Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Solusi Praktis untuk Tanah Mengembang: Pengembangan Formula Sederhana untuk Menentukan Kedalaman Penggantian Tanah yang Optimal

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Pendahuluan

Perilaku tanah mengembang tak jenuh akibat perubahan kadar air telah menjadi fokus penelitian intensif sejak tahun 1950-an. Berbagai formula dan teknik telah diusulkan untuk mengklasifikasikan, menggambarkan, dan memprediksi perilaku serta parameter tanah jenis ini. Di sisi lain, banyak teknik digunakan untuk memungkinkan struktur dibangun di atas tanah mengembang tanpa mengalami kerusakan akibat pengangkatan tanah.

Mengganti tanah mengembang dengan campuran granular adalah salah satu teknik yang paling terkenal dan termurah, terutama untuk struktur ringan di lapisan tanah mengembang yang dangkal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan formula sederhana untuk memperkirakan pengangkatan tanah mengembang dengan mempertimbangkan efek lapisan pengganti. Formula yang dikembangkan digunakan untuk memperkirakan kedalaman penggantian yang diperlukan untuk menghindari kerusakan akibat pengangkatan yang berlebihan.

Perilaku Tanah Lempung Mengembang

Hubungan antara kadar air lempung dan kemampuannya untuk mengembang sangat nonlinier seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 dalam paper. Secara umum, peningkatan kadar air sampel tanah mengembang menyebabkan peningkatan volume sampel karena reaksi kimia antara air dan mineral lempung aktif dalam sampel. Jumlah pengangkatan sampel bergantung pada kuantitas dan jenis mineral aktif serta derajat saturasi awal dan akhir. Selain itu, tegangan eksternal yang diterapkan pada sampel memiliki efek signifikan pada pengangkatan.

Tegangan tekan eksternal yang diterapkan pada sampel tanah liat tak jenuh menyebabkan konsolidasi dan penurunan volume sampel. Semakin besar tegangan yang diterapkan, semakin besar penurunan volumenya. Tegangan yang diperlukan untuk mengurangi volume sampel yang mengembang ke volume aslinya disebut "Tekanan Mengembang" (Ps). Tekanan mengembang dapat diukur secara eksperimental dari uji odometer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dalam paper. Berdasarkan definisi, jika tegangan eksternal yang diterapkan dari struktur sama dengan atau lebih besar dari tekanan mengembang, maka struktur ini tidak akan mengalami pengangkatan. Bangunan yang lebih berat akan mengalami pengangkatan yang lebih kecil daripada bangunan yang lebih ringan. Efek pengangkatan paling buruk untuk struktur tanpa bobot seperti perkerasan, jalur pipa, rel kereta api, dan menara transmisi.

Identifikasi Tanah Mengembang

Memperkirakan kemampuan tanah untuk mengembang (potensi mengembang) dipelajari secara intensif oleh banyak peneliti. Setiap peneliti menyarankan skala untuk mengklasifikasikan tanah sesuai dengan potensi mengembangnya berdasarkan beberapa pengujian laboratorium dasar. Peneliti sebelumnya menggunakan batas konsistensi sederhana dan pengujian mengembang bebas untuk mengklasifikasikan tanah mengembang. Seiring dengan semakin berkembang dan lengkapnya laboratorium mekanika tanah, pengujian yang lebih canggih digunakan untuk mengklasifikasikan tanah mengembang odometer, mineralogi, dan pengujian pertukaran kation. Sebagian besar penelitian mengklasifikasikan tanah mengembang menurut potensi mengembangnya menjadi empat kategori: rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Beberapa metode klasifikasi yang paling terkenal diringkas dalam Gambar 4 dalam paper.

Metode Awal untuk Memprediksi Heave

Memprediksi jumlah heave adalah salah satu tujuan utama dari mempelajari tanah mengembang. Peneliti sebelumnya menggunakan hasil eksperimen untuk membentuk formula empiris untuk memperkirakan heave berdasarkan parameter tanah dasar seperti batas konsistensi, kadar air, dan kandungan lempung. Beberapa formula empiris yang paling terkenal untuk memprediksi nilai heave adalah formula Vijayvergiya dan Sullivan (1973), formula Schneider dan Poor (1974), formula Johnson (1978), dan formula Weston (1980) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dalam paper. Di mana heave sama dengan ketebalan lapisan mengembang dikalikan dengan potensi mengembang. Meskipun formula tersebut mudah diterapkan dan hanya memerlukan sifat tanah dasar, namun memiliki rentang kesalahan yang lebar (sekitar 35%).

Pendekatan ini dikembangkan dengan menggunakan pengujian laboratorium yang lebih canggih untuk meningkatkan akurasi formula empiris. Beberapa contoh formula tersebut adalah Korelasi McKeen dan Lytton (1981), Model McKeen (1992), Model Hafez (1994) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 dalam paper. Meskipun formula tersebut lebih akurat, namun tetap merupakan regresi data tanpa dasar ilmiah.

Pendekatan lain untuk memperkirakan nilai heave adalah metode analitik yang bergantung pada prinsip-prinsip mekanika tanah dan menggunakan parameter spesifik yang diukur di laboratorium untuk menghitung heave. Berdasarkan parameter yang diukur, metode tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, metode yang bergantung pada uji odometer volume konstan dan metode yang bergantung pada uji isap tanah (uji odometer isap terkontrol).

Metode yang bergantung pada uji odometer volume konstan, menghitung heave berdasarkan indeks mengembang yang diukur dengan asumsi bahwa kondisi tegangan awal adalah tekanan mengembang yang dikoreksi dan kondisi tegangan akhir adalah tegangan vertikal efektif. Formula dasarnya ditunjukkan pada Gambar 6 dalam paper.

Metode yang bergantung pada uji isap tanah menghitung perkiraan heave berdasarkan indeks mengembang dan kompresibilitas yang diukur menggunakan prinsip-prinsip perilaku tanah liat tak jenuh yang ditunjukkan pada Gambar 7 dalam paper.

Peningkatan kapasitas komputasi komputer memungkinkan penelitian terbaru untuk menggunakan teknik yang lebih canggih seperti model elemen hingga yang digabungkan dan tidak digabungkan untuk memprediksi heave.

Formula yang Diusulkan untuk Memprediksi Heave

Formula yang diusulkan termasuk dalam metode analitik yang bergantung pada uji odometer volume konstan. Untuk menghitung heave dari lapisan tanah liat mengembang yang homogen dan isotropik yang tebalnya tak terhingga dimulai dari permukaan tanah tanpa permukaan air tanah, pertama-tama kedalaman kritis (Hc) (atau kadang-kadang disebut kedalaman aktif) harus ditentukan. Pada kedalaman kritis, tegangan vertikal efektif sama dengan tekanan mengembang. Di bawah kedalaman kritis, tanah tidak akan heave. Kemudian kedalaman kritis dibagi menjadi 20 sub-lapisan tebal yang sama, setiap lapisan mengalami tegangan ke atas sama dengan tekanan mengembang. Heave dari setiap sub-lapisan dihitung berdasarkan formula yang ditunjukkan pada Gambar 6 dalam paper.

Rasio antara total heave pada setiap sub-lapisan (n) pada kedalaman (H) di dalam kedalaman kritis dan total heave pada permukaan tanah dapat dihitung sebagai penjumlahan heave dari sub-lapisan (n) dan ke bawah ke sub-lapisan (1) dibagi dengan total heave pada permukaan tanah, yang dapat disederhanakan dengan regresi logaritmik menjadi 0,25 Ln(Hc/H). Karena penyederhanaan, H dibatasi antara (0,02 Hc hingga 1,0 Hc). Total heave pada setiap kedalaman adalah total heave pada permukaan tanah dikalikan dengan rasio ini.

Untuk tanah liat mengembang dengan ketebalan terbatas dengan permukaan atas pada kedalaman (Ht) dan permukaan bawah pada kedalaman (Hb) dari permukaan tanah, total heave dari lapisan ini (∆h) adalah selisih antara total heave pada kedalaman (Ht) dan (Hb) sebagai berikut:

Jika hasil uji odometer tidak tersedia, Cs sama dengan (1/6 hingga 1/10) Cc (indeks kompresi), dan Cc berkisar antara (0,007 - 0,009).(LL-10) menurut rasio over-konsolidasi tanah liat, di mana LL adalah persentase batas cair (70% hingga 90% untuk sebagian besar tanah liat mengembang). Oleh karena itu, Cc berkisar antara (0,06 hingga 0,13)LL , di mana LL adalah fraktur desimal. Skempton (1953) menyarankan tiga kelas tanah liat: tidak aktif untuk aktivitas kurang dari 0,75; normal untuk aktivitas antara 0,75 dan 1,25; dan aktif untuk aktivitas lebih besar dari 1,25. Nilai khas aktivitas untuk mineral tanah liat yang berbeda adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dalam paper.

Selain itu, tekanan mengembang dapat diukur secara eksperimental atau diperkirakan menggunakan formula empiris apa pun yang tercantum dalam Gambar 3 dalam paper.

Verifikasi Formula Heave yang Diusulkan

Heave dari pelat lantai kelas di bangunan industri ringan di Regina utara-tengah, Saskatchewan dipantau dan dianalisis oleh Yoshida et al., (1983) menggunakan metode analitik berdasarkan uji odometer volume konstan, dan dilaporkan serta dianalisis oleh Fredlund dan Hung, (2004) menggunakan model elemen hingga yang tidak digabungkan. Pembangunan gedung dan instrumentasi berlangsung selama Agustus 1961. Instrumentasi yang dipasang di lokasi termasuk patokan dalam, pengukur gerakan vertikal, dan tabung akses meteran kelembaban neutron. Gerakan tanah vertikal dipantau pada kedalaman 0,58, 0,85, dan 2,39 m di bawah permukaan tanah asli.

Pemilik bangunan memperhatikan heave dan retakan pada pelat lantai pada awal Agustus 1962, sekitar setahun setelah pembangunan. Peningkatan tak terduga dalam konsumsi air sekitar 35000L tercatat. Jalur air panas retak di bawah pelat lantai. Analisis laboratorium untuk sampel di lokasi dilakukan. Batas Atterberg, kadar air in-situ, distribusi ukuran butiran, dan tekanan mengembang sampel dievaluasi. Tekanan mengembang dan indeks mengembang diperoleh dengan uji odometer volume konstan untuk tiga sampel. Lokasi retakan, kontur heave, ringkasan batas Atterberg, dan hasil uji odometer ditunjukkan pada Gambar 9 dalam paper. Biaya tambahan adalah berat pelat beton setebal 100mm pada kelas dan pasir setebal 180mm.

Kesimpulan

Formula yang diusulkan memberikan cara yang lebih sederhana dan akurat untuk memperkirakan heave tanah mengembang dan menentukan kedalaman penggantian tanah yang optimal.

Sumber: Dr. Hisham Arafat, Dr. Ahmed M. Ebid. Optimum Replacement Depth to Control Heave of Swelling Clays. International Journal of Engineering and Innovative Technology (IJEIT), 2015.

Selengkapnya
Solusi Praktis untuk Tanah Mengembang: Pengembangan Formula Sederhana untuk Menentukan Kedalaman Penggantian Tanah yang Optimal

Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Memperkuat Fondasi: Metode dan Material Modern dalam Stabilisasi Tanah untuk Konstruksi Unggul

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Pendahuluan

Studi kelayakan lokasi proyek geoteknik sangat penting sebelum memulai proyek konstruksi. Survei lokasi diperlukan untuk memahami karakteristik lapisan tanah yang menjadi dasar pengambilan keputusan lokasi proyek. Kriteria desain geoteknik berikut harus dipertimbangkan selama pemilihan lokasi:

  • Beban desain dan fungsi struktur
  • Jenis pondasi yang akan digunakan
  • Daya dukung lapisan tanah

Praktik saat ini adalah memodifikasi sifat-sifat teknik tanah asli yang bermasalah agar memenuhi spesifikasi desain. Tinjauan ini berfokus pada metode stabilisasi tanah, yang merupakan salah satu dari beberapa metode perbaikan tanah.

Stabilisasi tanah bertujuan untuk meningkatkan kekuatan tanah dan meningkatkan ketahanan terhadap pelunakan oleh air dengan mengikat partikel-partikel tanah, membuat partikel-partikel tersebut kedap air, atau kombinasi keduanya. Biasanya, teknologi ini memberikan solusi struktural alternatif untuk masalah praktis. Proses stabilisasi yang paling sederhana adalah pemadatan dan drainase. Proses lainnya adalah dengan memperbaiki gradasi ukuran partikel, dan peningkatan lebih lanjut dapat dicapai dengan menambahkan pengikat ke tanah yang lemah.

Komponen Stabilisasi

Stabilisasi tanah melibatkan penggunaan agen stabilisasi (bahan pengikat) pada tanah yang lemah untuk meningkatkan sifat-sifat geotekniknya seperti kompresibilitas, kekuatan, permeabilitas, dan daya tahan. Komponen teknologi stabilisasi meliputi tanah dan atau mineral tanah serta agen stabilisasi atau pengikat (bahan semen).

1. Tanah

Sebagian besar stabilisasi harus dilakukan pada tanah lunak (tanah berlanau, lempungan gambut, atau tanah organik) untuk mencapai sifat-sifat teknik yang diinginkan. Menurut Sherwood (1993), material granular berbutir halus adalah yang paling mudah distabilkan karena luas permukaannya yang besar relatif terhadap diameter partikelnya. Tanah lempung dibandingkan dengan tanah lainnya memiliki luas permukaan yang besar karena bentuk partikelnya yang pipih dan memanjang. Di sisi lain, material lanau dapat sensitif terhadap perubahan kecil dalam kelembaban, dan oleh karena itu, dapat terbukti sulit selama stabilisasi (Sherwood, 1993). Tanah gambut dan tanah organik kaya akan kandungan air hingga sekitar 2000%, porositas tinggi, dan kandungan organik tinggi. Konsistensi tanah gambut dapat bervariasi dari berlumpur hingga berserat, dan dalam banyak kasus, endapannya dangkal, tetapi dalam kasus terburuk, dapat mencapai beberapa meter di bawah permukaan (Pousette, et al 1999; Cortellazzo dan Cola, 1999; Åhnberg dan Holm, 1999). Tanah organik memiliki kapasitas pertukaran yang tinggi; hal ini dapat menghambat proses hidrasi dengan menahan ion kalsium yang dilepaskan selama hidrasi kalsium silikat dan kalsium aluminat dalam semen untuk memenuhi kapasitas pertukaran. Pada tanah seperti itu, keberhasilan stabilisasi harus bergantung pada pemilihan pengikat dan jumlah pengikat yang tepat yang ditambahkan (Hebib dan Farrell, 1999; Lahtinen dan Jyrävä, 1999, Åhnberg et al, 2003).

2. Agen Stabilisasi

Ini adalah material hidraulik (pengikat primer) atau non-hidraulik (pengikat sekunder) yang ketika bersentuhan dengan air atau dengan adanya mineral pozzolanik bereaksi dengan air untuk membentuk material komposit semen. Pengikat yang umum digunakan adalah:

  • Semen
  • Kapur
  • Abu terbang

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekuatan Tanah yang Distabilkan

Beberapa faktor dapat mempengaruhi kekuatan tanah yang distabilkan, termasuk:

  • Bahan organik
  • Sulfat
  • Sulfida
  • Pemadatan
  • Kandungan air
  • Suhu
  • Efek pembekuan-pencairan dan pengeringan-pembasahan

Metode Stabilisasi

Stabilisasi tanah dapat dicapai dengan dua cara, yaitu: (1) stabilisasi in-situ dan (2) stabilisasi ex-situ.

1. Stabilisasi In-Situ

Metode ini melibatkan perbaikan tanah di tempat tanpa memindahkannya. Salah satu teknik stabilisasi in-situ yang umum adalah metode pencampuran dalam (Deep Mixing Method/DMM). DMM digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan mengurangi kompresibilitas tanah lunak.

2. Stabilisasi Ex-Situ

Metode ini melibatkan penggalian tanah dan memindahkannya ke lokasi lain untuk distabilkan.

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Penggunaan kapur dalam stabilisasi tanah dapat meningkatkan indeks plastisitas tanah dari 21% menjadi 9%.
  • Penambahan 12% abu terbang ke dalam tanah dapat menghasilkan peningkatan kekuatan geser tanah sebesar 60%.

Kesimpulan

Stabilisasi tanah merupakan proses penting dalam rekayasa geoteknik yang bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat tanah yang bermasalah. Pemilihan metode stabilisasi yang tepat bergantung pada faktor-faktor seperti jenis tanah, kondisi lokasi, dan persyaratan proyek.

Sumber: Gregory Paul Makusa. SOIL STABILIZATION METHODS AND MATERIALS IN ENGINEERING PRACTICE. Luleå University of Technology, 2012.

Selengkapnya
Memperkuat Fondasi: Metode dan Material Modern dalam Stabilisasi Tanah untuk Konstruksi Unggul

Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Evaluasi Campuran EarthZyme dan Limbah Cement Kiln Dust (CKD) untuk Stabilisasi Subgrade Jalan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Pendahuluan

Teknik stabilisasi tanah banyak digunakan dalam konstruksi jalan untuk meningkatkan sifat-sifat material subgrade. Penggunaan aditif dan stabilisator baru untuk memperbaiki sifat tanah dapat mengurangi biaya konstruksi dan mengurangi dampak negatif material tersebut terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan material nano berbasis cairan bernama EarthZyme (EZ) dan limbah cement kiln dust (CKD) sebagai campuran untuk memperbaiki sifat-sifat tanah.

Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan campuran dua jenis tanah yang disiapkan dari campuran tanah berpasir dan tanah berbutir halus. Uji pemadatan dilakukan pada tanah yang distabilisasi dengan CKD untuk menentukan hubungan antara kepadatan dan kadar air. Uji tekan bebas (Unconfined Compression Test/UCS) juga dilakukan pada spesimen tanpa perlakuan, spesimen yang hanya diberi CKD, dan spesimen yang diberi CKD dan EZ setelah periode perawatan selama tujuh hari.

Hasil dan Diskusi

1. Sifat Pemadatan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan CKD ke dalam tanah mengurangi nilai kepadatan kering maksimum (Maximum Dry Density/MDD) sebesar 10 hingga 12%.

2. Kuat Tekan Bebas (UCS)

Penambahan CKD ke dalam tanah menurunkan nilai kuat tekan bebas (UCS) sebesar 5 hingga 15%. Stabilisasi tanah dengan EZ memiliki efek yang tidak signifikan pada hasil yang diperoleh dari uji tekan bebas.

3. EarthZyme (EZ)

EarthZyme adalah stabilisator tanah non-toksik yang digunakan dengan tanah lempung untuk mengurangi biaya pemeliharaan jalan karena meningkatkan pemadatan dan meningkatkan nilai kekuatan. Penerapan EZ dalam perbaikan tanah menyebabkan nilai kekuatan tanah yang lebih tinggi, yang memungkinkan penggunaan tanah yang buruk, sehingga mengurangi ketergantungan normal pada tanah granular.

4. Cement Kiln Dust (CKD)

CKD adalah produk sampingan dari proses produksi semen Portland. CKD dapat digunakan sebagai alternatif untuk kapur, semen Portland, dan fly ash yang telah digunakan dalam konstruksi jalan. Penggunaan CKD tidak hanya efektif dalam meningkatkan kekuatan tanah, tetapi juga dalam meminimalkan biaya konstruksi.

5. Studi Kasus dan Angka Penting

  • Penambahan CKD mengurangi MDD dari 10 hingga 12%.
  • Penambahan CKD menurunkan nilai UCS dari 5 hingga 15%.
  • Stabilisasi tanah dengan EZ memiliki efek yang tidak signifikan pada hasil UCS.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa penambahan CKD ke dalam tanah campuran (pasir dan tanah berbutir halus) cenderung menurunkan nilai MDD dan UCS. Penggunaan EarthZyme dalam kombinasi dengan CKD tidak memberikan peningkatan signifikan pada kuat tekan bebas tanah. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengeksplorasi potensi penggunaan EZ dan CKD dengan jenis tanah lain dan dalam kondisi yang berbeda.

Sumber: A. H. Abdulkareem, S. O. Eyada, N. S. Mahmood. Improvement of a subgrade soil by using EarthZyme and cement kiln dust waste. Civil Engineering Journal, 2023.

Selengkapnya
Evaluasi Campuran EarthZyme dan Limbah Cement Kiln Dust (CKD) untuk Stabilisasi Subgrade Jalan

Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Studi Pemanfaatan Lumpur Pengolahan Air dan Campuran Tanah Lunak sebagai Material Liner

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Pengelolaan limbah dari instalasi pengolahan air (water treatment plant/WTP) selalu menjadi tantangan lingkungan yang signifikan. Salah satu limbah utama dari WTP adalah lumpur pengolahan air (water treatment sludge/WTS) yang dihasilkan selama proses pengendapan dan filtrasi. Penelitian terbaru oleh Marchiori et al. (2022) mengusulkan solusi inovatif dengan menggunakan WTS sebagai bahan campuran untuk menghasilkan material liner yang berkelanjutan untuk fasilitas penyimpanan limbah.

Dasar Pemikiran dan Tujuan Penelitian

Liner berbasis lempung dan geosintetik umumnya digunakan sebagai penghalang hidrolik di berbagai fasilitas pembuangan limbah padat, kolam tailing pertambangan, dan teknologi pengolahan air limbah berbasis tanah. Fungsi utamanya adalah mencegah pencucian senyawa berbahaya ke dalam tanah dan air tanah. Namun, penggunaan lempung dan geosintetik memiliki beberapa keterbatasan, termasuk biaya tinggi, kelangkaan bahan baku, dan dampak lingkungan dari ekstraksi lempung.

Studi ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan menganalisis parameter fisik, kimia, dan mekanis dari WTS, tanah lunak, dan empat campuran WTS:tanah dengan rasio 05:95%, 10:90%, 15:85%, dan 20:80%. Analisis ini dilakukan untuk mengevaluasi rasio terbaik untuk memproduksi liner berbasis limbah untuk aplikasi teknik sipil, khususnya untuk fasilitas penyimpanan limbah.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan komprehensif dengan serangkaian pengujian untuk mengevaluasi karakteristik geoteknik, kimia, dan mekanis dari semua sampel.

Karakterisasi Geoteknik:

  • Distribusi ukuran partikel
  • Permukaan spesifik (SS)
  • Berat jenis (Gs)
  • Batas Atterberg
  • Pemadatan Normal Proctor

Karakterisasi Kimia:

  • Analisis oksida melalui X-ray fluorescence (XRF)
  • Karakterisasi mineralogi dengan X-ray diffraction (XRD)
  • Pencitraan dengan scanning electron microscope (SEM) dengan energy dispersive spectrometer (EDS)
  • Pengukuran pH

Pengujian Mekanis:

  • Pengujian ekspansibilitas
  • Konsolidasi oedometrik
  • Uji kompresi triaksial terkonsolidasi tak terdrainase (CU)
  • Permeabilitas head jatuh

Lumpur pengolahan air diperoleh dari Instalasi Pengolahan Air "ETA Caldeirão" di Guarda, Portugal, sedangkan tanah lunak dikumpulkan dari lokasi konstruksi di Castelo Branco, Portugal.

Temuan Utama

1. Karakteristik Geoteknik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah lunak diklasifikasikan sebagai pasir bergradasi baik (SW), sementara WTS dan semua campuran diklasifikasikan sebagai pasir bergradasi baik dengan lanau (SW-SM) menurut klasifikasi standar USCS. Tanah memiliki plastisitas rendah dengan indeks plastisitas (PI) sekitar 7%, sedangkan WTS kering tergolong material non-plastik (NP), meskipun dalam keadaan basah memiliki plastisitas tinggi sekitar 140%.

Berat jenis (Gs) WTS adalah 2,04, lebih rendah dari tanah (2,77), yang menyebabkan penurunan berat unit kering dari campuran seiring dengan penambahan WTS. Untuk campuran dengan WTS kering, ketika kandungan WTS meningkat dari 5% menjadi 20%, plastisitas menurun dari 6% menjadi 1%.

2. Komposisi Kimia dan Mineralogi

Analisis XRF menunjukkan bahwa komposisi WTS didominasi oleh alumina (Al₂O₃) sebesar 60,4% dan silika (SiO₂) sebesar 29,9%. Kandungan alumina yang tinggi ini menjelaskan penurunan berat unit kering campuran seiring dengan penambahan WTS. Semua campuran memiliki kandungan Al₂O₃ + SiO₂ + Fe₂O₃ lebih dari 90%, yang potensial menunjukkan aktivitas pozzolanik.

Analisis XRD mengungkapkan keberadaan mineral utama seperti kuarsa, muskovit, dan kaolinit dalam WTS dan tanah. Hasil SEM menunjukkan peran WTS sebagai material pengisi yang memberikan granulometri lebih halus dan campuran lebih homogen.

Nilai pH campuran berkisar antara 4,2 hingga 4,6, lebih rendah dibandingkan dengan tanah dan WTS yang memiliki pH 6,0. Penurunan pH ini mungkin disebabkan oleh reaksi kimia yang terjadi selama pencampuran WTS dengan air suling.

3. Performa Mekanis

Kompresibilitas: Indeks kompresi (Cc) campuran serupa dengan tanah asli, menunjukkan bahwa karakteristik deformabilitas tidak berubah secara signifikan dengan penambahan WTS. Nilai Cc untuk semua material kurang dari 0,5, konsisten dengan tanah lempung yang dipadatkan.

Ekspansibilitas: Indeks ekspansibilitas (Is) menurun dari 22% untuk tanah menjadi 10% untuk campuran 20:80%, menunjukkan stabilisasi tanah dengan penambahan WTS, menghasilkan material yang lebih stabil.

Kekuatan Geser: Penambahan WTS ke tanah lunak berdampak positif, dengan peningkatan sudut gesek internal efektif (φ') dan penurunan kohesi (c'). Nilai φ' meningkat dari 20° untuk tanah menjadi 31° untuk campuran 15:85%, dan kohesi menurun dari 10 kPa untuk tanah menjadi 0 kPa untuk campuran 15:85% dan 20:80%.

4. Konduktivitas Hidrolik

Konduktivitas hidrolik (k) adalah parameter terpenting untuk liner bawah atau penutup akhir fasilitas pembuangan limbah. Liner lempung yang dipadatkan harus memiliki permeabilitas sama dengan atau lebih rendah dari 1 x 10⁻⁹ m/s sesuai dengan peraturan lingkungan di sebagian besar negara.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa campuran dengan performa terbaik terkait permeabilitas adalah campuran dengan penambahan 15% WTS. Tanah yang dipadatkan memiliki permeabilitas rendah yang memenuhi persyaratan untuk material liner. Meskipun penambahan WTS meningkatkan nilai k hingga satu tingkat magnitude (10x), permeabilitas campuran tetap lebih dekat dengan tanah lempung daripada pasir.

Campuran 15:85% mencapai nilai di bawah 10⁻⁹ m/s dalam semua pengujian, menjadikannya campuran optimal untuk aplikasi liner.

Studi Kasus dan Perbandingan Numerik

Penelitian ini menunjukkan perbedaan signifikan dalam parameter kunci di antara berbagai campuran:

Berat Unit Kering Maksimum:

  • Tanah: 1,74 g/cm³
  • Campuran 05:95%: 1,68 g/cm³
  • Campuran 10:90%: 1,58 g/cm³
  • Campuran 15:85%: 1,50 g/cm³
  • Campuran 20:80%: 1,44 g/cm³

Indeks Plastisitas (PI):

  • Tanah: 7%
  • WTS basah: 140%
  • WTS kering: Non-plastik
  • Campuran 05:95%: 6%
  • Campuran 10:90%: 5%
  • Campuran 15:85%: 3%
  • Campuran 20:80%: 1%

Indeks Ekspansibilitas (Is):

  • Tanah: 22%
  • Campuran 05:95%: 15%
  • Campuran 10:90%: 13%
  • Campuran 15:85%: 12%
  • Campuran 20:80%: 10%

Sudut Gesek Internal Efektif (φ'):

  • Tanah: 20°
  • Campuran 05:95%: 24°
  • Campuran 10:90%: 25°
  • Campuran 15:85%: 31°
  • Campuran 20:80%: 30°

Konduktivitas Hidrolik (k):

  • Tanah: 6 x 10⁻¹¹ - 3 x 10⁻⁹ m/s
  • Campuran 05:95%: 1 x 10⁻⁹ - 6 x 10⁻⁹ m/s
  • Campuran 10:90%: 7 x 10⁻¹⁰ - 2 x 10⁻⁹ m/s
  • Campuran 15:85%: 2 x 10⁻¹⁰ - 1 x 10⁻⁹ m/s
  • Campuran 20:80%: 8 x 10⁻¹⁰ - 2 x 10⁻⁸ m/s

Kontribusi dan Implikasi

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan untuk praktik teknik sipil yang berkelanjutan dan manajemen limbah:

  1. Valorisasi Limbah: Memanfaatkan WTS sebagai bahan berharga baru dalam kerangka ekonomi sirkular, meminimalkan dampak lingkungan dari pembuangan limbah.
  2. Material Liner Alternatif: Menghasilkan material liner berbasis limbah yang dapat digunakan untuk fasilitas penyimpanan limbah padat, kolam tailing pertambangan, dan teknologi pengolahan air limbah berbasis tanah.
  3. Pengurangan Ekstraksi Bahan Baku: Mengurangi kebutuhan akan lempung dan bahan geosintetik yang mahal dan berdampak lingkungan tinggi.
  4. Optimalisasi Rasio Campuran: Mengidentifikasi rasio optimal 15:85% WTS:tanah yang memberikan performa terbaik untuk aplikasi liner.

Keterbatasan dan Penelitian Lebih Lanjut

Meskipun penelitian ini memberikan hasil yang menjanjikan, beberapa keterbatasan dan area untuk penelitian lebih lanjut diidentifikasi:

  1. Evaluasi Jangka Panjang: Diperlukan pengujian tambahan untuk mengevaluasi konsolidasi material dengan tanah dalam jangka panjang.
  2. Risiko Pencucian: Potensi pencucian senyawa berbahaya dari limbah (misalnya, garam besi dan aluminium) ke dalam tanah perlu dievaluasi lebih lanjut.
  3. Aktivitas Pozzolanik: Meskipun komposisi kimia menunjukkan potensi aktivitas pozzolanik, pengujian spesifik seperti analisis FTIR diperlukan untuk konfirmasi.
  4. Variabilitas WTS: Keanekaragaman dalam analisis kimia dan indeks plastisitas di antara berbagai studi mengungkapkan variabilitas WTS, yang mungkin dipengaruhi oleh metode pengolahan air dan jenis koagulan yang digunakan.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa inkorporasi WTS dapat meningkatkan atau setidaknya tidak mengganggu sifat-sifat tanah untuk digunakan sebagai material liner di fasilitas penyimpanan limbah padat, kolam pertambangan, dan teknologi pengolahan air limbah berbasis tanah. Campuran 15:85% WTS:tanah memberikan hasil terbaik yang memenuhi persyaratan konduktivitas hidrolik untuk material liner, yaitu sama dengan atau lebih rendah dari 10⁻⁹ m/s.

Pemanfaatan kembali WTS untuk tujuan ini memungkinkan produksi material bernilai tambah baru dalam lingkup ekonomi sirkular, sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan dan pengurangan dampak lingkungan. Pendekatan ini tidak hanya memberikan solusi untuk manajemen limbah WTP tetapi juga menghasilkan material konstruksi berkelanjutan yang dapat diaplikasikan dalam berbagai proyek teknik sipil dan lingkungan.

Sumber: Marchiori, L., Studart, A., Albuquerque, A., Andrade Pais, L., Boscov, M. E., & Cavaleiro, V. (2022). Mechanical and Chemical Behaviour of Water Treatment Sludge and Soft Soil Mixtures for Liner Production. The Open Civil Engineering Journal, 16, e187414952211101. DOI: 10.2174/18741495-v16-e221115-2022-27.

Selengkapnya
Studi Pemanfaatan Lumpur Pengolahan Air dan Campuran Tanah Lunak sebagai Material Liner

Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Menguatkan Lahan Gambut: Perbandingan Efektivitas Kapur dan Semen dalam Stabilisasi Tanah

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Pendahuluan

Tanah gambut dikenal memiliki karakteristik yang kurang menguntungkan untuk konstruksi, seperti kompresibilitas tinggi, kekuatan rendah, dan kandungan air yang sangat tinggi. Oleh karena itu, stabilisasi tanah gambut menjadi krusial untuk memastikan keamanan dan keberlanjutan proyek konstruksi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dua bahan tambahan umum, yaitu kapur dan semen, dalam meningkatkan kekuatan geser tanah gambut di Perlis, Malaysia.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan sampel tanah gambut yang diambil dari lahan padi di Jejawi, Perlis. Sampel diuji dalam kondisi terganggu. Kapur dan semen dicampurkan ke dalam tanah gambut dengan proporsi 10% dan 20% dari berat kering tanah. Uji geser langsung (Direct Shear Box Test) dilakukan untuk menentukan kekuatan geser tanah yang telah distabilisasi.

Prosedur pengujian meliputi:

  • Pengeringan sampel tanah pada suhu 105°C - 110°C selama 24 jam.
  • Pengayakan sampel kering melalui saringan 1.18mm.
  • Pengujian geser langsung sesuai standar BS 1377:1990 (Bagian 7) dengan ukuran sampel 60mm x 60mm x 25mm.
  • Pemberian tekanan normal sebesar 136.2 kN/m2, 272.5 kN/m2, dan 408.8 kN/m2.

Hasil dan Diskusi

1. Sifat Tanah Gambut Asli

Tanah gambut Perlis memiliki kadar air yang sangat tinggi, yaitu 327.14%. Kadar air tinggi ini berkontribusi pada rendahnya daya dukung dan berat jenis tanah gambut.

2. Pengujian Geser Langsung

Hasil pengujian geser langsung menunjukkan bahwa penambahan kapur dan semen meningkatkan kekuatan geser tanah gambut. Peningkatan kekuatan geser ini dapat dilihat dari kurva tegangan geser vs. perpindahan pada berbagai tekanan normal.

  • Sudut geser dalam (ɸ) tanah gambut asli adalah 40.78°. Nilai ini relatif tinggi dibandingkan dengan tanah organik lainnya karena kandungan partikel pasir yang bersudut.
  • Kohesi (c) tanah gambut asli adalah 27.72 kN/m2.

3. Pengaruh Kapur dan Semen

Penambahan kapur dan semen memberikan dampak yang berbeda pada kekuatan geser tanah gambut. Penambahan kapur sebesar 20% menghasilkan kekuatan geser tertinggi dengan kohesi mencapai 50.09 kN/m², meningkat 14.07% dibandingkan tanah asli. Kapur meningkatkan ikatan antar partikel tanah, mengubah tekstur tanah, dan efektif dalam jangka pendek. Di sisi lain, penambahan semen juga meningkatkan kekuatan geser, tetapi tidak seefektif kapur, dengan peningkatan sebesar 13.5% dibandingkan tanah asli untuk penambahan semen 20%. Reaksi semen membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kekuatan optimal dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu, jumlah kalsium, pH, dan kandungan silika. Data pengujian menunjukkan bahwa tanah asli memiliki tekanan normal 136 kN/m² dan tegangan geser puncak 134 kN/m², sedangkan tanah yang ditambahkan kapur 20% menunjukkan tegangan geser puncak 140 kN/m² dan kohesi 50.09 kN/m².

4. Mekanisme Stabilisasi

  • Kapur: Bereaksi dengan tanah dalam jangka pendek melalui pertukaran ion, flokulasi, agregasi, karbonasi, dan reaksi pozzolanik.
  • Semen: Bereaksi secara bertahap dengan air dalam tanah, menghasilkan hidrat kalsium silikat dan kalsium hidroksida.

5. Studi Kasus dan Angka Penting

  • Penambahan kapur 20% meningkatkan kohesi tanah gambut hingga 50.09 kN/m2.
  • Peningkatan kekuatan geser dengan kapur lebih tinggi (14.07%) dibandingkan dengan semen (13.5%).

Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa penambahan kapur dan semen dapat meningkatkan karakteristik kekuatan tanah gambut. Kapur terbukti lebih efektif dalam meningkatkan kekuatan geser tanah gambut dibandingkan dengan semen. Hasil ini menunjukkan bahwa kapur dan semen adalah bahan stabilisasi yang baik untuk tanah gambut, terutama karena kemampuannya mengurangi kadar air dan meningkatkan kekuatan geser.

Sumber: Nadhirah Mohd Zambri, Zuhayr Md. Ghazaly. A Comparison between Lime and Cement for Treating Peat Soil in Term of Stabilization. E3S Web of Conferences 34, 01034 (2018).

Selengkapnya
Menguatkan Lahan Gambut: Perbandingan Efektivitas Kapur dan Semen dalam Stabilisasi Tanah

Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah

Teknik Biologis untuk Stabilisasi Tanah: Solusi Ramah Lingkungan dalam Rekayasa Geoteknik Modern

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025


Paper yang ditulis oleh Hrudya S Nair dan Kannan K dari Marian Engineering College, Trivandrum, India berjudul "A Review on Stabilisation of soil using Biological Soil Improvement Techniques" menyajikan tinjauan komprehensif tentang teknik biologis untuk perbaikan tanah. Artikel ini menganalisis dua metode utama dalam biocementation tanah yang sedang berkembang pesat dalam rekayasa geoteknik modern: Microbially Induced Calcium Carbonate Precipitation (MICP) dan Enzyme Induced Calcium Carbonate Precipitation (EICP).

Latar Belakang dan Urgensi Teknik Biologis

Pertumbuhan populasi yang pesat di kawasan perkotaan telah mendorong ekspansi pembangunan ke daerah pinggiran kota dengan kondisi tanah yang sering tidak menguntungkan untuk infrastruktur. Situasi ini menciptakan kebutuhan akan teknik stabilisasi tanah yang efektif. Metode tradisional seperti stabilisasi mekanis dan injeksi grouting dengan semen atau polimer menghadapi beberapa kendala serius:

  • Biaya tinggi
  • Membutuhkan peralatan berat
  • Mengganggu infrastruktur perkotaan yang sudah ada
  • Melibatkan bahan kimia berbahaya dengan konsekuensi lingkungan serius

Penggunaan stabilisator seperti semen Portland menghasilkan masalah lingkungan signifikan termasuk produksi karsinogen dan pemanasan global. Sebagai respons, para peneliti mengembangkan teknologi renovasi tanah modern yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan mampu memenuhi kebutuhan infrastruktur masyarakat.

Fokus penelitian teknologi perbaikan tanah saat ini adalah pada metode biologis yang tangguh, ramah lingkungan, dan hemat energi. Soil-bioengineering yang menggunakan sistem akar vegetatif untuk menstabilkan struktur tanah adalah salah satu strategi yang diadopsi secara luas. Namun, pendekatan ini memiliki keterbatasan karena dipengaruhi oleh musim tanam dan variasi iklim yang memperkenalkan ketidakpastian dalam pertumbuhan dan proliferasi akar tanaman di dalam tanah.

Teknik Perbaikan Tanah Biologis

Teknik perbaikan tanah biologis dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama:

  1. Teknik Perbaikan Tanah Bio-mediasi: Melibatkan penggunaan organisme hidup secara langsung ke dalam tanah, dan produk sampingan yang dihasilkan dari aktivitas biologis mereka dapat digunakan untuk mengubah sifat rekayasa tanah.
  2. Teknik Perbaikan Tanah Bio-inspirasi: Tidak melibatkan aplikasi langsung organisme hidup ke tanah, tetapi menggunakan bahan-bahan berbeda untuk memberikan reaksi dan produk yang serupa ke dalam tanah.

Microbially Induced Calcium Carbonate Precipitation (MICP)

MICP adalah aktivitas metabolik mikroba yang menggunakan presipitasi mineral anorganik (kalsit/kalsium karbonat; CaCO₃) untuk memperkuat material berpori, yang pada akhirnya meningkatkan sifat rekayasa tanah. Aplikasi terbaru MICP meliputi:

  • Penguatan dan pengerasan tanah
  • Perbaikan retakan beton
  • Produksi bio-bricks dari agregat bata
  • Stabilisasi/solidifikasi abu terbang dari pembakaran sampah padat perkotaan

Mikroorganisme yang digunakan dalam presipitasi karbonat yang diinduksi secara mikroba (MICP) dapat memiliki dampak signifikan pada sifat mekanik dan rekayasa tanah karena:

  • Tingkat reproduksi yang cepat
  • Metabolisme yang fleksibel
  • Konsumsi energi rendah
  • Keragaman dan kelimpahan
  • Ramah lingkungan

Enzyme Induced Calcium Carbonate Precipitation (EICP)

EICP adalah teknik perbaikan tanah biogeoteknik inovatif dimana kalsium karbonat dipresipitasi dari larutan berair di dalam pori-pori tanah, meningkatkan kualitas biogeoteknik tanah granular. Presipitasi kalsium karbonat meningkatkan kekuatan, kekakuan, dan dilatansi tanah melalui:

  • Pengisian pori
  • Pengerasan partikel
  • Pengikatan antar partikel

Proses EICP memiliki potensi untuk digunakan sebagai solusi bio-sementasi dan bio-remediasi dalam berbagai masalah lingkungan, bangunan, geoteknik, dan teknik sipil, termasuk:

  • Meningkatkan kekuatan tanah
  • Menurunkan potensi likuifaksi tanah
  • Mengendalikan erosi permukaan
  • Menurunkan permeabilitas
  • Meremediasi kontaminan logam berat

Reaksi kimia dalam proses EICP melibatkan hidrolisis urea oleh enzim urease:

CO(NH₂)₂ + 2H₂O → 2NH₄⁺ + CO₃²⁻

CaCl₂ → Ca²⁺ + 2Cl⁻

Ca²⁺ + CO₃²⁻ → CaCO₃ ↓ (presipitasi)

EICP memiliki keunggulan karena efektif untuk berbagai jenis tanah, termasuk tanah berbutir halus, berkat ukuran kristal enzim urease yang lebih kecil (biasanya 12 nm atau 120 Å).

Studi Kasus dan Hasil Penelitian

Aplikasi MICP pada Tanah Liat

Punnoi et al. (2021) melaporkan peningkatan kekuatan tekan bebas (qu) tanah liat yang dipadatkan dan ditreatment dengan MICP menggunakan bakteri Bacillus pasteurii dalam bentuk sel vegetatif dan spora bakteri. Hasil studi menunjukkan:

  • Nilai qu sampel yang ditreatment setelah 3 hari dan 7 hari perawatan lebih besar dari qu sampel yang tidak ditreatment
  • MICP dengan sel vegetatif meningkatkan nilai qu tanah liat hingga 2,0 kali
  • MICP dengan spora bakteri meningkatkan nilai qu tanah liat hingga 2,6 kali
  • Peningkatan kekuatan ini sesuai dengan peningkatan kandungan kalsit terukur sebesar 2,3-2,8 kali
  • Modulus Young sekan pada 50% kekuatan (E50) juga meningkat 1,8 dan 2,3 kali masing-masing untuk tanah yang ditreatment MICP dengan sel vegetatif dan spora bakteri

Diobservasi bahwa sel vegetatif meningkatkan kekuatan tanah liat lebih awal daripada spora bakteri. Keterlambatan dalam kinerja awal MICP oleh spora bakteri disebabkan oleh resistensinya terhadap lingkungan yang tidak sesuai, yang membutuhkan waktu untuk mengaktifkan kembali dari bentuk spora menjadi sel aktif.

Aplikasi MICP pada Tanah Liat Lunak

Xiao et al. (2020) melaporkan peningkatan kekuatan tekan bebas tanah yang ditreatment sebesar 2,42 kali mencapai 43,31 kPa dan pengurangan kadar air tanah liat dari 40% menjadi 30,73%. Spesimen uji tanah liat lunak dibuat dengan campuran tanah liat lunak, larutan dengan berbagai konsentrasi garam nutrisi, dan bakteri Sporosarcina pasteurii, kemudian dirawat selama 28 hari.

Pencampuran langsung larutan S. pasteurii, garam nutrisi, dan tanah liat lunak secara signifikan meningkatkan keseragaman distribusi spasial bakteri dan nutrisi dalam tanah liat lunak dan mempromosikan pembentukan kalsium karbonat.

Aplikasi MICP pada Tanah Liat Laut

Kannan et al. (2020) mengevaluasi perilaku rekayasa tanah liat laut yang ditreatment MICP melalui serangkaian uji konsolidasi satu dimensi, uji kompresi bebas, dan penentuan sifat indeks. Metode bio-augmentasi dan bio-stimulasi dilakukan pada dua jenis tanah berbeda, yaitu tanah liat Kuttanad dan tanah liat laut Cochin. Ditemukan bahwa:

  • Pada sampel tanah liat laut, teknik bio-stimulasi tidak efektif; bio-augmentasi diperlukan untuk perbaikan tanah
  • Pengurangan sekitar 29% diamati untuk batas cair 25 hari setelah perawatan bio-augmentasi
  • Setelah perawatan MICP, kompresibilitas tanah liat laut berkurang sekitar 32%
  • Pada kadar air batas ketangguhan, kekuatan geser tak terdrainase tanah liat laut yang ditreatment MICP meningkat secara signifikan (peningkatan tertinggi terukur sekitar 148%)
  • Sebagian besar spesimen yang diteliti mengalami perubahan designasi tanah dari CH ke MH, yang menunjukkan perbedaan karakteristik tanah yang cukup besar

Perbandingan EICP dan MICP

Saat membandingkan efisiensi presipitasi karbonat dari EICP menggunakan larutan kedelai dan MICP menggunakan bakteri ureolitik sebagai katalis untuk hidrolisis urea, Lee et al. (2020) menemukan:

  • Karena pertumbuhan mikroba, laju MICP meningkat seiring waktu
  • Laju EICP menurun karena urease, sebuah protein, terdegradasi seiring waktu
  • Masalah EICP ini dapat diatasi dengan memodifikasi rasio kedelai kuning terhadap air suling
  • Dengan meningkatkan kandungan kedelai kuning, laju EICP dapat disesuaikan untuk mengendapkan jumlah maksimum teoritis kalsium karbonat dalam 24 jam
  • Populasi mikroba juga dapat mengatur laju MICP, meskipun karena kompleksitas kultivasi mikroba, ini lebih menantang daripada dengan EICP

Keefektifan presipitasi EICP dari perspektif kemampuan presipitasi dan kemudahan menyesuaikan laju presipitasi menjadikannya pengganti yang bagus untuk MICP. Nilai UCS spesimen tanah liat berpasir yang ditreatment dengan EICP ditemukan berada dalam kisaran 1,58 hingga 2,72 untuk berbagai kombinasi larutan kedelai dan urea-CaCl₂. Kekuatan maksimum diamati untuk sampel yang dirawat selama 28 hari dengan larutan urea-CaCl₂ 140g/L dan larutan kedelai 3g/L.

Ekstrak Urease Tumbuhan untuk Presipitasi Kalsium Karbonat

Dilrukshi et al. (2018) melakukan perbaikan tanah menggunakan presipitasi kalsium karbonat yang diinduksi urease yang berasal dari tumbuhan. Untuk tujuan presipitasi kalsium karbonat, ekstrak kasar dari biji semangka yang dihancurkan digunakan sebagai sumber urease bersama dengan urea dan kalsium klorida.

Kekuatan tekan bebas yang diestimasi dari pasir Mikawa yang tersedia secara komersial menunjukkan bahwa kekuatan meningkat dengan peningkatan konsentrasi urea-CaCl₂. Nilai UCS tertinggi ditemukan untuk sampel yang dirawat selama 14 hari pada 0,7 M CaCl₂-urea dan konsentrasi urease 3,912 U/mL.

Ekstrak urease kasar dari biji semangka yang dihancurkan dapat menggantikan urease yang dipasok secara komersial untuk presipitasi karbonat dan digunakan sebagai pendekatan dampak rendah untuk perbaikan tanah.

Aplikasi EICP untuk Meningkatkan Kekuatan Geser Liner Tanah Liat yang Dipadatkan

Gao et al. (2020) menggunakan EICP untuk meningkatkan kekuatan geser liner tanah liat yang dipadatkan. Pemadatan dilakukan pada tanah yang ditreatment dengan empat konsentrasi penyemenan yang berbeda pada kadar air cetak yang berbeda.

  • Sampel tanah yang ditreatment memiliki nilai UCS lebih besar dari 200 kPa, yang dianggap sebagai standar minimum yang direkomendasikan untuk liner tanah liat yang dipadatkan
  • Nilai UCS tanah yang tidak ditreatment kurang dari 200 kPa
  • Kekuatan geser meningkat seiring dengan peningkatan molaritas larutan urea-CaCl₂
  • Kekuatan terbesar 643,5 kPa dicapai pada larutan sementasi 1,00 M ketika sampel disiapkan pada kadar air cetak -2% dalam kaitannya dengan OMC
  • Gambar SEM tanah yang ditreatment menunjukkan pembentukan presipitasi putih
  • Investigasi XRD tanah yang ditreatment mengungkapkan bahwa mineral kalsit hadir dalam matriks tanah

Efektivitas Ekstrak Urease Kasar vs Urease Komersial

Tirkolaei et al. (2020) melakukan pengujian pada ekstrak kasar dan ekstrak murni dari biji semangka, kedelai, kacang jack, dan tepung kacang jack dalam tabung reaksi. Ditemukan bahwa ekstrak kasar kacang jack menghasilkan hasil satuan tertinggi di antara keempat sumber tanaman ini, diukur sebagai jumlah urease per massa awal bahan sumber.

Saat membandingkan kekuatan sampel tanah yang diobati dengan ekstrak urease kasar dan ekstrak urease yang tersedia secara komersial, terlihat bahwa ketidakmurnian dalam kedua ekstrak memainkan peran penting dalam penguatan tanah, sehingga ekstrak kasar lebih efektif.

  • Hasil UCS yang lebih tinggi diperoleh pada spesimen bio-semen menggunakan ekstrak kasar kacang jack, yang jauh kurang murni daripada enzim yang tersedia secara komersial
  • Hasil ini menunjukkan bahwa ketidakmurnian organik dalam larutan bio-sementasi mungkin sebenarnya meningkatkan efektivitas EICP untuk bio-sementasi

Kesimpulan dan Implikasi

Kebutuhan akan adopsi teknik perbaikan tanah biologis semakin meningkat dalam skenario teknik stabilisasi tanah yang sedang berkembang saat ini. Fokus penelitian teknologi perbaikan tanah saat ini adalah pada metode biologis yang tangguh, ramah lingkungan, dan hemat energi.

Insinyur geoteknik dan peneliti menerapkan presipitasi kalsium karbonat yang diinduksi secara mikroba (MICP) dan presipitasi kalsium karbonat yang diinduksi oleh enzim (EICP) di seluruh dunia. Presipitasi Kalsium Karbonat (CaCO₃) dengan adanya enzim urease bertindak sebagai komponen fundamental dari kedua proses ini.

MICP menggunakan perlakuan langsung mikroorganisme dengan tanah. Studi stabilisasi tanah menggunakan MICP menunjukkan peningkatan kekuatan yang cukup besar dan presipitasi kalsit yang luar biasa dalam matriks tanah.

Berdasarkan hasil presipitasi tabung perbandingan EICP dan MICP, EICP dapat menjadi pengganti yang baik untuk MICP karena efisiensinya dalam presipitasi serta kemudahan dengan mana laju presipitasi dapat dengan mudah dikontrol.

Karena urease dibuat dalam bentuk yang sangat murni untuk penelitian dan aplikasi yang halus, harganya mahal ketika dibeli secara komersial. Karakteristik kekuatan beragam tanah yang diobati dengan enzim urease dari berbagai sumber (biji semangka, biji kedelai, dan biji kacang jack) mengungkapkan peningkatan yang signifikan dan presipitasi CaCO₃ yang efektif. Jadi, enzim urease yang berasal dari tumbuhan dapat menjadi pengganti yang baik untuk enzim urease yang dijual secara komersial.

Peluang dan Tantangan Masa Depan

Meskipun penelitian ini menunjukkan potensi besar teknik biologis untuk stabilisasi tanah, beberapa tantangan dan peluang penelitian masa depan perlu dipertimbangkan:

  1. Aplikasi pada Skala Besar: Mayoritas studi dilakukan pada skala laboratorium. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memvalidasi efektivitas teknik ini pada aplikasi lapangan skala besar.
  2. Optimalisasi Biaya: Meskipun ekstrak urease kasar dari tumbuhan lebih ekonomis daripada urease komersial, prosedur ekstraksi yang lebih efisien perlu dikembangkan untuk mengurangi biaya lebih lanjut.
  3. Ketahanan Jangka Panjang: Perilaku jangka panjang tanah yang distabilkan secara biologis, termasuk ketahanan terhadap siklus basah-kering dan fluktuasi suhu, memerlukan investigasi lebih lanjut.
  4. Variabilitas Bahan Biologis: Variabilitas alami dalam sumber enzim biologi dan aktivitas mikroorganisme dapat mempengaruhi konsistensi hasil. Standardisasi protokol perlu dikembangkan.
  5. Potensi Integrasi dengan Teknik Tradisional: Kombinasi teknik biologis dengan metode stabilisasi tanah konvensional dapat memberikan solusi hibrida yang mengoptimalkan kinerja dan mengurangi dampak lingkungan.

Secara keseluruhan, stabilisasi tanah biologis menawarkan pendekatan menjanjikan dan berkelanjutan untuk meningkatkan sifat rekayasa tanah, terutama dalam konteks meningkatnya kekhawatiran lingkungan dan kebutuhan akan praktek konstruksi ramah lingkungan. Penelitian lebih lanjut dan implementasi industri akan memainkan peran penting dalam memajukan teknik-teknik ini dari fase eksperimental ke aplikasi praktis yang diterima secara luas.

Sumber : Nair, H. S., & Kannan, K. (2023). A Review on Stabilisation of soil using Biological Soil Improvement Techniques. International Journal of Engineering Research & Technology (IJERT), 12(01), 300-303.

Selengkapnya
Teknik Biologis untuk Stabilisasi Tanah: Solusi Ramah Lingkungan dalam Rekayasa Geoteknik Modern
« First Previous page 4 of 7 Next Last »