata Domestik di Era Teknologi

Energi Berkelanjutan dan Infrastruktur

PLN dan Inisiatif Hijau di Jawa Timur-Bali: Strategi Sosial-Lingkungan untuk Distribusi Listrik Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 28 Mei 2025


Pendahuluan: Transformasi Energi dan Tanggung Jawab Sosial

Proyek Penguatan Distribusi Tenaga Listrik di Jawa Timur dan Bali oleh PT PLN (Persero) bukan hanya sebatas pembangunan infrastruktur listrik. Proyek ini menjadi simbol dari upaya menyelaraskan kemajuan teknologi dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Dokumen Environmental and Social Management Planning Framework (ESMPF) yang diterbitkan Januari 2020 menjadi pondasi manajemen risiko sekaligus strategi mitigasi komprehensif dalam memastikan setiap kilometer jaringan distribusi listrik ramah lingkungan dan sosial.

Konteks dan Tujuan Proyek (H2)

PLN menargetkan pembangunan 17.000 km jaringan distribusi serta pemasangan ribuan trafo di Jawa Timur dan Bali. Proyek ini bertujuan:

  • Memperluas akses listrik yang andal.

  • Mengurangi susut distribusi.

  • Mendukung RUPTL 2019–2028.

  • Menerapkan praktik pembangunan berkelanjutan sesuai standar AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank).

Distribusi Listrik dan Kategori Proyek (H3)

Proyek diklasifikasikan sebagai Kategori B menurut AIIB karena dampaknya dianggap moderat, tidak memerlukan pembebasan lahan besar, dan dapat dimitigasi. Kegiatan utamanya meliputi:

  • Pemasangan tiang dan jaringan distribusi (tegangan menengah dan rendah).

  • Pemasangan trafo jenis pole-mount dan pad-mount.

  • Pemangkasan vegetasi untuk jalur kabel.

  • Pengeboran horizontal di area padat.

Risiko dan Dampak Lingkungan Sosial (H2)

Risiko Sosial (H3)

Risiko sosial bersifat minim, namun tetap ada potensi:

  • Gangguan visual dan suara saat konstruksi.

  • Penggunaan lahan milik pribadi (dengan izin tertulis, bukan pembebasan).

  • Penghilangan vegetasi tanpa kompensasi, karena status non-tanah.

Risiko Lingkungan (H3)

  • Dampak pada fauna seperti burung dan primata.

  • Limbah berbahaya dari minyak trafo bekas.

  • Risiko kecelakaan kerja (jatuhnya tiang, ledakan trafo).

Langkah mitigasi dirancang secara spesifik dan ketat, mengacu pada standar PLN, AIIB, dan kebijakan lingkungan Indonesia.

Strategi Mitigasi dan ESMP (H2)

Kerangka ESMPF: Pilar Pelaksanaan Proyek (H3)

Dokumen ESMPF memberikan pedoman pada setiap fase:

  • Perencanaan: Penapisan lokasi, analisis risiko, dan persetujuan masyarakat.

  • Konstruksi: Penempatan rambu keselamatan, pelatihan pekerja, dan manajemen limbah.

  • Operasionalisasi: Pemantauan keberlanjutan dan pelaporan berkala.

Studi Kasus: Pemasangan Tiang di Lahan Pribadi (H3)

PLN mewajibkan persetujuan tertulis dengan materai dari pemilik lahan jika tiang ditempatkan di properti pribadi. Tidak ada ganti rugi finansial, namun sosialisasi dilakukan untuk membangun kesepahaman. Ini mengurangi konflik sosial dan mempercepat pelaksanaan proyek.

Komitmen pada Konsultasi Publik dan Transparansi (H2)

Keterlibatan Masyarakat (H3)

Konsultasi publik telah dilakukan sejak 2019:

  • Sosialisasi di Bali dan Jawa Timur.

  • Kolaborasi dengan pemerintah daerah.

  • Saluran pengaduan melalui Call Center 123, web PLN, dan loket pelayanan.

Perbaikan GRM (Grievance Redress Mechanism)

Proyek ini memperkuat GRM dengan:

  • Pendekatan sensitif gender dan inklusif.

  • Dokumentasi keluhan secara digital.

  • Peningkatan kapasitas respons hotline.

Sistem Monitoring dan Pelatihan SDM (H2)

Pengawasan Proyek (H3)

Monitoring dilakukan oleh unit-unit di bawah UID (Unit Induk Distribusi), termasuk:

  • UP3, UP2D, UP2K.

  • Biro K3L di setiap wilayah.

Pengembangan Kapasitas (H3)

PLN telah:

  • Mendirikan Akademi HSSE di Semarang.

  • Menyusun kurikulum pelatihan: Audit lingkungan, PROPER, dan K3L tingkat lanjut.

Analisis Tambahan: Tantangan dan Rekomendasi (H2)

Tantangan:

  • Keterbatasan data ekologis spesifik lokasi.

  • Minimnya insentif bagi masyarakat terdampak.

  • Kurangnya integrasi gender dalam pelaksanaan proyek.

Rekomendasi:

  • Mengintegrasikan teknologi GIS untuk penapisan lingkungan.

  • Memberikan kompensasi non-tunai seperti perbaikan akses jalan atau fasilitas umum.

  • Meningkatkan partisipasi perempuan dalam konsultasi dan pelatihan.

Kesimpulan: Menyelaraskan Kemajuan dan Keberlanjutan (H2)

Proyek distribusi listrik PLN di Jawa Timur dan Bali adalah bukti bahwa pembangunan infrastruktur tidak harus bertentangan dengan prinsip sosial dan lingkungan. Dengan dokumen ESMPF sebagai pemandu, proyek ini tidak hanya meningkatkan akses listrik, tetapi juga menjadi model bagaimana pembangunan masa depan harus dilakukan: transparan, inklusif, dan berkelanjutan.

Sumber

PT PLN (Persero). (2020). Kerangka Perencanaan Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Proyek Penguatan Distribusi Tenaga Listrik Jawa Timur - Bali.

Selengkapnya
PLN dan Inisiatif Hijau di Jawa Timur-Bali: Strategi Sosial-Lingkungan untuk Distribusi Listrik Berkelanjutan
« First Previous page 141 of 1.133 Next Last »