Perindustrian

Terobosan Baru Deteksi Cacat Kain Tenun: Sistem Otomatis Berbasis Artificial Neural Network (ANN)

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 April 2025


Pendahuluan: Kenapa Industri Tekstil Butuh Inspeksi Otomatis?

Industri tekstil adalah tulang punggung ekonomi di banyak negara, termasuk India, di mana Tamil Nadu menjadi salah satu penghasil utama kain tenun. Namun, persaingan ketat di pasar global menuntut kualitas produk yang konsisten dan bebas cacat. Cacat pada kain, sekecil apapun, bisa mengurangi nilai jual produk secara signifikan, bahkan hingga 45% sampai 65%. Itu sebabnya, inspeksi kualitas menjadi prioritas utama.

Masalahnya, proses inspeksi manual yang mengandalkan tenaga manusia memiliki keterbatasan yang serius. Inspektur manusia rentan terhadap kelelahan, konsistensinya bervariasi, dan tingkat deteksi cacatnya hanya sekitar 70%. Selain itu, proses ini lambat dan mahal karena ketergantungan pada keterampilan individu. Kondisi ini mendorong peneliti dan praktisi industri untuk mencari solusi otomatis yang lebih handal.

Di sinilah peran penelitian yang dilakukan oleh Dr. G. M. Nasira dan P. Banumathi menjadi sangat relevan. Dalam paper mereka yang berjudul "Automatic Defect Detection Algorithm for Woven Fabric using Artificial Neural Network Techniques", mereka mengembangkan sebuah sistem deteksi otomatis berbasis jaringan saraf tiruan (Artificial Neural Network/ANN) yang mampu mendeteksi berbagai cacat kain dengan akurasi tinggi.

 

Mengupas Permasalahan Inspeksi Kain Tenun

Inspeksi kain tenun adalah proses yang kompleks. Cacat yang muncul di kain bisa berupa lubang, noda, jahitan yang terlepas, goresan, hingga ketidaksesuaian warna akibat proses pencelupan. Kerumitan ini semakin bertambah jika kain memiliki motif yang rumit, karena perbedaan antara desain asli dan cacat bisa sangat halus.

Dalam praktik industri, pemeriksaan 100% kain di jalur produksi sangat sulit dicapai secara manual. Kecepatan produksi yang tinggi membuat inspeksi manusia menjadi tidak efektif. Akibatnya, banyak cacat baru terdeteksi pada tahap akhir produksi, bahkan setelah produk sudah dikemas, sehingga meningkatkan biaya rework atau scrap.

 

Solusi yang Ditawarkan Penelitian Ini

Dalam penelitian ini, Nasira dan Banumathi merancang sebuah sistem berbasis Artificial Neural Network (ANN) yang secara otomatis mendeteksi cacat pada kain tenun. Sistem ini diawali dengan proses akuisisi gambar kain menggunakan pemindai datar (flatbed scanner) dengan resolusi minimal 300 dpi. Tujuannya adalah menangkap detail tekstur kain dengan tingkat akurasi visual yang tinggi, setara dengan penglihatan manusia.

Gambar yang diambil kemudian diproses menggunakan teknik adaptive median filtering untuk mengurangi noise tanpa menghilangkan detail penting pada tekstur kain. Setelah itu, gambar dikonversi menjadi citra biner agar lebih mudah dianalisis.

Selanjutnya, sistem menghitung area pada gambar biner untuk menilai ada atau tidaknya cacat. Ciri-ciri utama dari area cacat, seperti ukuran dan bentuk, diekstraksi untuk menjadi input ke jaringan saraf tiruan.

 

Artificial Neural Network: Otak di Balik Sistem Deteksi

Jaringan saraf tiruan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe Backpropagation Neural Network (BPN), yang dilatih menggunakan algoritma gradient descent. Dalam proses pelatihannya, bobot dan bias jaringan diperbarui secara iteratif untuk meminimalkan error dalam mendeteksi cacat.

Jaringan ini diuji pada dataset yang terdiri dari 30 gambar kain, dengan komposisi 20 gambar bebas cacat dan 10 gambar dengan berbagai jenis cacat. Ukuran gambar adalah 256x256 piksel dalam format grayscale 8-bit. Setelah dilatih, sistem diuji kembali pada 15 gambar tambahan untuk mengukur akurasi deteksi.

Hasilnya cukup menjanjikan. Sistem ini berhasil mendeteksi kain bebas cacat dengan tingkat akurasi hingga 95%, dan kain dengan cacat lubang terdeteksi dengan akurasi sekitar 80%. Jenis cacat lain, seperti jahitan yang terlepas dan goresan, memiliki tingkat deteksi masing-masing 65% dan 75%. Secara keseluruhan, sistem mencapai tingkat keberhasilan rata-rata sekitar 93%.

 

Analisis Tambahan: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Keberhasilan sistem deteksi berbasis ANN ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis kecerdasan buatan memang layak diterapkan dalam industri tekstil. Namun, terdapat beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan.

Pertama, meskipun sistem ini menunjukkan akurasi tinggi untuk kain polos atau sederhana, kemampuannya dalam mendeteksi cacat pada kain bermotif rumit masih terbatas. Ini karena metode ekstraksi fitur yang digunakan belum cukup kompleks untuk membedakan antara motif asli dan cacat halus.

Kedua, kebutuhan akan data training yang berkualitas sangat krusial. Sistem ANN bergantung sepenuhnya pada kualitas dan variasi data latih. Semakin beragam jenis kain dan cacat yang digunakan dalam pelatihan, semakin baik kemampuan generalisasi sistem ini.

Ketiga, meskipun sistem ini mempercepat proses inspeksi dibandingkan metode manual, proses pengolahan gambar dan pelatihan model masih membutuhkan waktu dan sumber daya komputasi yang cukup besar, terutama jika resolusi gambar tinggi digunakan.

 

Perbandingan dengan Penelitian dan Teknologi Lain

Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis, sistem yang dikembangkan oleh Nasira dan Banumathi terbilang sederhana namun efektif. Beberapa pendekatan lain yang lebih kompleks menggunakan teknik seperti Fourier Transform, Gabor Wavelet, hingga Convolutional Neural Network (CNN).

Sebagai contoh, penelitian oleh YH Zhang dan WK Wong pada tahun 2011 menggabungkan genetic algorithm dengan Elman neural network untuk mendeteksi cacat pada kain bertekstur warna, memberikan tingkat fleksibilitas lebih tinggi dalam mengenali pola yang kompleks. Di sisi lain, metode CNN seperti yang digunakan dalam industri semikonduktor menawarkan kemampuan belajar fitur secara otomatis tanpa harus melalui proses ekstraksi fitur manual.

Namun, metode ANN sederhana yang digunakan dalam paper ini memiliki keunggulan dalam hal kemudahan implementasi dan kebutuhan komputasi yang lebih rendah, sehingga cocok untuk pabrik kecil hingga menengah yang baru beralih ke otomatisasi.

 

Relevansi di Industri Tekstil Saat Ini

Dalam konteks Industri 4.0, adopsi sistem inspeksi otomatis berbasis AI sudah menjadi bagian dari smart manufacturing. Beberapa pabrik tekstil terkemuka sudah mulai menerapkan sistem serupa, baik untuk kontrol kualitas internal maupun dalam kerjasama dengan mitra bisnis.

Misalnya, beberapa pemasok H&M dan Zara di Asia Tenggara telah menerapkan teknologi inspeksi visual berbasis deep learning untuk mempercepat proses QC tanpa mengurangi akurasi. Hal ini memungkinkan mereka mengurangi biaya operasional dan meningkatkan efisiensi produksi.

Implementasi sistem berbasis ANN, seperti yang dijelaskan dalam paper ini, bisa menjadi batu loncatan menuju otomatisasi penuh. Dengan tambahan teknologi seperti Edge AI dan sensor IoT, pabrik dapat mencapai deteksi cacat secara real-time di jalur produksi, bukan hanya pada tahap akhir.

 

Kritik dan Saran untuk Penelitian Selanjutnya

Meskipun sistem yang dikembangkan sudah menunjukkan hasil memuaskan, beberapa hal bisa menjadi fokus pengembangan ke depan:

  1. Peningkatan Dataset: Menambah variasi kain dan cacat untuk memperkuat kemampuan deteksi.
  2. Integrasi dengan CNN: Memanfaatkan kekuatan deep learning untuk meningkatkan akurasi, terutama pada kain bermotif rumit.
  3. Implementasi Edge Computing: Mengurangi latensi dan memungkinkan analisis langsung di mesin produksi.
  4. Explainable AI (XAI): Memberikan alasan mengapa sistem mengklasifikasikan suatu gambar sebagai cacat atau tidak, untuk meningkatkan kepercayaan pengguna.

 

Kesimpulan: Deteksi Cacat Otomatis, Masa Depan Industri Tekstil

Penelitian yang dilakukan oleh Dr. G. M. Nasira dan P. Banumathi memberikan kontribusi nyata dalam pengembangan sistem inspeksi otomatis kain tenun berbasis ANN. Dengan tingkat keberhasilan hingga 93%, sistem ini terbukti efektif dan ekonomis untuk meningkatkan kualitas produk tekstil.

Meskipun ada tantangan yang harus diatasi, terutama dalam mendeteksi cacat pada kain bermotif rumit, sistem ini sudah menjadi langkah awal yang penting menuju otomatisasi inspeksi kain secara penuh. Industri tekstil yang ingin tetap kompetitif di era Industri 4.0 sudah saatnya mempertimbangkan adopsi teknologi serupa.

 

Sumber:

Nasira, G. M., & Banumathi, P. (2014). Automatic defect detection algorithm for woven fabric using artificial neural network techniques. International Journal of Innovative Research in Computer and Communication Engineering, 2(1), 2620–2624.

Selengkapnya
Terobosan Baru Deteksi Cacat Kain Tenun: Sistem Otomatis Berbasis Artificial Neural Network (ANN)

Teknologi manufaktur AI

Kecerdasan Buatan dan Machine Learning sebagai Pilar Industri 4.0

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 April 2025


Pendahuluan: Tantangan Kualitas di Industri Pengecoran

Industri pengecoran logam, sebagai tulang punggung manufaktur berbagai sektor seperti otomotif, dirgantara, hingga konstruksi, menghadapi tantangan krusial dalam menjaga mutu produk. Kualitas hasil pengecoran sangat dipengaruhi oleh kompleksitas proses, mulai dari desain cetakan, komposisi logam, suhu tuang, hingga kondisi pendinginan. Bahkan sedikit penyimpangan dalam parameter proses dapat menghasilkan cacat seperti porositas, shrinkage, cold shut, hingga hot tear, yang berisiko menurunkan integritas produk dan meningkatkan biaya produksi akibat scrap atau rework.

Di tengah desakan efisiensi dan kualitas tinggi, solusi tradisional berbasis inspeksi manual semakin tidak memadai. Kehadiran kecerdasan buatan (AI) dan machine learning (ML) menawarkan pendekatan baru yang lebih adaptif, akurat, dan efisien dalam mendeteksi cacat pada proses pengecoran. Paper yang ditulis oleh Alamuru et al. ini menjadi salah satu kontribusi signifikan yang mengeksplorasi penerapan AI dan ML dalam inspeksi pengecoran berbasis visual, khususnya melalui teknologi Smart Quality Inspection (SQI).

Latar Belakang Penelitian: Mengapa AI dan ML?

Secara garis besar, riset ini bertujuan menghadirkan teknologi mutakhir berbasis AI untuk mendeteksi cacat pengecoran secara otomatis, cepat, dan akurat. Penulis menyoroti bagaimana penggunaan sistem konvensional (berbasis visual inspeksi manual) memiliki kelemahan seperti subjektivitas manusia, kelelahan operator, inkonsistensi, hingga biaya yang mahal. AI, melalui model deep learning dan machine learning, mampu mengidentifikasi pola cacat secara konsisten dengan tingkat akurasi yang tinggi, sekaligus mengurangi kebutuhan tenaga manusia secara signifikan.

Salah satu poin penting dalam penelitian ini adalah integrasi model Convolutional Neural Network (CNN) khusus, yang terbukti mampu mendeteksi cacat pengecoran dengan akurasi hingga 99,86%. Hasil ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan dengan metode deteksi konvensional, sekaligus menetapkan standar baru bagi industri pengecoran.

Studi Kasus: Penerapan AI pada Pengecoran di Industri

Penelitian Alamuru et al. menggunakan dataset pengecoran nyata, termasuk citra radiografi X-ray dari komponen pengecoran baja karbon menengah. Salah satu studi kasus yang menarik adalah deteksi interdendritic shrinkage porosity, sebuah cacat internal yang sangat mempengaruhi kekuatan tarik dan ketangguhan fraktur suatu komponen. Deteksi dini cacat ini penting, terutama pada komponen berputar seperti turbin dan crankshaft, yang bekerja di bawah beban dinamis tinggi.

Selain itu, peneliti juga memanfaatkan dataset GDXray, yang berisi gambar X-ray berbagai jenis cacat pengecoran, sebagai basis pelatihan model object detection. Model Faster R-CNN berhasil mencapai mean Average Precision (mAP) sebesar 0,921 pada dataset uji, menandai pencapaian signifikan dalam deteksi otomatis cacat pengecoran berbasis citra.

Metodologi dan Teknik yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan pendekatan metodologis yang sistematis, dimulai dari:

  1. Definisi Tujuan: Mendeteksi berbagai jenis cacat seperti shrinkage porosity, gas porosity, cold shut, dan hot tear.
  2. Pengumpulan Data Teknis: Melibatkan data dari proses pengecoran, parameter material, suhu penuangan, dan laju pendinginan.
  3. Segmentasi Data: Pemisahan data pelatihan dan pengujian untuk memastikan model mampu melakukan generalisasi.
  4. Pemilihan Model: Fokus pada model logistic regression, decision tree, dan random forest untuk klasifikasi cacat awal, serta CNN untuk deteksi visual.
  5. Evaluasi dan Validasi: Menggunakan metrik akurasi, mAP, serta interpretasi model dengan bantuan tool seperti SHAP dan LIME untuk transparansi keputusan.

Teknologi wavelet transform juga digunakan untuk memproses citra X-ray, mengidentifikasi cacat seperti air-hole, foreign inclusion, dan shrinkage cavity secara efisien.

Hasil dan Analisis: Transformasi Menuju Smart Foundry

Smart Quality Inspection (SQI)

SQI yang dikembangkan dalam penelitian ini menjadi bukti transformasi digital dalam inspeksi pengecoran. Dengan akurasi deteksi 99,86%, sistem ini mengurangi faktor-faktor eksternal seperti kesalahan manusia, kelelahan, hingga kondisi lingkungan yang biasanya memengaruhi keakuratan inspeksi manual.

AI di Empat Metode Pengecoran

Penelitian ini juga membahas penerapan AI pada empat metode pengecoran utama:

  1. Sand Casting: Genetic Algorithm (GA) banyak digunakan (63%) untuk optimasi desain sistem gating dan parameter proses.
  2. Pressure Die Casting: Artificial Neural Network (ANN) mendominasi (72%) untuk mengkorelasikan parameter proses dan kualitas hasil cor.
  3. Continuous Casting: ANN dan Fuzzy Logic masing-masing digunakan dalam 40% studi untuk mengontrol proses dan deteksi cacat.
  4. Investment Casting: ANN menjadi pilihan utama (60%) untuk prediksi kualitas komponen.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Jika dibandingkan dengan studi oleh Tekin et al. (2022) tentang penggunaan supervised learning pada low-pressure die casting, penelitian Alamuru et al. melangkah lebih jauh dengan mengintegrasikan CNN dan Faster R-CNN, serta memanfaatkan X-ray imaging untuk deteksi internal yang lebih kompleks.

Studi oleh Santos et al. (2009) juga menunjukkan penggunaan Bayesian Network yang efektif dalam prediksi micro-shrinkages, namun model CNN yang diterapkan di SQI dalam penelitian ini menawarkan akurasi yang jauh lebih tinggi dan aplikasi yang lebih luas.

Dampak Industri: Menuju Foundry 4.0

Penerapan AI pada proses pengecoran berpotensi membawa industri menuju era Foundry 4.0, di mana pabrik pengecoran menjadi lebih cerdas, adaptif, dan minim intervensi manusia. Dampak praktisnya meliputi:

  • Pengurangan Scrap: Penurunan cacat hingga 40% dalam beberapa studi.
  • Efisiensi Produksi: Mempercepat proses inspeksi hingga 50%, mengurangi bottleneck di lini produksi.
  • Prediktif Maintenance: Dengan integrasi Natural Language Processing (NLP) pada log inspeksi, sistem dapat membantu memprediksi perawatan mesin produksi secara proaktif.

Tantangan dan Solusi

Tantangan

  1. Ketersediaan Data Berkualitas: Pengumpulan data X-ray berkualitas tinggi masih menjadi hambatan, terutama di lingkungan produksi yang dinamis.
  2. Generalitas Model: Model AI seringkali overfitting pada data spesifik, membutuhkan validasi lintas industri.
  3. Keterbatasan Interpretabilitas: Kompleksitas deep learning menyulitkan interpretasi keputusan model tanpa alat bantu.

Solusi

  • Data Augmentasi dan Transfer Learning: Mengurangi ketergantungan pada dataset besar.
  • Explainable AI (XAI): Meningkatkan kepercayaan operator pada keputusan AI.
  • Edge AI dan IoT: Implemen
  • tasi real-time di shop floor dengan latensi rendah.

Masa Depan dan Rekomendasi

Melangkah ke depan,

integrasi AI dalam lini produksi pengecoran harus disertai dengan:

  1. Pengembangan Dataset Open-Source: Kolaborasi industri-akademisi untuk pengumpulan data cacat pengecoran.
  2. Integrasi IoT dan Big Data: Monitoring proses secara real-time untuk meningkatkan kualitas produk.
  3. Implementasi di UKM: Simplifikasi sistem AI berbasis cloud atau edge computing untuk adopsi di industri kecil dan menengah.

Kesimpulan

Penelitian "Artificial Intelligence and Machine Learning for Defect Detection in Castings" oleh Alamuru et al. menunjukkan bahwa teknologi AI, khususnya Smart Quality Inspection berbasis CNN, dapat mentransformasi sistem inspeksi pengecoran. Dengan akurasi mencapai 99,86%, AI mampu mengatasi keterbatasan metode manual, meningkatkan efisiensi, dan membuka jalan menuju digitalisasi industri Foundry 4.0.

Meskipun tantangan implementasi masih ada, peluang untuk pengembangan lebih lanjut sangat besar. Penelitian ini menjadi fondasi bagi integrasi AI yang lebih luas dalam manufaktur, dengan potensi besar untuk meningkatkan kualitas, menekan biaya, dan mendorong daya saing industri pengecoran global.

 

Sumber Artikel:

Alamuru, S., Reddy, G. S., & Raju, M. V. J. (2024). Artificial intelligence and machine learning for defect detection in castings. Journal of Physics: Conference Series, 2837(1), 012079.

Selengkapnya
Kecerdasan Buatan dan Machine Learning sebagai Pilar Industri 4.0

Industri Manufaktur

Mengoptimalkan Inspeksi Visual Produk Manufaktur dengan Active Learning Berbasis Machine Learning

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 April 2025


Pendahuluan

Di tengah pesatnya perkembangan industri manufaktur modern, kebutuhan akan sistem kontrol kualitas yang efisien dan akurat menjadi semakin penting. Kualitas produk tidak hanya mencerminkan citra merek, tetapi juga memengaruhi kepercayaan pelanggan dan kelangsungan bisnis. Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh produsen adalah mendeteksi cacat produksi secara konsisten, cepat, dan akurat. Dalam konteks ini, paper berjudul "Active Learning for Automated Visual Inspection of Manufactured Products" menawarkan solusi berbasis kecerdasan buatan (AI), khususnya metode Active Learning untuk meningkatkan performa sistem inspeksi visual otomatis (Automated Visual Inspection / AVI).

Paper ini disusun oleh Elena Trajkova dan rekan-rekannya dari Jožef Stefan Institute, Philips Consumer Lifestyle BV, dan beberapa institusi lainnya. Penelitian ini berfokus pada pengembangan dan evaluasi machine learning (ML) yang dipadukan dengan metode active learning untuk inspeksi cacat produk manufaktur, menggunakan data nyata dari proses produksi alat cukur Philips.

Ringkasan Paper

Paper ini menjelaskan bagaimana metode active learning dapat mengurangi kebutuhan pelabelan data (data labeling) dalam pengembangan sistem AVI tanpa mengorbankan performa model. Tiga pendekatan active learning yang dievaluasi adalah:

  1. Pool-based sampling
  2. Stream-based sampling
  3. Query-by-committee

Sementara itu, lima algoritma machine learning yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

  • Gaussian Naïve Bayes
  • CART (Classification and Regression Trees)
  • Support Vector Machine (SVM)
  • Multi-Layer Perceptron (MLP)
  • k-Nearest Neighbors (kNN)

Latar Belakang dan Relevansi Penelitian

Tradisi inspeksi kualitas manual di industri manufaktur telah lama menghadapi kendala besar, seperti:

  • Kelelahan operator, yang menyebabkan penurunan akurasi.
  • Keterbatasan waktu dan tenaga, membuat inspeksi manual sulit diandalkan untuk skala produksi besar.
  • Variasi antar operator, menyebabkan ketidakseragaman hasil.

Sistem inspeksi berbasis AI muncul sebagai solusi yang tidak terpengaruh oleh faktor manusia tersebut. Namun, penerapan AI membutuhkan data latih yang berlabel dalam jumlah besar, yang sangat mahal dan memakan waktu. Active learning menjadi jawaban karena memungkinkan model belajar lebih efisien dengan jumlah data label yang lebih sedikit, dengan hanya memilih sampel data yang paling informatif untuk dilabeli.

Studi Kasus Nyata: Philips Consumer Lifestyle BV

Studi ini menggunakan data nyata dari lini produksi Philips Consumer Lifestyle BV, khususnya pada proses produksi alat cukur. Fokusnya adalah mendeteksi cacat pada hasil pencetakan logo di produk alat cukur. Ada tiga kategori dalam dataset yang digunakan:

  1. Produk dengan pencetakan logo yang baik.
  2. Produk dengan pencetakan ganda (double printing).
  3. Produk dengan pencetakan yang terputus (interrupted printing).

Dataset berisi 3.518 gambar, yang diolah untuk membangun dan menguji model. Penerapan teknologi ini di lini produksi diprediksi dapat mempercepat proses inspeksi visual manual hingga 40%, mengurangi beban kerja operator secara signifikan.

Metodologi dan Pendekatan Teknis

Penelitian ini mengklasifikasikan masalah sebagai problem multiclass classification. Metode supervised learning dipadukan dengan pendekatan active learning untuk memilih data mana yang perlu dilabeli.

Proses yang diterapkan meliputi:

  • Ekstraksi fitur gambar dengan ResNet-18, yang menghasilkan 512 fitur.
  • Seleksi fitur menggunakan metode mutual information untuk menghindari overfitting.
  • Evaluasi performa dengan metrik AUC ROC (Area Under the Receiver Operating Characteristic Curve).

Untuk eksperimen, digunakan metode stratified k-fold cross-validation sebanyak 10 lipatan (fold). Strategi active learning yang diterapkan meliputi:

  1. Stream-based sampling dengan ambang ketidakpastian di atas persentil ke-75.
  2. Pool-based sampling, memilih instance yang paling tidak pasti.
  3. Query-by-committee, melibatkan beberapa model untuk memilih instance berdasarkan ketidaksetujuan tertinggi antar model.

Temuan dan Analisis Hasil

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

  • MLP (Multi-Layer Perceptron) secara konsisten memberikan performa terbaik di semua pendekatan active learning, dengan nilai AUC ROC rata-rata mendekati 0.99.
  • Query-by-committee menghasilkan performa kedua terbaik, menunjukkan potensi besar dalam sistem dengan keterbatasan data label.
  • SVM, yang umum digunakan dalam literatur active learning, hanya menduduki peringkat ketiga.
  • CART secara konsisten menjadi yang terburuk dari lima model yang diuji.

Dalam analisis statistik, Wilcoxon signed-rank test dengan p-value 0.05 digunakan untuk menguji signifikansi hasil. Ditemukan bahwa perbedaan performa antara query-by-committee dan strategi lainnya cukup signifikan.

Nilai Tambah: Studi Banding Industri

Jika dibandingkan dengan industri lainnya, seperti inspeksi visual di manufaktur PCB (Printed Circuit Board), penggunaan active learning juga menunjukkan peningkatan efisiensi labeling data hingga 30%. Dalam manufaktur otomotif, sistem serupa mampu mendeteksi cacat pengecatan bodi mobil dengan akurasi 95%, mengurangi beban kerja inspeksi manual hingga 50%.

Dalam konteks industri elektronik, sistem AVI dengan active learning telah membantu mendeteksi cacat soldering di chip semikonduktor, meningkatkan efisiensi produksi dan menurunkan scrap rate sebesar 12%.

Kelebihan Penelitian

  • Penggunaan Data Nyata: Data dari Philips memberikan validitas pada hasil penelitian.
  • Evaluasi Komprehensif: Mencakup berbagai strategi active learning dan algoritma ML.
  • Analisis Statistik Mendalam: Menggunakan metode statistik untuk membuktikan signifikansi hasil.

Kritik dan Ruang Pengembangan

  • Fokus pada Kasus Tertentu: Penelitian ini hanya pada produk dengan cacat visual spesifik, sehingga belum diuji untuk jenis cacat lain.
  • Data Imbalance: Dataset yang digunakan cukup seimbang, padahal di produksi nyata sering kali terjadi class imbalance yang ekstrem.
  • Pengaruh Human-in-the-loop: Penelitian ini mengandalkan labeling dari manusia, sehingga ada potensi bias labeling yang belum dieksplorasi lebih jauh.

Potensi Pengembangan di Masa Depan

Penelitian ini membuka jalan untuk:

  1. Penggunaan Data Augmentasi: Untuk meningkatkan performa model dengan dataset terbatas.
  2. Edge Computing: Penerapan sistem inspeksi di perangkat keras berbasis IoT untuk proses real-time.
  3. Transfer Learning: Mengadopsi model pretrained untuk industri lain seperti tekstil atau pertanian.

Dampak Praktis di Industri Manufaktur

Implementasi active learning di AVI secara langsung mengurangi:

  • Biaya labeling hingga 50%.
  • Waktu pengembangan model berkurang drastis, mempercepat deployment sistem inspeksi.
  • Human error diminimalkan, meningkatkan konsistensi kualitas produk.

Kesimpulan

Penelitian oleh Trajkova dkk. membuktikan bahwa active learning dalam sistem inspeksi visual otomatis mampu meningkatkan efisiensi pengumpulan data label dan akurasi deteksi cacat produk manufaktur. MLP menjadi algoritma unggulan, diikuti oleh strategi query-by-committee yang menjanjikan.

Sebagai catatan, untuk industri yang mempertimbangkan adopsi teknologi AVI berbasis active learning, penting memastikan infrastruktur sensor, kamera, dan sistem IoT mendukung integrasi AI. Tantangan pada sektor UKM di Indonesia, seperti keterbatasan dana investasi, masih menjadi penghambat adopsi teknologi ini secara masif.

Sumber:

Trajkova, E., Rožanec, J. M., Dam, P., Fortuna, B., & Mladenić, D. (2021). Active learning for automated visual inspection of manufactured products. Proceedings of the Slovenian KDD Conference on Data Mining and Data Warehouses (SiKDD ’21), 1–4.

Selengkapnya
Mengoptimalkan Inspeksi Visual Produk Manufaktur dengan Active Learning Berbasis Machine Learning

Physics of Failure Modeling

Cara NASA Meramal Kegagalan Sistem: Strategi Physics of Failure untuk Misi Antariksa Andal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Menjawab Tantangan Keandalan Misi Antariksa
Dalam industri penerbangan luar angkasa, satu kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Menyadari hal ini, NASA mengembangkan pendekatan baru untuk menilai keandalan sistem melalui Physics of Failure (PoF). Artikel ini merangkum isi dari “NASA Physics of Failure (PoF) for Reliability” yang dipresentasikan dalam PSAM16, dan mengulas peran penting PoF dalam menggantikan metode tradisional berbasis handbook seperti MIL-HDBK-217 yang tak lagi representatif terhadap kenyataan.

1. Latar Belakang: Masalah Data Historis yang Tidak Akurat

NASA menunjukkan bahwa banyak prediksi umur misi berbasis data handbook terbukti terlalu pesimis. Misalnya:

  • Misi Aqua: Hanya diprediksi punya peluang 13–14% untuk mencapai umur 6 tahun. Kini, telah berjalan 20 tahun dan masih menggunakan sistem utama.
  • SDO (Solar Dynamics Observatory): Dirancang minimum 2 tahun, prediksi kelulusan penuh 5 tahun hanya 44%. Kini, telah sukses selama 12 tahun.

Kesimpulan: model probabilistik historis tidak cukup—PoF dibutuhkan untuk akurasi nyata.

2. Solusi: Handbook PoF NASA untuk Evaluasi Keandalan

NASA mengembangkan Handbook on Methodology for Physics of Failure Based Reliability Assessments, dibagi dalam 3 pendekatan utama:

  • Empiris → berdasarkan data nyata & eksperimen
  • Deterministik → berdasarkan model fisika teoretis
  • Agregatif → menggabungkan keduanya secara sistematis

3. Bagian Empiris: Belajar dari Data Nyata

Metode yang digunakan meliputi:

  • Model Statistik (Weibull, Lognormal, Exponential)
  • Peck’s Model (temperatur & kelembapan)
  • Electromigration TTF
  • Bayesian Inference → untuk memperbarui model seiring data masuk

Contoh: Distribusi Weibull

  • β = 1 → tingkat kegagalan konstan
  • β < 1 → infant mortality
  • β > 1 → wear-out failures

Keunggulan utama: Bisa digunakan untuk memperbarui model secara berkelanjutan saat data lapangan bertambah.

4. Bagian Deterministik: Memahami Fisika Kerusakan

Model deterministik mengurai mekanisme kegagalan utama, seperti:

  • Arrhenius & Coffin-Manson → dampak suhu terhadap umur material
  • Zhurkov → pengaruh fluktuasi energi
  • Eyring & Palmgren → multiphysics & fatigue
  • Electromagnetics → efek radiasi & interferensi
  • Chemical Physics → degradasi baterai, reaksi elektrolit
  • Radiation Modeling → untuk prediksi seperti Single Event Burnout (SEB), Latch-up (SEL), Bit Upset (SBU/MBU)

Semua model ini telah disesuaikan dengan profil misi luar angkasa, termasuk peluncuran, operasi, hingga dekomisioning.

5. Bagian Agregatif: Menyatukan Estimasi dari Berbagai Model

NASA mengidentifikasi 3 jenis hubungan antar model kegagalan:

  1. Encompassed: salah satu model mencakup semua kegagalan model lain
  2. Complementary: model saling melengkapi → digabungkan via fault tree atau Bayesian network
  3. Interrelated: model tumpang tindih → harus dikompensasi agar tidak overestimasi

Tujuan akhir: membentuk inclusive likelihood of failure yang realistis.

6. Studi Kasus & Visualisasi Umur Misi

Salah satu pembuktian kuat akan pentingnya pendekatan prediktif berbasis fisika seperti Physics of Failure (PoF) dapat ditemukan pada studi kasus misi luar angkasa NASA. Dalam banyak kasus, terdapat ketimpangan mencolok antara estimasi keandalan berbasis handbook konvensional dan realisasi umur misi di lapangan. Misalnya, misi Aqua awalnya diperkirakan hanya mampu bertahan selama 6 tahun, dengan probabilitas bertahan 13–14%. Namun kenyataannya, misi ini telah beroperasi selama 20 tahun dan masih aktif hingga sekarang. Kasus serupa juga terjadi pada Solar Dynamics Observatory (SDO), yang diperkirakan hanya mampu bertahan selama 5 tahun (dengan estimasi survivabilitas 44%), tetapi berhasil melampaui harapan dengan menjalankan operasinya selama lebih dari 12 tahun secara sukses.

Visualisasi umur misi yang disusun oleh NASA menunjukkan tren serupa secara umum: rata-rata umur operasional misi tercatat 14,8 tahun, sedangkan umur desain berdasarkan handbook hanya sekitar 8,9 tahun. Fakta ini membuka ruang diskusi penting: apakah metode estimasi tradisional sudah tidak lagi relevan untuk sistem berkompleksitas tinggi seperti satelit dan pesawat luar angkasa? Jawabannya mengarah pada pentingnya mengintegrasikan pendekatan berbasis first principles, seperti PoF, sejak tahap desain awal, untuk memperoleh estimasi keandalan yang lebih akurat dan sesuai dengan kenyataan operasional. Dalam konteks perencanaan misi dan investasi anggaran negara yang sangat besar, pendekatan seperti ini bukan hanya teknis, melainkan strategis.

12 tahun berjalan sukses

Visualisasi misi menunjukkan bahwa rata-rata misi NASA berlangsung 14.8 tahun, padahal desain hanya 8.9 tahun.

7. Masa Depan: Infusi Teknologi & AI untuk PoF

NASA mendorong evolusi PoF dengan:

  • AI & Machine Learning
    • Untuk inisialisasi berbasis fisika
    • Residual modeling
  • Simulasi Multiphysics Terpadu
    • Platform seperti COMSOL, Ansys Sherlock, MATLAB
    • Neural network untuk forward solver berbasis hukum fisika

Tujuan jangka panjang: menciptakan digital twin yang bisa belajar dari lingkungan nyata dan terus memperbarui risiko kegagalan secara real-time.

8. Kolaborasi & Evolusi Komunitas

NASA membuka handbook-nya untuk:

  • Umpan balik dari komunitas (NASA Wiki, SharePoint, NODIS)
  • Studi kasus tambahan
  • Evolusi metode PoF dari lapangan

Inti : PoF bukan milik satu lembaga, tapi milik komunitas teknik global.

9. Kritik & Opini

Kekuatan:

  • Meninggalkan pendekatan statistik kuno
  • Kombinasi empiris dan deterministik sangat fleksibel
  • Cocok untuk misi dengan risiko tinggi & waktu tempuh panjang

Keterbatasan:

  • Belum semua model punya solusi bentuk tertutup
  • Masih bergantung pada data dan eksperimen kompleks
  • Aplikasi penuh butuh pelatihan intensif

Bandingkan dengan industri lain:
Metode PoF semacam ini cocok diterapkan di sektor pertahanan, energi nuklir, dan kendaraan otonom—di mana kegagalan bukan opsi.

Kesimpulan: PoF Bukan Sekadar Metode, Tapi Paradigma Baru

NASA menunjukkan bahwa dengan mengandalkan fisika, bukan asumsi, sistem bisa dirancang lebih andal, hemat biaya, dan memiliki ketahanan misi lebih panjang.

  • PoF memungkinkan prediksi umur berbasis realita
  • Kombinasi pendekatan memperkuat validitas analisis
  • PoF akan makin kuat dengan AI & data real-time

Prediksi kegagalan bukan lagi tebakan, tapi hasil rekayasa yang terukur.

Sumber : Lindsey, N. J.; Dawson, J.; Sheldon, D.; Sindjui, L.-N.; DiVentic, A. NASA Physics of Failure (PoF) for Reliability, PSAM16, June 26–July 1, 2022, Honolulu, Hawaii.

Selengkapnya
Cara NASA Meramal Kegagalan Sistem: Strategi Physics of Failure untuk Misi Antariksa Andal

Physics of Failure Modeling

Prediksi Umur Komponen Elektronik: Strategi Simulasi Physics of Failure untuk Desain PCB Tahan Lama

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Mengapa Kita Perlu Meramal Umur Elektronik?

Dalam dunia teknologi tinggi seperti penerbangan, otomotif, dan sistem energi, desain elektronik bukan hanya soal performa—tapi soal ketahanan jangka panjang. Artikel oleh Andrew Wileman, Suresh Perinpanayagam, dan Sohaib Aslam ini menawarkan solusi berbasis Physics of Failure (PoF) yang memungkinkan prediksi masa pakai komponen langsung dari desain awal, bahkan sebelum dibuat secara fisik.

1. Apa Itu Physics of Failure (PoF)?

PoF adalah pendekatan prediktif berbasis mekanisme degradasi nyata. Ia menjawab pertanyaan: Mengapa dan kapan komponen elektronik gagal? Dengan menggabungkan simulasi Finite Element Analysis (FEA), model degradasi, dan kondisi lingkungan operasional (panas, getaran, kejut mekanik), kita bisa meramal waktu gagal suatu sistem, bahkan pada level solder.

2. Uji Platform: Evaluation Board Infineon

Board yang diuji berasal dari Infineon, dengan struktur:

  • 2 transistor IGBT
  • Kapasitor elektrolit & keramik
  • Induktor toroidal
  • Heatsink, konektor plastik & logam
  • PCB dari FR4 multilayer

Tujuan uji:

  • Prediksi umur hingga 30 tahun
  • Toleransi kegagalan maksimal: 20%
  • Simulasi kondisi ekstrem: suhu, getaran, kejutan, dan siklus reflow solder

3. Model FEA: Dari eCAD ke Simulasi 3D

Data desain PCB (ODB++) dikonversi ke model 3D FEA dalam dua bentuk:

  • Merged Mesh: PCB & komponen digabung → node sama
  • Bonded Mesh: terpisah → bentuk elemen lebih seragam

Model ini disimulasikan terhadap:

  • Siklus termal: −33°C ↔ 63°C
  • Getaran harmonik dan acak
  • Kejut mekanik (shock)
  • Siklus reflow solder (260°C)
  • Wear-out semikonduktor

4. Hasil Uji: Simulasi Berbasis Standar Internasional

A. Thermal Mechanical Cycling

  • Siklus 1×: −33°C ↔ 63°C
  • Komponen gagal:
    • Kapasitor plastik, inductor toroidal, konektor
    • Transistor Q1 & Q2 (karena strain heatsink)
  • Strain tertinggi: bagian sekitar heatsink
  • Rekomendasi: perkuat mounting & isolasi panas

B. Thermal Events

  • Simulasi 24 jam siklus suhu & penyimpanan
  • Displacement tertinggi: 2.82 mm di power supply socket
  • Potensi masalah: peningkatan resistansi → penurunan tegangan

C. Getaran Alamiah (Natural Frequency)

  • Frekuensi kritis: 212.75 Hz & 222.69 Hz
  • Resonansi menyebabkan risiko keretakan fatal
  • Rekomendasi: peredam getaran atau ganti stand-off

D. Getaran Acak (Random Vibration)

  • 0.04 G²/Hz, 7.7 G RMS selama 1 jam, 3 axis
  • Komponen besar (atas board) gagal
  • Alasan: massa besar → serap energi lebih tinggi
  • Saran: kurangi ukuran stand-off & tambahkan penyangga

E. Kejut Mekanik (Shock)

  • 10 G, 6 ms, 6 arah
  • Semua komponen lulus uji
  • Durasi pendek → tidak cukup memicu kerusakan permanen

F. Solder Fatigue

  • Dua jenis solder diuji:
    • SAC305 (bebas timah): lolos semua
    • PB90SN10 (berbasis timah): gagal di 2 Schottky diode
  • Titik gagal: di bawah heatsink → strain tinggi
  • Rekomendasi: pindahkan komponen atau gunakan solder lain

G. Semiconductor Wear-out

  • Model: elektro-migrasi, TDDB, HCI, dan BTI
  • 4 IC diuji → semua melebihi umur target (30 tahun)
  • Validasi model SAE ARP 6338

5. Analisis Umur Total: Simulasi Jadi Penyelamat

  • Probabilitas kegagalan total selama 30 tahun: 5%
  • Faktor dominan kegagalan:
    • Strain termal
    • Getaran acak
    • Pemilihan solder

Beberapa elemen mitigasi di dunia nyata (seperti klip pengikat IGBT atau baut inductor) tidak dimodelkan, tapi disarankan untuk dimasukkan di iterasi desain berikutnya.

6. Insight Kritis & Opini

Kelebihan:

  • Prediksi berbasis fisika lebih kuat dari data historis
  • Bisa dilakukan sejak fase desain awal
  • Meminimalisir pengujian destruktif

Kelemahan:

  • Tidak semua simulasi masukkan faktor real-world (kelembaban, variasi tekanan)
  • Belum integrasi dengan pembelajaran mesin atau data sensor real-time

Potensi Integrasi Masa Depan:

  • AI untuk optimasi material & layout
  • Digital twin untuk sistem avionik & otomotif

7. Relevansi untuk Industri dan Tren Global

  • Aerospace & Defense: desain tahan lama wajib
  • Green Tech: kurangi pengujian fisik → efisiensi energi & sumber daya
  • Manufaktur Pintar (Industry 4.0): digitalisasi proses desain lewat simulasi

Kesimpulan: Merancang untuk Umur Panjang, Bukan Sekadar Fungsi

Simulasi berbasis Physics of Failure bukan sekadar alat validasi teknis, tapi juga strategi bisnis. Dengan mengadopsi pendekatan ini:

  • Risiko kegagalan bisa diidentifikasi & diminimalkan sejak awal
  • Proses desain jadi lebih efisien & hemat biaya
  • Produk elektronik jadi lebih tahan lama & kompetitif

Bagi industri dengan siklus hidup produk panjang, seperti transportasi, pertahanan, dan energi, pendekatan ini adalah investasi cerdas jangka panjang.

Sumber : Wileman, A.; Perinpanayagam, S.; Aslam, S. Physics of Failure (PoF) Based Lifetime Prediction of Power Electronics at the Printed Circuit Board Level. Applied Sciences, 2021, 11(6), 2679.

Selengkapnya
Prediksi Umur Komponen Elektronik: Strategi Simulasi Physics of Failure untuk Desain PCB Tahan Lama

Physics of Failure Modeling

Merancang Elektronik Tahan Banting: Strategi Prediksi Umur PCB dengan Physics of Failure

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 15 April 2025


Pendahuluan: Mengapa Perlu Prediksi Umur Komponen Elektronik?
Dalam sistem elektronik modern, khususnya pada industri aerospace dan otomotif, memastikan keandalan jangka panjang dari sebuah produk menjadi bagian vital dalam rantai desain dan manufaktur. Paper oleh Wileman, Perinpanayagam, dan Aslam (2021) mengusulkan pendekatan berbasis Physics of Failure (PoF) sebagai metode simulasi prediktif untuk menentukan lifetime komponen secara akurat, bahkan sebelum proses produksi dimulai.

1. Apa Itu Physics of Failure (PoF)?

PoF bukan sekadar metode uji ketahanan fisik. Ini adalah gabungan dari simulasi Finite Element Analysis (FEA) dan model fisik degradasi berdasarkan realita operasional—panas, getaran, kejutan, dan perubahan suhu. Dengan pendekatan ini, pengembang dapat:

  • Memahami titik lemah desain sejak awal
  • Memprediksi jenis kerusakan (solder fatigue, keausan semikonduktor, korosi)
  • Menghemat biaya uji fisik lewat digital twin dan simulasi virtual

2. Platform Uji: PCB Evaluasi dari Infineon

Studi ini menggunakan evaluation board dari Infineon, berisi dua transistor IGBT, kapasitor besar, inductor toroidal, heatsink, dan beberapa konektor. Desain ini disimulasikan dengan skenario:

  • Suhu ekstrem: −33°C sampai 63°C
  • Getaran: 10–2000 Hz
  • Guncangan mekanik: hingga 10g
  • Siklus solder reflow: 260°C
  • Durasi hidup yang ditargetkan: 30 tahun dengan toleransi 5% kegagalan

3. Metode: Dari eCAD ke Model FEA 3D

Data desain PCB (2D layout, pick-and-place, parts list, dan layer stack-up) dikonversi menjadi model FEA 3D menggunakan format ODB++. Model ini menganalisis:

  • Deformasi struktur akibat panas (thermal strain)
  • Ketahanan terhadap getaran acak dan harmonik
  • Prediksi keretakan solder dan lelah material
  • Keausan semikonduktor berdasarkan standar SAE ARP 6338

4. Hasil Uji dan Simulasi

A. Siklus Termal Mekanik

  • Temperatur: −33°C ↔ 63°C
  • Durasi: 3 siklus, masing-masing 24 jam
  • Kegagalan dominan:
    • Kapasitor besar, inductor, konektor plastik
    • Transistor Q1, Q2 dekat heatsink → solder fatigue akibat ekspansi logam
  • Strain maksimum: terjadi di sekitar heatsink dan komponen besar

B. Event Thermal

  • Skema uji: 3 × 24 jam (30–63°C), 3 × 4 jam (−33°C)
  • Hasil: Displacement tertinggi di soket power supply (2.82 mm)
  • Rekomendasi: Monitoring kondisi setelah event ekstrem

C. Natural Frequency (Getaran Resonansi)

  • Fokus frekuensi: 212.75 Hz dan 222.69 Hz
  • Efek: resonansi tinggi menyebabkan risiko keretakan solder
  • Solusi: tambahkan peredam atau ubah mounting PCB

D. Harmonik

  • Frekuensi: 73.98 Hz (harmonik ke-3 dari 24.66 Hz)
  • Efek: Tegangan maksimum di area heatsink
  • Kesimpulan: Masih dalam ambang aman untuk 30 tahun umur

E. Getaran Acak (Random Vibration)

  • Spektrum daya: 0.04 G²/Hz, total RMS 7.7 G
  • Durasi: 1 jam, 3 axis
  • Kegagalan: Komponen besar di bagian atas board
  • Alasan: Massa besar → lebih menyerap energi → dislokasi

5. Solder Fatigue: Siapa yang Paling Tangguh?

Dalam pengujian keandalan solder terhadap kelelahan termal (solder fatigue), dua jenis solder diuji untuk menilai ketahanannya dalam kondisi ekstrem. Solder SAC305, yang merupakan tipe bebas timah (lead-free), menunjukkan performa unggul dengan lulus semua pengujian dan memiliki umur pakai yang memadai untuk penggunaan lebih dari 30 tahun. Sebaliknya, solder PB90SN10, yang berbasis timah, mengalami kegagalan pada dua komponen Schottky diode yang terletak di bawah heatsink—area yang memiliki tegangan termal (strain) tinggi akibat akumulasi panas. Temuan ini menegaskan pentingnya pemilihan material solder yang tepat untuk jangka panjang. Sebagai solusi, disarankan untuk mengganti jenis solder ke SAC305 atau merelokasi komponen sensitif seperti Schottky diode dari area dengan paparan panas tinggi, guna mengurangi risiko kegagalan akibat kelelahan termal dalam siklus hidup perangkat.

6. Wearout Semikonduktor

  • Diuji 4 IC utama
  • Analisis termasuk EM, TDDB, BTI, dan HCI
  • Semua melebihi target umur board (30 tahun)
  • Validasi pendekatan PoF untuk komponen aktif

7. Penilaian Umur Keseluruhan

  • Prediksi umur total board: 30 tahun dengan probabilitas kegagalan 5%
  • Kritikalitas kegagalan:
    • Thermal expansion (utama)
    • Random vibration (sekunder)
    • Pemilihan solder (tersembunyi tapi krusial)

8. Insight dan Opini Kritis

Kelebihan Studi:

  • Prediksi berbasis prinsip fisika → jauh lebih akurat dari pendekatan statistik tradisional
  • Dapat digunakan sejak tahap desain awal
  • Cocok untuk produk aerospace, militer, dan industri berat

Kekurangan & Potensi Peningkatan:

  • Model FEA tidak menyertakan semua mitigasi nyata (misal: pengikat heatsink)
  • Tidak menggabungkan data real-time atau AI/ML untuk pembelajaran dinamis
  • Kurang diuji dalam skenario outdoor dengan variasi kelembaban atau tekanan

9. Relevansi Industri:

  • Desain Berbasis Keandalan (DfR) jadi arus utama
  • Cocok untuk implementasi Digital Twin dalam sistem avionik
  • Dukung inisiatif green tech dengan mengurangi pengujian fisik berulang

Kesimpulan: Investasi Awal, Manfaat Besar

Pendekatan PoF menawarkan penghematan besar dalam pengembangan produk elektronik:

  • Waktu desain lebih singkat
  • Reliabilitas tinggi sejak awal
  • Pengurangan uji destruktif yang mahal

Dengan menyatukan engineering fisik, simulasi digital, dan validasi standar militer, pendekatan ini membentuk standar baru dalam perancangan elektronik masa depan.

Sumber : Wileman, A.; Perinpanayagam, S.; Aslam, S. Physics of Failure (PoF) Based Lifetime Prediction of Power Electronics at the Printed Circuit Board Level. Applied Sciences, 2021, 11(6), 2679.

Selengkapnya
Merancang Elektronik Tahan Banting: Strategi Prediksi Umur PCB dengan Physics of Failure
« First Previous page 106 of 933 Next Last »