Krisis Air

Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air Lintas Batas dan Tantangan Global

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Paper karya Noha Yasser ini membedah secara mendalam bagaimana organisasi internasional—seperti World Bank—berperan dalam mendorong kerja sama atau justru gagal mencegah konflik di sungai-sungai lintas negara, dengan fokus pada dua studi kasus utama: Indus River Basin (India–Pakistan) dan Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana air bukan hanya sumber daya vital, tetapi juga sumber potensi konflik geopolitik. Dengan pendekatan komparatif dan teori hydro-political security complexes, paper ini menawarkan wawasan baru tentang faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi internasional dalam sengketa air lintas negara.

Teori Kunci: Hydro-political Security Complexes

Apa Itu Hydro-political Security Complexes?

Teori ini menyoroti bahwa konflik dan kerja sama air lintas negara sangat dipengaruhi oleh:

  • Karakter negara: Kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang stabil cenderung memudahkan kerja sama.
  • Shared benefits: Semakin besar manfaat bersama yang dirasakan, semakin besar peluang tercapainya kesepakatan.
  • Asimetri kekuasaan: Ketimpangan kekuatan antara negara hulu dan hilir seringkali menjadi sumber ketegangan.

Teori ini menegaskan bahwa organisasi internasional lebih mudah mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat memiliki karakter kuat dan manfaat bersama yang jelas. Sebaliknya, jika kekuatan negara berubah-ubah dan manfaat tidak seimbang, potensi konflik meningkat1.

Studi Kasus 1: Indus River Basin (India–Pakistan)

Latar Belakang

Indus River Basin (IRB) melintasi China, Afghanistan, India, dan Pakistan, menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200 juta orang—61% di antaranya tinggal di Pakistan. Sungai ini sangat vital untuk pertanian, energi, dan ketahanan pangan kedua negara1.

Konflik dan Sejarah

  • Konflik air sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan India dan Pakistan (1947).
  • Setelah perjanjian “Standstill Agreement” berakhir pada 1948, India sempat memutus aliran air ke Pakistan, memicu ketegangan serius.
  • Konflik ini berlanjut hingga 1960, ketika World Bank memediasi lahirnya Indus Water Treaty (IWT)1.

Indus Water Treaty (IWT): Studi Keberhasilan

  • Ditandatangani tahun 1960 setelah 9 tahun negosiasi.
  • Mengatur pembagian 6 sungai: India mengelola sungai timur (Ravi, Sutlej, Beas), Pakistan mengelola sungai barat (Jhelum, Indus, Chenab).
  • Dibentuk Permanent Indus Commission (PIC) untuk monitoring dan penyelesaian sengketa teknis1.

Angka-angka Penting

  • 100 juta acre-feet per tahun: Volume air yang dialokasikan dalam perjanjian.
  • Lebih dari 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada irigasi dari Indus.
  • India dan Pakistan sama-sama membangun infrastruktur besar (bendungan, PLTA) untuk memaksimalkan manfaat sungai1.

Peran World Bank

  • World Bank berperan sebagai mediator netral, menahan pendanaan proyek air hingga kedua negara sepakat.
  • Menyusun kerangka teknis dan ekonomi, serta menekan kedua pihak untuk fokus pada manfaat bersama, bukan konflik historis1.

Faktor Keberhasilan

  • Karakter negara stabil: Meski baru merdeka, India dan Pakistan memiliki kepentingan vital yang seimbang.
  • Manfaat bersama jelas: Keduanya sangat bergantung pada air Indus untuk pertanian dan energi.
  • Asimetri kekuasaan relatif kecil: India sebagai negara hulu memang lebih kuat, tapi Pakistan punya leverage politik dan dukungan internasional1.

Tantangan dan Dinamika Baru

  • Perubahan iklim: Meningkatkan risiko banjir dan kekeringan, menuntut adaptasi perjanjian.
  • Pertumbuhan penduduk: Meningkatkan tekanan pada sumber daya air.
  • Ketegangan politik: Konflik di Kashmir dan isu keamanan regional tetap menjadi ancaman laten1.

Studi Kasus 2: Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)

Latar Belakang

Nile River Basin (NRB) melintasi 11 negara Afrika, dengan fokus utama pada konflik antara Ethiopia (hulu) dan Mesir (hilir). Sungai Nil adalah sumber air utama bagi lebih dari 450 juta penduduk, dan lebih dari 90% kebutuhan air Mesir berasal dari Nil1.

Sejarah Konflik

  • Perjanjian 1929 dan 1959: Memberikan hak veto kepada Mesir atas proyek air di hulu, mengabaikan kepentingan Ethiopia.
  • Nile Basin Initiative (NBI) 1999: Upaya kerja sama multilateral, namun tetap didominasi Mesir dan Sudan.
  • Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD): Bendungan raksasa yang dibangun Ethiopia sejak 2011, memicu kekhawatiran Mesir akan berkurangnya pasokan air1.

GERD: Sumber Konflik Baru

  • Kapasitas bendungan: 6.600 MW, terbesar di Afrika.
  • Luas area: 1.867 km².
  • Target Ethiopia: Meningkatkan kapasitas listrik nasional hingga 13,7 GW pada 2040.
  • Dampak pada Mesir: Potensi pengurangan air hingga 12–19 miliar m³/tahun, risiko gagal panen, dan penurunan produksi listrik di Aswan Dam hingga 23–39%1.

Upaya Mediasi dan Peran Organisasi Internasional

  • World Bank, African Union, dan PBB: Terlibat dalam negosiasi trilateral sejak 2018.
  • National Independent Scientific Research Group (NISRG): Dibentuk untuk mencari solusi teknis, namun gagal mencapai konsensus.
  • Ethiopia menolak mediasi World Bank: Menganggap isu ini sebagai kedaulatan nasional, bukan sekadar teknis1.

Faktor Kegagalan

  • Karakter negara berubah-ubah: Mesir mengalami instabilitas politik dan ekonomi pasca-2011, Ethiopia justru menguat secara ekonomi dan militer.
  • Manfaat bersama tidak seimbang: Ethiopia fokus pada listrik dan pembangunan, Mesir pada ketahanan pangan dan air.
  • Asimetri kekuasaan berubah: Ethiopia mulai menantang dominasi historis Mesir, menciptakan ketegangan baru1.

Analisis Perbandingan: Mengapa Satu Kasus Sukses, Lainnya Gagal?

Faktor Penentu Keberhasilan Mediasi

  1. Stabilitas Karakter Negara
    • India–Pakistan: Keduanya relatif stabil saat perjanjian dibuat, meski ada rivalitas.
    • Ethiopia–Mesir: Dinamika kekuasaan berubah cepat, membuat negosiasi sulit1.
  2. Shared Benefits
    • Indus: Manfaat bersama sangat jelas dan saling tergantung.
    • Nil: Manfaat lebih asimetris, Ethiopia ingin listrik, Mesir ingin air untuk pertanian1.
  3. Asimetri Kekuasaan
    • Indus: Power balance relatif terjaga, World Bank bisa menjadi penengah efektif.
    • Nil: Ethiopia mulai menantang status quo, Mesir kehilangan leverage historis1.
  4. Peran Organisasi Internasional
    • World Bank sukses di Indus karena kedua pihak terbuka pada mediasi dan tekanan ekonomi.
    • Di Nil, World Bank gagal karena Ethiopia menolak intervensi eksternal dan lebih percaya pada kekuatan nasional1.

Angka-angka Kunci

  • Indus: 200 juta penduduk terdampak, 100 juta acre-feet air/tahun, 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada Indus.
  • Nil: 450 juta penduduk di basin, 90% kebutuhan air Mesir dari Nil, potensi kehilangan air 12–19 miliar m³/tahun akibat GERD1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah dan Originalitas

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan teori hydro-political security complexes untuk membedah dua kasus nyata secara komparatif.
  • Menyoroti pentingnya variabel “karakter negara” dan “shared benefits” dalam menentukan hasil mediasi internasional.
  • Menunjukkan bahwa intervensi organisasi internasional tidak selalu efektif—tergantung pada konteks politik, ekonomi, dan sosial negara yang terlibat1.

Kritik

  • Kurang membahas solusi inovatif: Paper lebih fokus pada dinamika politik dan institusional, kurang mengeksplorasi teknologi baru (misal, monitoring berbasis AI, desalinasi hemat energi).
  • Minim analisis dampak jangka panjang: Terutama pada kelompok rentan dan lingkungan.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil: Padahal, partisipasi publik seringkali menjadi kunci keberhasilan pengelolaan air lintas negara1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya “shared benefits” dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara.
  • Penelitian lain menunjukkan bahwa keberhasilan perjanjian air seringkali dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.
  • Kasus Mekong River Basin di Asia Tenggara juga menunjukkan bahwa asimetri kekuasaan dan perubahan karakter negara dapat menghambat kerja sama, meski ada dukungan organisasi internasional1.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

1. Tata Kelola Air Inklusif dan Kolaboratif

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam negosiasi dan implementasi perjanjian air.
  • Transparansi dan monitoring berbasis data sangat penting untuk membangun kepercayaan1.

2. Penyesuaian Alokasi dan Re-alokasi Air

  • Lakukan evaluasi berkala terhadap alokasi air, terutama di tengah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
  • Gunakan teknologi (misal, sensor IoT, data satelit) untuk memantau debit dan kualitas air secara real-time1.

3. Kombinasi Solusi Jangka Pendek dan Panjang

  • Respons cepat saat krisis (misal, pembatasan konsumsi, distribusi air darurat) harus diimbangi dengan strategi jangka panjang (efisiensi irigasi, diversifikasi sumber air, edukasi masyarakat)1.

4. Fokus pada Efektivitas, Bukan Sekadar Biaya

  • Solusi mahal seperti bendungan raksasa atau desalinasi belum tentu efektif jika tidak didukung tata kelola yang baik dan partisipasi masyarakat.
  • Inovasi sederhana (misal, pengelolaan air berbasis komunitas, pertanian hemat air) seringkali lebih berkelanjutan1.

Pelajaran Global dari Dua Sungai Besar

Paper ini membuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi internasional dalam memediasi konflik air lintas negara sangat ditentukan oleh:

  • Stabilitas karakter negara yang terlibat.
  • Besarnya manfaat bersama yang dirasakan.
  • Keseimbangan atau ketimpangan kekuasaan antara negara hulu dan hilir.
  • Keterbukaan terhadap mediasi dan tekanan eksternal.

Tidak ada solusi tunggal untuk setiap kasus. Setiap sungai, negara, dan masyarakat memiliki dinamika unik yang harus dipahami secara kontekstual. Namun, prinsip kolaborasi, transparansi, dan inovasi tetap menjadi kunci untuk menghindari “water wars” di masa depan.

Sumber Artikel 

Noha Yasser. Hydro-political Security Complexes and the Role of International Organizations in Bringing Cooperation or Conflict to Shared Transboundary Rivers. Master thesis in Peace and Conflict Studies, Uppsala University, 2023.

Selengkapnya
Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Krisis Iklim

Perspektif Ekonomi atas Water Security di Era Krisis Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Water Security, Tantangan Global, dan Relevansi Ekonomi

Water security atau ketahanan air kini menjadi isu sentral dalam pembangunan berkelanjutan dan kebijakan publik di seluruh dunia. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan terhadap sumber daya alam, kebutuhan akan air bersih dan aman semakin mendesak. Paper “An Economic Perspective on Water Security” karya Dustin E. Garrick dan Robert W. Hahn (2021) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana pendekatan ekonomi dapat membantu memahami, mengukur, dan mengatasi tantangan water security secara lebih efektif dan adil.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana perusahaan, pemerintah, dan lembaga multilateral seperti World Bank telah mengadopsi visi “A Water-Secure World for All” dengan portofolio investasi sekitar $30 miliar pada 2019, mencakup tiga pilar utama: keberlanjutan sumber daya air, layanan air, dan ketahanan terhadap risiko1. Dengan meningkatnya perhatian terhadap water security, artikel ini menyoroti perlunya pendekatan ekonomi yang tidak hanya menekankan efisiensi, tetapi juga keadilan dan keberlanjutan.

Definisi Water Security: Dari Ketersediaan hingga Risiko

Evolusi Konsep dan Indikator

Water security didefinisikan sebagai “tersedianya air dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk kesehatan, mata pencaharian, ekosistem, dan produksi, disertai tingkat risiko air yang dapat diterima bagi manusia, lingkungan, dan ekonomi” (Grey & Sadoff, 2007)1. Definisi ini menekankan empat isu utama:

  • Ketersediaan air: Apakah air cukup untuk kebutuhan manusia dan ekosistem?
  • Kerentanan terhadap bahaya: Seberapa besar risiko kekeringan, banjir, atau polusi?
  • Pemenuhan kebutuhan dasar: Apakah semua orang mendapat akses air bersih dan sanitasi?
  • Keberlanjutan: Apakah penggunaan air saat ini mengorbankan generasi mendatang?

Indikator water security sangat beragam, mulai dari akses rumah tangga terhadap air bersih, jejak air (water footprint), hingga risiko banjir dan kekeringan. Namun, upaya mengintegrasikan berbagai indikator ini seringkali menghasilkan “babel indikator” yang membingungkan dan kurang fokus pada tujuan ekonomi seperti efisiensi dan keadilan1.

Perspektif Ekonomi: Efisiensi, Keadilan, dan Risiko

Tiga Pilar Analisis Ekonomi

  1. Efisiensi Ekonomi: Bagaimana memaksimalkan manfaat bersih dari penggunaan air di berbagai sektor (pertanian, industri, rumah tangga) dengan biaya serendah mungkin?
  2. Keadilan (Equity): Bagaimana memastikan distribusi air yang adil, terutama bagi kelompok rentan dan wilayah tertinggal?
  3. Manajemen Risiko: Bagaimana mengelola risiko air (kekeringan, banjir, polusi) secara cost-effective dan berkelanjutan?

OECD (2013) menekankan bahwa target risiko air harus dicapai seefisien mungkin, dengan mempertimbangkan keseimbangan antara konsekuensi ekonomi, sosial, dan lingkungan serta biaya mitigasi1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Penting

1. Dampak Water Insecurity pada Pertumbuhan Ekonomi

Penelitian Brown et al. (2011) menunjukkan bahwa di Sub-Sahara Afrika, peningkatan area kekeringan 1% dapat menurunkan pertumbuhan PDB sebesar 2–4%1. Studi lain menegaskan bahwa kurangnya water security menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang.

2. Kesenjangan Investasi Infrastruktur Air

Untuk mencapai akses universal air minum dan sanitasi pada 2030, dibutuhkan investasi sekitar $114 miliar per tahun—tiga kali lipat dari tingkat investasi saat ini (Hutton & Varughese, 2016)1. Di Afrika Sub-Sahara, hanya 30% rumah tangga pedesaan yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan.

3. Over- dan Underinvestment: Dilema Infrastruktur

  • Overinvestment: Proyek bendungan besar seringkali meremehkan biaya (inflasi, utang, dampak sosial-lingkungan) dan melebihkan manfaat, memicu kontroversi dan konflik1.
  • Underinvestment: Negara-negara berpenghasilan rendah cenderung kekurangan infrastruktur dasar, terutama di daerah pedesaan yang terpencil.

4. Misalokasi Air dan Efek Ekonomi

Sekitar 30% konsumsi air manusia berasal dari sumber yang tidak berkelanjutan. Di banyak basin besar seperti Colorado, Yellow, dan Murray-Darling, aliran air ke laut menurun drastis akibat ekstraksi berlebihan dan kegagalan mendefinisikan batas kumulatif pengambilan air1. Di Kansas, deplesi air tanah menyebabkan kerugian kekayaan sekitar $110 juta per tahun (1996–2005).

5. Risiko Air dan Kerugian Ekonomi

  • Kerugian akibat kekurangan air dan sanitasi: $260 miliar per tahun, terutama di Asia Selatan dan Afrika Sub-Sahara.
  • Kerugian akibat banjir: $120 miliar per tahun, dengan proyeksi kerugian meningkat 4 kali lipat tanpa adaptasi.
  • Manfaat peningkatan keandalan air irigasi: $94 miliar pada 20101.

Analisis Kritis: Penyebab Ekonomi Water Insecurity

1. Kegagalan Pasar dan Institusi

  • Eksternalitas: Polusi dan ekstraksi air menimbulkan dampak negatif yang tidak sepenuhnya ditanggung pelaku.
  • Masalah insentif: Sulitnya mengecualikan pengguna baru dan rivalitas penggunaan air menyebabkan overuse dan konflik.
  • Free-rider: Konservasi ekosistem air seringkali kurang didanai karena manfaatnya bersifat publik.

2. Keterbatasan Hak Kepemilikan dan Koordinasi

  • Hak air yang tidak jelas: Sulit mendefinisikan dan menegakkan hak atas air, terutama di basin lintas negara atau wilayah.
  • Koordinasi lintas sektor dan yurisdiksi: Banyak sungai besar melintasi batas negara/provinsi, sehingga butuh mekanisme koordinasi yang efektif.

3. Tantangan Institusional

  • Desentralisasi vs Sentralisasi: Keputusan lokal seringkali tidak memperhitungkan dampak regional/nasional, sementara sentralisasi bisa mengabaikan kebutuhan lokal.
  • Path dependency: Keputusan masa lalu membatasi opsi masa depan, misal investasi besar pada infrastruktur lama yang kini tidak relevan.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Dunia Nyata

1. California, AS: Krisis Kekeringan dan Efisiensi Irigasi

Krisis kekeringan 2012–2016 di California menyebabkan kerugian ekonomi hampir $4 miliar di sektor pertanian. Respons kebijakan seperti pembatasan konsumsi, insentif efisiensi irigasi, dan pengembangan pasar air baru mulai dievaluasi efektivitasnya, namun tantangan jangka panjang tetap besar1.

2. Afrika Sub-Sahara: Kesenjangan Infrastruktur dan Pembiayaan

Hanya 30% rumah tangga pedesaan di 19 negara Afrika yang membayar air, menyebabkan sistem air yang tidak andal dan kekurangan dana pemeliharaan. Upaya donor internasional dan inovasi model bisnis (misal, pembayaran berbasis hasil) mulai diuji untuk meningkatkan keberlanjutan layanan air1.

3. Bendungan Besar: Antara Manfaat dan Kontroversi

Proyek bendungan raksasa seperti Grand Ethiopian Renaissance Dam di Sungai Nil memicu ketegangan lintas negara akibat dampak hilir yang tidak sepenuhnya diperhitungkan. Analisis biaya-manfaat seringkali gagal mengakomodasi dampak sosial-lingkungan dan ketidakpastian jangka panjang1.

Kerangka Ekonomi untuk Water Security: Efisiensi, Risiko, dan Keadilan

1. Pendekatan Cost Minimization vs Net Benefit Maximization

  • Minimasi biaya: Fokus pada pencapaian target risiko air dengan biaya serendah mungkin.
  • Maksimasi manfaat bersih: Menilai seluruh manfaat dan biaya, termasuk aspek publik dan privat air, serta eksternalitas.

2. Integrated Water Resources Management (IWRM)

IWRM menekankan pengelolaan terkoordinasi air, lahan, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. Namun, implementasinya seringkali sulit karena kompleksitas pengukuran manfaat dan biaya, serta keterbatasan institusi1.

Institusi dan Hak Air: Kunci Tata Kelola Efektif

1. Desain Hak Air

  • Multidimensional: Hak air harus mencakup akses, pengambilan, pengelolaan, dan transfer.
  • Keseimbangan individu dan kolektif: Di Australia dan Chile, hak air individu diatur oleh regulasi publik dan hak kolektif (misal, distrik irigasi).

2. Polycentric Institutions

Institusi polisentris (multi-level) yang melibatkan pemerintah, pasar, dan komunitas lokal terbukti lebih adaptif dalam mengelola water security. Koordinasi formal dan informal diperlukan untuk monitoring, pembiayaan, dan resolusi konflik1.

3. Reformasi Institusi

Reformasi hak air dan tata kelola seringkali menghadapi resistensi politik dan biaya transaksi tinggi. Pendekatan bertahap (incremental) seperti perbaikan operasi infrastruktur dan insentif konservasi lebih mudah diterima, meski dampak sistemiknya terbatas.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah Paper

  • Originalitas: Artikel ini menonjol dengan mengintegrasikan perspektif efisiensi, keadilan, dan risiko dalam satu kerangka ekonomi yang komprehensif.
  • Relevansi Industri: Banyak perusahaan dan lembaga keuangan kini menilai risiko air dalam portofolio mereka, sejalan dengan rekomendasi artikel ini.
  • Kritik: Paper ini kurang membahas peran teknologi baru (misal, sensor IoT, AI) dalam monitoring dan optimasi water security, serta minim studi kasus mendalam di negara berkembang.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya tata kelola inklusif dan indikator multi-dimensi dalam mengelola water security.
  • Penelitian lain menyoroti bahwa keberhasilan reformasi hak air sangat dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

1. Kolaborasi Lintas Sektor dan Level

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, dari petani hingga industri dan masyarakat lokal.
  • Bangun mekanisme koordinasi lintas batas dan sektor untuk mengelola risiko bersama.

2. Inovasi Pembiayaan dan Investasi

  • Kembangkan model pembiayaan baru (misal, blended finance, pembayaran berbasis hasil) untuk menutup kesenjangan investasi infrastruktur air.
  • Prioritaskan investasi pada solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan teknologi tepat guna.

3. Reformasi Hak Air dan Tata Kelola

  • Perjelas dan perkuat hak air, baik individu maupun kolektif, untuk mendorong efisiensi dan keadilan.
  • Dorong reformasi bertahap yang adaptif terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

4. Penguatan Data dan Monitoring

  • Tingkatkan transparansi dan pertukaran data hidrologi untuk mendukung pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Manfaatkan teknologi digital untuk monitoring, prediksi risiko, dan evaluasi kebijakan.

Menuju Water Security yang Efisien, Adil, dan Berkelanjutan

Paper Garrick & Hahn (2021) menegaskan bahwa tantangan water security tidak bisa diselesaikan dengan satu solusi tunggal. Diperlukan kombinasi kebijakan efisiensi ekonomi, keadilan distribusi, dan manajemen risiko yang adaptif. Institusi yang kuat, hak air yang jelas, dan inovasi pembiayaan menjadi kunci keberhasilan. Dengan mengadopsi pendekatan ekonomi yang holistik dan kontekstual, negara dan kota di seluruh dunia dapat memperkuat ketahanan air dan mengurangi risiko krisis di masa depan.

Sumber Artikel

Dustin E. Garrick & Robert W. Hahn. An Economic Perspective on Water Security. Review of Environmental Economics and Policy, volume 15, number 1, winter 2021.

Selengkapnya
Perspektif Ekonomi atas Water Security di Era Krisis Iklim

Hubungan Internasional

Menakar Risiko Lingkungan dan Sosial Investasi Tiongkok di Indonesia Era BRI

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Investasi Tiongkok, BRI, dan Tantangan Baru bagi Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu tujuan utama investasi Tiongkok, terutama sejak peluncuran Belt and Road Initiative (BRI). Fenomena ini membawa peluang ekonomi besar, namun juga menimbulkan kekhawatiran terkait risiko lingkungan dan sosial, khususnya di sektor-sektor sensitif seperti industri logam, infrastruktur, dan energi. Paper “China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks” karya Albertus Hadi Pramono dkk. (2022) membedah secara komprehensif bagaimana gelombang investasi Tiongkok—dengan karakter unik dan tata kelola berbasis “country systems”—berdampak pada ekosistem, keanekaragaman hayati, serta komunitas adat di Indonesia.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana investasi lintas negara semakin dipertanyakan keberlanjutan dan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Dengan pendekatan berbasis data spasial, studi kasus, dan analisis multi-dimensi, paper ini menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat sipil.

Latar Belakang: Lonjakan Investasi Tiongkok dan Pola Unik di Indonesia

Fakta dan Angka Kunci

  • Pertumbuhan pesat: Investasi Tiongkok (termasuk Hong Kong) di Indonesia melonjak dari 175 proyek FDI senilai $740 juta (2010) menjadi 5.816 proyek dengan nilai $8,4 miliar (2020).
  • Dominasi sektor sensitif: Lebih dari 50% investasi Tiongkok terkonsentrasi di industri logam (38%), listrik/gas/air (18%), dan transportasi (13%). Bandingkan dengan investor lain yang lebih tersebar di sektor pertambangan (12%) dan properti (10%).
  • Pola geografis berbeda: 14% investasi Tiongkok masuk ke Maluku Utara dan 16% ke Sulawesi Tenggara—wilayah yang hanya menerima 1% investasi dari negara lain.
  • Pendekatan “country systems”: Pengawasan lingkungan dan sosial sepenuhnya diserahkan pada pemerintah Indonesia, bukan standar Tiongkok atau internasional.

Implikasi

Konsentrasi investasi di sektor dan wilayah sensitif membuat Indonesia menghadapi tantangan baru dalam tata kelola lingkungan dan perlindungan sosial, terutama di kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi dan komunitas adat yang rentan.

Analisis Spasial dan Indikator Multi-Dimensi

Penulis memetakan 14 klaster proyek FDI Tiongkok terkait BRI di Indonesia, meliputi:

  • Jalan tol dan kereta cepat
  • Pembangkit listrik tenaga batu bara
  • Bendungan (PLTA dan irigasi)
  • Kawasan industri (smelter nikel, bauksit, semen, ekonomi khusus)

Lima parameter lingkungan utama dianalisis:

  1. Vegetasi (NDVI)
  2. Kepadatan karbon
  3. Kedekatan dengan hutan primer
  4. Kepadatan spesies terancam
  5. Polusi udara (NO2)

Dampak sosial diukur melalui overlay spasial dengan wilayah adat dan komunitas lokal, serta identifikasi risiko kesehatan, kehilangan jasa ekosistem, dan potensi penggusuran.

Temuan Utama: Risiko Lingkungan dan Sosial di 14 Klaster Proyek

1. Penurunan Vegetasi dan Stok Karbon

  • Rata-rata NDVI turun dari 0,538 (2009–2011) menjadi 0,388 (2020–2022), artinya terjadi penurunan tutupan vegetasi sebesar 27,88% di seluruh proyek.
  • Kasus ekstrem: Obi Industrial Area, SDIC Papua Cement, dan Morowali Industrial Park mengalami penurunan NDVI 41–85% sejak 2010.
  • Stok karbon: Rata-rata 605 MgC/ha sebelum konstruksi, dengan PLTA dan kawasan industri berada di area karbon tinggi (473–1236 MgC/ha).

2. Polusi Udara

  • NO2 tertinggi ditemukan di PLTU Paiton Unit 9 (7,41×10¹⁵ molec/cm²) dan Morowali Industrial Park (3,43×10¹⁵ molec/cm²).
  • Dampak meluas: Polusi NO2 di Paiton menyebar hingga 20 km, memengaruhi kota Besuki (populasi 34.000) dengan level lebih tinggi dibanding area lain.

3. Ancaman terhadap Hutan Primer dan Keanekaragaman Hayati

  • Lebih dari 50% proyek berada dalam radius 5 km dari hutan primer.
  • Proyek berisiko tinggi: Batang Toru dan Kayan Hydro Plant berdekatan dengan hutan primer dan area karbon tinggi.
  • Spesies terancam: Jakarta-Bandung Railway, Likupang Economic Zones, dan PLTU Celukan Bawang memiliki skor tertinggi pada indeks kepadatan spesies terancam, termasuk orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan burung rangkong.

4. Risiko terhadap Komunitas Adat

  • 11 dari 14 klaster berdampak pada komunitas adat, terutama di Ketapang (Dayak), Morowali (Bahomotefe), dan Obi (Obi people).
  • Risiko utama: Polusi udara/air, kehilangan hutan dan sumber penghidupan, serta penggusuran akibat pembangunan bendungan (misal, Rendu di Nagekeo, Flores).
  • Kasus nyata: Konflik pembangunan Waduk Lambo di Flores memicu penolakan masyarakat Rendu karena lahan pertanian dan situs budaya terancam tergenang.

Studi Kasus: Dampak Nyata di Lapangan

A. Obi Industrial Area (Maluku Utara)

  • Fokus: Smelter nikel, baja tahan karat, baterai mobil listrik.
  • Dampak: Penurunan vegetasi hingga 85%, polusi air dan udara, serta ancaman penggusuran bagi masyarakat Obi.
  • Risiko biodiversitas: Habitat burung rangkong dan kupu-kupu endemik terancam.

B. Morowali Industrial Park (Sulawesi Tengah)

  • Fokus: Smelter nikel, baja, baterai.
  • Dampak: Penurunan NDVI 41%, polusi NO2 tinggi, tumpang tindih dengan wilayah adat Bahomotefe (45.000 ha).
  • Risiko sosial: Kehilangan hutan, sumber air, dan potensi penggusuran.

C. PLTU Paiton Unit 9 (Jawa Timur)

  • Fokus: Pembangkit listrik batu bara 4,7 GW.
  • Dampak: Polusi NO2 tertinggi, menyebar hingga 20 km, berdampak pada puluhan ribu penduduk sekitar.

D. Waduk Lambo (Flores, NTT)

  • Fokus: Bendungan irigasi.
  • Dampak: Potensi penggusuran lahan pertanian dan situs budaya Rendu, penolakan masyarakat lokal, konflik dengan aparat.

Analisis Kritis: Tantangan Tata Kelola dan Implikasi Kebijakan

1. Kelemahan Tata Kelola “Country Systems”

  • Ketergantungan pada kapasitas pemerintah Indonesia: Standar lingkungan dan sosial sangat bergantung pada political will dan kapasitas institusi nasional.
  • Risiko di negara dengan tata kelola lemah: Potensi pelanggaran HAM, degradasi lingkungan, dan konflik sosial meningkat.

2. Omnibus Law dan Dilema Regulasi

  • Omnibus Law (UU Cipta Kerja): Mempermudah perizinan investasi, namun melemahkan proses Amdal dan partisipasi masyarakat.
  • Dampak: Potensi percepatan penggusuran, penurunan perlindungan lingkungan, dan marginalisasi komunitas adat.

3. Peran Komunitas Adat dan Kelembagaan Lokal

  • Minim peta wilayah adat: Banyak komunitas belum memiliki pengakuan formal, sehingga rentan kehilangan lahan.
  • Keterlibatan perempuan: Kasus Waduk Lambo menunjukkan perempuan memimpin aksi kolektif menolak penggusuran.

4. Tren Global dan Komitmen Tiongkok

  • Guidelines “Green BRI”: Tiongkok mulai mendorong pendekatan “whole lifecycle” dalam pengelolaan lingkungan, termasuk komitmen menghentikan pendanaan PLTU batu bara di luar negeri.
  • Tantangan: Proyek energi terbarukan (PLTA) pun tetap berisiko tinggi jika tidak dikelola dengan baik.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Industri

  • Studi Ray et al. (2017), Hughes (2019), Ng et al. (2020): Menegaskan bahwa investasi BRI cenderung berisiko tinggi di negara dengan tata kelola lemah dan keanekaragaman hayati tinggi.
  • Tren ESG dan disclosure: Investor global mulai menuntut transparansi risiko lingkungan (Nature-related Financial Disclosure) sebagai syarat pendanaan.
  • Industri nikel dan baterai: Permintaan global untuk kendaraan listrik mendorong ekspansi smelter nikel di Indonesia, namun tanpa mitigasi risiko, justru berpotensi menciptakan “green paradox”—energi bersih di satu sisi, kerusakan lingkungan di sisi lain.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik Terbaik

1. Penguatan Regulasi dan Pengawasan

  • Reformulasi Amdal: Kembalikan fungsi Amdal sebagai syarat utama, bukan formalitas.
  • Transparansi data: Wajibkan disclosure data lingkungan dan sosial secara berkala.

2. Perlindungan Komunitas Adat

  • Pemetaan wilayah adat: Percepat pengakuan dan perlindungan hak tanah adat.
  • Partisipasi bermakna: Libatkan komunitas lokal dalam seluruh tahapan proyek, dari perencanaan hingga monitoring.

3. Inovasi Tata Kelola dan Investasi

  • Pendekatan berbasis risiko: Prioritaskan lokasi proyek di area dengan risiko lingkungan dan sosial rendah.
  • Insentif investasi hijau: Dorong investasi pada sektor dengan dampak positif bagi ekosistem dan masyarakat.

4. Kolaborasi Multi-pihak

  • Sinergi pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil: Bangun mekanisme pengawasan bersama, termasuk monitoring independen.
  • Belajar dari praktik global: Adopsi standar internasional (misal, IFC Performance Standards) untuk proyek-proyek besar.

Menuju Investasi Berkelanjutan di Era BRI

Paper ini menegaskan bahwa investasi Tiongkok di Indonesia membawa peluang ekonomi besar, namun juga risiko lingkungan dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Dengan konsentrasi di sektor dan wilayah sensitif, serta tata kelola yang masih lemah, Indonesia berisiko kehilangan keanekaragaman hayati, ekosistem penting, dan hak-hak komunitas adat. Namun, dengan reformasi regulasi, penguatan partisipasi masyarakat, dan adopsi standar internasional, Indonesia dapat memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan dampak negatif investasi BRI.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat regulasi dan pengawasan lingkungan.
  • Lindungi hak dan partisipasi komunitas adat.
  • Dorong transparansi dan disclosure risiko lingkungan.
  • Sinergikan investasi dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Albertus Hadi Pramono, Masita Dwi Mandini Manessa, Mochamad Indrawan, Dwi Amalia Sari, Habiburrahman A.H. Fuad, Nurlaely Khasanah, Kartika Pratiwi, Rondang S.E. Siregar, Nurul L. Winarni, Jatna Supriatna, Budi Haryanto, Kevin P. Gallagher, Rebecca Ray, B. Alexander Simmons, Herry Yogaswara. China’s Belt and Road Initiative in Indonesia: Mapping and Mitigating Environmental and Social Risks. GCI Working Paper 021, Boston University Global Development Policy Center, 2022.

Selengkapnya
Menakar Risiko Lingkungan dan Sosial Investasi Tiongkok di Indonesia Era BRI

Sumber Daya Air

Kerjasama Lintas Batas Perairan antara Bangladesh dan India di Cekungan Sungai Gangga: Menjajaki Pendekatan Pembagian Manfaat

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air, Diplomasi, dan Pentingnya Paradigma Baru

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di kawasan Asia Selatan yang padat penduduk dan rentan perubahan iklim. Sungai Ganges, yang mengalir dari Himalaya melintasi India dan Bangladesh, menjadi sumber kehidupan bagi ratusan juta orang, sekaligus sumber konflik dan potensi kerja sama. Paper karya Sajid Karim ini menawarkan perspektif baru: alih-alih sekadar membagi volume air, kedua negara didorong untuk berbagi manfaat (benefit-sharing) yang lebih luas, mulai dari ekonomi, ekologi, hingga sosial12.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana pendekatan tradisional berbasis kuantitas air semakin tidak memadai menghadapi tekanan populasi, perubahan iklim, dan dinamika politik domestik. Dengan menyoroti studi kasus Ganges dan membandingkannya dengan praktik benefit-sharing di sungai internasional lain, paper ini memberikan kontribusi penting bagi diskursus kebijakan air lintas negara.

Latar Belakang: Mengapa Benefit-sharing Diperlukan?

Tantangan Klasik: Konflik dan Keterbatasan Perjanjian Lama

  • Konflik sejarah: Sejak 1951, India dan Bangladesh (dulu Pakistan Timur) berselisih soal pembangunan Farakka Barrage oleh India, yang mengalihkan air Ganges ke Hooghly demi menyelamatkan pelabuhan Kolkata. Dampaknya, Bangladesh mengalami kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan1.
  • Perjanjian 1996: Ganges Water Sharing Treaty menjadi tonggak penting, namun hanya mengatur pembagian volume air di musim kering, tanpa memperhitungkan aspek ekologi, ekonomi, atau adaptasi perubahan iklim. Perjanjian ini akan berakhir pada 2026, dan negosiasi baru diprediksi semakin rumit akibat tekanan populasi dan politik domestik India12.

Realitas Baru: Tekanan Populasi, Iklim, dan Politik

  • Populasi: Ganges Basin dihuni lebih dari 600 juta jiwa, dengan kepadatan 400 orang/km². Proyeksi 2025: 720 juta jiwa1.
  • Ketersediaan air: Di India, ketersediaan air per kapita turun dari 1.545 m³/tahun (2011) menjadi 1.235 m³/tahun (proyeksi 2050), di bawah ambang “water stress” 1.700 m³/tahun1.
  • Iklim: 80% debit Ganges terjadi saat monsun (Juni–Oktober), menyebabkan banjir, sementara musim kemarau (November–Mei) terjadi kekeringan. Perubahan iklim memperparah variabilitas ini, dengan prediksi kenaikan suhu dan perubahan curah hujan 10–25% per tahun1.
  • Politik domestik India: Konflik antarnegara bagian (misal Bihar vs West Bengal soal Farakka) membuat pemerintah pusat India sulit mengambil keputusan strategis tanpa konsensus lokal. Contoh: kegagalan perjanjian Teesta karena veto West Bengal1.

Konsep Benefit-sharing: Dari Bagi Air ke Bagi Manfaat

Definisi dan Kerangka Analisis

Benefit-sharing adalah proses berbagi manfaat ekonomi, ekologi, sosial, dan politik yang dihasilkan dari pengelolaan sungai bersama, bukan sekadar membagi volume air12. Sadoff & Grey (2002) membagi manfaat menjadi empat tipe:

  1. Manfaat untuk sungai: Perlindungan ekosistem, kualitas air, dan keanekaragaman hayati.
  2. Manfaat dari sungai: Ekonomi (irigasi, energi, transportasi), sosial, dan pertanian.
  3. Manfaat karena sungai: Pengurangan biaya konflik, peningkatan stabilitas politik.
  4. Manfaat di luar sungai: Integrasi ekonomi regional, perdamaian, dan pembangunan lintas sektor1.

Studi Kasus: Ganges Basin dan Potensi Benefit-sharing

1. Navigasi dan Transportasi Air

  • Sejarah: Jaringan sungai Ganges dan anak sungainya sejak abad ke-4 SM menjadi jalur perdagangan utama. Namun, sejak 1947, transportasi air lintas batas menurun drastis1.
  • Data: Bangladesh kehilangan 15.600 km jalur air dalam beberapa dekade terakhir, kini hanya 5.968 km yang bisa dilayari saat monsun, dan 3.865 km di musim kemarau. India punya 14.500 km jalur air, tapi hanya 20 juta ton kargo/tahun yang diangkut lewat sungai, jauh di bawah potensi1.
  • Peluang benefit-sharing:
    • India dapat akses murah ke provinsi timur laut melalui jalur air Bangladesh.
    • Bangladesh mendapat pemasukan transit, peningkatan debit air, dan pengurangan emisi karbon.
    • Nepal, negara tanpa laut, bisa ekspor-impor lewat jalur air ini, menghemat biaya logistik hingga 10 kali lipat dibanding jalan darat1.

2. Proyek Bendungan Multipurpose

  • Masalah: 80% debit Ganges terjadi saat monsun, menyebabkan banjir, sementara musim kemarau kekeringan. Penyimpanan air di bendungan bisa menyeimbangkan distribusi air sepanjang tahun1.
  • Data:
    • Nepal punya 28 lokasi potensial bendungan, 9 di antaranya berkapasitas total 110 miliar m³.
    • Potensi listrik air di Nepal: 40.000 MW, baru 1.127 MW yang terealisasi (kurang dari 3%). Nilai ekonomi: US$5 miliar/tahun, setara 17% PDB Nepal1.
    • Proyeksi: Bendungan di Nepal bisa meningkatkan debit Ganges di musim kemarau hingga 2–3 kali lipat, mendukung irigasi, transportasi, dan ekosistem di Bangladesh dan India13.
  • Benefit-sharing:
    • Nepal dapat pemasukan dari penjualan listrik dan air.
    • India dan Bangladesh dapat air tambahan di musim kemarau, mengurangi konflik dan mendukung pertanian serta transportasi13.

3. Pengelolaan Bersama Sundarbans

  • Fakta: Sundarbans, hutan mangrove terbesar dunia (10.000 km²), 60% di Bangladesh, 40% di India. Menopang 15 juta jiwa, menjadi benteng alami dari badai dan banjir1.
  • Ancaman: Penurunan debit Ganges di musim kemarau meningkatkan intrusi salinitas, mengancam ekosistem dan ekonomi lokal. Perubahan iklim dan kenaikan muka air laut memperparah risiko1.
  • Benefit-sharing:
    • Pengelolaan bersama memungkinkan transfer air segar dari Bangladesh ke India melalui Sungai Ichamoti.
    • Kolaborasi dalam mitigasi bencana, konservasi, dan adaptasi iklim, serta pemenuhan komitmen internasional (UNESCO, RAMSAR, CBD)1.

Bagaimana Mewujudkan Benefit-sharing? Rekomendasi Kebijakan

1. Perubahan Paradigma dan Kebijakan

  • Dari bagi air ke bagi manfaat: Negosiasi tidak lagi fokus pada volume air, tapi pada manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial yang bisa dioptimalkan bersama12.
  • Pertukaran data dan studi bersama: Transparansi data hidrologi dan proyek sangat penting. Saat ini, India masih membatasi akses data, menghambat kepercayaan dan perencanaan bersama1.
  • Harmonisasi kebijakan nasional: Kebijakan air nasional harus mengadopsi perspektif lintas batas dan integrasi sektor (IWRM), bukan sekadar prioritas domestik1.

2. Penguatan Kelembagaan

  • Joint River Commission (JRC): Perlu diperkuat dengan mandat lebih luas, melibatkan aktor non-negara (akademisi, LSM, masyarakat lokal), dan diperluas ke Nepal untuk pengelolaan bendungan1.
  • Platform sub-regional: Inisiatif BBIN (Bangladesh, Bhutan, India, Nepal) bisa menjadi forum efektif untuk proyek lintas negara, khususnya bendungan dan transportasi air1.

3. Keterlibatan Pihak Ketiga dan Diplomasi Multi-level

  • Peran pihak ketiga: Donor internasional, lembaga keuangan, dan organisasi regional dapat memfasilitasi investasi, transfer teknologi, dan mediasi konflik14.
  • Diplomasi track-II dan track-III: Dialog informal antara akademisi, LSM, dan masyarakat sipil penting untuk membangun kepercayaan dan mengidentifikasi solusi inovatif1.

4. Mekanisme Resolusi Konflik

  • Pentingnya mekanisme penyelesaian sengketa: Perjanjian masa depan harus memuat prosedur penyelesaian konflik yang jelas, belajar dari kegagalan perjanjian sebelumnya yang tidak memiliki mekanisme ini1.

Studi Banding: Praktik Benefit-sharing di Sungai Internasional Lain

  • Senegal River Basin: Empat negara Afrika membangun dua bendungan bersama, berbagi listrik, air irigasi, dan transportasi. Hasil: peningkatan ekonomi, pengurangan konflik, dan pembangunan infrastruktur bersama1.
  • Columbia River Basin: Kanada dan AS membangun empat bendungan, berbagi manfaat listrik dan pengendalian banjir. Kanada mendapat kompensasi ekonomi, AS mendapat keamanan pasokan listrik dan pengendalian banjir1.
  • Orange-Senqu River Basin: Lesotho dan Afrika Selatan berbagi air dan listrik dari proyek bendungan, menciptakan win-win solution1.
  • Mekong River Basin: Enam negara Asia Tenggara berbagi manfaat irigasi, listrik, transportasi, dan perdagangan, meski tantangan politik tetap ada154.

Tantangan dan Keterbatasan Pendekatan Benefit-sharing

  • Proses negosiasi panjang: Identifikasi manfaat dan pembagian biaya/manfaat sering memakan waktu puluhan tahun, seperti di Columbia dan Orange-Senqu1.
  • Risiko overemphasis pada ekonomi: Proyek besar seperti bendungan bisa berdampak negatif pada lingkungan dan masyarakat lokal jika EIA/SIA diabaikan1.
  • Keterlibatan lokal: Seringkali masyarakat terdampak tidak dilibatkan dalam negosiasi, padahal mereka yang paling merasakan dampak langsung1.
  • Konteks politik: Keberhasilan sangat tergantung pada stabilitas politik dan kemauan pemerintah untuk berbagi kedaulatan dan manfaat1.

Analisis Kritis dan Opini

Nilai Tambah Paper

  • Originalitas: Paper ini menonjol karena menggeser fokus dari “bagi air” ke “bagi manfaat”, menawarkan solusi konkret di tengah kebuntuan negosiasi air lintas negara12.
  • Relevansi global: Konsep benefit-sharing semakin diadopsi di banyak sungai internasional, sejalan dengan rekomendasi lembaga seperti IUCN dan World Bank534.
  • Kritik: Paper ini kurang membahas strategi kuantifikasi manfaat secara praktis dan belum mengeksplorasi peran teknologi baru (misal, sensor IoT, AI) dalam monitoring dan optimasi manfaat. Selain itu, aspek politik domestik dan dinamika kekuasaan di India dan Bangladesh masih menjadi “black box” yang perlu riset lebih lanjut1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya benefit-sharing dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara54.
  • Kasus Indus (India–Pakistan) dan Nil (Ethiopia–Mesir) menunjukkan bahwa benefit-sharing lebih efektif jika manfaat bersama jelas dan kekuatan politik relatif seimbang. Jika tidak, negosiasi cenderung buntu atau berujung konflik54.

Menuju Kerja Sama Air yang Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa masa depan kerja sama air lintas negara, khususnya di Ganges Basin, sangat bergantung pada kemauan untuk beralih dari paradigma “bagi air” ke “bagi manfaat”. Dengan mengoptimalkan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial, serta memperkuat kelembagaan dan transparansi, Bangladesh, India, dan Nepal dapat menciptakan win-win solution yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan iklim dan dinamika politik123.

Rekomendasi utama:

  • Adopsi benefit-sharing dalam negosiasi perjanjian baru Ganges.
  • Perkuat JRC dan platform sub-regional.
  • Libatkan masyarakat lokal dan pihak ketiga dalam perencanaan dan implementasi.
  • Pastikan mekanisme penyelesaian konflik dan monitoring manfaat berjalan efektif.

Sumber Artikel

Sajid Karim. Transboundary Water Cooperation between Bangladesh and India in the Ganges River Basin: Exploring a Benefit-sharing Approach. Master thesis in Sustainable Development at Uppsala University, No. 2020/63, 48 pp, 30 ECTS/hp.

Selengkapnya
Kerjasama Lintas Batas Perairan antara Bangladesh dan India di Cekungan Sungai Gangga: Menjajaki Pendekatan Pembagian Manfaat

Sumber Daya Air

Strategi Tangguh Menghadapi Kelangkaan Air untuk Ketahanan Pangan dan Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air, Ketahanan Pangan, dan Tantangan Global

Kelangkaan air kini menjadi salah satu tantangan terbesar bagi ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan di abad ke-21. Laporan FAO “Coping with Water Scarcity: An Action Framework for Agriculture and Food Security” (2012) menjadi rujukan penting dalam memahami dinamika, penyebab, dan solusi multidimensi untuk mengatasi krisis air, khususnya di sektor pertanian yang menyerap 70% air tawar dunia. Artikel ini tidak hanya membedah konsep dan indikator kelangkaan air, tetapi juga menawarkan kerangka aksi, studi kasus nyata, serta prinsip-prinsip kebijakan yang relevan dengan tren global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan transformasi pola konsumsi pangan1.

Definisi dan Dimensi Kelangkaan Air: Lebih dari Sekadar Jumlah

Tiga Pilar Kelangkaan Air

  1. Kelangkaan Fisik: Terjadi ketika permintaan air melebihi pasokan, sering ditemukan di wilayah kering atau semi-kering. Contoh nyata adalah kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, di mana ketersediaan air per kapita bisa di bawah 500 m³/tahun—ambang “absolute water scarcity” menurut Falkenmark1.
  2. Kelangkaan Ekonomi: Air sebenarnya tersedia, namun akses terbatas akibat infrastruktur dan kapasitas institusi yang lemah. Sub-Sahara Afrika menjadi contoh klasik, di mana investasi dan pengelolaan air yang minim menyebabkan jutaan orang kesulitan mendapatkan air bersih1.
  3. Kelangkaan Institusional: Kegagalan tata kelola, lemahnya hak akses, dan kurangnya akuntabilitas memperparah distribusi air, bahkan di negara dengan sumber daya air melimpah1.

Indikator dan Ukuran

  • Indikator klasik: Ketersediaan air per kapita (m³/orang/tahun) dengan ambang 1.700 m³ (water stress), 1.000 m³ (chronic shortage), dan 500 m³ (absolute scarcity)1.
  • Indikator baru: Rasio penarikan air terhadap sumber daya terbarukan, tingkat polusi, dan ketimpangan akses antarwilayah1.

Penyebab Utama Kelangkaan Air: Kombinasi Alam dan Ulah Manusia

Faktor Alam

  • Variabilitas iklim: Curah hujan yang tidak merata, musim kering berkepanjangan, dan perubahan pola hidrologi akibat pemanasan global1.
  • Kondisi geologi: Ketersediaan air tanah sangat dipengaruhi oleh karakteristik akuifer dan proses pengisian ulang1.

Faktor Antropogenik

  • Pertumbuhan penduduk: Permintaan air meningkat dua kali lipat lebih cepat dari pertumbuhan populasi selama abad ke-201.
  • Urbanisasi dan industrialisasi: Kota-kota besar dan industri menyerap porsi air yang makin besar, seringkali mengorbankan sektor pertanian1.
  • Polusi: Limbah domestik, industri, dan pertanian menurunkan kualitas air, mempersempit pilihan sumber air layak pakai1.
  • Over-development infrastruktur: Pembangunan bendungan dan irigasi tanpa perhitungan sering memicu “constructed scarcity”—kelangkaan buatan akibat over-eksploitasi1.

Studi Kasus: Praktik dan Tantangan di Berbagai Negara

1. India: Revolusi Irigasi dan Krisis Air Tanah

  • Fakta: 40% lahan irigasi dunia kini mengandalkan air tanah, dengan India sebagai pengguna terbesar1.
  • Dampak: Ledakan irigasi berbasis sumur sejak 1980-an meningkatkan produksi pangan, namun kini 60% akuifer di India mengalami deplesi serius. Di Andhra Pradesh, program APFAMGS melatih 6.500 petani di 643 komunitas untuk memantau dan mengelola air tanah secara partisipatif, berhasil menurunkan penurunan muka air tanah di 42% unit hidrologi selama tiga tahun1.
  • Tantangan: Subsidi listrik dan pompa murah mendorong eksploitasi berlebihan, sementara regulasi dan penegakan hukum masih lemah1.

2. Australia: Perdagangan Hak Air dan Adaptasi Iklim

  • Fakta: Sistem perdagangan hak air di Murray-Darling Basin memungkinkan transfer air antar sektor dan wilayah, didukung laporan General Purpose Water Accounting Reports (GPWARs) untuk transparansi1.
  • Dampak: Selama 2001–2009, rata-rata aliran masuk ke Murray-Darling hanya 33% dari rerata 100 tahun sebelumnya, memaksa penyesuaian alokasi dan pembelian kembali hak air untuk lingkungan1.
  • Inovasi: Australia menjadi pionir dalam penggunaan pasar air dan penetapan harga berbasis kelangkaan, meski tantangan sosial dan lingkungan tetap besar1.

3. Mesir: Daur Ulang Air dan Efisiensi Irigasi

  • Fakta: Di Lembah Nil, sekitar 20% air irigasi didaur ulang dari drainase antara Bendungan Aswan dan Laut Mediterania1.
  • Dampak: Praktik ini memperpanjang umur air, namun juga meningkatkan risiko akumulasi polutan dan salinitas1.
  • Tantangan: Modernisasi irigasi dan pengelolaan limbah menjadi kunci untuk menjaga produktivitas dan kesehatan lingkungan1.

4. Sub-Sahara Afrika: Kelangkaan Ekonomi dan Potensi Rainfed Agriculture

  • Fakta: 80% lahan pertanian dunia adalah rainfed (mengandalkan hujan), menyumbang 58% produksi pangan global1.
  • Dampak: Potensi peningkatan produktivitas rainfed sangat besar, terutama di Afrika, namun keterbatasan akses input, pasar, dan asuransi cuaca menjadi penghambat utama1.
  • Inovasi: Investasi pada praktik pertanian konservasi air, asuransi cuaca, dan penguatan rantai pasok dapat meningkatkan ketahanan pangan tanpa menambah tekanan pada sumber air1.

Kerangka Konseptual: Dari Supply Enhancement ke Demand Management

Evolusi Strategi

  1. Tahap Eksploitasi: Fokus pada pembangunan infrastruktur (bendungan, irigasi, sumur)1.
  2. Tahap Konservasi: Penekanan pada efisiensi, modernisasi, dan pengelolaan permintaan1.
  3. Tahap Re-allocasi: Penyesuaian alokasi air antar sektor, perdagangan hak air, dan impor pangan (virtual water)1.

Opsi Kebijakan

  • Supply Enhancement: Pembangunan bendungan, pengembangan air tanah, desalinasi, daur ulang air limbah1.
  • Demand Management: Efisiensi irigasi, peningkatan produktivitas air, pengurangan kehilangan air, re-allocasi ke sektor bernilai tinggi1.
  • Di luar sektor air: Pengurangan kehilangan pasca-panen, substitusi impor pangan, perubahan pola konsumsi (diet rendah air)1.

Inovasi dan Praktik Terbaik: Studi Lapangan

A. Participatory Groundwater Management di Andhra Pradesh, India

  • Program APFAMGS: Melibatkan 6.500 petani di 643 komunitas untuk memantau curah hujan dan muka air tanah secara rutin1.
  • Hasil: 42% unit hidrologi berhasil menurunkan penurunan air tanah secara konsisten, menjangkau sekitar 1 juta petani1.
  • Kunci sukses: Transparansi data, pelibatan komunitas, dan insentif berbasis kebutuhan lokal1.

B. Water Trading di Australia

  • Sistem GPWARs: Laporan akuntansi air untuk mendukung keputusan investasi dan alokasi1.
  • Dampak: Meningkatkan efisiensi alokasi, namun menimbulkan tantangan baru terkait keadilan akses dan dampak lingkungan1.

C. Water Footprint dan Virtual Water

  • Konsep: Mengukur jejak air produk dan negara, mendorong perdagangan pangan dari wilayah berair melimpah ke wilayah kering1.
  • Contoh: Negara-negara Timur Tengah mengimpor gandum dari Amerika dan Australia sebagai strategi “impor air virtual”1.
  • Kritik: Faktor politik, subsidi, dan keamanan pangan seringkali lebih dominan daripada logika efisiensi air1.

Analisis Kritis: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi

Kelebihan Laporan FAO

  • Komprehensif dan Kontekstual: Menggabungkan analisis teknis, ekonomi, sosial, dan kelembagaan dalam satu kerangka aksi1.
  • Studi Kasus Nyata: Menyajikan data dan praktik dari berbagai negara, memperkaya pemahaman lintas konteks1.
  • Prinsip Fleksibel: Menekankan pentingnya adaptasi lokal, pembelajaran berkelanjutan, dan penguatan kapasitas institusi1.

Keterbatasan dan Kritik

  • Kurang Eksplorasi Teknologi Baru: Minim pembahasan tentang peran teknologi digital (IoT, AI) dalam monitoring dan optimasi air1.
  • Kesenjangan Data dan Implementasi: Banyak negara berkembang masih kekurangan data akurat dan kapasitas institusi untuk menerapkan strategi canggih1.
  • Dilema Investasi Infrastruktur: Proyek besar seperti bendungan seringkali menimbulkan dampak sosial-lingkungan yang diabaikan dalam analisis biaya-manfaat1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • UN-Water dan World Resources Institute: Sama-sama menekankan pentingnya tata kelola inklusif, indikator multi-dimensi, dan integrasi kebijakan lintas sektor1.
  • Studi Garrick & Hahn (2021): Menyoroti pentingnya efisiensi ekonomi, keadilan distribusi, dan manajemen risiko dalam kerangka water security1.
  • Kasus BRI di Indonesia: Investasi besar di sektor air dan energi tanpa tata kelola kuat justru memperparah risiko lingkungan dan sosial1.

Prinsip-Prinsip Aksi: Panduan Kebijakan Masa Depan

  1. Berbasis Pengetahuan: Kebijakan harus didasarkan pada pemahaman menyeluruh tentang siklus hidrologi, supply-demand, dan dampak lintas sektor1.
  2. Analisis Biaya-Manfaat Komprehensif: Pertimbangkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan secara seimbang dalam setiap opsi1.
  3. Penguatan Kapasitas Institusi: Reformasi tata kelola, pemberdayaan komunitas, dan insentif positif menjadi kunci keberhasilan1.
  4. Adaptasi Kontekstual: Tidak ada solusi tunggal; strategi harus disesuaikan dengan kondisi lokal, kapasitas ekonomi, dan nilai sosial1.
  5. Koherensi Kebijakan: Sinkronisasi kebijakan air, pangan, energi, dan lingkungan untuk menghindari trade-off merugikan1.
  6. Kesiapsiagaan dan Adaptasi: Sistem monitoring, evaluasi, dan pembelajaran berkelanjutan untuk menghadapi ketidakpastian masa depan1.

Rekomendasi Praktis untuk Indonesia dan Negara Berkembang

  • Investasi pada Rainfed Agriculture: Potensi peningkatan produktivitas tanpa menambah tekanan pada sumber air1.
  • Modernisasi Irigasi dan Efisiensi Air: Prioritaskan teknologi hemat air, pengelolaan berbasis data, dan insentif bagi petani1.
  • Penguatan Data dan Monitoring: Bangun sistem akuntansi air nasional berbasis digital untuk mendukung pengambilan keputusan1.
  • Kolaborasi Multi-pihak: Libatkan pemerintah, swasta, komunitas, dan akademisi dalam perencanaan dan implementasi1.
  • Edukasi dan Perubahan Perilaku: Kampanye pengurangan limbah pangan, diet ramah air, dan konservasi berbasis komunitas1.

Menuju Ketahanan Air dan Pangan yang Berkelanjutan

Laporan FAO ini menegaskan bahwa kelangkaan air adalah tantangan multidimensi yang membutuhkan respons lintas sektor, lintas skala, dan lintas disiplin. Tidak ada solusi instan atau universal; setiap negara dan wilayah harus merancang strategi adaptif berbasis data, kolaborasi, dan inovasi. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip aksi yang fleksibel dan kontekstual, dunia dapat memperkuat ketahanan pangan dan mengurangi risiko krisis air di masa depan1.

Sumber Artikel 

Coping with water scarcity: An action framework for agriculture and food security. FAO Water Reports 38, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2012.

Selengkapnya
Strategi Tangguh Menghadapi Kelangkaan Air untuk Ketahanan Pangan dan Pertanian

Perubahan Iklim

Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil : Studi Kasus dan Dinamika Investasi Akomodasi di Thailand

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Adaptasi Iklim, Pariwisata, dan Tantangan Pulau Kecil

Perubahan iklim telah menjadi tantangan utama bagi pulau-pulau kecil di seluruh dunia, terutama yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Thailand, dengan ratusan pulau tropisnya, menjadi laboratorium alami untuk memahami bagaimana pelaku industri pariwisata—khususnya pemilik dan manajer akomodasi—memaknai risiko iklim dan mengambil keputusan investasi adaptasi. Disertasi Janto Simon Hess (2020) dari University College London mengupas secara mendalam persepsi, motivasi, dan hambatan investasi adaptasi perubahan iklim di dua destinasi utama: Koh Tao dan Koh Phi Phi.

Artikel ini tidak hanya relevan untuk akademisi, tetapi juga bagi pelaku industri, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas yang ingin memahami dinamika nyata adaptasi iklim di sektor pariwisata pulau kecil. Dengan menggabungkan data survei, wawancara mendalam, dan analisis stakeholder, studi ini menawarkan wawasan orisinal tentang bagaimana adaptasi berjalan di lapangan—seringkali secara reaktif dan tanpa kesadaran penuh akan risiko iklim.

Pulau Kecil, Ketergantungan Pariwisata, dan Kerentanan Iklim

Karakteristik Pulau Kecil

  • Keterbatasan sumber daya: Pulau kecil umumnya memiliki sumber daya air tawar terbatas, infrastruktur minim, dan ketergantungan tinggi pada impor barang.
  • Ketergantungan ekonomi: Pariwisata menjadi motor utama ekonomi, seperti di Thailand, di mana sektor ini menyumbang 21,2% PDB dan 15,5% lapangan kerja pada 2017.
  • Kerentanan iklim: Pulau-pulau ini sangat rentan terhadap kenaikan muka air laut, erosi pantai, badai tropis, dan pemutihan karang.

Tantangan Adaptasi

  • Risiko langsung: Kerusakan infrastruktur akibat badai, banjir, dan erosi pantai.
  • Risiko tidak langsung: Penurunan daya tarik destinasi akibat kerusakan ekosistem (misal, pemutihan karang di Koh Tao).
  • Keterbatasan kapasitas: Kecilnya skala bisnis dan akses informasi membuat adaptasi seringkali bersifat reaktif, bukan strategis.

Studi Kasus: Koh Tao dan Koh Phi Phi—Dua Wajah Pariwisata Pulau Kecil

Koh Tao: Surga Selam yang Terancam

  • Profil: Pulau seluas 21 km², sekitar 500.000 wisatawan per tahun, 200 akomodasi, dan 50 sekolah selam.
  • Ekonomi: Pariwisata selam menjadi tulang punggung, dengan 1/3 sertifikasi PADI Thailand berasal dari sini.
  • Dampak Iklim: Pemutihan karang besar pada 2010, 72% karang terdampak; penurunan tutupan hutan 50% sejak 1975; kekurangan air musiman.
  • Tantangan sosial: Kepemilikan lahan didominasi warisan, pengelolaan limbah dan air masih lemah, dan penegakan hukum lingkungan minim.

Koh Phi Phi: Destinasi Massal dan Trauma Tsunami

  • Profil: Pulau 12,25 km², 1,2 juta pengunjung per tahun sebelum pandemi, 120 akomodasi, mayoritas Muslim.
  • Ekonomi: Pariwisata massal, terutama setelah film "The Beach" (2000), dengan pendapatan tahunan mencapai US$113 juta (2005).
  • Dampak Iklim & Bencana: Tsunami 2004 menghancurkan 70% infrastruktur, banjir, erosi pantai, dan kekurangan air bersih.
  • Tantangan sosial: Konsentrasi kepemilikan lahan pada 4-5 keluarga besar, konflik tata ruang pasca-tsunami, dan tekanan pada ekosistem (penutupan Maya Bay akibat over-tourism).

Metodologi: Survei, Wawancara, dan Analisis Stakeholder

  • Survei: 193 responden (112 Koh Tao, 81 Koh Phi Phi), mencakup 56–67% populasi akomodasi di kedua pulau.
  • Wawancara mendalam: 32 narasumber (28 pemilik/manajer akomodasi, 4 pakar/pemerintah).
  • Pendekatan: Mixed-method, menggabungkan data kuantitatif (frekuensi, korelasi) dan kualitatif (narasi, persepsi, motivasi).
  • Fokus: Persepsi risiko iklim, tindakan adaptasi yang sudah dilakukan, hambatan dan insentif investasi, serta pengaruh stakeholder.

Temuan Utama: Persepsi, Adaptasi, dan Hambatan Investasi

Persepsi Risiko dan Adaptasi

  • Kesadaran risiko: Mayoritas pelaku akomodasi menyadari perubahan iklim sebagai ancaman jangka panjang, namun hanya sebagian yang menganggapnya ancaman langsung terhadap bisnis.
  • Adaptasi reaktif: Investasi adaptasi lebih sering didorong oleh pengalaman langsung (misal, banjir, kekeringan, kerusakan akibat badai) daripada perencanaan strategis berbasis risiko iklim.
  • Contoh nyata:
    • Koh Tao: 59,8% akomodasi memiliki restoran/bar, 29,5% sekolah selam, 40,2% menyediakan transportasi. 27,9% properti berjarak <10 meter dari pantai, sangat rentan erosi dan banjir.
    • Koh Phi Phi: 83% limbah cair dibuang tanpa pengolahan, menyebabkan pencemaran air dan memperparah risiko kesehatan.

Tindakan Adaptasi yang Sudah Diterapkan

  • Teknis: Penggunaan tangki air hujan, sistem pengolahan air limbah sederhana, desain bangunan tahan angin/banjir, dan perlindungan pantai (seawall, vegetasi).
  • Manajerial: Diversifikasi produk (misal, menambah layanan spa, restoran), penutupan musiman saat cuaca ekstrem, dan pemasaran ulang destinasi.
  • Kolaborasi: Inisiatif komunitas seperti "Save Koh Tao" untuk rehabilitasi karang dan edukasi lingkungan.

Hambatan dan Insentif Investasi Adaptasi

  • Hambatan utama:
    • Akses informasi: 70–80% pelaku sadar perubahan iklim, tapi minim pemahaman teknis dan data lokal.
    • Keterbatasan dana: Bisnis kecil sulit mengakses kredit atau insentif fiskal untuk investasi adaptasi.
    • Penegakan hukum lemah: Rencana tata ruang dan zonasi sering gagal diterapkan akibat konflik kepentingan dan lemahnya pengawasan.
    • Ketergantungan pada pemerintah pusat: Banyak pelaku merasa tidak bisa mengandalkan pemerintah pusat untuk dukungan adaptasi.
  • Insentif potensial:
    • Pengurangan pajak: 64% responden menyatakan insentif pajak akan membantu investasi adaptasi.
    • Kolaborasi komunitas: Inisiatif lokal lebih efektif daripada intervensi top-down.

Analisis Kritis: Dinamika Stakeholder, Kekuasaan, dan Adaptasi

Stakeholder dan Dinamika Kekuasaan

  • Konsentrasi kekuasaan: Di Koh Phi Phi, 80% lahan dikuasai 4–5 keluarga besar, mempengaruhi arah pembangunan dan resistensi terhadap regulasi baru.
  • Peran informal: Jaringan sosial dan kekuatan informal seringkali lebih menentukan daripada kebijakan formal, baik dalam pengambilan keputusan investasi maupun implementasi adaptasi.
  • Kolaborasi vs. konflik: Inisiatif adaptasi yang berhasil umumnya berbasis kolaborasi lokal, bukan instruksi pemerintah pusat.

Adaptasi sebagai Proses Sosial-Ekologis

  • Adaptasi tidak selalu sadar: Banyak tindakan adaptasi dilakukan tanpa label "adaptasi iklim", melainkan sebagai respons terhadap masalah operasional (misal, kekurangan air, kerusakan pantai).
  • Peran pengalaman bencana: Pengalaman langsung seperti tsunami 2004 di Koh Phi Phi menjadi pemicu utama perubahan perilaku dan investasi adaptasi.
  • Ketergantungan pada ekosistem: Kesehatan ekosistem (karang, hutan, air tawar) sangat menentukan daya saing dan keberlanjutan bisnis akomodasi.

Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Industri

Originalitas dan Nilai Tambah

  • Kontribusi teoretis: Studi ini memperluas stakeholder theory dengan menunjukkan bahwa "perubahan iklim" dapat diidentifikasi sebagai stakeholder utama bagi bisnis akomodasi, meski belum diakui secara strategis oleh pelaku usaha.
  • Praktik adaptasi nyata: Berbeda dengan banyak studi yang fokus pada kebijakan makro, riset ini menyoroti adaptasi di level mikro (bisnis lokal) dan dinamika kekuasaan di pulau kecil.
  • Kritik: Studi ini kurang membahas peran teknologi baru (IoT, AI) dalam monitoring risiko iklim dan adaptasi, serta minim eksplorasi insentif keuangan inovatif (misal, blended finance, green bonds).

Hubungan dengan Tren Global

  • SDGs dan Paris Agreement: Temuan studi ini sejalan dengan agenda global yang menekankan pentingnya adaptasi berbasis komunitas dan kolaborasi multi-stakeholder.
  • Industri pariwisata global: Banyak destinasi pulau kecil di dunia menghadapi tantangan serupa—ketergantungan ekonomi, kerentanan iklim, dan dilema antara pertumbuhan dan keberlanjutan.
  • Praktik terbaik: Studi ini menegaskan pentingnya edukasi, insentif fiskal, dan penguatan kelembagaan lokal sebagai kunci sukses adaptasi.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

1. Penguatan Kapasitas dan Akses Informasi

  • Kembangkan platform data iklim lokal yang mudah diakses pelaku usaha.
  • Libatkan universitas dan LSM dalam edukasi dan pelatihan adaptasi berbasis kebutuhan nyata.

2. Insentif Investasi Adaptasi

  • Sediakan insentif pajak dan kredit lunak untuk investasi adaptasi (misal, sistem air hujan, pengolahan limbah, desain bangunan tahan bencana).
  • Dorong skema asuransi berbasis risiko iklim untuk bisnis kecil.

3. Tata Kelola Kolaboratif

  • Perkuat peran komunitas dan asosiasi lokal dalam perencanaan dan implementasi adaptasi.
  • Fasilitasi dialog antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk mengatasi konflik kepentingan.

4. Integrasi Adaptasi dalam Strategi Bisnis

  • Dorong pelaku usaha untuk memasukkan risiko iklim dalam perencanaan jangka panjang dan diversifikasi produk.
  • Promosikan sertifikasi dan standar lingkungan sebagai nilai tambah pemasaran.

Menuju Adaptasi Iklim yang Kontekstual dan Inklusif

Studi Janto Simon Hess menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di pulau kecil tidak bisa mengandalkan solusi satu ukuran untuk semua. Adaptasi yang efektif harus berbasis pada:

  • Konteks lokal: Memahami dinamika sosial, ekonomi, dan ekologi unik setiap pulau.
  • Kolaborasi multi-stakeholder: Melibatkan pelaku usaha, komunitas, pemerintah, dan pakar.
  • Inovasi dan insentif: Menggabungkan solusi teknis, manajerial, dan kebijakan yang relevan.
  • Pemberdayaan komunitas: Meningkatkan kapasitas lokal dan memperkuat kelembagaan akar rumput.

Dengan mengadopsi pendekatan ini, destinasi pariwisata pulau kecil di Thailand dan dunia dapat memperkuat ketahanan terhadap perubahan iklim sekaligus menjaga daya saing dan keberlanjutan ekonomi.

Sumber Artikel 

Janto Simon Hess. “Financing Climate Change Adaptation in Small Islands: Assessing Accommodation Suppliers’ Perceptions in Thailand.” PhD Thesis, Institute for Risk and Disaster Reduction (IRDR), University College London (UCL), 2020.

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim di Pulau Kecil : Studi Kasus dan Dinamika Investasi Akomodasi di Thailand
« First Previous page 106 of 1.160 Next Last »