Pariwisata Berbasis Alam
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 31 Mei 2025
Pendahuluan: Sport Tourism sebagai Tren Pariwisata Masa Kini
Sport tourism atau wisata olahraga kian berkembang sebagai salah satu tren utama dalam industri pariwisata global. Tak hanya menyasar wisatawan petualang, jenis pariwisata ini juga menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi lokal dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, Desa Sambangan di Kabupaten Buleleng, Bali, muncul sebagai salah satu destinasi yang menjanjikan untuk pengembangan sport tourism. Artikel berjudul "Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village" mengeksplorasi bagaimana desa ini mampu menyinergikan kekayaan alam, budaya lokal, dan aktivitas olahraga sebagai strategi pengembangan wisata yang berdaya saing.
Profil Desa Sambangan dan Daya Tarik Alaminya (H2)
Geografi dan Lanskap (H3)
Desa Sambangan terletak di Kabupaten Buleleng, Bali Utara, dan dikenal memiliki topografi perbukitan serta air terjun yang indah. Kawasan ini:
Berada di ketinggian sekitar 500 meter di atas permukaan laut.
Dikelilingi oleh sawah terasering dan hutan tropis.
Memiliki lebih dari 7 air terjun yang menjadi daya tarik utama.
Potensi Alam sebagai Arena Sport Tourism (H3)
Lokasi geografis ini sangat mendukung berbagai aktivitas seperti:
Trekking dan hiking melewati jalur sawah dan hutan.
Canyoning di air terjun Aling-Aling dan Kroya.
Tubing dan river trekking di Sungai Sambangan.
Downhill mountain biking di jalur perbukitan.
Strategi Pengembangan Sport Tourism (H2)
Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat Lokal (H3)
Pengembangan sport tourism di Sambangan melibatkan:
Dukungan dari Dinas Pariwisata Buleleng.
Keterlibatan langsung masyarakat dalam membentuk komunitas pemandu wisata.
Penerapan konsep desa wisata berbasis pemberdayaan lokal.
Inovasi Paket Wisata Terintegrasi (H3)
Desa Sambangan menawarkan paket wisata tematik yang memadukan:
Aktivitas olahraga alam.
Edukasi pertanian organik.
Pengalaman budaya lokal seperti gamelan, tari, dan memasak makanan tradisional.
Dampak Ekonomi dan Sosial terhadap Komunitas (H2)
Peningkatan Pendapatan dan Lapangan Kerja (H3)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
Sekitar 70% rumah tangga di Sambangan mendapat penghasilan tambahan dari aktivitas wisata.
Tercipta lebih dari 50 lapangan kerja baru sejak pengembangan sport tourism dimulai.
Perubahan Pola Hidup dan Kemandirian (H3)
Meningkatnya kesadaran konservasi lingkungan.
Generasi muda lebih memilih menjadi pemandu wisata daripada merantau.
Tantangan dan Solusi Pengembangan (H2)
Infrastruktur dan Konektivitas (H3)
Keterbatasan akses jalan dan fasilitas umum masih menjadi kendala.
Solusi: Penguatan infrastruktur berbasis dana desa dan CSR pariwisata.
Kompetensi SDM (H3)
Tantangan pelatihan bahasa asing dan pengetahuan pemanduan.
Solusi: Pelatihan rutin oleh dinas dan kerjasama dengan perguruan tinggi pariwisata.
Studi Banding dan Potensi Replikasi (H2)
Desa Sambangan dapat dijadikan model bagi desa-desa lain di Indonesia yang memiliki:
Topografi serupa.
Komitmen pelestarian lingkungan.
Budaya lokal yang kuat.
Beberapa kawasan seperti Desa Sembalun (Lombok) dan Desa Wisata Nglanggeran (Gunungkidul) berpotensi mereplikasi pendekatan Sambangan dengan adaptasi lokal.
Kesimpulan: Sambangan sebagai Model Sport Tourism Berkelanjutan (H2)
Penelitian ini menunjukkan bahwa Desa Sambangan berhasil mengelola potensi sumber daya alamnya secara optimal melalui pendekatan sport tourism. Sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis yang nyata. Dalam jangka panjang, pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, tetapi juga memperkuat posisi Bali Utara sebagai destinasi pariwisata alternatif yang berkelanjutan.
Sumber
Saraswati, Ni Nyoman. (2022). Leveraging Natural Resources for Sport Tourism Development: A Case Study in Sambangan Village. [Jurnal Resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Volume 1].
Ritual Sakral & Warisan Budaya Bali
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 31 Mei 2025
Pendahuluan: Ritual dan Estetika dalam Harmoni Budaya Bali
Tari Sanghyang Kungkang yang berasal dari Desa Adat Pekraman Bebandem, Karangasem, Bali, merupakan salah satu bentuk kesenian sakral yang masih eksis hingga kini. Ditarikan dalam konteks upacara keagamaan Hindu, tarian ini tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi spiritual tetapi juga memiliki makna sosial dan simbolis yang mendalam. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Ni Nyoman Suartini (2014) di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, kajian ini menyoroti bentuk pertunjukan, fungsi sosial-religius, serta tantangan pelestarian dari Tari Sanghyang Kungkang.
Memahami Konsep Sakral dalam Tari Sanghyang (H2)
Latar Belakang dan Etimologi (H3)
Nama "Sanghyang" merujuk pada roh suci atau dewa dalam kepercayaan Hindu-Bali. "Kungkang" merupakan akronim dari "Ung" (simbol Dewa Wisnu) dan "Ang" (simbol Dewa Brahma), yang ditambahkan awalan dan sisipan menjadi "Kungkang." Nama ini melambangkan dualitas kekuatan suci yang bersatu dalam tarian.
Tarian ini diyakini sebagai media turunnya Betari Dewi Sri, dewi kesuburan, untuk memberikan berkah kesuburan dan kesejahteraan pada masyarakat desa. Ia ditarikan oleh seorang perempuan yang telah dipilih secara spiritual sebagai medium atau "tapakan."
Konteks Ritual (H3)
Tari Sanghyang Kungkang hanya dipentaskan saat upacara Piodalan Ngusaba Sri yang jatuh pada Purnama Kedasa di Pura Bale Agung. Prosesi pertunjukan diawali dengan mapiuning (ritual pemuspaan), diikuti oleh upacara Nyegara-Gunung, dan diakhiri dengan pertunjukan tarian dalam kondisi trance.
Bentuk Pertunjukan Tari Sanghyang Kungkang (H2)
Struktur Pertunjukan (H3)
Tari ini berbentuk tari tunggal dan hanya dibawakan oleh satu penari wanita yang telah dipilih melalui upacara metedun sekar. Gerakannya sederhana namun sarat makna simbolik dan hanya muncul dalam kondisi kerauhan (kerasukan), memperlihatkan bahwa tubuh sang penari telah dirasuki oleh kekuatan spiritual.
Elemen Visual dan Auditori (H3)
Busana dan Properti: Penari mengenakan busana khas dengan bunga lenter dan base sulasih sebagai simbol kesuburan.
Musik: Gamelan gambang dengan gending khusus "Kungkang" mengiringi tarian.
Ritual Batang Dadap: Batang dadap digunakan sebagai tongkat sakral yang digerakkan dalam empat arah mata angin, simbolisasi perlindungan dan penyebaran energi positif.
Fungsi dan Makna Tari dalam Kehidupan Masyarakat (H2)
Fungsi Sakral (H3)
Sebagai tari wali atau persembahan sakral dalam upacara dewa yadnya.
Penolakan bala dan pengundang berkah, khususnya dalam aspek agrikultural seperti perlindungan dari gagal panen.
Fungsi Sosial dan Psikologis (H3)
Menumbuhkan solidaritas kolektif di antara warga desa.
Menjadi sarana penguat identitas budaya dan spiritualitas lokal.
Memberikan ketenangan batin melalui prosesi yang dipercaya membawa kedamaian dan kemakmuran.
Pelestarian dan Tantangan di Era Modern (H2)
Ancaman Modernisasi (H3)
Minimnya regenerasi penari karena pemilihan penari harus melalui wahyu spiritual.
Tantangan dokumentasi dan kurangnya media digital untuk memperkenalkan tarian ini secara luas.
Upaya Pelestarian (H3)
Dokumentasi akademik seperti penelitian Suartini berperan penting.
Keterlibatan masyarakat lokal, pemangku adat, dan lembaga pendidikan dalam menjaga tradisi ini.
Pentingnya digitalisasi sebagai sarana pengarsipan dan promosi budaya.
Studi Banding: Posisi Tari Sanghyang Kungkang dalam Konstelasi Tari Sakral Bali (H2)
Tari Sanghyang Dedari dan Jaran mungkin lebih dikenal luas, namun Sanghyang Kungkang menonjol dari segi struktur tunggal dan simbolisasi batang dadap sebagai wahana komunikasi spiritual. Tidak seperti tari sakral lainnya yang dapat ditarikan oleh anak-anak atau dalam kelompok, Sanghyang Kungkang sangat personal dan intens.
Kritik dan Implikasi Akademik (H2)
Penelitian ini menunjukkan pendekatan mendalam namun masih bersifat deskriptif. Ke depan, perlu ada:
Studi etnografi komparatif dengan desa lain.
Analisis antropologi simbolik lebih lanjut untuk memperdalam makna elemen-elemen visual dan naratif dalam tarian.
Penggunaan media audiovisual untuk menyajikan data interaktif.
Kesimpulan: Tarian sebagai Jembatan Spiritual dan Sosial (H2)
Tari Sanghyang Kungkang bukan sekadar pertunjukan, melainkan ritual kompleks yang menyatukan nilai estetika, spiritualitas, dan solidaritas sosial. Fungsinya sebagai medium komunikasi antara manusia dan alam semesta menjadi bukti bahwa kesenian tradisional memiliki dimensi transenden yang tak tergantikan. Dalam era globalisasi, pelestarian tarian ini menjadi bukti keteguhan masyarakat Bali dalam menjaga akar budaya mereka.
Sumber
Suartini, Ni Nyoman. (2014). Kajian Bentuk dan Fungsi Tari Sanghyang Kungkang di Desa Adat Pekraman Bebandem Karangasem. Institut Seni Indonesia Denpasar.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterlambatan Material Adalah Masalah Global?
Keterlambatan proyek konstruksi adalah isu klasik yang terus menghantui industri global. Dalam konteks proyek berskala besar seperti perumahan nasional hingga infrastruktur publik, keterlambatan bukan hanya menimbulkan kerugian ekonomi, tetapi juga memicu ketidakpercayaan terhadap kontraktor dan lembaga pemerintahan.
Studi yang dilakukan oleh Rahman et al. (2017) di Brunei Darussalam menyuguhkan perspektif segar mengenai penyebab utama dari dua aspek kritis: kekurangan dan keterlambatan pasokan material. Walau terfokus pada Brunei, temuan ini memiliki relevansi luas terhadap negara-negara berkembang maupun maju yang mengalami fenomena serupa.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Kajian Literatur dan Wawancara Lapangan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap:
1. Literatur Review – untuk mengidentifikasi pola global dalam kekurangan material.
2. Diskusi Pakar Industri – guna memahami mekanisme rantai pasok material di Brunei.
3. Wawancara Semi-Terstruktur – melibatkan 15 narasumber, yaitu 10 pemasok material dan 5 kontraktor lokal.
Wawancara ini menggali pengalaman mereka dalam mengelola bahan bangunan dari berbagai sumber, baik lokal maupun impor, dengan rentang pengalaman 3 hingga 40 tahun.
Hasil Utama: 15 Faktor Penyebab Keterlambatan dan Kekurangan Material
Penelitian ini membagi akar permasalahan menjadi dua kategori besar:
Penyebab Kekurangan Material (6 Faktor)
1. Ketergantungan Impor Material
Sebagian besar material konstruksi di Brunei harus diimpor, seperti besi, baja, dan komponen modular. Hal ini menciptakan lead time yang panjang dan rentan terhadap gangguan logistik. Misalnya, selama proyek perumahan skala besar, kekurangan stok lokal menyebabkan keterlambatan signifikan.
Catatan industri: Ketergantungan pada impor juga terjadi di Indonesia, terutama untuk material seperti baja dan semen khusus.
2. Estimasi Volume Material yang Buruk
Kesalahan dalam perhitungan kebutuhan material bisa menyebabkan dua kerugian: kekurangan (yang menyebabkan re-ordering dan keterlambatan) dan kelebihan (yang meningkatkan biaya logistik dan penyimpanan).
3. Kualitas Pekerjaan Rendah
Pemasangan yang ceroboh oleh tenaga kerja menyebabkan material rusak dan harus diganti. Proses klaim garansi dan investigasi membutuhkan waktu yang tak sedikit.
4. Mutu Material Buruk
Defek yang terjadi selama proses pengiriman—seperti kerusakan saat transit—membuat material tak layak pakai. Misalnya, pintu kayu yang dikirim dari Malaysia ternyata penuh lubang karena serangan serangga.
5. Permintaan Tidak Konsisten
Untuk material seperti cat, permintaan tergantung preferensi warna yang fluktuatif. Jika warna tertentu tidak tersedia, pemesanan baru ke luar negeri bisa memakan waktu sebulan lebih.
6. Material Khusus & Proyek Spesifik
Untuk proyek seperti rumah sakit atau penjara, lampu dan peralatan spesifik sering kali harus dipesan dari Eropa atau Asia, sehingga waktu tunggu sangat lama.
Penyebab Keterlambatan Pasokan (9 Faktor)
1. Produktivitas Tenaga Kerja Rendah
Sebagian besar tenaga kerja berasal dari luar negeri (India, Bangladesh, Indonesia) dan banyak yang kurang terampil, terutama dalam penanganan material. Siklus pelatihan yang terus-menerus memperlambat produksi dan distribusi.
2. Cuaca Buruk
Sebagai negara tropis, Brunei mengalami hujan sepanjang tahun yang mengganggu pengiriman dan penempatan material seperti beton cor.
3. Regulasi Pemerintah
Beberapa material, seperti kayu, memerlukan izin impor khusus. Proses ini bisa memakan waktu lama, terutama jika ada kesalahan dalam dokumen.
4. Keputusan yang Lambat
Owner proyek sering menunda keputusan pembelian atau perubahan desain, terutama untuk produk finishing seperti ubin. Akibatnya, pemesanan material menjadi tertunda.
5. Kekurangan Bahan Baku di Pabrik
Misalnya, produsen cat di Singapura yang harus menunggu bahan kimia dari negara ketiga sebelum bisa memproduksi barang pesanan untuk Brunei.
6. Masalah Logistik
Brunei sebagai negara kecil sering mengalami masalah less container load (LCL), yang memperpanjang proses pengiriman dari pabrik ke proyek.
7. Perencanaan & Penjadwalan Buruk
Banyak kontraktor tidak memesan material sejak awal, menyebabkan keterlambatan ketika permintaan meningkat atau pasokan global terganggu (contoh: kelangkaan besi selama Olimpiade Beijing 2008).
8. Durasi Konstruksi yang Tidak Realistis
Proyek-proyek dengan waktu pelaksanaan sangat pendek memaksa kontraktor mengambil jalan pintas, termasuk memesan material darurat dengan biaya lebih tinggi.
9. Perubahan Desain atau Permintaan Klien
Perubahan tiba-tiba sering membutuhkan material baru yang harus diimpor, menambah tekanan pada waktu pengiriman.
Studi Kasus Nyata: Brunei & Negara Lain
Kritik & Opini: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Meski penelitian ini cukup mendalam, terdapat ruang untuk penguatan:
Kuantifikasi Dampak: Studi selanjutnya sebaiknya memasukkan estimasi waktu atau biaya akibat masing-masing faktor.
Studi Perbandingan Regional: Menarik jika dilakukan studi serupa di negara ASEAN lain seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina untuk melihat pola umum.
Solusi Teknologi: Penggunaan sistem manajemen rantai pasok digital seperti BIM (Building Information Modeling) atau SCM tools dapat memperkecil kesalahan estimasi dan mempercepat keputusan.
Rekomendasi Praktis bagi Industri Konstruksi
1. Digitalisasi Inventaris dan Logistik
Gunakan perangkat lunak SCM untuk memantau stok dan waktu pengiriman secara real-time.
2. Konsolidasi Pengadaan
Bentuk asosiasi kontraktor untuk pengadaan bersama demi efisiensi pengiriman dan penghematan biaya.
3. Pelatihan Tenaga Kerja Lokal
Kurangi ketergantungan pada pekerja asing dengan investasi dalam pelatihan tenaga kerja lokal.
4. Perencanaan Material Sejak Tender
Kewajiban perencanaan pasokan material sebagai bagian dari dokumen tender.
Kesimpulan: Menyatukan Visi untuk Konstruksi yang Lebih Efisien
Penelitian oleh Rahman dkk. menyoroti kompleksitas tantangan dalam rantai pasok konstruksi yang seringkali diabaikan. Bukan hanya masalah logistik semata, melainkan akumulasi dari perencanaan yang lemah, keputusan lamban, ketergantungan impor, hingga perubahan desain dadakan. Temuan ini menjadi panggilan bagi para pemangku kepentingan industri untuk bergerak menuju sistem konstruksi yang lebih adaptif, terencana, dan berbasis data.
Sumber:
Rahman, M. M., Yap, Y. H., Ramli, N. R., Dullah, M. A., & Shamsuddin, M. S. W. (2017). Causes of shortage and delay in material supply: a preliminary study. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 271(1), 012037. DOI:10.1088/1757-899X/271/1/012037
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Masalah Keuangan Jadi Biang Keterlambatan Proyek?
Dalam industri konstruksi, keterlambatan proyek bukan sekadar soal teknis—faktor keuangan justru kerap menjadi pemicu utama. Di Malaysia, persoalan ini terbukti nyata: pada tahun 2005, sekitar 17,3% dari 417 proyek pemerintah mengalami keterlambatan lebih dari tiga bulan atau bahkan terbengkalai. Padahal, sektor konstruksi menyumbang 4,6% dari PDB nasional di 2007 dan menyerap lebih dari 600.000 tenaga kerja.
Penelitian oleh Abdul-Rahman, Takim, dan Wong Sze Min (2009) mengangkat permasalahan ini secara komprehensif dengan menyelidiki empat faktor utama yang menghambat penyelesaian proyek dari sisi keuangan: keterlambatan pembayaran, manajemen arus kas yang lemah, keterbatasan sumber dana, dan ketidakstabilan pasar finansial.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Survei dan Wawancara Mendalam
Penelitian ini mengadopsi pendekatan campuran yang melibatkan:
Distribusi kuesioner kepada 558 pihak profesional konstruksi (klien, kontraktor, konsultan, bankir), dengan 110 respon (tingkat respon 19,7%).
Wawancara mendalam terhadap 8 narasumber utama dari masing-masing kelompok profesi.
Analisis tematik terhadap 19 faktor penyebab yang dikelompokkan menjadi empat kategori utama.
Empat Akar Masalah Finansial Penyebab Keterlambatan Proyek
1. Keterlambatan Pembayaran
Keterlambatan pembayaran—terutama oleh klien—memicu efek domino dalam rantai proyek. Penundaan ini sering disebabkan oleh:
2. Manajemen Arus Kas yang Lemah
Sebagai darah kehidupan proyek, arus kas yang sehat menentukan kelangsungan pekerjaan. Sayangnya, banyak kontraktor gagal menjaga hal ini. Beberapa penyebabnya:
3. Sumber Dana Tidak Cukup
Keterbatasan dana bisa berasal dari:
4. Ketidakstabilan Pasar Keuangan
Faktor eksternal turut memperburuk kondisi:
Temuan Data: Prioritas dan Frekuensi Faktor
Analisis menunjukkan bahwa:
Faktor paling signifikan adalah manajemen arus kas yang buruk (464),
Faktor paling sering terjadi adalah ketidakstabilan pasar keuangan (349),
Semua kelompok profesional sepakat bahwa arus kas buruk adalah akar utama keterlambatan proyek.
Peran Klien dalam Mengurangi Keterlambatan
Menariknya, 60% responden menyatakan bahwa klien adalah pihak paling bertanggung jawab untuk mengatasi hambatan keuangan. Salah satu komentar bahkan menyebut pemerintah sebagai aktor penting dalam mencairkan anggaran tepat waktu.
Studi Kasus dan Konteks Global
Beberapa contoh serupa di negara lain menguatkan temuan ini:
Rekomendasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Untuk Klien:
Untuk Kontraktor:
Untuk Lembaga Keuangan:
Untuk Pemerintah dan Legislator:
Kritik dan Catatan Tambahan
Meski studi ini komprehensif, beberapa aspek bisa ditingkatkan:
Penelitian lanjutan disarankan untuk fokus pada proyek-proyek mikro (< RM 1 juta) dan membandingkan model pembiayaan antara proyek pemerintah dan proyek developer swasta.
Kesimpulan: Saatnya Memutus Rantai Masalah Keuangan Proyek Konstruksi
Keterlambatan proyek di Malaysia, sebagaimana di banyak negara berkembang, tidak semata-mata disebabkan oleh masalah teknis atau manajerial. Penelitian ini membuktikan bahwa masalah keuangan adalah simpul utama yang harus segera ditangani.
Kunci utama ada pada klien dan kontraktor. Klien harus lebih disiplin dalam pengelolaan dana dan pembayaran, sedangkan kontraktor perlu memperkuat kemampuan manajerial dan keuangannya agar tidak hanya bergantung pada arus pembayaran dari atas.
Dengan penerapan praktik yang lebih profesional dan dukungan regulasi yang tepat, industri konstruksi dapat menghindari spiral keterlambatan akibat krisis finansial internal.
Sumber:
Abdul-Rahman, H., Takim, R., & Wong, S. M. (2009). Financial-related causes contributing to project delays. Journal of Retail & Leisure Property, 8(3), 225–238. DOI:10.1057/rlp.2009.11
Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan Jadi Isu Mendesak?
Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun di balik kemegahan gedung dan jembatan, ada potensi kerentanan hukum yang sering luput diperhatikan: kegagalan bangunan. Tesis Mochamad Yusuf dari Universitas Islam Indonesia menyajikan analisis komprehensif mengenai bagaimana kegagalan bangunan, sebagai bentuk wanprestasi atau kelalaian teknis, dapat memicu konflik hukum antara pengguna dan penyedia jasa.
Dalam konteks hukum, kegagalan bangunan tidak sekadar berarti kerusakan fisik, tetapi mengacu pada situasi ketika bangunan yang telah diserahterimakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketentuan ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji dua aspek utama: mengapa kegagalan bangunan terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi, dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara hukum. Yusuf menggunakan pendekatan normatif-doktrinal dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta studi lapangan dari kasus-kasus nyata.
Studi Kasus: Robohnya Turap Parit Indah, Pekanbaru
Salah satu contoh nyata kegagalan bangunan yang dibahas dalam tesis ini adalah kasus robohnya turap sepanjang 120 meter di Parit Indah, Pekanbaru. Bangunan tersebut bahkan mengalami kegagalan dua kali. Penyelidikan menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kecerobohan kontraktor dan lemahnya pengawasan dari instansi teknis pemerintah. Analisis teknis juga menemukan ketidaksesuaian dimensi dinding turap terhadap tekanan lateral tanah dan beban kendaraan.
Kasus ini memperlihatkan ketidaktegasan dalam manajemen risiko, mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan, dan menjadi potret buruk profesionalisme dalam konstruksi daerah.
Apa Itu Kegagalan Bangunan Secara Yuridis?
Undang-Undang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa kegagalan bangunan terjadi bila bangunan yang telah diserahterimakan:
Sementara itu, KUH Perdata menempatkan kegagalan ini sebagai bagian dari wanprestasi, yaitu tidak terpenuhinya kewajiban kontraktual oleh salah satu pihak.
Faktor Penyebab Kegagalan Bangunan
Yusuf membagi penyebab utama kegagalan bangunan ke dalam aspek hukum dan teknis, antara lain:
Tanggung Jawab Hukum Pihak Terkait
Dalam kontrak konstruksi, terdapat prinsip timbal balik yang menempatkan penyedia dan pengguna jasa pada posisi setara namun berbeda tanggung jawab. Yusuf menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan uji tuntas (due diligence) dalam pelaksanaan konstruksi. Setiap pihak yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, bahkan hingga pidana bila terbukti menimbulkan kerugian besar atau korban jiwa.
Dalam hal terjadi kegagalan bangunan, pihak yang paling memungkinkan digugat adalah kontraktor pelaksana dan konsultan perencana atau pengawas, tergantung posisi dan bobot kesalahannya.
Jaminan Hukum dalam Kontrak Konstruksi
Untuk meminimalkan risiko, kontrak konstruksi umumnya memuat beberapa bentuk jaminan hukum seperti:
Namun, dalam praktiknya, penegakan atas jaminan-jaminan ini sering menemui kendala administratif, kurangnya pemahaman hukum, atau celah dalam kontrak standar.
Penyelesaian Sengketa: Litigasi atau Non-Litigasi?
Yusuf memetakan jalur penyelesaian sengketa ke dalam dua jalur utama:
Non-Litigasi, melalui mediasi, arbitrase, atau negosiasi bilateral. Jalur ini lebih cepat dan efisien secara biaya, serta sesuai dengan semangat Pasal 88 UU Jasa Konstruksi.
Litigasi, yaitu melalui pengadilan umum. Biasanya dipilih jika tidak tercapai kesepakatan damai atau bila terjadi kegagalan besar yang melibatkan unsur pidana atau pengadaan publik.
Kritik dan Evaluasi: Dimana Letak Titik Lemahnya?
Yusuf menyentil bahwa banyak pihak di sektor konstruksi, baik pemerintah maupun swasta, belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya dokumentasi kontrak dan sistem pengawasan yang profesional. Beberapa poin penting:
Lemahnya implementasi hukum kontrak: Perjanjian konstruksi sering kali disusun tanpa mencantumkan sanksi rinci atas kegagalan bangunan.
Tidak optimalnya fungsi LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) sebagai pengawas dan sertifikasi tenaga ahli.
Korupsi struktural dalam pengadaan proyek, seperti indikasi “jual beli pengawasan” atau penerimaan uang pelicin dari kontraktor kepada pengawas lapangan.
Tren Global: Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara dengan sistem konstruksi maju seperti Jepang dan Australia telah menerapkan sistem professional indemnity insurance sebagai bagian dari kontrak konstruksi. Di Indonesia, wacana ini masih terbatas pada diskusi akademik. Yusuf mengusulkan agar skema asuransi profesi menjadi bagian wajib dalam setiap proyek berskala menengah ke atas.
Saran Solutif dari Penulis
Tesis ini menutup dengan beberapa usulan konkret:
1. Penerapan sistem sertifikasi dan audit kontraktor secara periodik oleh asosiasi profesi.
2. Penguatan legal drafting kontrak kerja konstruksi agar memuat mekanisme penyelesaian sengketa secara eksplisit.
3. Peningkatan kompetensi pengawas proyek dan konsultan pengawas melalui pelatihan dan sistem lisensi.
4. Reformasi dalam sistem tender pemerintah agar tidak hanya mempertimbangkan harga terendah, tetapi juga rekam jejak dan kapasitas teknis penyedia jasa.
Kesimpulan: Menuju Konstruksi yang Bertanggung Jawab
Kegagalan bangunan bukanlah semata-mata kesalahan teknis, tetapi juga refleksi dari lemahnya penegakan hukum kontraktual, buruknya sistem pengawasan, dan budaya kerja yang jauh dari prinsip profesionalisme. Penyelesaian sengketa akibat kegagalan bangunan harus dipandang bukan sebagai jalan buntu, melainkan sebagai upaya korektif dalam meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sektor konstruksi nasional.
Tesis Mochamad Yusuf mempertegas bahwa dalam dunia konstruksi, kontrak bukan hanya sekadar formalitas administratif, tetapi dokumen hidup yang menentukan batas tanggung jawab, jaminan kualitas, dan hak-hak pengguna maupun penyedia jasa.
Sumber:
Yusuf, M. (2008). Penyelesaian Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan dalam Perjanjian Kerja Konstruksi. Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Proyek EPC Rentan Terlambat di Indonesia?
Proyek EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi andalan dalam pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia, terutama dalam sektor industri pupuk milik BUMN. Model ini menjanjikan efisiensi melalui paket kerja terintegrasi. Namun, janji manis ini seringkali tidak terealisasi. Studi Sarwani dkk. mengungkap bahwa 90% proyek EPC pada periode 2010–2020 mengalami keterlambatan signifikan, meskipun telah menggunakan praktik terbaik dari proyek sebelumnya.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: jika pendekatan EPC yang terintegrasi justru memicu keterlambatan, di mana letak masalahnya?
Metode dan Sampel: Representasi Nyata Dunia Proyek
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 67 responden kunci yang berasal dari pemilik proyek (BUMN dan anak perusahaannya), kontraktor EPC, serta konsultan desain. Lebih dari 76% responden memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, dan hampir separuh adalah manajer proyek.
Dengan menggunakan Relative Importance Index (RII) dan Spearman Rank Correlation, peneliti mengidentifikasi 21 faktor penyebab keterlambatan yang dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: proyek, pemilik, kontraktor, desain, material, tenaga kerja, dan eksternal.
Sepuluh Penyebab Keterlambatan Paling Kritis
1. Keterlambatan Pengadaan Material dan Peralatan
Menempati peringkat pertama (RII 0.910), keterlambatan ini mengganggu jalur kritis proyek. Masalah seperti pergantian daftar produsen, masalah bea cukai, dan keterlambatan fabrikasi vendor menjadi akar penyebab.
2. Kesulitan Pembiayaan oleh Kontraktor
RII 0.896 mencerminkan bahwa banyak kontraktor yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran progres. Jika progres lambat, dana macet, proyek pun tersendat.
3. Perencanaan dan Penjadwalan yang Tidak Efektif
Masalah ini menjadi penyebab klasik (RII 0.884). Jadwal kerja yang tidak realistis, ditambah kurangnya kompetensi perencana proyek, menyebabkan deviasi besar antara rencana dan realisasi.
4. Pemenang Tender adalah Penawar Terendah yang Tidak Layak
Ironi besar muncul ketika proyek diberikan kepada penawar 80% di bawah estimasi pemilik. RII 0.857 menunjukkan bahwa praktik “harga terendah” justru menjadi jebakan biaya dan kualitas.
5. Pekerjaan Ulang karena Kesalahan Konstruksi
RII 0.848. Rework terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengawasan mutu. Biaya rework di proyek studi kasus mencapai 3,15% dari total nilai kontrak.
6. Komunikasi dan Koordinasi yang Buruk
Dalam proyek sebesar EPC, minimnya sistem komunikasi formal (bahkan hanya mengandalkan ingatan dan chat pribadi) menjadi penyebab salah paham antar pihak (RII 0.836).
7. Keterlambatan Desain Subkontraktor
Indonesia memiliki tingkat subkontrak yang tinggi dalam proyek EPC. Ketika subkontraktor tidak kompeten atau lambat menyelesaikan desain, seluruh proses mundur (RII 0.833).
8. Perselisihan dalam Pemahaman Kontrak EPC
Kontrak lumpsum sering kali disusun dalam waktu terbatas, dengan spesifikasi yang masih umum. Hal ini memicu sengketa saat proyek berjalan (RII 0.830).
9. Penentuan Durasi Kontrak yang Tidak Realistis oleh Pemilik
Manajemen proyek kadang ditekan untuk mengejar target politik atau kepentingan bisnis jangka pendek, memaksakan durasi tak masuk akal (RII 0.827).
10. Keterlambatan Keputusan Pemilik Terkait Perubahan Desain
Ketika pemilik lambat menyetujui perubahan atau resolusi konflik, proyek mandek (RII 0.815). Kerap kali pemilik harus konsultasi dengan pihak ketiga untuk menghindari konflik kepentingan, yang malah memperpanjang proses.
Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Faktor Ini Berbahaya?
Faktor-faktor di atas, meskipun tampak teknis, memiliki implikasi luas. Misalnya, ketergantungan pada pembiayaan dari progres menyebabkan kontraktor kesulitan menalangi pekerjaan awal. Di sisi lain, sistem tender berbasis harga terendah mendorong kontraktor menekan biaya secara tidak sehat, yang berujung pada pekerjaan asal-asalan dan sengketa panjang.
Konsistensi Pandangan antar Pihak
Spearman Rank Correlation menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi antar pemilik, kontraktor, dan konsultan:
Korelasi pemilik–kontraktor: 99,3%
Korelasi pemilik–konsultan: 98,3%
Korelasi kontraktor–konsultan: 97,4%
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab keterlambatan bersifat struktural dan tidak sekadar pandangan sepihak.
Perbandingan Internasional: Pola Global yang Mirip
Penelitian ini juga membandingkan temuan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, India, Bangladesh, dan Iran. Hasilnya, penyebab seperti perencanaan buruk, keterlambatan pembayaran, dan konflik desain juga menjadi masalah umum di negara-negara tersebut.
Rekomendasi Mitigasi Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia
Untuk Kontraktor:
Untuk Pemilik:
Untuk Konsultan:
Solusi Sistemik:
Opini dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan dari Studi Ini?
Studi ini sudah sangat mendalam dalam identifikasi penyebab. Namun, beberapa catatan penting:
Meski begitu, data empiris dan metode kuantitatif yang digunakan cukup kuat sebagai dasar pembuatan kebijakan mitigasi risiko proyek di masa depan.
Kesimpulan: Saatnya EPC Indonesia Meninggalkan Paradigma "Murah Tapi Mahal"
Studi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar keterlambatan proyek EPC di Indonesia disebabkan oleh faktor internal yang bisa dikendalikan, bukan oleh kejadian eksternal seperti cuaca atau politik. Proyek EPC memerlukan sinergi yang kuat antara perencanaan matang, komunikasi lintas aktor, pembiayaan yang sehat, dan sistem tender yang adil.
Jika Indonesia serius ingin meningkatkan kinerja infrastruktur nasional, perlu ada pergeseran paradigma dari sekadar efisiensi biaya menjadi efisiensi keseluruhan proyek—dari hulu ke hilir. Dan studi Sarwani dkk. memberi kita peta jalan awal untuk menuju ke sana.
Sumber:
Sarwani, I. Baihaqi, & C. Utomo. (2024). Causes of Delay in EPC Projects: The Case of Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 14(2). DOI:10.18517/ijaseit.14.2.19744