Pembangunan Berkelanjutan

Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Minggu lalu saya membaca sebuah paper penelitian.

Oke, saya tahu. Itu terdengar seperti awalan yang paling membosankan di dunia. Tapi percayalah, paper yang satu ini—judulnya "Competency of Rural Roads Achieving Targets 3.6 and 11.2 of the Sustainable Development Goals in Bangladesh"—terus menghantui saya. Ini bukan sekadar tumpukan data akademis yang kering; ini adalah sebuah cerita detektif yang mengungkap sebuah kelalaian yang begitu besar dan sistematis, sehingga saya harus membacanya dua kali.   

Bayangkan sejenak perjalanan pulang Anda. Anda mungkin memikirkan jalan tol atau jalan arteri utama yang sibuk. Tapi perjalanan sebenarnya—bagian yang paling penting—adalah kilometer terakhir. Jalan kecil yang membawa Anda ke depan pintu rumah Anda, jalan yang menghubungkan Anda ke pasar lokal, jalan yang dilewati anak-anak Anda ke sekolah.

Sekarang bayangkan jika saya katakan bahwa di satu negara besar, jalan-jalan "kilometer terakhir" ini—jalan pedesaan—mencakup 94% dari seluruh jaringan jalan. Sembilan puluh empat persen!   

Dan inilah intinya, yang diungkap oleh paper ini dengan sangat gamblang: negara itu, dan mungkin juga kita semua, secara kolektif buta terhadap apa yang terjadi di 94% jaringan jalan tersebut.

Kita memiliki target global yang mulia, tetapi kita bahkan tidak mengukur masalahnya dengan benar. Dan apa yang tidak Anda ukur, tidak akan pernah Anda perbaiki.

Janji Kita di Kertas vs. Nyawa yang Tak Terhitung

Kita semua ada dalam hal ini bersama-... secara global, maksud saya. Pada tahun 2015, PBB menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Paper ini berfokus pada dua target spesifik yang telah dijanjikan oleh Bangladesh untuk dicapai :   

  1. Target 3.6: Mengurangi separuh jumlah kematian dan cedera global akibat kecelakaan lalu lintas jalan pada tahun 2030.

  2. Target 11.2: Menyediakan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua.

Kedengarannya bagus, bukan? Ambisius. Penuh harapan. Tapi di sinilah letak masalah pertama yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Para peneliti, Susankar Chandra Acharjee dan Hasib Mohammed Ahsan, menunjukkan sebuah kesenjangan data yang mengerikan. Data resmi Polisi Bangladesh melaporkan sekitar 4.000 kematian akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka sebenarnya "bisa jadi lebih dari 25.000".   

Bayangkan jika Anda bertanya kepada CEO Anda tentang pendapatan kuartal ini, dan dia berkata, "Oh, antara $4 juta atau $25 juta." Anda tidak akan menyebutnya sebagai kesalahan pembulatan; Anda akan menyebutnya sebagai kelalaian besar-besaran. Ini bukan sekadar perbedaan statistik; ini adalah jurang ketidaktahuan. Puluhan ribu nyawa hilang dalam 'kesalahan estimasi' itu setiap tahun.

Dan kesenjangan ini menjadi lebih buruk.

Paper ini menjelaskan mengapa kesenjangan itu ada: Sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan saat ini "didasarkan terutama pada jalan raya" yang dikelola oleh Departemen Jalan dan Jalan Raya (RHD). Sistem ini "meninggalkan sejumlah besar jalan pedesaan" yang dikelola oleh Departemen Teknik Pemerintah Daerah (LGED).   

Ingat angka 94% tadi? Ya, 94% jalan pedesaan itu dikelola oleh LGED. Ini berarti, sistem data kecelakaan resmi secara sistematis mengabaikan 94% dari total jaringan jalan.

Dan inilah pukulan telaknya. Paragraf yang membuat saya benar-benar terdiam.

Para peneliti dengan santai menyebutkan bahwa pada tahun 2022, sebuah proyek keselamatan jalan utama senilai $358 juta (dengan bantuan Bank Dunia) telah disetujui. Tujuannya? "Membangun kapasitas manajemen keselamatan jalan dan mencapai pengurangan yang ditargetkan dalam fatalitas lalu lintas... untuk jalan raya tanpa memasukkan jalan pedesaan milik LGED".   

Siklusnya sempurna:

  1. Kita tidak mengumpulkan data di jalan pedesaan (94% jaringan).

  2. Karena tidak ada data, secara resmi masalahnya tidak ada.

  3. Kita mengalokasikan dana $358 juta untuk memperbaiki 6% jaringan lainnya (jalan raya) di mana kita memiliki data.

Ini adalah kegagalan sistemik yang terdokumentasi dengan sempurna. Kebijakan dan uang ratusan juta dolar mengikuti data yang cacat, mengabaikan inti masalah yang sebenarnya.

Saat Data Tak Ada, Jadilah Detektif Lapangan

Jadi, jika Anda adalah seorang peneliti yang ingin tahu seberapa aman 94% jalan pedesaan itu, apa yang Anda lakukan ketika tidak ada data kecelakaan sama sekali?

Anda tidak bisa menggunakan "model statistik yang tersedia". Database-nya kosong.   

Inilah bagian yang saya sukai. Para peneliti ini tidak menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang sangat 'analog' dan brilian: mereka menjadi detektif lapangan.

Mereka menggunakan metodologi non-statistik yang disebut "Road Safety Inspection (RSI)". Sederhananya, alih-alih melihat statistik kecelakaan (yang tidak ada), mereka secara fisik pergi ke jalan dan mencari risiko kecelakaan. Mereka memeriksa " TKP" sebelum kecelakaan terjadi.   

Mereka secara acak memilih 8 jalan pedesaan dengan lalu lintas tinggi, satu dari setiap delapan divisi di negara itu, untuk "mewakili karakteristik topografi dan demografi seluruh negeri".   

Mereka membawa daftar periksa, kamera, dan mungkin pita pengukur. Mereka mencatat hal-hal mendasar :   

  • Dimensi geometris yang ada (seberapa lebar jalannya?)

  • Kekurangan elemen geometris (apakah ada marka jalan?)

  • Kondisi jalan (apakah rusak?)

  • Bahaya di pinggir jalan (ada apa di tepi jalan?)

  • Kurangnya fitur keselamatan (adakah trotoar?)

Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sistem: mereka pergi dan melihat dengan mata kepala sendiri.

'Galeri Kengerian' yang Saya Lihat di Foto-Foto

Angka adalah satu hal. Tapi gambar-gambar dalam paper inilah—Gambar 4 hingga 22—yang benar-benar menghantui saya. Ini adalah data visual dari 8 inspeksi jalan tersebut. Ini seperti melakukan "tur virtual" neraka infrastruktur.   

Izinkan saya memandu Anda melalui beberapa temuan paling gila:

  • Tiang Listrik di Tengah Jalan (Gbr 20): Saya tidak bercanda. Saya harus memperbesar foto ini untuk memastikannya. Ya, itu tiang utilitas (listrik atau telepon). Berdiri dengan kokoh di atas badan jalan beraspal. Bukan di bahu jalan. Di badan jalan..   

  • Kolam Renang Maut (Gbr 18): Foto lain menunjukkan sebuah kolam besar, airnya tenang, persis di tepi jalan. Tidak ada pagar pembatas. Tidak ada penghalang. Tidak ada crash barrier. Satu kesalahan kecil di malam hari, satu ban selip di musim hujan, dan mobil Anda tenggelam.   

  • Jembatan Tanpa Pilihan (Gbr 21): Sebuah jembatan sempit melintasi sungai. Terlihat kokoh, tetapi lebarnya pas-pasan untuk satu truk. Dan... tidak ada fasilitas pejalan kaki sama sekali. Nol. Jadi, jika Anda seorang pejalan kaki, pilihan Anda adalah: berdesakan dengan lalu lintas di jembatan, bertaruh nyawa, atau tidak menyeberang sama sekali.   

  • Bahu Jalan Adalah Pasar (Gbr 15): Bahu jalan yang seharusnya menjadi zona aman bagi pejalan kaki? Oh, itu sudah beralih fungsi. Di banyak tempat, bahu jalan yang sempit itu ditempati oleh pedagang kaki lima yang mendirikan lapak. Ini memaksa pejalan kaki, anak-anak sekolah, dan hewan ternak untuk berjalan di badan jalan yang sudah sempit.   

  • Selokan Terbuka dan Lereng Curam (Gbr 16 & 19): Foto-foto lain menunjukkan saluran drainase terbuka yang dalam dan lereng yang curam, tepat di tepi aspal. Tidak ada 'zona aman' (clear zone). Tidak ada ruang untuk kesalahan sekecil apa pun.   

  • Kekacauan 'Heterogen' (Gbr 22): Dan foto puncaknya: "karakteristik lalu lintas". Ini adalah gambaran kekacauan total. Truk besar, bus, becak motor (autorickshaw), sepeda, dan pejalan kaki, semuanya "berperang" memperebutkan ruang di jalur sempit yang sama. Ini adalah resep pasti untuk bencana.   

Setelah melihat foto-foto ini, kesenjangan data antara 4.000 dan 25.000 kematian itu tiba-tiba terasa sangat masuk akal.

Ini Bukan Sekadar Jalan Rusak, Ini Desain yang Gagal

Melihat foto-foto itu, reaksi pertama saya adalah, "Wow, jalan-jalan ini sangat tidak terawat." Tapi ketika saya melihat lebih dalam pada Tabel III dan V, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih buruk.

Ini bukan masalah 'kurang perawatan'. Ini masalah desain. Jalan-jalan ini dibangun dengan cara yang salah sejak awal. Mereka dirancang untuk gagal.

Para peneliti membandingkan dimensi aktual di lapangan dengan standar desain resmi yang disetujui oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri.   

Mari kita bicara bahasa manusiawi di sini. Bayangkan Anda seorang insinyur sipil yang ditugaskan membangun "Jalan Upazila (UZR)":

  • Standar Lebar Jalan (Carriageway): Buku aturan Anda (standar) mengatakan jalan itu harus memiliki lebar 6.10 meter. Ini cukup untuk dua kendaraan berpapasan dengan hati-hati.

  • Kenyataan di Lapangan: Jalan #7 (Char Kowa-Karnakati) yang mereka inspeksi lebarnya hanya 3.70 meter. Jalan #5 dan #6 lebarnya bervariasi antara 3.70 dan 5.50 meter. Itu hampir 40% lebih sempit dari standar minimum!   

  • Standar Bahu Jalan (Shoulder): Buku aturan Anda mengatakan bahu jalan—zona aman yang krusial untuk pejalan kaki, sepeda, dan kendaraan berhenti darurat—harus memiliki lebar 2.45 meter.

  • Kenyataan di Lapangan: Sebagian besar jalan yang diinspeksi hanya memiliki bahu jalan antara 0.6 hingga 0.9 meter. Jalan #8 bahkan lebih buruk, 0.3 meter. Itu bukan bahu jalan; itu selokan. Itu 75% lebih sempit dari standar.   

Ini adalah "kekurangan kompetensi akibat kekurangan elemen geometris". Dan daftar ini terus berlanjut: tidak ada marka jalan, tidak ada rambu lalu lintas, tidak ada fasilitas pejalan kaki, jembatan dan gorong-gorong yang sempit.   

Inilah kritik halus saya terhadap paper ini: Paper ini brilian dalam mendokumentasikan apa yang salah. Data inspeksinya tak terbantahkan. Namun, para penulisnya (mungkin karena kesopanan akademis) agak terlalu halus dalam membahas mengapa ini terjadi.

Pertanyaan saya yang terus muncul adalah: Mengapa jalan-jalan yang 'sudah ditingkatkan' (improved) dan beraspal ini dibangun jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri? Ini bukan jalan tanah era kolonial; ini adalah jalan yang relatif baru dan 'ditingkatkan'.

Apakah ini masalah anggaran yang dipotong? Apakah ini masalah korupsi, di mana kontraktor menghemat biaya aspal dengan mempersempit jalan? Ataukah ini murni kesenjangan kapasitas—bahwa standar desain yang hebat di tingkat nasional gagal total untuk diimplementasikan di tingkat lokal?

Apa pun alasannya, ini adalah kegagalan tata kelola yang sistematis. Ini adalah kegagalan dalam Manajemen Proyek Infrastruktur. Ini bukan 'bencana alam'; ini adalah serangkaian keputusan buruk yang dibuat oleh manusia, yang mengakibatkan konsekuensi mematikan.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini menyimpulkan bahwa "kondisi keselamatan lalu lintas jalan yang buruk adalah penghalang signifikan untuk mencapai target 3.6 dan 11.2 SDG pada tahun 2030".   

Saya akan lebih blak-blakan: Kondisi ini bukan 'penghalang'. Ini adalah 'jaminan kegagalan'. Mustahil Anda bisa mencapai target global jika Anda secara aktif mengabaikan 94% dari masalah.

Bagi saya, ini bukan hanya cerita tentang jalan di Bangladesh. Ini adalah pelajaran universal tentang data, fokus, dan akuntabilitas.

Para peneliti harus turun tangan melakukan RSI secara manual karena sistem pengumpulan data otomatis gagal. Ini mengingatkan saya bahwa keahlian inti seperti Audit dan Inspeksi Keselamatan Jalan sangat penting. Anda tidak bisa hanya mengandalkan dashboard. Terkadang Anda harus "pergi dan melihat."

Pelanggaran mencolok terhadap standar keselamatan dasar—seperti membangun jalan 40% lebih sempit dari yang seharusnya—adalah kegagalan fundamental dalam(https://diklatkerja.com/). Ini adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap profesional infrastruktur.

Dan pada akhirnya, target SDG yang terdengar muluk-muluk itu tidak akan tercapai melalui rapat komite di ibu kota. Target itu dicapai (atau gagal) di lapangan, di jalan pedesaan yang berlumpur. Itu semua kembali ke(https://diklatkerja.com/) yang mengakar pada kenyataan, bukan pada database yang cacat.

Inilah pelajaran utama yang saya ambil dari paper ini:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: 94% jaringan jalan—urat nadi ekonomi dan sosial—secara sistematis tidak aman, lebarnya puluhan persen di bawah standar desain minimumnya sendiri, dan penuh dengan bahaya mematikan (kolam, tiang listrik).

  • 🧠 Inovasinya: Kita tidak akan pernah tahu skala masalah ini jika hanya melihat database kecelakaan. Kebenaran ada di lapangan, ditemukan dengan metode 'detektif' (RSI) karena sistem data resmi buta terhadap 94% masalah.

  • 💡 Pelajaran: Berhentilah terobsesi dengan data yang cacat. Kebijakan (dan dana $358 juta) mengikuti apa yang kita ukur. Jika kita mengukur hal yang salah, kita akan memperbaiki masalah yang salah. Fokus pada 6% jaringan tidak akan pernah menyelesaikan 94% masalah.

Paper ini bukan hanya tentang jalan. Ini tentang melihat. Ini tentang bahaya memiliki titik buta yang sangat besar dalam cara kita memandang dunia—dan konsekuensi mematikan dari titik buta tersebut.

Ini adalah salah satu paper paling gamblang dan penting yang saya baca tahun ini. Jika Anda seorang insinyur, perencana kota, manajer proyek, atau siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita membangun dunia yang lebih aman dan adil, Anda wajib membacanya.

Ini adalah studi kasus yang sempurna tentang di mana letak kegagalan kita—dan di mana kita harus memulai perbaikan.

(https://doi.org/10.54105/ijte.A1907.03010523)

Selengkapnya
Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Pembangunan Berkelanjutan

Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Komunitas Lokal

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 13 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian ini menyoroti bahwa pembangunan infrastruktur jalan bukan hanya investasi ekonomi, tetapi juga intervensi sosial yang signifikan. Jalan yang lebih baik dapat meningkatkan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang kerja, namun juga dapat menimbulkan efek samping seperti perubahan pola sosial, urbanisasi, serta ketimpangan dalam distribusi manfaat.

Dalam konteks kebijakan publik, temuan ini memperkuat urgensi penerapan Social Impact Assessment (SIA) sebelum dan sesudah pelaksanaan proyek jalan. Kebijakan berbasis bukti ini membantu pemerintah memahami dampak sosial jangka panjang dan memastikan pembangunan berjalan inklusif serta berkelanjutan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penelitian menemukan bahwa proyek jalan dapat menghasilkan berbagai dampak sosial:

  • Dampak positif: peningkatan mobilitas, pertumbuhan ekonomi lokal, dan peluang kerja baru.

  • Dampak negatif: perpindahan penduduk, hilangnya lahan pertanian, dan ketimpangan ekonomi antarwilayah.

Hambatan utama dalam penerapan kebijakan berbasis dampak sosial:

  • Kurangnya kapasitas lembaga dalam melakukan SIA secara sistematis.

  • Minimnya partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan proyek.

  • Lemahnya koordinasi antara instansi pembangunan dan lembaga sosial.

Namun, peluang besar muncul melalui penerapan digital social monitoring tools dan partisipasi publik berbasis komunitas dalam pengawasan proyek.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan Social Impact Assessment (SIA) untuk Semua Proyek Jalan: Setiap proyek harus menyertakan analisis sosial yang menilai dampak terhadap masyarakat lokal sejak tahap perencanaan.

  2. Perkuat Keterlibatan Komunitas Lokal: Masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk memastikan manfaat pembangunan dirasakan secara merata.

  3. Integrasikan Aspek Sosial dengan Evaluasi Ekonomi: SIA perlu dikaitkan dengan analisis biaya-manfaat agar kebijakan tidak hanya fokus pada nilai ekonomi.

  4. Gunakan Teknologi untuk Monitoring Dampak Sosial: Sistem digital berbasis data spasial dapat membantu melacak perubahan sosial akibat proyek infrastruktur.

  5. Bangun Kapasitas SDM Pemerintah dan Konsultan Sosial: Artikel seperti Perencanaan Perkotaan: Membangun Masa Depan Kota yang Berkelanjutan dapat memperkuat kompetensi perencana kebijakan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan pembangunan jalan sering kali gagal ketika hanya menitikberatkan pada hasil fisik proyek. Risiko yang dapat terjadi antara lain: evaluasi sosial yang bersifat formalitas, minimnya keterlibatan masyarakat menyebabkan resistensi sosial, dan ketimpangan manfaat.

Oleh karena itu, diperlukan integrasi kebijakan yang menempatkan manusia sebagai pusat pembangunan (people-centered development).

Penutup

Pembangunan jalan harus dipahami sebagai proyek sosial-ekonomi terpadu. Pendekatan yang menyeimbangkan antara efisiensi ekonomi dan kesejahteraan sosial akan memastikan bahwa setiap kilometer jalan yang dibangun benar-benar memperkuat keadilan sosial, konektivitas, dan kualitas hidup masyarakat.

Sumber

Jones, P., & Lucas, K. (2012). Social Impacts Arising from Road Infrastructure Projects. Journal of Transport Geography, Vol. 25, 2012.

Selengkapnya
Dampak Sosial Pembangunan Infrastruktur Jalan terhadap Komunitas Lokal

Pembangunan Berkelanjutan

Menilai Dampak Lingkungan dan Sosial dalam Proyek Jalan Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 07 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Menegaskan bahwa keberhasilan proyek jalan berskala besar harus diukur tidak hanya dari aspek teknis, tetapi juga dari Environmental Performance Evaluation (EPE) dan manfaat sosialnya. Tanpa evaluasi sistematis seperti ini, risiko degradasi lingkungan, kehilangan keanekaragaman hayati, dan ketimpangan sosial dapat meningkat.

Temuan ini sangat penting karena sejalan dengan prinsip sustainable infrastructure development, menuntut kebijakan publik untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan keberlanjutan ekologis dan sosial. Untuk Indonesia, di mana proyek-proyek besar menghadapi isu deforestasi dan relokasi warga, integrasi kajian lingkungan dan sosial ke dalam siklus kebijakan infrastruktur nasional adalah keharusan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang kuat membawa dampak positif:

  • Meningkatnya transparansi proyek dan kepercayaan publik.

  • Pengurangan konflik sosial berkat konsultasi masyarakat.

  • Efisiensi biaya jangka panjang karena mitigasi risiko dilakukan lebih awal.

Hambatan:

  • Kajian lingkungan masih dianggap formalitas administratif, bukan alat pengambilan keputusan.

  • Terbatasnya tenaga ahli di bidang penilaian dampak lingkungan dan sosial.

  • Keterbatasan data lingkungan di tingkat daerah.

Peluang:

  • Digitalisasi proses ESIA melalui geo-environmental databases.

  • Kemitraan antara pemerintah, universitas, dan LSM untuk memperkuat kapasitas analisis.

  • Integrasi hasil ESIA ke dalam sistem penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting).

Untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam hal ini, kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Diklatkerja memberikan pemahaman mendalam tentang AMDAL dan mitigasi dampak ekologis.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Wajibkan ESIA Sejak Tahap Pra-Perencanaan: Kajian sosial dan lingkungan perlu dilakukan sebelum penentuan trase, bukan setelah desain teknis selesai.

  2. Bangun Sistem Data Terpadu Lingkungan dan Sosial: Kembangkan national dashboard yang memuat data dampak sosial-ekonomi dan ekologis proyek infrastruktur.

  3. Perkuat Kapasitas Lembaga Evaluasi: SDM pemerintah dan konsultan harus kompeten dalam pelaksanaan ESIA melalui pelatihan berkelanjutan.

  4. Terapkan Prinsip Partisipatif dan Transparan: Libatkan masyarakat lokal dalam tahap konsultasi publik untuk meningkatkan legitimasi kebijakan.

  5. Gunakan Evaluasi Kinerja Lingkungan Sebagai Syarat Pendanaan: Lembaga pendanaan publik dan swasta hanya mendukung proyek yang memenuhi kriteria kinerja lingkungan minimum.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kegagalan utama terjadi ketika penilaian dampak hanya berorientasi pada pemenuhan regulasi dan bukan pada perubahan perilaku kelembagaan. Risiko meliputi:

  • Evaluasi dilakukan terlambat (setelah proyek berjalan).

  • Kurangnya integrasi antara hasil ESIA dan keputusan pendanaan proyek.

  • Rendahnya keterlibatan masyarakat sipil, yang menimbulkan persepsi negatif.

Untuk menghindari hal ini, perlu diterapkan sistem audit lingkungan berkelanjutan dan laporan dampak sosial tahunan sebagai syarat penilaian kinerja proyek.

Penutup

Menegaskan bahwa keberlanjutan pembangunan jalan ditentukan oleh kualitas pengelolaan dampak sosial dan lingkungannya. EPE yang baik dapat memastikan setiap kilometer jalan yang dibangun benar-benar membawa manfaat bagi manusia dan alam.

Melalui penguatan kapasitas teknis, transparansi data, serta kolaborasi antar lembaga, Indonesia dapat mewujudkan kebijakan infrastruktur jalan yang hijau, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan dukungan program pelatihan, prinsip pembangunan berwawasan lingkungan dapat menjadi fondasi bagi kebijakan transportasi nasional.

Sumber

U.S. Department of Transportation. (2020). PE-ENV-01108-01: Environmental Performance Evaluation Guidelines for Road Construction Projects.

Selengkapnya
Menilai Dampak Lingkungan dan Sosial dalam Proyek Jalan Nasional

Pembangunan Berkelanjutan

Belajar dari Skandinavia: Mengintegrasikan Social Impact Assessment (SIA) dalam Kebijakan Pembangunan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 03 November 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Penelitian “Social Impact Assessment in Finland, Norway, and Sweden” menyoroti bagaimana negara-negara Skandinavia berhasil menjadikan Social Impact Assessment (SIA) sebagai elemen inti dalam proses pengambilan keputusan publik. Di kawasan ini, SIA tidak hanya dipandang sebagai syarat administratif, tetapi sebagai instrumen etis untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan seiring dengan kesejahteraan sosial dan perlindungan lingkungan. Finlandia, Norwegia, dan Swedia telah mengembangkan kerangka hukum dan kelembagaan yang kuat untuk menilai dampak sosial proyek infrastruktur, energi, dan industri. Pendekatan mereka menempatkan partisipasi masyarakat sebagai komponen kunci, sehingga keputusan kebijakan mencerminkan aspirasi dan nilai-nilai lokal.

Dalam konteks Indonesia, penerapan SIA yang lebih terintegrasi menjadi semakin penting. Banyak proyek besar—seperti pembangunan jalan tol, tambang, dan kawasan industri—masih menekankan pada analisis dampak lingkungan (AMDAL) tanpa menimbang implikasi sosial secara memadai. Pembelajaran dari Skandinavia dapat membantu Indonesia memperkuat kebijakan berbasis keadilan sosial dan partisipasi publik.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Ketiga negara Skandinavia memperlihatkan hasil nyata dari penerapan SIA yang komprehensif. Dampaknya meliputi:

  • Keterlibatan masyarakat meningkat secara signifikan, karena warga diberi ruang formal untuk memberikan masukan sebelum proyek dijalankan.

  • Konflik sosial dapat diminimalisasi, terutama dalam proyek energi dan pertambangan, melalui konsultasi publik yang inklusif.

  • Kebijakan menjadi lebih adaptif, sebab pemerintah mampu menyesuaikan proyek dengan kondisi sosial yang dinamis.

Namun, implementasi SIA di negara-negara tersebut juga menghadapi hambatan, seperti keterbatasan sumber daya manusia yang terlatih dan tantangan dalam mengukur indikator sosial yang kompleks.

Bagi Indonesia, peluang terbuka luas untuk mengadopsi model Skandinavia dengan penyesuaian lokal. Melalui pelatihan seperti Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KSPBU) dalam Pembangunan Infrastruktur, pemerintah daerah dan perencana proyek dapat meningkatkan kapasitas dalam melakukan analisis sosial yang lebih terukur dan transparan, terutama yang berkaitan dengan proyek infrastruktur.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Integrasikan SIA ke dalam proses AMDAL agar analisis dampak sosial menjadi bagian wajib setiap proyek besar.

  2. Perkuat kapasitas aparatur dan konsultan melalui pelatihan berkelanjutan dalam bidang penilaian sosial.

  3. Libatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, bukan hanya dalam tahap konsultasi formal.

  4. Bangun indikator sosial nasional, seperti tingkat kepuasan masyarakat dan perubahan mata pencaharian pasca-proyek.

  5. Terapkan mekanisme evaluasi pascaproyek (post-assessment) untuk memastikan keberlanjutan manfaat sosial jangka panjang.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan SIA berpotensi gagal bila hanya dijalankan sebagai formalitas. Risiko utamanya meliputi:

  • Proses partisipasi bersifat simbolik, tanpa tindak lanjut nyata terhadap masukan masyarakat.

  • Kurangnya koordinasi antarinstansi, menyebabkan hasil SIA tidak digunakan dalam pengambilan keputusan akhir.

  • Minimnya transparansi publik, membuat masyarakat tidak mengetahui hasil evaluasi dampak sosial proyek.

Agar SIA tidak menjadi ritual administratif, diperlukan komitmen politik yang kuat dan sistem audit sosial independen untuk memastikan bahwa hasil penilaian benar-benar berpengaruh terhadap kebijakan pembangunan.

Penutup

Finlandia, Norwegia, dan Swedia membuktikan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya soal ekonomi dan lingkungan, tetapi juga tentang manusia dan keadilan sosial. Dengan menjadikan SIA sebagai alat refleksi sosial dan etika kebijakan, mereka menciptakan keseimbangan antara kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.

Indonesia dapat belajar dari pendekatan tersebut dengan memperkuat tata kelola sosial proyek pembangunan, memastikan bahwa setiap kebijakan infrastruktur membawa manfaat yang merata, berkeadilan, dan berkelanjutan bagi seluruh warga.

Sumber

Kröger, M., & Lahdelma, I. (2020). Social Impact Assessment in Finland, Norway, and Sweden.

Selengkapnya
Belajar dari Skandinavia: Mengintegrasikan Social Impact Assessment (SIA) dalam Kebijakan Pembangunan

Pembangunan Berkelanjutan

Hari Ketika Saya Sadar Ide Saya tentang Gedung "Hijau" Itu Salah

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 21 Oktober 2025


Saya pernah berjalan di sebuah gedung perkantoran baru yang megah. Semuanya sempurna. Dindingnya terbuat dari material daur ulang, lampunya hemat energi, dan di lobi, sebuah plakat berkilauan dengan bangga memamerkan sertifikasi BREEAM (Building Research Establishment Environmental Assessment Method) peringkat tinggi. Secara teknis, gedung ini adalah sebuah mahakarya keberlanjutan. Ia efisien, bertanggung jawab secara ekologis, dan dirancang untuk meminimalkan jejak karbonnya.   

Tapi saat saya berdiri di atriumnya yang luas dan sunyi, saya merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah kekosongan. Gedung itu terasa seperti sebuah lagu yang dimainkan dengan presisi teknis sempurna tetapi tanpa emosi, atau makanan yang direkayasa secara molekuler tapi hambar. Semua notnya benar, tapi tidak ada jiwa. Tidak ada sudut untuk mengobrol santai, tidak ada ruang yang terasa mengundang komunitas, tidak ada denyut kehidupan manusia. Yang ada hanyalah efisiensi yang dingin dan steril.

Perasaan "ada yang kurang" itu menghantui saya. Bagaimana mungkin sebuah bangunan yang dicap sebagai puncak desain "berkelanjutan" terasa begitu tidak manusiawi? Jawaban atas kegelisahan saya ternyata ada dalam sebuah paper penelitian yang mengubah cara saya memandang arsitektur selamanya.

Sebuah Paper yang Membalik Cetak Biru Desain Berkelanjutan

Paper itu berjudul "Advancing Social Sustainability in BREEAM New Construction Certification Standards" oleh Anosh Nadeem Butt. Membacanya terasa seperti menemukan kepingan puzzle yang hilang. Paper ini membuka mata saya pada konsep dasar yang sering kita lupakan: keberlanjutan sejati berdiri di atas tiga pilar, bukan hanya satu. Pilar-pilar itu adalah Lingkungan (Planet), Ekonomi (Profit), dan Sosial (Manusia).   

Selama beberapa dekade, argumen utama paper ini adalah bahwa pilar "Planet" telah menjadi bintang utama. Kita telah menjadi ahli dalam mengukur kilowatt-jam yang dihemat, meter kubik air yang dikonservasi, dan ton limbah yang didaur ulang. Sistem sertifikasi seperti BREEAM, yang lahir pada tahun 1990, secara alami memprioritaskan metrik lingkungan yang terukur ini. Sejarah gerakan keberlanjutan modern itu sendiri dimulai dengan fokus pada krisis ekologis, seperti yang diperingatkan oleh laporan The Limits to Growth pada tahun 1972, yang membingkai masalah ini sebagai soal kelangkaan sumber daya.   

Meskipun laporan-laporan selanjutnya seperti Brundtland Report pada tahun 1987 mulai memperkenalkan dimensi sosial dan ekonomi, DNA awal yang berfokus pada lingkungan ini sudah terlanjur tertanam dalam perangkat yang kita gunakan. Akibatnya, pilar "Manusia"—kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan bagi penghuni dan komunitas di sekitarnya—sering kali menjadi pemeran pembantu yang terlupakan.   

Gedung "hijau" yang terasa hampa itu bukanlah sebuah kebetulan desain; itu adalah hasil logis dari sistem pengukuran kita. Kita telah membangun apa yang kita ukur, dan kita gagal mengukur apa yang benar-benar membuat sebuah bangunan terasa hidup. Paper ini tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan cetak biru tentang bagaimana kita bisa mulai mengukur—dan dengan demikian, membangun—jiwa sosial yang hilang itu.

Empat Kekuatan Super Sosial yang Hilang dari Gedung Kita

Inilah inti dari penemuan paper tersebut. Alih-alih mengusulkan perombakan total, Butt dengan cerdas mengidentifikasi celah-celah spesifik dalam kerangka BREEAM yang ada dan menunjukkan bagaimana kita dapat mengisinya. Ada empat "kekuatan super" sosial yang selama ini kita abaikan, yang dapat diintegrasikan ke dalam cara kita menilai bangunan.

Bukan Sekadar Gedung, Ini Rumah (Bahkan di Tempat Kerja): Pencarian Kepuasan Pengguna

Apa gunanya gedung yang super efisien jika orang-orang di dalamnya sengsara? Pertanyaan ini seharusnya menjadi inti dari setiap proyek desain. "Kepuasan Pengguna" lebih dari sekadar perasaan; itu adalah metrik keberhasilan yang krusial. Paper ini menunjukkan cara cerdas untuk melacaknya, bukan dengan menciptakan kategori baru yang abstrak, tetapi dengan menghubungkannya ke kredit BREEAM yang sudah ada dan sangat praktis.

Misalnya, apakah manajemen gedung memiliki rencana "Layanan Purnajual" (MAN 05) yang baik untuk menanggapi keluhan penghuni? Apakah ada "Pemantauan Energi" (ENE 02) yang transparan sehingga pengguna merasa berdaya? Apakah lingkungan sekitarnya "Aman dan Sehat" (HEA 07)? Ini adalah tindakan nyata yang secara langsung memengaruhi perasaan orang di dalam sebuah ruang.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Keberhasilan sebuah gedung bukan hanya tagihan listriknya, tetapi juga kesejahteraan penghuninya. Paper ini menunjukkan bagaimana BREEAM dapat melacak kebahagiaan pengguna dengan menghubungkannya ke kredit nyata untuk layanan purnajual, data energi yang transparan, dan ruang komunal yang aman.

  • 🧠 Inovasinya: Alih-alih memperlakukan "kepuasan" sebagai perasaan yang tidak jelas, pendekatan ini memperlakukannya sebagai hasil rekayasa. Layanan purnajual yang baik dan lingkungan yang aman bukanlah sekadar fasilitas tambahan; mereka adalah fitur desain yang menghasilkan pengguna yang puas.

  • 💡 Pelajaran: Kita perlu beralih dari merancang bangunan yang hanya berkinerja baik menjadi merancang bangunan yang membantu orang hidup dengan baik.

Manusia di Balik Pembangunan: Titik Buta Hak-Hak Pekerja

Di sinilah letak paradoks etis dari banyak diskusi keberlanjutan. Kita dengan cermat melacak jejak karbon sebatang baja, tetapi sering kali mengabaikan kesejahteraan orang yang memasangnya. Paper ini menyoroti titik buta ini: biaya manusia dari konstruksi.   

BREEAM dapat mengatasi ini dengan memperluas definisi kredit yang ada. Misalnya, "Pengadaan Sumber Material Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAT 03) seharusnya tidak hanya berarti kayunya bersertifikat FSC; itu juga harus berarti perusahaan pemasoknya memiliki praktik perburuhan yang adil. "Praktik Konstruksi yang Bertanggung Jawab" (MAN 03) harus secara eksplisit mencakup kesejahteraan dan keselamatan pekerja di luar kepatuhan minimum.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Huruf "S" dalam ESG (Lingkungan, Sosial, dan Tata Kelola) sering terlupakan di lokasi konstruksi. Paper ini mengidentifikasi celah besar dalam melindungi hak dan kesejahteraan para pekerja yang membangun masa depan "berkelanjutan" kita.

  • 🧠 Inovasinya: Usulannya adalah menanamkan hak asasi manusia langsung ke dalam rantai pasokan dan kredit manajemen. Ini menjadikan tanggung jawab sosial sebagai bagian yang tidak dapat dinegosiasikan dari proses pengadaan dan konstruksi, bukan masalah SDM yang terpisah.

  • 💡 Pelajaran: Bangunan yang benar-benar berkelanjutan tidak dapat dibangun di atas praktik perburuhan yang tidak berkelanjutan. Kesehatan bangunan dimulai dengan kesehatan dan martabat para pembangunnya.

Merancang untuk Hari Esok: Apa Warisan Arsitektur Kita?

Bayangkan membangun istana pasir yang indah tepat di tepi air—mengesankan hari ini, tetapi hilang besok. Banyak bangunan modern dirancang dengan pandangan jangka pendek yang mengejutkan. Keberlanjutan sejati adalah tentang membangun untuk keabadian dan kemampuan beradaptasi. Konsep ini disebut "Perencanaan Warisan" (Legacy Planning).

Paper ini menyarankan agar BREEAM dapat mendorong ini dengan memberikan penghargaan untuk "Perancangan untuk Daya Tahan dan Ketahanan" (MAT 05) dan, yang menarik, "Desain untuk Pembongkaran dan Adaptabilitas" (WST 06). Ini berarti memikirkan seluruh siklus hidup bangunan: Bisakah bangunan ini dengan mudah dialihfungsikan dalam 50 tahun? Bisakah komponennya didaur ulang alih-alih dihancurkan? Ini adalah tentang menjadi leluhur yang baik bagi generasi mendatang.   

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: "Perencanaan Warisan" memastikan bahwa sebuah bangunan tetap menjadi aset berharga bagi generasi mendatang, bukan menjadi beban.

  • 🧠 Inovasinya: Gagasan untuk memberi penghargaan pada "Desain untuk Pembongkaran" adalah revolusioner. Ini membingkai ulang sebuah bangunan bukan sebagai produk akhir, tetapi sebagai kumpulan material berharga sementara yang dapat digunakan kembali, yang secara fundamental mengubah hubungan kita dengan limbah dan keabadian.

  • 💡 Pelajaran: Desain berkelanjutan bukan hanya tentang mengurangi dampak negatif kita hari ini; ini tentang menciptakan warisan positif dan adaptif untuk hari esok.

Saat Krisis Datang: Apakah Gedung Kita Siap?

Bagian terakhir yang hilang adalah "Perencanaan Tanggap Darurat". Pandemi dan peristiwa terkait iklim telah menunjukkan kepada kita bahwa bangunan adalah garis pertahanan pertama kita. Bangunan yang berkelanjutan juga harus tangguh.

Paper ini menghubungkan hal ini dengan kredit praktis seperti "Keamanan" (HEA 06), "Deteksi Kebocoran Air" (WAT 03), dan "Pencahayaan Eksternal" (ENE 03). Ini bukan hanya tentang kenyamanan; ini adalah komponen penting dari sistem yang menjaga orang tetap aman selama krisis.   

Meskipun analisis paper ini brilian dan perlu, saya bisa membayangkan para manajer proyek menghela napas. Memetakan "respons darurat" ke kredit untuk "limbah operasional" (WST 03) terasa agak abstrak dan bisa jadi sulit diterima oleh tim yang fokus pada anggaran dan tenggat waktu. Ini menyoroti ketegangan klasik antara ketelitian akademis dan implementasi di lapangan. Di sinilah pekerjaan sebenarnya dimulai: menerjemahkan konsep-konsep vital ini ke dalam alur kerja proyek yang praktis. Untuk menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik, para profesional memerlukan panduan terstruktur, seperti prinsip-prinsip manajemen proyek yang diajarkan dalam (https://diklatkerja.com) yang komprehensif. Mengetahui apa yang harus dilakukan adalah satu hal; mengetahui bagaimana mengintegrasikannya dengan mulus adalah hal lain.

Membangun Jembatan, Bukan Hanya Tembok: Panggilan untuk Kolaborasi Baru

Kesimpulan paling kuat dari paper ini adalah bahwa untuk memecahkan masalah ini, kita memerlukan "kolaborasi transdisipliner". Sederhananya: arsitek dan insinyur tidak bisa melakukannya sendiri.   

Ini adalah kritik mendasar terhadap struktur industri arsitektur, rekayasa, dan konstruksi (AEC) saat ini yang terkenal terkotak-kotak. Untuk merancang bangunan yang mempromosikan komunitas, Anda perlu berbicara dengan seorang sosiolog. Untuk menciptakan ruang yang meningkatkan kesehatan mental, Anda memerlukan masukan dari ahli kesehatan masyarakat. Untuk memastikan sebuah proyek melayani lingkungannya, Anda memerlukan seorang perencana kota.   

Menerapkan rekomendasi paper ini tidak cukup hanya dengan menambahkan kredit baru ke BREEAM. Komposisi tim proyek dan alur kerja itu sendiri perlu dipikirkan ulang secara radikal. Masa depan desain adalah kolaboratif, dan ide-ide paling inovatif akan datang dari meruntuhkan silo-silo profesional.

Giliran Anda Menggambar Ulang Rencana

Pada akhirnya, pesan dari paper ini sederhana namun mendalam: nilai sejati sebuah bangunan tidak diukur dalam kilowatt yang dihemat, tetapi dalam kualitas kehidupan manusia yang didukungnya. Kita memiliki alat dan pengetahuan untuk membangun ruang yang baik bagi planet dan baik bagi manusia.

Paper oleh Anosh Nadeem Butt ini bukan hanya sebuah kritik; ini adalah cetak biru praktis tentang bagaimana memulainya. Ini adalah undangan untuk kita semua—arsitek, pengembang, perencana, dan penghuni—untuk menuntut lebih dari gedung kita. Bukan hanya cangkang yang efisien, tetapi rumah yang hidup dan bernapas untuk kemanusiaan.

Jika ini memicu sesuatu dalam diri Anda—rasa frustrasi dengan status quo atau inspirasi untuk proyek Anda berikutnya—saya sangat menganjurkan Anda untuk mendalaminya lebih lanjut. Baca penelitian aslinya. Bagikan dengan tim Anda. Mulailah percakapan.

(https://doi.org/10.3390/standards5010008)

Selengkapnya
Hari Ketika Saya Sadar Ide Saya tentang Gedung "Hijau" Itu Salah

Pembangunan Berkelanjutan

Sertifikasi Berkelanjutan Tenaga Kerja Konstruksi: Menjamin Reliabilitas dan Kualitas untuk Masa Depan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 24 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan

Sertifikasi tenaga kerja sering kali dipandang hanya sebagai formalitas administratif, sebuah dokumen yang menandakan bahwa seseorang pernah mengikuti pelatihan atau ujian tertentu. Namun, artikel Sustainability (2022) menegaskan bahwa pendekatan ini sudah tidak relevan lagi. Dunia kerja, terutama sektor konstruksi yang berisiko tinggi, membutuhkan sistem sertifikasi yang berkelanjutan—artinya sertifikasi bukan hanya titik akhir, tetapi proses terus-menerus untuk menjamin kompetensi, reliabilitas, dan kualitas tenaga kerja.

Bagi kebijakan publik, temuan ini sangat penting. Industri konstruksi di Indonesia tengah menghadapi tuntutan besar: mengejar pembangunan infrastruktur strategis, meningkatkan daya saing global, dan mengurangi angka kecelakaan kerja. Semua ini hanya bisa tercapai bila tenaga kerja memiliki kompetensi nyata, bukan sekadar selembar sertifikat. Oleh karena itu, sertifikasi harus dipandang sebagai instrumen strategis, bukan sekadar formalitas hukum. Artikel Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi: Kunci atau Formalitas Administratif? menyoroti persoalan serupa: sertifikasi sering gagal memberi nilai tambah jika tidak diikuti pengawasan mutu dan mekanisme pembaruan kompetensi.

Dengan mengadopsi pendekatan berkelanjutan, kebijakan sertifikasi bisa menjadi pilar utama untuk menjamin kualitas pekerjaan konstruksi, melindungi keselamatan publik, dan meningkatkan daya saing pekerja Indonesia di pasar global.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Implementasi sertifikasi tenaga kerja berkelanjutan di lapangan sudah mulai berjalan di beberapa negara maju. Misalnya, Uni Eropa memiliki sistem lifelong learning di mana sertifikasi tenaga kerja harus diperbarui secara periodik melalui pelatihan dan ujian ulang. Hal ini terbukti meningkatkan keandalan tenaga kerja dan menurunkan tingkat kecelakaan di sektor berisiko tinggi seperti konstruksi dan energi.

Di Indonesia, dampak positif dari sertifikasi mulai terlihat. Pekerja yang tersertifikasi cenderung lebih sadar terhadap prosedur keselamatan dan menghasilkan kualitas pekerjaan yang lebih baik. Namun, implementasi sertifikasi masih menghadapi hambatan besar. Pertama, biaya sertifikasi yang relatif tinggi menjadi beban bagi pekerja informal dan kontraktor kecil. Kedua, akses ke lembaga sertifikasi masih terbatas di kota besar, sehingga pekerja di daerah sulit menjangkaunya. Ketiga, kesadaran pekerja terhadap pentingnya pembaruan sertifikasi masih rendah. Banyak yang menganggap sertifikat sebagai tujuan akhir, bukan proses berkelanjutan.

Meski demikian, peluang yang ada sangat besar. Pemerintah Indonesia melalui program SIBIMA Konstruksi telah membuka jalan digitalisasi pelatihan dan sertifikasi, memungkinkan pekerja dari daerah lebih mudah mengakses materi pelatihan. Teknologi digital juga memungkinkan monitoring Continuous Professional Development (CPD) secara transparan, sehingga kompetensi pekerja dapat terus terjaga. Artikel Membedah Pentingnya Sertifikasi Kompetensi Pekerja Konstruksi di Indonesia menegaskan bahwa sertifikasi berbasis digital adalah peluang besar untuk memastikan pemerataan akses kompetensi di seluruh Indonesia.

Rekomendasi Kebijakan Praktis

Kebijakan sertifikasi berkelanjutan membutuhkan strategi yang lebih dari sekadar regulasi administratif. Pertama, pemerintah perlu memperkenalkan sistem sertifikasi periodik. Sertifikat yang berlaku seumur hidup tidak lagi relevan; sertifikasi harus diperbarui setiap beberapa tahun melalui ujian kompetensi dan pelatihan ulang.

Kedua, kebijakan subsidi dan insentif sangat dibutuhkan agar pekerja informal dan UMKM konstruksi dapat mengikuti sertifikasi tanpa terbebani biaya.

Ketiga, digitalisasi proses sertifikasi harus dipercepat. Dengan platform daring, pekerja bisa mengikuti pelatihan, ujian, dan pelaporan CPD secara lebih mudah. Hal ini juga memungkinkan pengawasan nasional terhadap kualitas sertifikasi.

Keempat, integrasi sertifikasi dengan kurikulum pendidikan vokasi dan politeknik perlu diperkuat. Dengan begitu, lulusan baru sudah siap memasuki dunia kerja dengan sertifikat kompetensi yang berlaku nasional.

Kelima, pemerintah perlu membangun sistem audit acak dan evaluasi berkala untuk mencegah sertifikasi abal-abal. Tanpa pengawasan, sertifikasi bisa jatuh menjadi sekadar formalitas tanpa makna.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Meskipun pendekatan sertifikasi berkelanjutan menawarkan banyak manfaat, ada risiko kegagalan jika implementasi tidak dilakukan dengan konsisten. Salah satu potensi kegagalan adalah jika sertifikasi masih dipandang sekadar syarat administratif untuk mengikuti proyek pemerintah. Jika motivasi hanya formalitas, maka sertifikasi tidak akan berdampak nyata pada kualitas pekerjaan.

Risiko lain adalah kesenjangan akses. Pekerja di daerah terpencil bisa semakin tertinggal jika infrastruktur digital tidak merata. Alih-alih meningkatkan pemerataan kompetensi, kebijakan ini justru bisa memperlebar jurang antara tenaga kerja kota besar dan desa.

Selain itu, tanpa sistem insentif yang jelas, pekerja mungkin enggan memperbarui sertifikasi. Mereka tidak akan melihat manfaat langsung dalam bentuk kenaikan upah atau peningkatan peluang kerja. Akibatnya, program sertifikasi berkelanjutan bisa gagal mencapai tujuannya. Artikel Kompetensi vs Kinerja Tenaga Kerja Konstruksi memperingatkan bahwa kompetensi yang tidak terhubung dengan insentif ekonomi hanya akan menjadi konsep abstrak yang sulit diterapkan.

Penutup

Sertifikasi berkelanjutan adalah langkah strategis untuk memastikan bahwa tenaga kerja konstruksi di Indonesia benar-benar kompeten, andal, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Temuan Sustainability (2022) memberikan peringatan bahwa tanpa mekanisme berkelanjutan, sertifikasi hanya akan menjadi formalitas tanpa dampak nyata.

Dengan pendekatan yang tepat—sertifikasi periodik, subsidi, digitalisasi, integrasi pendidikan, dan pengawasan ketat—Indonesia dapat membangun sistem sertifikasi yang tidak hanya memberi pengakuan formal, tetapi juga menjamin kualitas dan keselamatan publik. Namun, semua itu harus diiringi dengan kesadaran bahwa kebijakan tidak boleh berhenti pada aturan tertulis, melainkan harus diterapkan secara konsisten dengan melibatkan industri, lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan masyarakat luas.

Sumber

Sustainability 14, 1137 (2022). Sustainable Approach to Certification of Persons: Ensuring Reliability and Quality.

Selengkapnya
Sertifikasi Berkelanjutan Tenaga Kerja Konstruksi: Menjamin Reliabilitas dan Kualitas untuk Masa Depan
page 1 of 1