Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengembangkan Watershed Health Assessment System (WHAS). Sistem ini bertujuan untuk memonitor kondisi hidrologi, tanah, dan aspek sosial-ekonomi dalam upaya mengelola aktivitas manusia dan sumber daya alam secara bersama-sama. Peneliti BRIN, Prof Irfan Budi Pramono menjelaskan bahwa Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) terpadu merupakan pendekatan yang mengharuskan pengelolaan aktivitas manusia dan sumber daya alam dilakukan secara bersama-sama, dengan mempertimbangkan keterkaitan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.
"Untuk mengetahui keberhasilan tujuan pengelolaan DAS perlu dilakukan pemantauan dan evaluasi. Parameternya adalah lahan, hidrologi dan kesejahteraan masyarakat," ucapnya dalam Webinar International bertajuk "International-Based Water Resources Management for Shared Prosperity", Senin (19/3).
Dijelaskan Irfan, WHAS mampu memonitoring berbagai parameter kunci seperti koefisien aliran, beban sedimen, indeks penggunaan air, kualitas air, persentase tutupan vegetasi, dan Indeks Pembangunan Manusia. Ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dalam mengelola DAS dengan mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.
Menurut Irfan, pengelolaan sumber daya air berbasis DAS dianggap penting untuk menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Untuk itu, perhatian khusus diberikan pada pengelolaan lahan di daerah hulu guna menjaga keseimbangan air. Salah satu solusi yang diusulkan adalah melalui program Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan masyarakat di hilir DAS sebagai pengguna jasa lingkungan untuk berkontribusi kepada masyarakat di hulu DAS sebagai penyedia jasa lingkungan, terutama jasa air.
Dalam konteks ini, DAS Cidanau diidentifikasi sebagai salah satu contoh praktik terbaik pengelolaan DAS terpadu di Indonesia. Namun, masih terdapat sejumlah masalah yang perlu diatasi, seperti perambahan hutan, fluktuasi debit sungai yang tinggi, dan perlindungan di bagian hulu DAS. Melalui program PES, air sungai Cidanau diharapkan dapat diolah menjadi air bersih untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 120 industri besar, menjadikannya sebagai contoh nyata dari win-win solution dalam pengelolaan DAS.
Irfan menyoroti beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu, termasuk carbon trading, PES, dan ekowisata. Tantangan utamanya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber, memberdayakan pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi. Dengan pendekatan yang komprehensif dan sinergis seperti ini, diharapkan pengelolaan DAS dapat menjadi landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan bersama bagi masyarakat Indonesia.
"Ada beberapa peluang dan tantangan dalam pengelolaan DAS terpadu seperti carbon trading, PES, dan Ecotourism. Sedangkan tantangannya adalah memanfaatkan dana dari berbagai sumber yang tersedia, memberdayakan berbagai pemangku kepentingan, dan memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagi data dan memfasilitasi koordinasi," tandasnya.
Sementara itu, Profesor dari Shinshu University Japan, Kazuhiro Komatsu menawarkan penelitian mengenai karakterisasi Dissolved Organic Matter (DOM) atau Bahan Organik Terlarut pada danau dangkal dan dalam dengan menggunakan Excitation Emission Matrix (EEM)- PARAFAC Analysis. Hal ini seperti yang sudah dilakukannya di beberapa danau Jepang. "Excitation Emission Matrix (EEM) merupakan salah satu metode karakterisasi DOM, Pengukurannya sendiri sangat mudah dan sederhana. Hanya membutuhkan waktu 10 menit per sampel," ungkapnya.
Dijelaskan Kazuhiro, karakterisasi Bahan Organik Terlarut (DOM) menjadi kunci dalam pemahaman ekosistem akuatik dan siklus karbon global. Dua teknik terkini yang mendapatkan perhatian besar dalam hal ini adalah Matriks Emisi Eksitasi 3D dan Analisis Faktor Paralel (PARAFAC).
Lebih jauh, Kazuhiro menjelaskan bahwa Metode Excitation Emission Matrix (EEM) 3D memungkinkan pemetaan kontur 3-D dari panjang gelombang eksitasi, panjang gelombang emisi, dan intensitas fluoresensi dari DOM. Dengan karakteristik yang unik ini, peneliti dapat mengidentifikasi variasi kualitatif dan kuantitatif dalam komposisi DOM dengan detail yang tinggi. Keunggulan utamanya adalah kesederhanaan metodenya, yang memungkinkan pengukuran banyak sampel dalam waktu singkat. Hal ini membuatnya menjadi alat yang efisien dalam survei lapangan dan studi lingkungan yang luas.
Sedangkan, PARAFAC adalah metode analisis faktor yang digunakan untuk memecah Matriks Emisi Eksitasi 3D menjadi beberapa zat fluoresen hipotetis berdasarkan posisi puncaknya. Dengan demikian, PARAFAC menciptakan apa yang sering disebut sebagai "sidik jari organik", memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi dan memahami kontribusi masing-masing komponen DOM secara lebih terperinci. Penggunaan pemrosesan statistik memungkinkan analisis yang lebih mendalam terhadap data yang kompleks.
Kedua teknik ini membuka jalan baru dalam pemahaman DOM dan peranannya dalam ekosistem akuatik. Matriks Emisi Eksitasi 3D memberikan gambaran yang luas dan rinci tentang distribusi fluoresensi DOM, sementara PARAFAC memungkinkan identifikasi zat fluoresen kunci dan pemahaman tentang faktor yang memengaruhi distribusi mereka. Dengan menggunakan kedua metode ini secara bersamaan, para peneliti dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang komposisi dan dinamika DOM dalam berbagai lingkungan akuatik, dari sungai hingga lautan, yang pada gilirannya dapat mendukung upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang lebih efektif.
Untuk itu, pihaknya membuka kolaborasi dengan Indonesia melalui BRIN dalam melakukan penelitian tersebut. Salah satunya melalui kolaborasi dengan laboratorium di Jepang mulai dari survey lapangan, analisis sampel, eksperimen bersama, analisis data, seminar hingga publikasi bersama.
Sumber: https://brin.go.id/