Prospek Cerah Industri Farmasi di Indonesia: Pertumbuhan yang Pesat dan Peluang Investasi

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani

13 Mei 2024, 12.53

pexels.com

Pasar farmasi Indonesia adalah pasar terbesar di kawasan Asia Tenggara. Penjualan obat-obatan di Indonesia bernilai Rp 110,6 triliun (sekitar US$ 7,6 miliar) pada tahun 2020 dan diperkirakan akan meningkat menjadi Rp 176,3 triliun pada tahun 2025, menurut Fitch Ratings yang berbasis di Amerika Serikat. Ini berarti tingkat pertumbuhan tahunan gabungan sebesar 9,8% dalam mata uang lokal, dan 10,7% dalam mata uang USD.

Hal ini seharusnya tidak mengejutkan bagi mereka yang sudah berkecimpung dalam bisnis farmasi di Indonesia. Selama 10 tahun terakhir, pasar farmasi Indonesia telah menjadi salah satu yang paling cepat berkembang di kawasan Asia Tenggara. Hal ini didorong oleh pasar Indonesia yang sangat besar dengan jumlah penduduk lebih dari 265 juta jiwa - populasi terbesar keempat di dunia - serta perluasan akses layanan kesehatan melalui program layanan kesehatan universal yang diberlakukan pada tahun 2014. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut di tahun-tahun mendatang, didukung oleh anggaran perawatan kesehatan yang terus meningkat. Untuk tahun 2022, pemerintah telah menganggarkan Rp 256 triliun dalam upaya penanggulangan pandemi COVID-19, atau sekitar 9,4% dari total anggaran. Jumlah ini jauh lebih tinggi dari batas 5% yang diamanatkan oleh konstitusi. Meskipun hal ini dilakukan karena situasi luar biasa yang disebabkan oleh krisis corona, hal ini juga menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk menyediakan dan meningkatkan akses kesehatan bagi warganya.

Di sisi lain, pengeluaran pemerintah yang tinggi untuk sektor kesehatan juga mencerminkan salah satu poin yang paling diperdebatkan: fakta bahwa lebih dari 90% bahan baku yang dibutuhkan oleh sektor farmasi negara ini tidak dapat diproduksi secara lokal dan harus diimpor. Masalah ini membawa bobot politik tertentu dan dianggap sebagai risiko bagi para investor asing. Meskipun demikian, pemerintah saat ini menunjukkan dukungan kepada investor asing dan bahkan telah membuka sektor ini lebih jauh dari sebelumnya yang hanya memiliki sebagian kepemilikan asing menjadi 100% kepemilikan asing penuh melalui Omnibus Law Cipta Kerja yang diperkenalkan pada akhir tahun 2020.  

Dorongan untuk membuka sektor farmasi adalah harapan bahwa investor asing dapat membantu mengembangkan industri perawatan kesehatan nasional, yang telah menjadi tujuan pemerintahan saat ini. Menurut data dari Bank Dunia, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia untuk setiap 1.000 pasien hanya 1,2, lebih rendah daripada Singapura (2,3) dan Korea Selatan (12,27). Sementara itu, pengeluaran untuk perawatan kesehatan hanya sebesar 3,3% dari PDB, lebih rendah daripada rata-rata negara berpenghasilan rendah (6,1% dari PDB) dan juga rata-rata negara Asia Pasifik (7,4% dari PDB). Namun, bahkan dengan pengeluaran perawatan kesehatan yang rendah ini, sebagian besar rumah sakit swasta sudah penuh sesak dan menguntungkan, yang mengimplikasikan adanya peluang pertumbuhan yang sangat besar.

Memang, di tengah kontraksi ekonomi yang signifikan akibat pandemi COVID-19, sektor kimia, farmasi, dan obat tradisional masih berhasil tumbuh 8,65% pada kuartal kedua tahun 2020, dan 5,59 di sepanjang paruh pertama tahun ini. Dalam jangka panjang, industri kesehatan akan mengalami pertumbuhan yang signifikan seiring dengan pertumbuhan kelas menengah Indonesia dan meningkatnya permintaan akan produk untuk mengobati kondisi umum dan bahkan kondisi khusus. Dalam hal ini, investor asing juga dapat memperhatikan pertumbuhan layanan kesehatan digital di Indonesia karena penggunaan aplikasi layanan kesehatan juga mengubah pasar lokal. Aplikasi layanan kesehatan lokal, Alodokter, mencatat lebih dari 30 juta pengguna aktif sejak Maret 2020. Pemerintah Indonesia juga berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang disebut sebagai perusahaan telehealth. Kementerian Kesehatan bermitra dengan Halodoc, serta perusahaan transportasi online Gojek, untuk menyediakan layanan diagnostik COVID-19 di daerah-daerah terpencil.

SOROTAN

Sumber: Bank Dunia WDI, Ciptadana

Menurut data Bank Dunia, rasio tempat tidur rumah sakit di Indonesia untuk setiap 1.000 pasien hanya 1,2, lebih rendah dibandingkan Singapura (2,3) dan Korea Selatan (12,27). Sementara itu, belanja layanan kesehatan berada pada angka 3,3% dari PDB, lebih rendah dibandingkan rata-rata belanja negara-negara berpendapatan rendah (6,1% dari PDB) serta rata-rata negara-negara Asia Timur dan Pasifik (7,4% dari PDB).

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)

Indonesia memiliki peluang yang sangat besar bagi industri farmasi, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya industri dimana pada tahun 2015-2019, industri farmasi dalam negeri tumbuh sebanyak 132 industri baru. Industri bahan baku juga tumbuh dari 8 menjadi 14 antara tahun 2016 dan 2019.

Sumber : Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Pada tahun 2016-2018 neraca perdagangan industri farmasi mengalami defisit yang semakin meningkat. Setelah sempat menurun pada tahun 2019, defisit neraca perdagangan kembali meningkat pada tahun 2022 hingga mencapai US$1,05 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan produk farmasi termasuk bahan bakunya, Indonesia masih mengandalkan impor.

TANTANGAN
Fakta bahwa lebih dari 90% bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi obat-obatan masih harus diimpor dapat dilihat sebagai pedang bermata dua bagi investor asing karena banyak investor di Indonesia yang lebih suka melihat Indonesia memproduksi obat-obatannya sendiri untuk memenuhi permintaan domestik. Pemerintah Indonesia menargetkan untuk mengurangi impor sebesar 35% pada akhir tahun 2022 dalam upayanya untuk mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.  Namun, juga karena permintaan domestik yang besar ini, prospek penjualan obat di Indonesia masih terlihat positif. Meskipun peluang pertumbuhan pendapatan dari obat generik dari perusahaan multinasional pasti akan tertekan oleh kebijakan ini, obat-obatan inovatif masih akan tetap menguntungkan karena kurangnya keahlian ilmiah yang ada di negara ini. Gangguan pada rantai pasokan global saat ini yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 juga dapat dianggap sebagai keuntungan karena Indonesia secara strategis terletak di jalur laut utama yang menghubungkan Asia Timur, Asia Selatan, dan Oseania. Memang, pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa mereka ingin menarik perusahaan farmasi multinasional dari Tiongkok dan juga negara-negara Asia Tenggara lainnya dan meminta mereka membangun fasilitas produksi mereka di Indonesia dengan menawarkan pembebasan pajak dan insentif lainnya.

Namun, ambisi negara ini masih terhambat oleh fakta bahwa infrastruktur rantai pasokan, tingkat pekerja terampil, dan ketersediaan ilmuwan medis masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga regionalnya seperti Singapura, India, dan Korea Selatan. Selain itu, perusahaan-perusahaan multinasional asing mungkin juga terhalang oleh dominasi perusahaan-perusahaan milik negara dalam mendapatkan kontrak-kontrak besar dari pemerintah. Perusahaan-perusahaan domestik seperti Kalbe Farma, Tempo Scan Pacific, dan Kimia Farma telah mapan dengan kehadiran yang kuat di sub-sektor logistik, obat bebas, dan layanan kesehatan konsumen di seluruh nusantara. 

Menurut data dari Kementerian Perindustrian, terdapat 220 perusahaan yang mendukung industri farmasi di Indonesia, dan 90% di antaranya berfokus pada sektor hilir dalam memproduksi obat-obatan. Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa hingga tahun 2021, terdapat 241 industri formulasi farmasi, 17 industri bahan baku farmasi, 132 industri obat tradisional, dan 18 industri ekstraksi bahan alam.

KESIMPULAN
Terlepas dari tantangan-tantangan yang telah disebutkan di atas, industri farmasi di Indonesia masih sangat prospektif. Populasi Indonesia yang besar dan muda (lebih dari 80% berada di usia kerja dan 50% di bawah usia 24 tahun), ditambah dengan dukungan pemerintah terhadap revolusi layanan kesehatan, menjanjikan peluang pertumbuhan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan asing. Pandemi COVID-19 semakin menyoroti tantangan yang dihadapi oleh sistem perawatan kesehatan negara ini dan bagaimana perusahaan asing dapat membantu Indonesia dalam mengembangkan industri perawatan kesehatan nasional. Peningkatan permintaan untuk peralatan medis dan obat-obatan farmasi selama pandemi terlihat jelas di pasar. Salah satu sub-sektor yang sangat potensial adalah sektor telemedicine, yang jika dilihat dari laporan sektor e-commerce Indonesia oleh Bain dan Temasek yang memperkirakan nilai pasar sebesar $83 miliar pada tahun 2025, hanyalah salah satu dari banyak peluang pertumbuhan yang tersedia di sektor farmasi Indonesia.

Disadur dari: business-indonesia.org