Lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) diharapkan memiliki keterampilan dan keahlian khusus sehingga lebih cepat mendapatkan pekerjaan setelah menyelesaikan studi. Namun kenyataannya, angka pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan sekolah menengah kejuruan. Di sisi lain, jumlah tenaga kerja di Indonesia sebagian besar diisi oleh lulusan sekolah dasar.
Mengutip situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), SMK merupakan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada tingkat menengah sebagai perpanjangan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat. Tujuan pendidikan di SMK adalah membentuk lulusan yang siap memasuki dunia kerja, bekerja, atau berwirausaha.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terdapat 219.485 sekolah di Indonesia pada tahun ajaran 2022/2023. Dari jumlah tersebut, SMK berjumlah 14.265 unit, artinya naik tipis 0,46 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 14.199 unit.
Lulusan SMK diharapkan mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan. Namun kenyataannya berkata sebaliknya. Berdasarkan data BPS hingga Februari 2023, terdapat 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pengangguran tertinggi masih lulusan SMK sebesar 9,60 persen, sedangkan lulusan SMA sebesar 7,69 persen.
Pada tahun 2021, lulusan vokasi tertinggi menyumbang 11,45 persen dari total 7,99 juta pengangguran di Indonesia. Pada tahun 2023 turun menjadi 9,60 persen. Artinya, selama dua tahun terakhir upaya pemerintah menggenjot pendidikan vokasi hanya berhasil menurunkan 1,85 persen pengangguran SMK.
Menurut Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Anindito Aditomo mengatakan, banyaknya angka pengangguran lulusan SMK disebabkan oleh multifaktor. Yang pertama adalah ketersediaan pekerjaan itu sendiri. Diakui Anindito, pandemi COVID-19 berdampak pada perekonomian, namun selain itu kesenjangan pendidikan di sekolah dengan kebutuhan dunia kerja juga menjadi salah satu faktornya.
“Dari segi pendidikan sendiri masih terjadi amiss match, kesenjangan. Jadi masih belum menghubungkan apa yang dipelajari di SMK dengan apa yang dibutuhkan di dunia kerja,” kata Anindito.
Untuk itu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kurikulum Merdeka melakukan penyempurnaan kurikulum guna memenuhi kompetensi lulusan vokasi yang dibutuhkan dunia kerja.
“Kalau kurikulumnya kaku, lulusan SMK tidak bisa cepat beradaptasi dengan dunia kerja atau dunia industri,” jelasnya. “Kurikulum mandiri memberikan lebih banyak ruang praktik dan praktisi untuk mengajar,” kata Anindito lagi.
Di sisi lain, Koordinator Nasional Persatuan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menyayangkan tiga calon presiden yakni Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo tidak menyinggung persoalan tersebut pada Debat Kelima Pilpres 2024. Pemilu. Padahal debat terakhir mengangkat tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, kebudayaan, teknologi informasi, serta kesejahteraan dan inklusi sosial.
Melihat perdebatan calon presiden mengenai persoalan pendidikan, P2G menilai belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional, kata Satriwan. Selain itu, Debat Capres pada akhir pekan lalu juga tidak memberikan solusi atas fakta bahwa saat ini tenaga kerja lulusan sekolah dasar masih mendominasi.
BPS menunjukkan hingga tahun 2023, secara angkatan, angkatan kerja lulusan SD 39,76 persen, lulusan SMA 19,18 persen, lulusan SMP 18,24 persen, sisanya lulusan Perguruan Tinggi D1-3 2,20 persen dan D4, S1, S2, S3 sebesar 9,13 persen. . Artinya produktivitas tenaga kerja Indonesia masih dihasilkan oleh lulusan sekolah dasar.
"Mengapa penyerapan tenaga kerja lulusan SD masih dominan? Semakin tinggi jenjangnya maka angkatan kerja semakin banyak. Seharusnya ini bisa dijawab di Debat Capres, tapi jangan disentuh," kata Satriwan lagi.
Sementara itu, menurut Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, hal tersebut menjadi tantangan pemerintah dalam mengatasi pengangguran intelektual yang kini marak terjadi di Indonesia.
“Pengangguran masyarakat terpelajar, itu yang kita hadapi sekarang, jadi pendidikan rendah tidak bisa lebih sejahtera, sedangkan pendidikan sulit mendapat pekerjaan, itu masalahnya,” kata Dita.
Selain itu, Dita juga mengatakan, alasan lulusan SD dan SMP lebih sedikit pengangguran karena mereka memiliki daya bertahan hidup yang lebih tinggi sehingga lebih mudah menerima pekerjaan apa pun.
“Jadi SD dan SMP punya daya bertahan lebih besar, punya kemampuan menerima pekerjaan apa pun, jangan terlalu memilih, yang penting bekerja, itulah yang membuat angka pengangguran didominasi oleh jenjang SMA, SMK,” ucap Dita menjelaskan.
Disadur dari: voi.id