Isu ekopedagogi, sekolah alam, dan sekolah adiwiyata menjadi penting, karena memberikan kerangka kerja yang komprehensif untuk memperkenalkan generasi muda pada nilai-nilai keberlanjutan. Syahrul Ramadhan, Ketua Kelompok Riset Asesmen dan Pembelajaran, Pusat Riset Pendidikan (Pusrisdik) mengatakan bahwa dengan melibatkan generasi muda dalam pelestarian lingkungan dan mendorong perubahan perilaku, menuju gaya hidup yang lebih berkelanjutan.
“Ini sangat relevan mengingat tantangan lingkungan yang semakin kompleks yang dihadapi oleh Indonesia dan dunia secara keseluruhan,” ungkap Syahrul dalam kegiatan Sharing Session yang berlangsung Rabu (20/3) di Kantor BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Gatot Subroto, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Syahrul menyampaikan topik “Potensi dan Tantangan Ecopedagogy, Sekolah Alam, dan Sekolah Adiwiyata di Indonesia” yang menjadi pembahasan kali ini.
Trina Fizzanty, Kepala Pusrisdik BRIN menyebutkan bahwa sharing session ini, merupakan perdana di tahun 2024. “Memang sangat penting karena kita ingin mengangkat isu yang paling menjadi perhatian semua negara tentang aspek lingkungan. Lebih penting lagi, bagaimana pendidikan ini bisa berkontribusi untuk memberikan pemahaman serta literasi yang lebih kuat kepada generasi penerus,” sambung Trina.
Ia lantas menjelaskan hal penting mengenai aspek lingkungan, yaitu perubahan iklim yang kini menjadi perhatian dan bagaimana sektor pendidikan bisa merespon untuk membantu generasi muda memahaminya. Maka pembahasan yang diulas mengenai aspek pedagogy yang ada saat ini apakah sudah cukup memadai untuk bisa memberikan pemahaman yang lebih kuat tentang aspek lingkungan, baik perubahan iklim, sampah plastik, dan polusi. Persoalan tersebut, menurut Trina memungkinkan sebagai poin penting tentang aspek ekopedagogi memberikan kesadaran yang kuat tentang pelestarian lingkungan.
Berto Sitompul, seorang praktisi ekopedagogi dan pendiri Bank Sampah Mengajar menyampaikan paparan berjudul “Urgensi Ekopedagogi (Pendidikan Lingkungan Kritis). Diuraikannya, dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs) poin ke 4 tentang kualitas pendidikan, yaitu rekontekstualisasi pendidikan berkelanjutan, ia menunjukkan hasil penelitiannya.
Dijelaskan Berto, walaupun sebagian besar siswa memahami fakta dan menyatakan peduli terhadap isu lingkungan, tetapi mereka tidak menghubungkan fakta itu dengan aksi, dan perilaku mereka. Hal itu disebabkan oleh pendidikan lingkungan secara tradisional masih mengarah pada pendidikan alam. Di samping itu, pendidikan lingkungan juga masih lebih banyak di ruangan kelas tanpa dihubungkan dengan isu lingkungan dan sosial.
Selanjutnya, ia menyampaikan empat sistem pengajaran ekopedagogi. Pertama, pengajaran tentang lingkungan sosial dan alam, yakni menyiapkan teks-teks terkait lingkungan hidup bagi anak-anak. Dengan itu, mereka mampu menyingkapkan isu-isu lingkungan terkini, akar dari isu, serta strategi untuk menanggapi isu, baik secara individu dan kolektif.
Kedua, pengajaran melalui lingkungan sosial dan alam, yakni menuntun para pelajar kepada kesadaran akan relasi mereka dengan lingkungan, baik sosial maupun alam. Ketiga, pengajaran melalui lingkungan sosial dan alam. Yaitu, mengadaptasi tugas-tugas kelas, latihan menulis, kerja kelompok, pengalaman, perjanjian dengan masyarakat, untuk menjelmakan pengetahuan ke dalam aksi sosial, keadilan lingkungan, kesejahteraan, dan keberlanjutan. Keempat, pengajaran tentang saling keterkaitan antar mahluk yang berkelanjutan.
Kemudian Berto mengatakan, dalam implementasinya, pendidikan berbasis ekopedagogi perlu dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip dan pendekatan secara komprehensif melalui pembelajaran holistik. Hal itu adalah pembelajaran berbasis ekopedagogi pada pengembangan materi yang tidak hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat tekstual, melainkan perlu dikembangkan melalui pendekatan kontekstual.
Menurutnya, pembelajaran harus berorientasi pada keaktifan dan keterlibatan siswa dalam memecahkan masalah secara kooperatif maupun kolaboratif. Selanjutnya, pembelajaran harus berbasis pada pendekatan interdisipliner dalam rangka memperkayapengetahuan dan pemahaman peserta didik secara komprehensif.
Ia juga menyampaikan, tentang Bank Sampah Mengajar yang sudah memberikan edukasi pentingnya seperti pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Hal itu demi bumi lebih bersih dan mengedepankan praktik nyata ketimbang belajar banyak teori. Aksi ini dilakukan bersama warga sekolah dan masyarakat yang kini sudah berjumlah 10.000 peserta didik dengan pendidik pada dua Provinsi dalam 5 Kabupaten/ kota di sejumlah 33 sekolah.
Lisadiyah Marifataini, peneliti Pusrisdik menyampaikan mengenai eksplorasi riset pendidikan di sekolah alam dengan melihat lebih dekat penyelenggaraan pendidikan di sekolah alam Indonesia. Lisa menyampaikan, untuk mengeksplorasi pendidikan pada sekolah alam, pertama yang harus diketahui adalah pengertian dan konsep tentang sekolah alam. Menurutnya, penyelenggaraan sekolah alam sangat unik dan menarik untuk dikaji, karena berbeda dengan penyelenggaraan sekolah regular formal pada umumnya, baik dilihat dari input, proses, maupun output.
Lisa lalu lebih menjelaskan lagi tentang penyelenggaraan Sekolah Alam Indonesia di Depok. Ia menguraikan dengan melihat dari segi input yang berbeda yaitu pada pola pikir (maindset) siswa yang umumnya menginginkan adanya kebebasan dalam belajar (belajar merdeka). Juga penyediaan sarana prasarana yang unik, karena bangunannya berbentuk saung sebagai tempat belajar. Input pembiayaan yang unik juga pada peran orangtua yang menjadi sumber pembiayaan utama dalam memenuhi pembelajaran anak.
Lebih lanjut, Lisa menguraikan, pada aspek proses, keunikan dapat dilihat dari pelaksanaan pembelajarannya yang dilakukan di alam terbuka, dengan dilakukan secara in class dan outing class. Metode pembelajaran yang variarif dan gaya belajarnya yang egaliter, akan memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensinya.
Sedangkan pada aspek output, keunikan terlihat pada lulusannya yang berkarakter, mandiri, memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang bisnis dan wirausaha. Juga sebagian mampu membuka usaha bisnis dan wirausaha. Sebagian lainnya diterima di berbagai perguruan tinggi ternama baik di dalam maupun luar negeri.
Sementara Aldila Rahma yang juga peneliti Pusrisdik memaparkan judul “ Ekoliterasi, dari Visi ke Aksi: Kolaborasi Pengetahuan Tacit, Explicit, dan Empiris untuk Mewujudkan Eco-School Berkelanjutan”. Menurutnya, kemampuan ekoliterasi, yang artinya melek lingkungan, mengacu pada kemampuan untuk memahami posisi manusia dalam lingkungannya. ”Ekoliterasi bertujuan untuk membekali peserta didik dengan keahlian, sikap, dan tindakan agar lebih protektif terhadap lingkungan,” papar Aldila.
Ia kemudian mengungkapkan ada tiga paradigma yang menumbuhkan ekoliterasi, yaitu pendidikan lingkungan, di mana transmisi guru ke siswa. Pendidikan lingkungan ini di mana lingkungan sebagai media pembelajaran sekaligus konservasi lingkungan,” jelasnya.
Selanjutnya, ia juga menerangkan tentang tacit knowledge, yaitu pengetahuan yang ada dalam pikiran seseorang sesuai dengan pemahaman dan pengalamannya, sehingga sifatnya unik dan khas. Sedangkan explicit knowledge yaitu pengetahuan yang dikumpulkan serta diterjemahkan dalam bentuk dokumen sehingga mudah dipahami orang lain.
Sumber: https://brin.go.id/