Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025
Bayangkan Anda membangun rumah impian. Setiap bata, setiap adukan semen, dikerjakan dengan cermat. Bertahun-tahun kemudian, retakan-retakan aneh muncul dari dalam. Bukan karena gempa atau fondasi yang buruk, tapi karena pasir yang Anda gunakan ternyata memiliki 'alergi' tersembunyi terhadap semen itu sendiri. Reaksi kimia mikroskopis yang tak terlihat perlahan-lahan menggerogoti kekuatan struktur dari dalam, seperti penyakit kronis yang tak terdiagnosis.
Kisah ini, dalam skala yang jauh lebih besar dan krusial, adalah inti dari sebuah penelitian penting yang menginvestigasi salah satu proyek kebanggaan nasional Nepal: Bandara Internasional Regional Pokhara (PRIAP). Diresmikan sebagai gerbang modern menuju pegunungan Annapurna, PRIAP bukan sekadar bandara biasa. Ia adalah simbol kemajuan, bandara pertama di Nepal yang landasan pacunya dibangun menggunakan perkerasan beton kaku (rigid pavement). Sebuah lompatan teknologi yang menjanjikan durabilitas dan kekuatan.
Namun, di tengah euforia itu, sebuah tesis master karya Pawan Acharya dari Pokhara University mengajukan pertanyaan sederhana yang berimplikasi besar: "Apakah kita sudah memeriksa bahan bangunan kita secara mendalam?" Tesisnya bukanlah sekadar tumpukan kertas akademis, melainkan sebuah karya investigasi yang mengungkap potensi cacat tersembunyi di jantung proyek monumental ini.
Yang paling mengkhawatirkan adalah fakta yang diungkap dalam tesis tersebut: agregat (kerikil dan pasir) yang menjadi tulang punggung beton landasan pacu PRIAP ternyata tidak diuji potensinya terhadap reaksi kimia berbahaya yang dikenal sebagai Reaksi Alkali-Silika (ASR) sebelum konstruksi dimulai. Ini adalah sebuah kelalaian yang bisa jadi bukan karena kesengajaan, melainkan cerminan dari sebuah kurva pembelajaran. Tesis itu sendiri mencatat bahwa kesadaran akan ASR di Nepal masih rendah. Kisah ini bukan tentang mencari kesalahan, melainkan tentang pentingnya sebuah penemuan ilmiah dalam mengawal perjalanan sebuah bangsa mengadopsi teknologi baru dan praktik terbaik global.
Di Balik Beton yang Megah: Memahami Musuh Tak Kasat Mata Bernama ASR
Para insinyur sering menyebut Reaksi Alkali-Silika (ASR) sebagai "kanker beton". Istilah ini sangat tepat. ASR adalah penyakit internal yang menyerang beton dari dalam. Analogi yang paling pas mungkin adalah adonan kue yang salah resep.
Bayangkan Anda membuat kue. Anda menggunakan tepung (agregat yang mengandung silika reaktif), baking soda (alkali dari semen Portland), dan air (kelembapan). Dalam kondisi normal, adonan akan mengembang secukupnya. Namun pada kasus ASR, adonan itu tidak berhenti mengembang. Di dalam beton yang sudah mengeras, reaksi ini membentuk sejenis gel yang terus-menerus menyerap air dan membengkak. Tekanan dari dalam ini akhirnya menyebabkan beton retak, spalling (terkelupas), dan kehilangan kekuatannya secara drastis.
Tesis Acharya menyoroti bahwa Nepal memiliki kondisi "badai sempurna" untuk terjadinya ASR. Tiga bahan utama untuk resep bencana ini tersedia melimpah:
Agregat Reaktif: Penelitian di proyek-proyek besar lain di Nepal, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sanjen dan Tanahu, telah mengidentifikasi keberadaan batuan yang mengandung silika amorf—bahan utama yang "alergi" terhadap alkali.
Sumber Alkali: Alkali, atau "baking soda" dalam analogi kita, secara alami terkandung dalam semen Portland yang digunakan di hampir semua konstruksi beton.
Kelembapan dan Suhu Tinggi: Ini adalah akseleratornya. Tesis ini menekankan bahwa iklim Nepal yang relatif lembap dan hangat mempercepat laju reaksi ASR secara signifikan, membuatnya menjadi lingkungan yang berisiko lebih tinggi dibandingkan banyak negara beriklim dingin di mana ASR sudah menjadi masalah yang dikenal luas.
Risiko ASR di Nepal bukanlah sekadar teori; ia adalah sebuah realitas geologis dan iklim yang laten. Masalahnya bukan karena Nepal melakukan sesuatu yang salah, tetapi lingkungan alamnya membuat infrastruktur beton di sana secara inheren lebih rentan. Kasus PRIAP menjadi studi kasus penting dari sebuah tantangan rekayasa material berskala nasional.
Eksperimen di Laboratorium: Saat Kerikil dari Pokhara Diuji Batasnya
Untuk membuktikan hipotesisnya, Acharya melakukan investigasi forensik di laboratorium. Ia mengumpulkan sampel agregat dari tiga lokasi kritis: lokasi tambang untuk PRIAP, PLTA Tanahu (THP), dan PLTA Sanjen (SHP)—dua proyek terakhir diketahui memiliki batuan yang berpotensi reaktif.
Proses pengujiannya, yang dikenal sebagai metode accelerated mortar-bar (ASTM C-1260), bisa dibayangkan seperti ini: para peneliti menghancurkan kerikil-kerikil tersebut, mencampurnya menjadi adonan semen berbentuk batang-batang kecil, lalu "merebusnya" dalam larutan alkali bersuhu tinggi (80∘C) selama berminggu-minggu. Ini adalah cara cepat untuk mensimulasikan proses penuaan beton selama puluhan tahun dalam hitungan hari. Tujuannya adalah untuk mengukur seberapa besar batang-batang beton mini itu mengembang—sebuah indikator langsung dari potensi ASR.
Apa yang Bikin Saya Terkejut: Dua Standar, Dua Hasil yang Bertolak Belakang
Di sinilah cerita mengambil tikungan tajam. Hasil awal dari pengujian standar 14 hari tampak melegakan. Agregat dari PRIAP menunjukkan tingkat ekspansi sebesar 0.10%, yang menurut standar ASTM C-1260, masuk dalam kategori "innocuous" atau aman. Sementara agregat dari THP terbukti "deleterious" (berbahaya), kerikil untuk landasan pacu bandara yang krusial tampaknya baik-baik saja. Ini adalah momen kelegaan palsu.
Namun, tesis ini menyoroti sebuah detail krusial: untuk infrastruktur sepenting landasan pacu bandara, standar biasa tidaklah cukup. Federal Aviation Administration (FAA) Amerika Serikat menggunakan standar yang lebih ketat—sebuah modifikasi dari tes ASTM C-1260 yang diperpanjang hingga 28 hari dengan ambang batas keamanan yang lebih rendah (ekspansi harus di bawah 0.10%). Ketika agregat PRIAP diuji menggunakan standar yang lebih keras ini, hasilnya sungguh mengejutkan.
Pada hari ke-28, tingkat ekspansi agregat PRIAP melonjak menjadi 0.22%. Angka ini jauh di atas ambang batas FAA dan dengan tegas menempatkannya dalam kategori "deleterious". Tiba-tiba, agregat yang tadinya "aman" terungkap sebagai ancaman potensial. Lebih jauh lagi, penelitian ini menemukan bahwa menurut standar FAA yang ketat,
ketiga sampel agregat yang diuji (PRIAP, THP, dan SHP) semuanya bersifat berbahaya.
Dari Laboratorium ke Dunia Nyata: Simulasi Digital yang Meresahkan
Mengetahui bahwa agregatnya berpotensi berbahaya adalah satu hal. Memahami dampaknya di dunia nyata adalah hal lain. Di sinilah Acharya menggunakan alat canggih yang disebut FAARFIELD—perangkat lunak yang dikembangkan oleh FAA. Anggap saja ini sebagai "mesin waktu digital untuk infrastruktur".
Setelah mengetahui "DNA" buruk dari agregat di laboratorium, Acharya memasukkan data ini ke FAARFIELD untuk memprediksi bagaimana landasan pacu akan menua di masa depan, di bawah tekanan ribuan pendaratan pesawat. Langkah kuncinya adalah menerjemahkan hasil ekspansi laboratorium menjadi parameter rekayasa yang nyata. Berdasarkan korelasi dari penelitian lain, tesis ini mengestimasikan bahwa tingkat ekspansi 0.22% akan menyebabkan penurunan sebesar 23% pada kekuatan lentur beton (Modulus of Rupture - MOR). MOR adalah ukuran vital yang menentukan kemampuan beton menahan beban lentur dari roda pesawat. Angka inilah yang menjadi input krusial dalam simulasi.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (atau Setidaknya, Pikirkan)
Hasil simulasi FAARFIELD adalah puncak dari penelitian ini, dan hasilnya sangat meresahkan. Landasan pacu PRIAP dirancang untuk memiliki umur struktural selama 30 tahun. Namun, ketika simulasi dijalankan dengan nilai MOR yang telah dikurangi akibat efek ASR (turun menjadi 4.85 MPa dari desain awal 5.0 MPa), hasilnya sungguh mengejutkan. Umur struktural landasan pacu yang baru diprediksi hanya
14.4 tahun.
Usia pakainya terpangkas lebih dari separuh.
🚀 Hasilnya Mengejutkan: Umur struktural landasan pacu bisa terpangkas dari 30 tahun menjadi hanya 14.4 tahun.
🧠 Inovasinya: Menggunakan standar FAA yang lebih ketat untuk menguji agregat lokal, yang mengungkap risiko yang tidak terlihat oleh tes standar.
💡 Pelajaran Penting: Jangan pernah berasumsi material "aman" tanpa pengujian yang sesuai dengan konteks penggunaannya—standar untuk jalan raya tidak cukup untuk landasan pacu bandara.
Simulasi ini berhasil mengubah risiko kimia yang abstrak (ASR) menjadi risiko ekonomi dan operasional yang nyata dan terukur (kehilangan masa layan selama 15.6 tahun). Proses metodis inilah yang memberikan kredibilitas ilmiah pada kesimpulan yang mengejutkan tersebut.
Opini Pribadi Saya: Sebuah Peringatan Dini yang Berharga
Membaca tesis Pawan Acharya memberikan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ada kekaguman atas ketelitian dan dampak dari penelitian proaktif seperti ini. Ini bukan sekadar tugas akhir untuk meraih gelar; ini adalah sebuah peringatan dini yang bisa menyelamatkan sebuah negara dari biaya perbaikan masif dan gangguan operasional di masa depan. Ini adalah contoh sempurna bagaimana dunia akademis dapat memberikan kontribusi nyata pada masalah-masalah di dunia nyata.
Di sisi lain, ada sedikit catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Meskipun temuannya luar biasa penting, kita harus ingat bahwa hubungan antara ekspansi 0.22% di laboratorium dengan penurunan kekuatan sebesar 23% di lapangan didasarkan pada korelasi dari studi lain yang menggunakan jenis agregat yang berbeda (Spratt aggregate dari Kanada). Ini adalah asumsi pemodelan yang logis dan perlu, tetapi tetap sebuah asumsi. Realitas di lapangan mungkin sedikit berbeda. Namun, bahkan jika penurunan kekuatannya hanya separuh dari yang dimodelkan, dampaknya tetap sangat signifikan dan tidak bisa diabaikan.
Kasus ini juga menunjukkan betapa cepatnya standar teknik berevolusi. Apa yang dianggap "cukup baik" kemarin, mungkin tidak lagi memadai untuk infrastruktur kritis hari ini. Inilah mengapa para insinyur dan manajer proyek perlu terus mengasah pengetahuan mereka. Platform seperti(https://diklatkerja.com) menjadi sangat relevan, menyediakan akses ke pelatihan dan sertifikasi terbaru dalam manajemen konstruksi dan rekayasa material, memastikan para profesional tetap berada di garis depan pengetahuan industri.
Apa Selanjutnya untuk Pokhara? Dan untuk Kita?
Tesis ini tidak berhenti pada diagnosis masalah; ia juga menawarkan jalan ke depan. Rekomendasinya jelas dan dapat ditindaklanjuti, bukan untuk menebar kepanikan, tetapi untuk mendorong tindakan yang terinformasi.
Untuk Bandara Pokhara: Direkomendasikan untuk segera membuat program pemantauan rutin. Ini termasuk inspeksi visual berkala untuk mencari tanda-tanda awal retakan khas ASR dan melakukan pengujian non-destruktif (seperti Heavy Weight Deflectometer) untuk mendeteksi penurunan kekuatan struktural sebelum menjadi masalah serius.
Untuk Nepal: Temuan ini harus menjadi pemicu untuk peninjauan fundamental terhadap standar konstruksi nasional. Spesifikasi yang ada saat ini, terutama yang dikeluarkan oleh Otoritas Penerbangan Sipil Nepal (CAAN), perlu diperbarui untuk memasukkan protokol pengujian ASR yang lebih ketat untuk semua infrastruktur beton kritis di masa depan.
Pada akhirnya, karya Pawan Acharya adalah pengingat bahwa sains sejati bukan tentang mencari kesalahan, tetapi tentang menerangi risiko sehingga kita dapat mengelolanya dengan bijak. Ia telah memberikan hadiah yang tak ternilai bagi para pemangku kepentingan di Pokhara dan seluruh Nepal: kemampuan untuk melihat ke masa depan dan bertindak hari ini.
Jika Anda seorang insinyur, perencana, atau sekadar warga yang peduli dengan masa depan infrastruktur, temuan ini sangat layak untuk direnungkan. Kalau kamu tertarik dengan detail teknisnya, coba baca paper aslinya.
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 29 September 2025
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini mengkaji faktor kunci dalam pemeliharaan gedung dengan menyoroti Gedung Bulog yang tetap kokoh meski sudah beroperasi ±45 tahun. Temuan menunjukkan bahwa manajemen terstruktur dan pengelolaan biaya merupakan penentu utama keberlangsungan fungsi bangunan. Pemeliharaan sistematis terbukti dapat memperpanjang usia pakai bangunan, menjaga kualitas fungsional, serta mendukung kenyamanan pengguna. Dalam konteks ini, manajemen bukan hanya soal teknis pelaksanaan, melainkan juga aspek perencanaan, monitoring, serta pengendalian biaya. Studi ini secara tidak langsung menyoroti pentingnya standar operasional yang terdokumentasi dengan baik untuk mengantisipasi kerusakan fisik maupun penurunan fungsi ruang. Dengan prosedur pemeliharaan yang jelas, pengelola bangunan dapat melakukan prioritisasi pekerjaan, mengatur jadwal preventif, dan meminimalkan biaya darurat akibat kerusakan mendadak.
Studi kasus Gedung Bulog menunjukkan bahwa meskipun bangunan berusia tua, kualitas struktur tetap terjaga berkat pemeliharaan yang konsisten. Hal ini memperlihatkan hubungan logis: semakin tinggi konsistensi manajemen pemeliharaan, semakin besar peluang bangunan bertahan dalam jangka panjang. Riset ini memberi pesan penting bagi pengelola gedung lain di Indonesia bahwa usia bangunan bukanlah penghalang utama, selama ada sistem manajemen pemeliharaan yang efektif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menawarkan wawasan penting, penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Pertama, pendekatannya kualitatif deskriptif, tanpa dukungan data kuantitatif. Tidak ada pengukuran numerik yang menunjukkan sejauh mana pengaruh alokasi biaya terhadap keandalan struktur. Kedua, fokus penelitian hanya pada satu gedung (Bulog), sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke seluruh jenis bangunan, baik perkantoran swasta maupun gedung publik lainnya. Ketiga, faktor eksternal seperti iklim, intensitas penggunaan, serta kualitas material awal tidak diperhitungkan secara detail. Padahal, faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi kinerja pemeliharaan dan kondisi akhir bangunan. Keempat, studi ini tidak membandingkan efektivitas strategi pemeliharaan preventif versus korektif, sehingga sulit diketahui strategi mana yang lebih optimal. Akhirnya, belum ada diskusi mendalam mengenai integrasi pemeliharaan dengan aspek keberlanjutan, misalnya efisiensi energi dan pengurangan limbah.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Studi Kuantitatif Hubungan Manajemen vs Kinerja Gedung.
Untuk memperkuat temuan, riset berikutnya harus menggunakan metode kuantitatif. Misalnya, survei pada banyak gedung dengan variabel: anggaran tahunan, frekuensi pemeliharaan, serta skor kondisi fisik gedung. Dengan analisis regresi, dapat diketahui koefisien korelasi antara manajemen pemeliharaan (X) dan kondisi gedung (Y). Jika hasil menunjukkan koefisien kuat, misalnya 0,78, maka hal itu menandakan hubungan signifikan dan dapat menjadi dasar perumusan kebijakan nasional.
2. Pengembangan Model Digital Manajemen Pemeliharaan.
Sejalan dengan era transformasi digital, penelitian perlu mengembangkan sistem informasi manajemen pemeliharaan berbasis aplikasi. Sistem ini dapat mencatat jadwal, biaya, dan laporan kerusakan secara real-time. Dengan metode penelitian dan pengembangan (R&D), sistem diuji di beberapa gedung sebagai studi kasus. Indikator keberhasilan antara lain pengurangan biaya darurat, efisiensi waktu perbaikan, dan peningkatan kepuasan pengguna.
3. Studi Perbandingan Multi-Gedung.
Riset perlu diperluas ke berbagai tipe bangunan: kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga sekolah. Perbandingan ini memungkinkan peneliti menemukan pola umum maupun faktor unik yang memengaruhi keberhasilan pemeliharaan. Misalnya, apakah bangunan publik dengan dana besar selalu lebih terawat daripada bangunan swasta? Atau adakah strategi kreatif dengan biaya minim namun efektif?
4. Evaluasi Efisiensi Biaya dalam Pemeliharaan.
Penelitian mendatang sebaiknya menilai perbedaan biaya antara strategi pemeliharaan preventif, prediktif, dan reaktif. Dengan menggunakan metode analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), peneliti dapat menghitung ROI (Return on Investment) dari tiap strategi. Hasil ini akan sangat berguna bagi pengelola bangunan yang ingin menekan biaya sekaligus menjaga performa bangunan.
5. Integrasi Pemeliharaan dengan Keberlanjutan dan Green Building.
Isu keberlanjutan kini tak terelakkan. Penelitian lanjutan harus melihat bagaimana kegiatan pemeliharaan mendukung efisiensi energi, penggunaan material ramah lingkungan, serta pencapaian sertifikasi green building. Studi dapat menilai kontribusi pemeliharaan terhadap pengurangan emisi karbon, misalnya dengan memperpanjang umur material atau meminimalkan limbah konstruksi. Dengan demikian, pemeliharaan tidak hanya dipandang sebagai kewajiban teknis, tetapi juga sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, studi tentang Gedung Bulog membuka pintu diskusi yang lebih luas. Dari kasus ini, jelas bahwa pemeliharaan bukanlah aktivitas tambahan, melainkan inti dari keberlangsungan bangunan. Penelitian lebih lanjut diharapkan tidak hanya menguji ulang temuan, tetapi juga menawarkan solusi praktis berbasis teknologi dan kebijakan. Dengan melibatkan Kementerian PUPR, universitas teknik sipil, serta asosiasi pengelola gedung, hasil riset akan lebih komprehensif dan aplikatif.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini mengkaji faktor kunci dalam pemeliharaan gedung dengan menyoroti Gedung Bulog yang tetap kokoh meski sudah beroperasi ±45 tahun. Temuan menunjukkan bahwa manajemen terstruktur dan pengelolaan biaya merupakan penentu utama keberlangsungan fungsi bangunan. Pemeliharaan sistematis terbukti dapat memperpanjang usia pakai bangunan, menjaga kualitas fungsional, serta mendukung kenyamanan pengguna. Dalam konteks ini, manajemen bukan hanya soal teknis pelaksanaan, melainkan juga aspek perencanaan, monitoring, serta pengendalian biaya. Studi ini secara tidak langsung menyoroti pentingnya standar operasional yang terdokumentasi dengan baik untuk mengantisipasi kerusakan fisik maupun penurunan fungsi ruang. Dengan prosedur pemeliharaan yang jelas, pengelola bangunan dapat melakukan prioritisasi pekerjaan, mengatur jadwal preventif, dan meminimalkan biaya darurat akibat kerusakan mendadak.
Studi kasus Gedung Bulog menunjukkan bahwa meskipun bangunan berusia tua, kualitas struktur tetap terjaga berkat pemeliharaan yang konsisten. Hal ini memperlihatkan hubungan logis: semakin tinggi konsistensi manajemen pemeliharaan, semakin besar peluang bangunan bertahan dalam jangka panjang. Riset ini memberi pesan penting bagi pengelola gedung lain di Indonesia bahwa usia bangunan bukanlah penghalang utama, selama ada sistem manajemen pemeliharaan yang efektif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menawarkan wawasan penting, penelitian ini masih memiliki keterbatasan. Pertama, pendekatannya kualitatif deskriptif, tanpa dukungan data kuantitatif. Tidak ada pengukuran numerik yang menunjukkan sejauh mana pengaruh alokasi biaya terhadap keandalan struktur. Kedua, fokus penelitian hanya pada satu gedung (Bulog), sehingga hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke seluruh jenis bangunan, baik perkantoran swasta maupun gedung publik lainnya. Ketiga, faktor eksternal seperti iklim, intensitas penggunaan, serta kualitas material awal tidak diperhitungkan secara detail. Padahal, faktor-faktor tersebut dapat memengaruhi kinerja pemeliharaan dan kondisi akhir bangunan. Keempat, studi ini tidak membandingkan efektivitas strategi pemeliharaan preventif versus korektif, sehingga sulit diketahui strategi mana yang lebih optimal. Akhirnya, belum ada diskusi mendalam mengenai integrasi pemeliharaan dengan aspek keberlanjutan, misalnya efisiensi energi dan pengurangan limbah.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
1. Studi Kuantitatif Hubungan Manajemen vs Kinerja Gedung.
Untuk memperkuat temuan, riset berikutnya harus menggunakan metode kuantitatif. Misalnya, survei pada banyak gedung dengan variabel: anggaran tahunan, frekuensi pemeliharaan, serta skor kondisi fisik gedung. Dengan analisis regresi, dapat diketahui koefisien korelasi antara manajemen pemeliharaan (X) dan kondisi gedung (Y). Jika hasil menunjukkan koefisien kuat, misalnya 0,78, maka hal itu menandakan hubungan signifikan dan dapat menjadi dasar perumusan kebijakan nasional.
2. Pengembangan Model Digital Manajemen Pemeliharaan.
Sejalan dengan era transformasi digital, penelitian perlu mengembangkan sistem informasi manajemen pemeliharaan berbasis aplikasi. Sistem ini dapat mencatat jadwal, biaya, dan laporan kerusakan secara real-time. Dengan metode penelitian dan pengembangan (R&D), sistem diuji di beberapa gedung sebagai studi kasus. Indikator keberhasilan antara lain pengurangan biaya darurat, efisiensi waktu perbaikan, dan peningkatan kepuasan pengguna.
3. Studi Perbandingan Multi-Gedung.
Riset perlu diperluas ke berbagai tipe bangunan: kantor pemerintah, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hingga sekolah. Perbandingan ini memungkinkan peneliti menemukan pola umum maupun faktor unik yang memengaruhi keberhasilan pemeliharaan. Misalnya, apakah bangunan publik dengan dana besar selalu lebih terawat daripada bangunan swasta? Atau adakah strategi kreatif dengan biaya minim namun efektif?
4. Evaluasi Efisiensi Biaya dalam Pemeliharaan.
Penelitian mendatang sebaiknya menilai perbedaan biaya antara strategi pemeliharaan preventif, prediktif, dan reaktif. Dengan menggunakan metode analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis), peneliti dapat menghitung ROI (Return on Investment) dari tiap strategi. Hasil ini akan sangat berguna bagi pengelola bangunan yang ingin menekan biaya sekaligus menjaga performa bangunan.
5. Integrasi Pemeliharaan dengan Keberlanjutan dan Green Building.
Isu keberlanjutan kini tak terelakkan. Penelitian lanjutan harus melihat bagaimana kegiatan pemeliharaan mendukung efisiensi energi, penggunaan material ramah lingkungan, serta pencapaian sertifikasi green building. Studi dapat menilai kontribusi pemeliharaan terhadap pengurangan emisi karbon, misalnya dengan memperpanjang umur material atau meminimalkan limbah konstruksi. Dengan demikian, pemeliharaan tidak hanya dipandang sebagai kewajiban teknis, tetapi juga sebagai bagian dari strategi pembangunan berkelanjutan.
Secara keseluruhan, studi tentang Gedung Bulog membuka pintu diskusi yang lebih luas. Dari kasus ini, jelas bahwa pemeliharaan bukanlah aktivitas tambahan, melainkan inti dari keberlangsungan bangunan. Penelitian lebih lanjut diharapkan tidak hanya menguji ulang temuan, tetapi juga menawarkan solusi praktis berbasis teknologi dan kebijakan. Dengan melibatkan Kementerian PUPR, universitas teknik sipil, serta asosiasi pengelola gedung, hasil riset akan lebih komprehensif dan aplikatif.
Baca Selengkapnya di: Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1.
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 25 September 2025
Penelitian ini mengkaji kebutuhan pengembangan e-modul berbasis BIM (Building Information Modeling) untuk mata kuliah Menggambar Teknik II. Dengan metode riset dan pengembangan, peneliti menemukan bahwa pembelajaran konvensional belum mampu memfasilitasi mahasiswa dalam memahami kompleksitas gambar teknik dua dimensi dan tiga dimensi.
BIM dipilih sebagai platform utama karena memungkinkan visualisasi detail teknis secara dinamis. Data kuesioner menunjukkan bahwa mayoritas mahasiswa menganggap e-modul berbasis BIM lebih sesuai untuk mendukung proses belajar menggambar teknik, terutama untuk meningkatkan pemahaman konsep spasial dan presisi gambar.
Sorotan Data:
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini berkontribusi pada inovasi pendidikan teknik sipil dengan memperkenalkan BIM sebagai media pembelajaran dalam format e-modul. Kontribusi ini penting karena BIM umumnya digunakan di industri konstruksi, sehingga implementasinya dalam pendidikan menjembatani kesenjangan antara pembelajaran akademis dan kebutuhan industri.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Studi ini masih berfokus pada tahap analisis kebutuhan dan rancangan e-modul, belum pada tahap implementasi luas atau uji empiris di kelas. Pertanyaan terbuka: Apakah penggunaan e-modul BIM secara signifikan meningkatkan keterampilan menggambar teknik mahasiswa dibanding metode manual? Bagaimana efektivitasnya untuk mahasiswa dengan latar belakang keterampilan komputer yang berbeda?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaboratif
Kolaborasi dengan fakultas teknik sipil, asosiasi BIM Indonesia, dan industri konstruksi sangat dianjurkan agar e-modul ini tidak hanya relevan secara akademis, tetapi juga sesuai dengan standar industri.
Pelita Sukma, T. C. (2020). BUKU PROSIDING SEMINAR PENELITIAN UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2020 "Inovasi Pembangunan dalam Teknologi dan Pendidikan". Buku Prosiding SPKTS 2020 Jilid 1. https://doi.org/10.21009/JPENSIL.V8I1.8481
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 23 September 2025
Latar Belakang Krisis Demografis dan Ketenagakerjaan
Paper ini secara eksplisit mengidentifikasi dua isu makroekonomi yang mendasari urgensi penelitian ini: fenomena penuaan populasi Jepang dan kebutuhan ekspansi bisnis industri konstruksi ke luar negeri.1 Isu demografi digambarkan sebagai krisis yang semakin parah. Data menunjukkan bahwa populasi Jepang telah menurun sejak puncaknya pada tahun 2008 dan diprediksi akan anjlok menjadi 88.080 ribu pada tahun 2065 dari 128.617 ribu pada tahun 2029, sebuah penurunan populasi yang signifikan dalam waktu kurang dari empat dekade.1 Lebih lanjut, rasio penduduk berusia di atas 65 tahun diproyeksikan akan melonjak dari 28.4% pada tahun 2019 menjadi 38.4% pada tahun 2065, menunjukkan pergeseran struktural yang mendalam.1
Data yang lebih rinci menunjukkan bahwa krisis ini jauh lebih parah di sektor konstruksi. Jumlah karyawan konstruksi turun menjadi 4.920 ribu, yang merupakan penurunan drastis sebesar 28% dari puncaknya sebesar 6.850 ribu pada tahun 1997.1 Penuaan tenaga kerja juga sangat mencolok; pada tahun 2016, rasio karyawan di atas 55 tahun di industri ini adalah 34%, jauh lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 29%.1 Sebaliknya, rasio karyawan di bawah 29 tahun hanya 11%, lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 16%.1 Kondisi ini tidak hanya menunjukkan penurunan jumlah pekerja, tetapi juga kegagalan yang parah dalam menarik generasi muda. Hal ini mempercepat siklus penuaan dan menciptakan urgensi yang ekstrem untuk mencari solusi di luar demografi domestik. Perekrutan insinyur asing bukanlah sekadar pilihan, melainkan keharusan strategis untuk kelangsungan hidup industri.
Analisis Sistem Subkontraktor Multi-Lapis sebagai Penentu Ekonomi
Paper ini menyoroti sistem subkontraktor multi-lapis sebagai karakteristik unik dan esensial dari industri konstruksi Jepang, yang secara langsung memengaruhi kondisi kerja dan jalur karier.1 Sebuah temuan kuantitatif yang menonjol dari penelitian ini, berdasarkan data dari Otoritas Pajak Jepang, adalah adanya disparitas gaji yang signifikan antara perusahaan yang berbeda ukurannya dalam rantai subkontraktor.1 Pada tahun 2022, perusahaan konstruksi dengan lebih dari
5.000 karyawan memiliki gaji tahunan rata-rata sebesar 8.202 ribu JPY, lebih dari dua kali lipat dari perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan, yang hanya mencatatkan 3.817 ribu JPY.1 Disparitas ini jauh lebih menonjol di sektor konstruksi dibandingkan dengan sektor manufaktur, di mana perusahaan dengan lebih dari 5.000 karyawan memiliki gaji tahunan rata-rata sebesar 7.153 ribu JPY, yang tidak terlalu jauh berbeda dari gaji sebesar 3.216 ribu JPY pada perusahaan yang lebih kecil.1
Analisis ini membangun hubungan kausal yang kuat: Sistem subkontraktor multi-lapis menentukan posisi perusahaan dalam hierarki industri, yang pada gilirannya memengaruhi kapasitas finansial, reputasi, dan kemampuan untuk merekrut talenta.1 Dengan demikian, struktur industri itu sendiri menciptakan ketidaksetaraan sistemik yang membatasi pilihan karier insinyur asing sejak awal. Insinyur yang dipekerjakan oleh perusahaan di lapisan yang lebih rendah kemungkinan besar akan menerima gaji yang jauh lebih rendah dan memiliki jalur karier yang lebih terbatas, yang berpotensi menyebabkan ketidakpuasan dan tingkat retensi yang rendah.
Misi Ekspansi Global dan Kontradiksi Kebijakan
Pemerintah Jepang telah secara aktif mempromosikan "Strategi Ekspor Sistem Infrastruktur" sejak tahun 2013, dengan target ambisius untuk meningkatkan nilai pesanan luar negeri menjadi 30 triliun JPY pada tahun 2020 dari 10 triliun JPY pada tahun 2010.1 Target ini hampir tercapai, dengan pesanan mencapai 25 triliun JPY pada tahun 2018.1 Namun, data yang disajikan dalam paper menunjukkan adanya kontradiksi antara visi makro pemerintah dan realitas mikro perusahaan. Hanya 6% perusahaan konstruksi yang memprioritaskan globalisasi, dibandingkan dengan 13% perusahaan di seluruh industri.1
Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara visi pemerintah dan kapasitas implementasi di tingkat perusahaan. Paper ini mencatat bahwa lebih dari 99% perusahaan di Jepang adalah perusahaan kecil dan menengah yang mempekerjakan lebih dari 70% dari total karyawan.1 Perusahaan-perusahaan ini memiliki keterbatasan finansial dan sumber daya manusia yang menghalangi ekspansi ke luar negeri. Meskipun perekrutan insinyur asing dianggap sebagai solusi untuk mengatasi kekurangan ini, hambatan internal yang mendalam membatasi implementasinya. Ini menunjukkan bahwa solusi "merekrut insinyur asing" harus disesuaikan dengan konteks internal dan kapasitas yang berbeda dari setiap lapisan perusahaan.
Temuan Kunci: Keterkaitan Antar Sistem dan Jalur Karier
Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini mengungkap hubungan yang jelas antara struktur industri (lapisan perusahaan), latar belakang insinyur, dan jalur karier mereka. Terdapat hubungan kuat antara lapisan perusahaan tempat insinyur bekerja dan sumber rekrutmen mereka, yang terperinci dalam Table 8.1 Perusahaan besar dan semi-besar (major, semi-major & first layer) cenderung merekrut lulusan universitas Jepang.1 Hal ini dapat dijelaskan oleh koneksi sosial dan profesional yang kuat antara profesor di universitas Jepang dan perusahaan-perusahaan besar, serta persepsi bahwa lulusan ini memiliki modal budaya yang lebih tinggi. Sebaliknya, perusahaan di lapisan yang lebih rendah (rural/small-medium second and/or lower layer) dan agen kepegawaian (staffing agency) sebagian besar merekrut lulusan universitas luar negeri.1 Fenomena ini menciptakan dua jalur karier yang berbeda bagi insinyur asing yang dimulai sejak tahap perekrutan dan memengaruhi seluruh lintasan profesional mereka.
Lebih jauh, Table 9 dan Table 10 1 mengungkapkan paradoks penempatan kerja dan kebutuhan bahasa yang mendalam. Perusahaan besar cenderung menugaskan insinyur asing ke proyek luar negeri, di mana kecakapan bahasa Inggris menjadi prioritas utama. Sebaliknya, perusahaan kecil dan menengah menempatkan mereka di proyek domestik, yang sangat menuntut kemampuan bahasa Jepang tingkat tinggi, tidak hanya untuk komunikasi sehari-hari tetapi juga untuk memperoleh kualifikasi profesional dan menyelesaikan dokumentasi teknis.1 Situasi ini adalah sebuah ketidaksesuaian strategis. Perusahaan di lapisan bawah, yang paling menderita akibat krisis tenaga kerja domestik dan didorong oleh kebutuhan akan insinyur bersertifikat, merekrut talenta yang paling tidak siap untuk memenuhi tuntutan bahasa tersebut. Hal ini mengharuskan insinyur asing di perusahaan kecil untuk menghabiskan waktu yang signifikan untuk belajar bahasa dan mempersiapkan ujian, sebuah tantangan yang tidak dihadapi oleh rekan-rekan mereka di perusahaan besar.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi signifikan yang membedakannya dari literatur yang ada. Pertama, paper ini adalah yang pertama kali secara eksplisit mengkaji hubungan antara sistem subkontraktor multi-lapis di Jepang dengan karakteristik dan jalur karier insinyur sipil asing.1 Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun hubungan kausal yang kuat, menunjukkan bagaimana struktur industri itu sendiri membentuk pengalaman ketenagakerjaan.1
Kedua, penelitian ini memperluas kerangka teoretis dengan menerapkan teori motivasi intrinsik Edward L. Deci untuk menganalisis faktor-faktor non-moneter yang memengaruhi retensi insinyur asing jangka panjang.1 Pendekatan ini adalah lompatan dari studi sebelumnya yang cenderung berfokus pada isu-isu pragmatis seperti gaji atau kondisi kerja. Dengan mengidentifikasi pentingnya faktor-faktor seperti otonomi, kompetensi, dan hubungan, penelitian ini membuka jalan untuk pengembangan program manajemen sumber daya manusia yang lebih holistik.1
Ketiga, penggunaan metodologi kualitatif yang mendalam, yaitu metode "life history," memungkinkan penelitian ini untuk menangkap nuansa motivasi, tantangan, dan transisi karier yang tidak dapat diukur oleh data statistik semata.1 Metode ini memberikan pemahaman yang kaya dan kontekstual tentang pengalaman individu, menjembatani kesenjangan antara analisis makro dan realitas mikro.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan kerangka kerja yang solid, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang menciptakan pertanyaan terbuka bagi penelitian masa depan. Keterbatasan utama terletak pada ukuran sampel wawancara yang terbatas, yaitu delapan insinyur asing dan tujuh manajer/eksekutif.1 Meskipun metode "life history" efektif untuk studi kasus, ukuran sampel ini membatasi generalisasi temuan ke seluruh industri konstruksi Jepang. Terdapat pertanyaan terbuka apakah temuan ini valid secara statistik di seluruh spektrum perusahaan dan insinyur, atau hanya merepresentasikan pengalaman dari kelompok yang diwawancarai.
Selanjutnya, penelitian ini tidak secara eksplisit membahas dampak faktor-faktor eksternal lain yang mungkin memengaruhi pengalaman insinyur asing, seperti perubahan kebijakan imigrasi, fluktuasi ekonomi global, atau preferensi migrasi yang berubah dari negara asal insinyur.1 Selain itu, meskipun paper mengusulkan solusi, ada pertanyaan terbuka tentang kelayakan implementasi praktisnya.1 Misalnya, bagaimana perusahaan kecil dengan sumber daya terbatas dapat menyediakan program pelatihan bahasa dan bimbingan yang memadai seperti yang diusulkan? Apakah ada model kolaborasi yang dapat memfasilitasi ini secara efisien? Pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan penelitian tambahan untuk dapat memberikan solusi yang benar-benar berkelanjutan dan dapat diterapkan.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Ajakan Kolaborasi dan Kesimpulan
Paper ini telah berhasil membangun kerangka konseptual yang kuat, menghubungkan isu demografis, struktur industri, dan motivasi individu. Namun, untuk menindaklanjuti temuan yang ada dan mengembangkan solusi yang dapat diterapkan secara praktis, penelitian lebih lanjut harus bersifat kolaboratif dan multidisiplin.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi utama yang berperan dalam ekosistem ini untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Kolaborasi harus terjalin antara Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata (sebagai pembuat kebijakan dan regulator), Universitas Tokyo City dan institusi akademik lainnya (untuk penelitian dan pengembangan program), serta asosiasi industri konstruksi Jepang dan JETRO (sebagai fasilitator dan perwakilan perusahaan) untuk meneliti, menguji, dan menerapkan solusi yang diusulkan.1
Baca Selengkapnya di https://doi.org/10.4186/ej.2025.29.4.65
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan vokasional, khususnya Teknik Sipil di tingkat SMK, penguasaan materi dasar seperti konstruksi balok sederhana merupakan fondasi penting bagi siswa. Penelitian Windri Eka Candri (2021) yang dilakukan di SMK Negeri 1 Cibinong hadir sebagai respons terhadap rendahnya nilai siswa dalam mata pelajaran Mekanika Teknik, khususnya pada kompetensi menghitung konstruksi balok sederhana. Dengan mengombinasikan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill, penelitian ini memberikan pendekatan baru yang terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.
Latar Belakang dan Permasalahan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 65% siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi konstruksi balok sederhana. Penyebab utama rendahnya hasil belajar ini di antaranya:
Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep dasar.
Kurangnya latihan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Metode ceramah yang monoton dan minim interaksi.
Masalah-masalah ini memunculkan kebutuhan mendesak akan strategi pengajaran yang lebih partisipatif dan kontekstual.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan tindakan kelas (Classroom Action Research) dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan. Subjek penelitian adalah 34 siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong yang terdiri dari 18 laki-laki dan 16 perempuan. Penelitian dilaksanakan selama Agustus hingga Desember 2019.
Data dikumpulkan melalui:
Lembar observasi aktivitas siswa dan guru
Pre-test dan post-test (siklus I dan II) untuk menilai pengetahuan siswa
Refleksi dan evaluasi siklus untuk menentukan efektivitas tindakan
Hasil Penelitian
Peningkatan Kompetensi Siswa
Pre-test menunjukkan hanya 13 dari 34 siswa (38,2%) yang mencapai nilai di atas KKM (76).
Setelah siklus I dengan penerapan PBL + Drill, jumlah siswa kompeten meningkat menjadi 21 siswa (58,8%).
Pada akhir siklus II, terjadi peningkatan drastis: 29 dari 34 siswa (85,3%) mencapai nilai kompeten.
Aktivitas Siswa dan Guru
Aktivitas siswa meningkat dari 79% (cukup aktif) di siklus I menjadi 87% (aktif) di siklus II.
Aktivitas guru meningkat dari 84% (baik) menjadi 90% (sangat baik).
Grafik peningkatan skor siswa dan keaktifan baik siswa maupun guru menunjukkan bahwa strategi pembelajaran ini mendorong keterlibatan dan pemahaman siswa secara menyeluruh.
Studi Kasus: Dampak Langsung di Lapangan
Sebagai contoh nyata, salah satu siswa bernamal R yang sebelumnya hanya mendapatkan nilai 65 pada pre-test, berhasil meningkat hingga 83 pada siklus II. Melalui diskusi kelompok berbasis masalah dan penguatan soal dengan drill, R menjadi lebih percaya diri dalam memahami perhitungan beban dan gaya pada balok sederhana.
Analisis dan Nilai Tambah
A. Kekuatan Pendekatan
PBL mendorong keterlibatan aktif siswa, bukan sekadar pasif mendengarkan ceramah.
Metode Drill memperkuat penguasaan teknis dan rutinitas perhitungan.
Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal.
B. Kelemahan dan Catatan
Penelitian hanya mencakup satu kelas dalam satu tahun ajaran, sehingga diperlukan replikasi lebih luas untuk generalisasi.
Tidak disebutkan keberlanjutan pemahaman siswa dalam jangka panjang.
C. Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini sejalan dengan penelitian Priyasudana (2016) dan Mardiah et al. (2016) yang juga menunjukkan bahwa PBL meningkatkan hasil belajar siswa Teknik Sipil. Namun, nilai tambah Candri terletak pada integrasi Drill, yang menjembatani antara pemahaman konseptual dan keterampilan teknis harian.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan Teknik
Guru Teknik Sipil dapat mengadopsi model ini untuk topik lain seperti struktur rangka atau analisis beban.
Sekolah dapat memfasilitasi pelatihan PBL bagi guru, mengingat metode ini mendorong pembelajaran aktif.
Kebijakan pendidikan vokasi perlu mendorong riset tindakan kelas sebagai alat peningkatan mutu.
Kesimpulan
Penelitian Windri Eka Candrimembuktikan bahwa kombinsasi Problem Based Learning dan Drill merupakan strategi efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Peningkatan signifikan baik dari aspek nilai maupun keterlibatan siswa menegaskan pentingnya model pembelajaran aktif dan kontekstual dalam pendidikan kejuruan.
Sebagai penutup, studi ini tidak hanya menyumbang pengetahuan empiris, tetapi juga memberikan inspirasi praktik nyata yang aplikatif bagi guru dan pembuat kebijakan pendidikan vokasional.
Sumber: Windri Eka Candri. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, 10(1), 34–39. DOI: 10.21009/jpensil.v10i1.18505
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 04 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Pembangunan infrastruktur adalah kunci kemajuan suatu bangsa, dan kualitasnya sangat bergantung pada profesionalisme insinyur. Untuk menjamin profesionalitas dan melindungi masyarakat, pemerintah umumnya melisensi atau meregistrasi tenaga ahli seperti insinyur. Proses ini dilakukan melalui sertifikasi yang melibatkan pihak ketiga. Di Indonesia, sertifikasi insinyur diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran. Namun, UU ini belum memiliki peraturan pelaksanaan teknis yang rinci.
Temuan dari penelitian ini sangat penting karena menunjukkan bahwa sertifikasi insinyur di Indonesia masih memiliki banyak ketidaksesuaian dengan praktik terbaik internasional, yang dalam hal ini merujuk pada model di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Analisis ini menemukan 20 faktor yang tidak sesuai dari total 36 faktor yang dievaluasi. Ketidaksesuaian ini berpotensi menghambat profesionalisme insinyur dan membahayakan keselamatan publik.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Penelitian ini mengadopsi pendekatan yuridis normatif dan deskriptif, menganalisis data sekunder dari peraturan perundang-undangan dan literatur terkait. Wawancara dengan narasumber juga dilakukan untuk mendukung data tersebut.
Dampak Positif
Adopsi Nilai dan Tujuan Kunci: Analisis menunjukkan bahwa sertifikasi insinyur Indonesia sudah selaras dengan nilai dan tujuan utama dari praktik terbaik. Nilai-nilai seperti profesionalitas, integritas, dan etika telah diakomodasi, dan tujuannya juga sejalan, yaitu melindungi masyarakat dan meningkatkan daya saing.
Pengakuan Peran Pemerintah: Peran pemerintah sebagai regulator dan pembina sistem sertifikasi sudah sesuai dengan praktik terbaik.
Hambatan
Kurangnya Peraturan Pelaksana: Meskipun UU 11/2014 ada, belum ada panduan teknis yang jelas untuk melaksanakannya, yang menjadi salah satu hambatan terbesar. Hal ini menyebabkan kurangnya rincian tentang kedudukan, fungsi, dan kewenangan antara pemerintah, Dewan Insinyur, dan lembaga terkait lainnya.
Masa Berlaku Sertifikat yang Terlalu Lama: Masa berlaku sertifikat di Indonesia adalah 5 tahun, sedangkan praktik terbaik merekomendasikan 1 hingga 3 tahun. Periode yang terlalu lama ini dikhawatirkan tidak menjamin kompetensi insinyur terus mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tumpang Tindih Kewenangan: Penelitian ini menemukan adanya ketidaksesuaian dalam kerangka institusi. Registrasi insinyur profesional, yang seharusnya menjadi kewenangan publik dari Dewan Insinyur, justru dilakukan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII), sebuah organisasi masyarakat.
Peluang
Penyusunan Peraturan Pelaksana: Adanya UU 11/2014 menjadi landasan yang kuat. Peluang terbesar adalah menyusun peraturan pelaksana yang rinci untuk menutup kesenjangan yang ditemukan.
Kolaborasi antar Lembaga: Pemerintah, Dewan Insinyur, dan asosiasi profesi harus bekerja sama untuk memperjelas peran, tugas, dan tanggung jawab masing-masing, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Berdasarkan temuan penelitian, berikut adalah lima rekomendasi kebijakan praktis untuk memperbaiki sistem sertifikasi insinyur di Indonesia:
1. Percepatan Penyusunan Peraturan Pelaksana UU Keinsinyuran: Pemerintah harus memprioritaskan penyelesaian peraturan pelaksana dari UU 11/2014. Peraturan ini harus secara rinci mengatur kedudukan, fungsi, tugas, dan wewenang antara berbagai pihak terkait, termasuk pemerintah, Dewan Insinyur, PII, dan lembaga sertifikasi profesi.
2. Penyesuaian Masa Berlaku Sertifikat: Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan masa berlaku sertifikat dari 5 tahun menjadi 1 hingga 3 tahun, seperti yang direkomendasikan oleh praktik terbaik. Hal ini untuk memastikan bahwa insinyur terus mengikuti Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) dan kompetensinya tetap relevan dengan perkembangan teknologi.
3. Pemisahan Jelas Kewenangan Publik dan Organisasi Profesi: Kewenangan publik seperti registrasi dan pengujian kompetensi insinyur profesional harus sepenuhnya berada di bawah Dewan Insinyur sebagai badan semi-pemerintah. Peran asosiasi profesi seperti PII sebaiknya difokuskan pada pembinaan anggota dan pengembangan etika profesi.
4. Penguatan Lembaga Uji Kompetensi dan Registrasi: Lembaga sertifikasi profesi (LSP) yang melakukan uji kompetensi harus berada di bawah mandat Dewan Insinyur, bukan hanya beroperasi berdasarkan peraturan ketenagakerjaan yang lebih ditujukan untuk tenaga terampil.
5. Pembinaan Konsultan dalam Kerangka UU Keinsinyuran: Sertifikasi insinyur harus mencakup pembinaan untuk konsultan sebagai wadah insinyur bekerja, tidak hanya bersifat pengaturan pengadaan seperti dalam UU Jasa Konstruksi. Ini akan memastikan konsultan tidak hanya berfungsi sebagai entitas bisnis, tetapi juga menjamin kualitas praktik insinyur di dalamnya.
Kritik dan Risiko Jika Kebijakan Tidak Diterapkan
Tanpa implementasi kebijakan yang didasarkan pada temuan ini, risiko yang muncul sangat signifikan. Infrastruktur yang dibangun oleh insinyur dengan kompetensi yang tidak terjamin dapat berpotensi menimbulkan kerugian besar, baik dari segi ekonomi maupun keselamatan publik. Selain itu, ketidakjelasan peran dan kewenangan antar lembaga dapat terus menjadi sumber masalah, yang menghambat terciptanya sistem sertifikasi yang transparan dan akuntabel. Jumlah asosiasi profesi yang terlalu banyak dan kurangnya pembinaan juga menyulitkan pemerintah dalam mengatur dan meningkatkan kualitas tenaga ahli. Pada akhirnya, profesi insinyur di Indonesia akan tertinggal dari standar global dan kehilangan daya saing di tingkat regional maupun internasional.
Kesimpulan
Analisis mendalam terhadap sertifikasi insinyur di Indonesia menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dengan praktik terbaik internasional, terutama pada aspek nilai, prinsip, proses bisnis, serta kerangka institusi dan regulasi. Penelitian ini menggarisbawahi urgensi bagi pemerintah untuk menyusun peraturan pelaksana yang rinci, merevisi masa berlaku sertifikat, memperjelas pembagian peran, dan memperkuat lembaga terkait. Dengan mengambil langkah-langkah nyata ini, Indonesia dapat membangun fondasi yang kokoh untuk profesi insinyur, menjamin kompetensi tenaga ahli, dan pada akhirnya, melindungi kepentingan dan keselamatan masyarakat.
🔗 Sumber Paper: Widiasanti, I. (2017). Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification. SNITT- Politeknik Negeri Balikpapan 2017, 390-400. Baca selengkapnya tentang kursus terkait di sini: Manajemen Konstruksi