Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan

Administrasi Publik

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025


Administrasi Publik (bahasa InggrisPublic administration) atau Administrasi Negara adalah suatu bahasan ilmu sosial yang mempelajari tiga elemen penting kehidupan bernegara yang meliputi lembaga legislatifyudikatif, dan eksekutif serta hal- hal yang berkaitan dengan publik yang meliputi kebijakan publik, manajemen publik, administrasi pembangunan, tujuan negara, dan etika yang mengatur penyelenggara negara.

Secara sederhana, administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana pengelolaan suatu organisasi publik. Kajian ini termasuk mengenai birokrasi; penyusunan, pengimplementasian, dan pengevaluasian kebijakan publikadministrasi pembangunan; kepemerintahan daerahgood governance,bahkan perkembangan saat ini telah melingkupi kepublikan (publicness) atau yang biasa dikenal dengan nilai publik (public value).

Administrasi publik adalah disiplin akademis dan bidang praktik; yang terakhir digambarkan dalam gambar pegawai negeri federal Amerika Serikat pada sebuah pertemuan.

Lokus dan fokus

Administrator cenderung bekerja dengan dokumen kertas dan file komputer: "Telah terjadi pergeseran signifikan dari kertas ke catatan elektronik selama dua dekade terakhir. Meskipun lembaga pemerintah terus mencetak dan memelihara dokumen kertas sebagai 'catatan resmi,' sebagian besar catatan sekarang dibuat dan disimpan dalam format elektronik." (digambarkan di sini adalah Stephen C. Dunn, Deputi Pengawas Keuangan untuk Angkatan Laut AS)

Lokus

Lokus adalah tempat yang menggambarkan di mana ilmu tersebut berada. Dalam hal ini lokus dari ilmu administrasi publik adalah: kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affair).

Fokus

Fokus adalah apa yang menjadi pembahasan penting dalam mempelajari ilmu administrasi publik. yang menjadi fokus dari ilmu administrasi publik adalah teori organisasi dan ilmu manajemen.

Sejarah

Ilmu Administrasi Negara lahir sejak Woodrow Wilson (1887), yang kemudian menjadi presiden Amerika Serikat pada 1913-1921, menulis sebuah artikel yang berjudul “The Study of Administration” yang dimuat di jurnal Political Science Quarterly. Kemunculan artikel itu sendiri tidak lepas dari kegelisahan Wilson muda akan perlunya perubahan terhadap praktik tata pemerintahan yang terjadi di Amerika Serikat pada waktu itu yang ditandai dengan meluasnya praktik spoil system (sistem perkoncoan) yang menjurus pada terjadinya inefektivitas dan inefisiensidalam pengelolaan negara. Studi Ilmu Politik yang berkembang pada saat itu ternyata tidak mampu memecahkan persoalan tersebut karena memang fokus kajian Ilmu Politik bukan pada bagaimana mengelola pemerintahan dengan efektif dan efisien, melainkan lebih pada urusan tentang sebuah konstitusi dan bagaimana keputusan-keputusan politik dirumuskan.

Woodrow Wilson

Menurut Wilson, Ilmuwan Politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik dibanding dengan merumuskan konstitusi itu sendiri. Sayangnya ilmu yang diperlukan untuk itu belum ada. Oleh karena itu, untuk dapat mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka diperlukan suatu ilmu yang kemudian disebut Wilson sebagai Ilmu Administrasi tersebut. Ilmu yang oleh Wilson disebut ilmu administrasi tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Agar pemerintahan dapat dikelola secara efektif dan efisien, Wilson juga menganjurkan diadopsinya prinsip-prinsip yang diterapkan oleh organisasi bisnis ―the field of administration is the field of business.

Penjelasan ilmiah terhadap gagasan Wilson tersebut kemudian dilakukan oleh Frank J. Goodnow yang menulis buku yang berjudul: Politics and Administration pada tahun 1900. Buku Goodnow tersebut sering kali dirujuk oleh para ilmuwan administrasi negara sebagai "proklamasi‟ secara resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik. Era ini juga sering disebut sebagai era paradigma dikotomi politik-administrasi. Melalui paradigma ini, Ilmu Administrasi Negara mencoba mendefinisikan eksistensinya yang berbeda dengan Ilmu Politik dengan ontologiepistimologi dan aksiologi yang berbeda. Beberapa tahun kemudian, sebuah buku yang secara sistematis menjelaskan apa sebenarnya Ilmu Administrasi Negara lahir dengan dipublikasikannya buku Leonard D. White yang berjudul Introduction to the Study of Public Administration pada 1926. Buku White yang mencoba merumuskan sosok Ilmu Administrasi tersebut pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh berbagai karya ilmuwan sebelumnya yang mencoba menyampaikan gagasan tentang bagaimana suatu organisasi seharusnya dikelola secara efektif dan efisien, seperti Frederick Taylor (1912) dengan karyanya yang berjudul Scientific ManagementHenry Fayol (1916) dengan pemikirannya yang dituangkan dalam monograf yang berjudul General and Industrial ManagementW.F. Willoughby (1918) dengan karyanya yang berjudul The Movement for Budgetary Reform in the State, dan Max Weber (1946) dengan tulisannya yang berjudul Bureaucracy.

Era berikutnya merupakan periode di mana para ilmuwan administrasi negara berusaha membangun body of knowledge ilmu ini dengan terbitnya berbagai artikel dan buku yang mencoba menggali apa yang mereka sebut sebagai prinsip-pinsip administrasi yang universal. Tonggak utama dari era ini tentu saja adalah munculnya artikel L. Gulick (1937) yang berjudul Notes on the Theory of Organization di mana dia merumuskan akronim yang terkenal dengan sebutan POSDCORDB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, Co-ordinating, Reporting dan Budgeting). Tidak dapat dimungkiri, upaya para ahli administrasi negara untuk mengembangkan body of knowledge ilmu administrasi negara sangat dipengaruhi oleh ilmu manajemen. Prinsip-prinsip administrasi sebagaimana dijelaskan oleh para ilmuwan tersebut pada dasarnya merupakan prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari administrasi bisnis yang menurut mereka dapat juga diterapkan di organisasi pemerintah.

Perkembangan pergulatan pemikiran ilmuwan administrasi negara diwarnai sebuah era pencarian jati diri Ilmu Administrasi Negara yang tidak pernah selesai. Kegamangan para ilmuwan administrasi negara dalam meninggalkan induknya, yaitu Ilmu Politik, untuk membangun eksistensinya secara mandiri bermula dari kegagalan mereka dalam merumuskan apa yang mereka sebut sebagai prinsip-prinsip administrasi sebagai pilar pokok Ilmu Administrasi Negara. Keruntuhan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi ditandai dengan terbitnya tulisan Paul Applebey (1945) yang berjudul Government is Different. Dalam tulisannya tersebut Applebey berargumen bahwa institusi pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda dengan institusi swasta sehingga prinsip-prinsip administrasi yang diadopsi dari manajemen swasta tidak serta merta dapat diadopsi dalam institusi pemerintah. Karya Herbert Simon (1946) yang berjudul The Proverbs of Administration semakin memojokkan gagasan tentang prinsip-prinsip administrasi yang terbukti lemah dan banyak aksiomanya yang keliru. Kenyataan yang demikian membuat Ilmu Administrasi Negara mengalami "krisis identitas‟ dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Namun demikian, hal ini tidak berlangsung lama ketika ilmuwan administrasi negara mencoba menemukan kembali fokus dan lokus studi ini.

Kesadaran bahwa lingkungan pemerintahan dan bisnis cenderung mengembangkan nilai, tradisi dan kompleksitas yang berbeda mendorong perlunya merumuskan definisi yang jelas tentang prinsip-prinsip administrasi yang gagal dikembangkan oleh para ilmuwan terdahulu. Dwiyanto (2007) menjelaskan bahwa lembaga pemerintah mengembangkan nilai-nilai dan praktik yang berbeda dengan yang berkembang di swasta (pasar) dan organisasi sukarela. Mekanisme pasar bekerja karena dorongan untuk mencari laba, sementara lembaga pemerintah bekerja untuk mengatur, melayani dan melindungi kepentingan publik. Karena karakteristik antara birokrasi pemerintah dan organisasi swasta sangat berbeda, maka para ilmuwan dan praktisi administrasi negara menyadari pentingnya mengembangkan teori dan pendekatan yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ilmuwan yang mengembangkan teori-teori administrasi bisnis. Dengan kesadaran baru tersebut maka identitas Ilmu Administrasi Negara menjadi semakin jelas, yaitu ilmuwan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (lokus).

Cabang inti

Di bidang akademik, bidang administrasi publik terdiri dari sejumlah sub bidang. Para cendikiawan telah mengusulkan sejumlah set sub-bidang yang berbeda. Salah satu model yang diusulkan menggunakan lima "pilar":

Perubahan administrasi negara ke administrasi publik

Sejarah tentang perubahan Ilmu Administrasi Negara masih terus berulang. Upaya mendefinisikan diri Ilmu Administrasi Negara sebagai ilmu administrasi pemerintahan sebagaimana dijelaskan sebelumnya ternyata tidak berlangsung lama. Dinamika lingkungan administrasi negara yang sangat tinggi kemudian menimbulkan banyak pertanyaan tentang relevansi keberadaan Ilmu Administrasi Negara sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lokus Ilmu Administrasi Negara yang dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi lokus Ilmu Administrasi Negara. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Saat ini semakin mudah ditemui berbagai lembaga non-pemerintah yang menjalankan misi dan fungsi yang dulu menjadi monopoli pemerintah saja. Di sisi yang lain, organisasi birokrasi juga tidak semata-mata memproduksi barang dan jasa publik, tetapi juga barang dan jasa privat. Pratikno (2007) juga memberikan konstatasi yang sama. Saat ini negara banyak menghadapi pesaing-pesaing baru yang siap menjalankan fungsi negara, terutama pelayanan publik, secara lebih efektif. Selain pelayanan publik, dalam bidang pembangunan ekonomi dan sosial, negara juga harus menegosiasikan kepentingannya dengan aktor-aktor yang lain, yaitu pelaku bisnis dan kalangan civil society (masyarakat sipil). Secara lebih tegas, Miftah Thoha (2007) bahkan mengatakan telah terjadi perubahan paradigma “ dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi ke pasar (market). Menurut Thoha, pasar di sini secara politik bisa dimaknai sebagai rakyat atau masyarakat (public). Fenomena menurunnya peran negara ini merupakan arus balik dari apa yang disebut Grindlesebagai too much state, di mana negara pada pertengahan 1980-an terlalu banyak melakukan intervensi yang berujung pada jeratan hutang luar negeri, krisis fiskal, dan pemerintah yang terlalu sentralistis dan otoriter.

Dwiyanto (2007) menyebut setidaknya ada empat faktor yang menjadi sebab semakin menurunnya dominasi peran negara, yaitu:

  1. Dinamika ekonomi, politik dan budaya yang membuat kemampuan pemerintah semakin terbatas untuk dapat memenuhi semua tuntutan masyarakat;
  2. Globalisasi yang membutuhkan daya saing yang tinggi di berbagai sektor menuntut makin dikuranginya peran negara melalui debirokratisasi dan deregulasi;
  3. Tuntutan demokratisasi mendorong semakin banyak munculnya organisasi kemasyarakatan yang menuntut untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan dan implementasinya;
  4. munculnya fenomena hybrid organization yang merupakan perpaduan antara pemerintah dan bisnis.

Berbagai fenomena tersebut menimbulkan gugatan di antara para mahasiswa maupun ilmuwan Ilmu Administrasi Negara: Apakah masih relevan menjadikan pemerintah sebagai lokus studi Ilmu Administrasi Negara?

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa kata "negara‟ dalam Ilmu Administrasi Negara menjadi terlalu sempit dan kurang relevan lagi untuk mewadahi dinamika Ilmu Administrasi Negara di awal abad ke-21 yang semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa dalam perkembangan konsep Ilmu Administrasi Negara telah terjadi pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administrationtidak tepat lagi untuk diterjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat jika diterjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna kata ‟publik‟ di sini jauh lebih luas daripada kata ‟negara‟ (Majelis Guru Besar dan Jurusan Ilmu Administrasi Negara UGM, 2007: x). Publik di sini menunjukkan keterlibatan institusi-institusi non-negara baik di sektor bisnis maupun civil society di dalam pengadministrasian pemerintahan.

Konsekuensi dari perubahan makna public administration sebagai administrasi publik di sini adalah terjadinya pergeseran lokus Ilmu Administrasi Negara dari yang sebelumnya berlokus pada birokrasi pemerintah menjadi berlokus pada organisasi publik, yaitu birokrasi pemerintah dan juga organisasi-organisasi non-pemerintah yang terlibat menjalankan fungsi pemerintahan, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik maupun pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan yang lain.

Lingkup

Kebijakan publik

Luther Gulick (1892–1993).

Dengan adanya pergeseran makna ‟publik‟ sebagaimana dijelaskan di atas, maka ilmu administrasi publik telah menemukan lokusnya secara lebih jelas. Intinya, semua aktivitas yang terjadi pada birokrasi pemerintah dan organisasi-organisasi non-pemerintah yang menjalankan fungsi pemerintah menjadi bidang perhatian ilmuwan administrasi publik. Apabila lokus ilmu administrasi publik menjadi semakin jelas, pertanyaan berikutnya adalah apa yang seharusnya menjadi fokus perhatian ilmuwan administrasi publik. Kegelisahan tersebut kemudian dijawab dengan munculnya studi kebijakan publik sebagai pokok perhatian ilmuwan administrasi publik. Hal ini merupakan implikasi yang sangat logis karena kebijakan publik merupakan output utama dari pemerintah (Dwiyanto, 2007). Bagi pemerintah, kebijakan merupakan instrumen pokok yang dapat dipakai untuk mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya memecahkan berbagai persoalan publik (public affairs). Upaya tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan kebijakan domestik yang bersifat: distributive policy, protectiveregulatory policy, competitive regulatory policy, dan redistributive policy (Ripley, 1985: 60).

Dwiyanto (2007) dengan mengutip pendapat Denhardt mengatakan bahwa tingginya minat ilmuwan administrasi publik untuk memusatkan perhatian pada studi kebijakan semakin meningkatkan keyakinan bahwa para administrator memiliki intensitas yang tinggi dalam proses perumusan kebijakan publik. Hal ini juga semakin menguatkan argumen bahwa ilmu administrasi publik memang tidak dapat dipisahkan dari induknya Ilmu Politik, sebab proses perumusan kebijakan itu sendiri tidak hanya dilakukan melalui tahapan yang bersifat teknokratis akan tetapi juga melampaui tahapan yang bersifat politis. Tahapan teknokratis dalam proses perumusan kebijakan memiliki posisi sentral. Sebab, pada tahapan ini berbagai solusi cerdas sebagai upaya memecahkan persoalan masyarakat digodok agar dapat dirumuskan serangkaian alternatif kebijakan yang dapat dipilih oleh para policy maker melalui proses politik. Pentingnya proses teknokratis dalam pembuatan kebijakan semakin membuat analisis kebijakan publik menjadi keahlian yang sangat vital yang dibutuhkan oleh para praktisi administrasi publik.

Berbagai tokoh seperti William N. Dunn (1981), Carl Patton dan David Sawicki (1983), Arnold J. Meltsner (1986), dan lain-lain telah menghasilkan berbagai buku penting sebagai acuan para ilmuwan dan praktisi administrasi publik dalam melakukan kegiatan analisis kebijakan publik. Selain itu, kenyataan bahwa kebijakan yang telah dirumuskan tidak selalu menjamin implementasinya akan berjalan mulus juga memicu munculnya studi implementasi kebijakan publik di dalam ilmu administrasi publik. Para ilmuwan seperti Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1984), Merilee Grindle (1980), Malcolm Goggin et.al (1990) merupakan sebagian ilmuwan yang menjadi pelopor pengembangan studi implementasi dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik.

Manajemen publik

Dengan adanya perkembangan terakhir tersebut menjadikan Ilmu Administrasi Publik memiliki lokus dan fokus yang lebih jelas. Lokus studi ini adalah organisasi publik, sementara fokus perhatiannya adalah persoalan publik (public affairs) dan bagaimana persoalan tersebut dipecahkan dengan instrumen kebijakan publik. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, kegelisahan ilmuwan administrasi publik tidak hanya berhenti sampai di sini. Buku Owen E. Hughes (1998) yang berjudul Public Management and Administration merupakan pemikiran yang memicu perlunya perubahan dalam mendefinisikan Ilmu Administrasi Publik.

Jika di masa-masa sebelumnya yang dipersoalkan adalah makna public pada public administration yang kemudian bergeser dari administrasi negara menjadi administrasi publik, Hughes memulai diskusi dengan menganjurkan untuk menggunakan istilah manajemen publik daripada administrasi publik. Pemikiran Hughes tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan paradigma Ilmu Administrasi Publik yang terjadi pada era 1990an yang mencoba memperbarui mekanisme pengelolaan birokrasi publik yang dikenal sangat hirarkis, lamban, dan tidak efisien dengan mengadopsi prinsip-prinsip yang diterapkan pada manajemen bisnis. Keluhan tentang tidak relevannya prinsip-prinsip birokrasi Weberian sudah sering disampaikan.

Apa yang disampaikan oleh Al Gore sebagaimana dikutip oleh Hughes (1998: 3) tentang buruknya sistem birokrasi yang bekerja atas dasar prinsip Old Public Administration barangkali mewakili pemimpin negara yang lain:

[…] in today‘s world of rapid change, lightning-quick information technologies, tough global competition, and demanding customers, large, top-down bureaucracies –public or private—don‘t work very well.

Merespon persoalan tersebut, beberapa pemikir kemudian mengajukan gagasan mereka, seperti: managerialism (Pollit, 1993), new public management (Hood, 1991), market-based public administration (Lan, Zhioying & Rosenbloom, 1992), dan post-bureaucratic paradigm (Barzelay, 1992). Namun yang paling fenomenal tentu saja pemikiran Osborne dan Gaebler (1992) tentang entrepreneurial government yang ditulis dalam buku mereka yang menjadi best seller, yaitu Reinventing Government. Gagasan mereka kemudian diadopsi secara luas di berbagai negara setelah pemerintahan Clinton-Gore di Amerika Serikat mengadopsinya secara sukses. Selain di Amerika, gagasan untuk mengembangkan paradigma public managerialism dalam disiplin Ilmu Administrasi Publik juga terjadi di Eropa, terutama di Inggris ketika tekanan terhadap keterbatasan anggaran bagi penyediaan layanan publik telah memaksa pemerintahan Margaret Thacher untuk menerapkan berbagai upaya guna lebih mengefisienkan pelayanan publik di Inggris. Rhodes (1991) menyerukan perlunya diterapkan semboyan “3Es” atau economy, efficiency dan effectiveness agar pelayanan publik di Inggris menjadi lebih efisien.

Berbagai realitas sebagaimana digambarkan di atas membawa pada suatu cakrawala baru di antara para ilmuwan administrasi negara untuk sampai pada suatu kesimpulan bahwa administrasi publik yang berkonotasi sempit perlu diubah menjadi manajemen publik yang lebih memiliki jangkauan yang lebih luas sebagaimana dikatakan oleh Hughes (1998: 4): It is argued here that administration is a narrower and more limited function than management […]. Dalam argumentasinya lebih lanjut, Hughes mengatakan bahwa menurut definisi kamus, kata "manajemen‟ memiliki makna yang lebih luas dibandingkan "administrasi‟. Dari berbagai definisi kamus yang ada (Oxford English DictionaryWebster Dictionary dan Latin Dictionary) dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa administrasi lebih dimaknai sebagai proses dan prosedur yang harus dipatuhi oleh seorang administrator dalam menjalankan tugasnya untuk memberikan pelayanan publik. Sedangkan manajemen memiliki arti lebih luas, yaitu tidak hanya sekadar mengikuti prosedur, melainkan berkaitan juga dengan: pencapaian target dan tanggung jawab bagi manajer untuk mencapai target-target yang telah ditetapkan.

Selain alasan tersebut, Hughes (1998: 6) juga menyebut semakin meluasnya penggunaan istilah "manajemen‟ dan "manajer‟ di sektor publik. Sementara di sisi yang lain, penggunaan istilah ‟administrasi‟ justru mengalami penurunan. Di Indonesia sendiri, sejak pemerintahan Kolonial Belanda berakhir, penggunaan istilah ‟administrasi‟ di dalam birokrasi pemerintah semakin jarang digunakan. Kalaupun digunakan, istilah ‟administrasi‟ telah mengalami kemerosotan makna sebagai konsep untuk menggambarkan pekerjaan ketik-mengetik atau sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan prosedur surat-menyurat (cf. Utomo, 2007: 131). Apa yang terjadi tersebut menunjukkan bahwa istilah ‟manajemen‟ memiliki makna lebih superior dibandingkan istilah "administrasi‟. Oleh karena itu Hughes (1998: 6) kemudian mengatakan bahwa:

As part of the general process public administration‘ has clearly lost favor as a description of the work carried out; the term manager‘ is more common, where once administrators‘ was used.

Dukungan terhadap pendapat Hughes juga diberikan oleh Pollitt (1993: vii) yang menyebutkan: formerly they were called administrators‘, principal officers‘, finance officers‘ atau assistant directors‘. Now, they are managers‘. Tentu saja, pentingnya perubahan dari administrasi menjadi manajemen bukan hanya sekadar sebuah pergantian istilah. Perubahan tersebut akan berimplikasi pada bangun teoretis yang perlu dikembangkan untuk mendukung perubahan nama dari administrasi menjadi manajemen, misalnya menyangkut bagaimana akuntabilitas disampaikan, hubungan eksternal, dan konsepsi tentang pemerintahan sendiri yang juga akan turut berubah.

Konsekuensi dari perubahan nama "administrasi publik‟ ke "manajemen publik‟ secara epistimologis juga berpengaruh terhadap cara bagaimana ilmuwan administrasi publik ke depan mengembangkan ilmu ini. Jika selama ini ilmuwan administrasi publik lebih berkutat pada diskusi yang bersifat filosofis tentang administrasi, standar etika dan norma bagi manajer publik dalam menjalankan tugasnya, maka ke depan jika administrasi publik berubah menjadi manajemen publik, orientasi keilmuan dari disiplin ini juga akan bergeser pada hal-hal yang lebih empirikal tentang bagaimana mengembangkan keilmuan untuk membantu manajer publik mencapai tujuan organisasi, bagaimana meningkatkan kemampuan manajerial mereka dan bagaimana meningkatkan akuntabilitas para manajer publik tersebut di depan masyarakat. Untuk itu di masa depan ilmuwan administrasi publik harus memahami:

  1. semakin meningkatnya tekanan terhadap sektor publik untuk melakukan restrukturisasi dan menyerahkan urusan kepada sektor swasta;
  2. bagaimana membuat keputusan yang secara ekonomis menguntungkan dengan mempelajari public choice theory, principal/agent theory dan transaction cost theory;
  3. perubahan-perubahan lingkungan di sektor swasta seperti kompetisi yang semakin meningkat dan globalisasi;
  4. terjadinya perubahan teknologi informasi yang dapat membantu manajer publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka sehingga ilmuwan manajemen publik ke depan harus belajar perkembangan teknologi informasi untuk diadopsi menjadi e-government

Pemikiran untuk mengubah nama "administrasi‟ menjadi "manajemen‟ sebenarnya bukan sesuatu yang aneh jika kita merujuk kembali pada gagasan awal yang dikembangkan oleh Wilson (1887: 16) tentang Ilmu Administrasi yang Ia katakan sebagai berikut: This is why there should be a science of administration which shall seek to straighten the paths of government, to make it business less unbusinesslike. Namun demikian, tentu saja manajemen publik yang dikembangkan oleh ilmuwan administrasi publik di masa mendatang jelas akan berbeda dengan manajemen bisnis sebagaimana dikembangkan oleh ilmuwan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Kajian administrasi publik

  1. Kebijakan Publik (Agenda Setting, Formulasi, Implementasi, Monitoring dan Evaluasi, Analisis Kebijakan, Konflik Kebijakan)
  2. Manajemen Publik
  3. Keuangan Publik
  4. Administrasi Pembangunan dan Perencanaan Pembangunan Pusat dan Daerah
  5. Otonomi Daerah
  6. Hubungan Eksekutif dan Legislatif
  7. Etika Administrasi Publik
  8. Pelayanan Publik
  9. Manajemen Sumber Daya Manusia Sektor Publik
  10. Manajemen dan Kebijakan Bencana
  11. Manajemen Strategis
  12. Manajemen Perubahan
  13. Manajemen dan Resolusi Konflik
  14. Ekonomi Politik Pembangunan
  15. Reformasi Administrasi
  16. Good Governance, Local Governance, Global Governance, Sound Governance, Collaborative Governance, Dynamic Governance
  17. Kepemimpinan Sektor Publik
  18. Pemberdayaan Masyarakat
  19. Inovasi sektor publik
  20. Nilai Publik
  21. Kepublikan
  22. E-Governance
  23. Smart City dan TIK
  24. Public, Private, Partnership (PPP)
  25. Pengarusutamaan Gender
  26. Metode Penelitian Administrasi Publik
  27. Statistik untuk Kebijakan Publik

Rente birokrasi dan administrasi publik

Administrasi Publik selalu bersinggungan dengan birokrasi, pada pelaksanaannya para perangkat publik (PNS) selalu memberikan "push" kepada publik berupa rente dalam birokrasi tersebut.

Konsep e-government

Terminologi e-government menyangkut seluruh teknologi informasi dan komunikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh fungsi-fungsi kepemerintahan.

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Administrasi Publik

Facilities Engineering and Energy Management

Akuntansi Energi

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Akuntansi energi adalah sistem yang digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan melaporkan konsumsi energi dari berbagai aktivitas secara teratur. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi energi, dan untuk memantau dampak lingkungan dari konsumsi energi.

Manajemen energi

Energi panas adalah jumlah energi kinetik molekul acak.

Akuntansi energi adalah sistem yang digunakan dalam sistem manajemen energi untuk mengukur dan menganalisis konsumsi energi untuk meningkatkan efisiensi energi dalam suatu organisasi. Organisasi seperti perusahaan Intel menggunakan sistem ini untuk melacak penggunaan energi.

Berbagai transformasi energi dimungkinkan. Neraca energi dapat digunakan untuk melacak energi melalui suatu sistem. Ini menjadi alat yang berguna untuk menentukan penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Berapa banyak energi yang dibutuhkan pada setiap titik dalam suatu sistem diukur, serta bentuk energi itu. Sistem akuntansi melacak energi masuk, energi keluar, dan energi tidak berguna versus pekerjaan yang dilakukan, dan transformasi dalam suatu sistem. Terkadang, pekerjaan yang tidak bermanfaat seringkali menjadi penyebab masalah lingkungan.

Keseimbangan energi

Energi yang dikembalikan atas energi yang diinvestasikan (EROEI) adalah rasio energi yang diberikan oleh teknologi energi dengan energi yang diinvestasikan untuk menyiapkan teknologi.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Akuntansi Energi

Revolusi Industri

Proto-industrialization

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Proto-industrialization atau Proto industrialisasi adalah pengembangan regional, di samping pertanian komersial, produksi kerajinan pedesaan untuk pasar eksternal. Istilah ini diperkenalkan pada awal 1970-an oleh sejarawan ekonomi yang berpendapat bahwa perkembangan semacam itu di beberapa bagian Eropa antara abad ke-16 dan ke-19 menciptakan kondisi sosial dan ekonomi yang mengarah pada Revolusi Industri. Peneliti kemudian menyarankan bahwa kondisi serupa telah muncul di bagian lain dunia.

Proto-industrialisasi juga merupakan istilah untuk teori spesifik tentang peran proto-industri dalam munculnya Revolusi Industri. Aspek teori proto-industrialisasi telah ditentang oleh sejarawan lain. Kritik terhadap gagasan protoindustrialisasi tidak serta merta mengkritisi gagasan protoindustri yang menonjol atau berperan sebagai faktor sosial dan ekonomi.

Kritik terhadap teori ini telah mengambil berbagai bentuk -- bahwa proto-industri penting dan tersebar luas tetapi bukan faktor utama yang beralih ke kapitalisme industri, bahwa proto-industri tidak cukup berbeda dari jenis manufaktur pra-industri atau kerajinan agraria lainnya untuk merumuskan fenomena yang lebih luas, atau bahwa proto-industrialisasi sebenarnya adalah industrialisasi.

Sarjana lain telah membangun dan memperluas proto-industrialisasi, atau merekapitulasi poin-poinnya - tentang peran proto-industri dalam pengembangan sistem ekonomi dan sosial modern awal Eropa dan Revolusi Industri. Di luar Eropa, contoh utama fenomena ekonomi yang diklasifikasikan sebagai proto-industrialisasi oleh para sejarawan adalah di Mughal India dan Song China.

Sejarah

Istilah ini diciptakan oleh Franklin Mendels dalam disertasi doktoralnya tahun 1969 tentang industri linen pedesaan di Flanders abad ke-18 dan dipopulerkan dalam artikelnya tahun 1972 berdasarkan karya tersebut. Mendel berpendapat bahwa menggunakan tenaga kerja surplus, yang awalnya tersedia selama periode musim pertanian yang lambat, meningkatkan pendapatan pedesaan, mematahkan monopoli sistem gilda perkotaan dan melemahkan tradisi pedesaan yang membatasi pertumbuhan penduduk. Peningkatan populasi yang dihasilkan menyebabkan pertumbuhan lebih lanjut dalam produksi, dalam proses mandiri yang, Mendel mengklaim, menciptakan tenaga kerja, modal dan keterampilan kewirausahaan yang mengarah ke industrialisasi.

Sejarawan lain memperluas gagasan ini pada 1970-an dan 1980-an. Dalam buku mereka tahun 1979, Peter Kriedte, Hans Medick dan Jürgen Schlumbohm memperluas teori ini ke dalam penjelasan yang luas tentang transformasi masyarakat Eropa dari feodalisme ke kapitalisme industri. Mereka memandang proto-industrialisasi sebagai bagian dari fase kedua dalam transformasi ini, menyusul melemahnya sistem manorial pada Abad Pertengahan Tinggi. Sejarawan kemudian mengidentifikasi situasi serupa di bagian lain dunia, termasuk India, Cina, Jepang dan bekas dunia Muslim.

Penerapan proto-industrialisasi di Eropa sejak itu telah ditantang. Martin Daunton, misalnya, berpendapat bahwa proto-industrialisasi "mengecualikan terlalu banyak" untuk sepenuhnya menjelaskan perluasan industri: tidak hanya para pendukung proto-industrialisasi mengabaikan industri vital berbasis kota di ekonomi pra-industri, tetapi juga mengabaikan "pedesaan". dan industri perkotaan berbasis organisasi non-domestik"; mengacu pada bagaimana tambang, pabrik, menempa dan tungku cocok dengan ekonomi agraris. Clarkson telah mengkritik kecenderungan untuk mengkategorikan semua jenis manufaktur pra-industri sebagai proto-industri. Sheilagh Ogilvie membahas historiografi proto-industrialisasi, dan mengamati bahwa para sarjana telah mengevaluasi kembali produksi industri pra-pabrik, tetapi telah melihatnya muncul sebagai fenomena tersendiri dan bukan hanya pendahulu industrialisasi. Menurut Ogilvie, sebuah perspektif utama "menekankan kesinambungan jangka panjang dalam pembangunan ekonomi dan sosial Eropa antara periode abad pertengahan dan abad kesembilan belas." Beberapa ahli telah mempertahankan konseptualisasi asli proto-industrialisasi atau memperluasnya.

Anak benua India

Beberapa sejarawan telah mengidentifikasi proto-industrialisasi di anak benua India modern awal, terutama di subdivisi terkaya dan terbesarnya, Benggala Mughal (Bangladesh modern dan Benggala Barat), sebuah negara perdagangan utama di dunia yang telah melakukan kontak komersial dengan pasar global sejak abad ke-14. Wilayah Mughal sendirian menyumbang 40% dari impor Belanda di luar Eropa. Bengal adalah wilayah terkaya di anak benua India, dan ekonomi proto-industrinya menunjukkan tanda-tanda mendorong Revolusi Industri. Selama abad ke-17-18, di bawah naungan Shaista Khan, paman Kaisar Mughal Aurangzeb yang relatif liberal sebagai Subehdar Benggala, pertumbuhan berkelanjutan sedang dialami dalam industri manufaktur, melebihi Cina. Menurut satu teori, pertumbuhan dapat dijelaskan oleh syariah dan Islam ekonomi yang dipaksakan oleh Aurangzeb. India menjadi ekonomi terbesar di dunia, senilai 25% dari PDB dunia, memiliki kondisi yang lebih baik daripada Eropa Barat abad ke-18, sebelum Revolusi Industri.

Kerajaan Mysore, kekuatan ekonomi dan militer utama di India Selatan, diperintah oleh Hyder Ali dan Tipu Sultan, sekutu Kaisar Napoleon Bonaparte Prancis, juga mengalami pertumbuhan besar dalam pendapatan dan populasi per kapita, perubahan struktural dalam ekonomi, dan peningkatan kecepatan inovasi teknologi, terutama teknologi militer.

Lagu Cina

Perkembangan ekonomi di dinasti Song (960-1279) sering dibandingkan dengan proto-industrialisasi atau kapitalisme awal.

Ekspansi komersial dimulai pada dinasti Song Utara dan dikatalisasi oleh migrasi pada dinasti Song Selatan. Dengan pertumbuhan produksi barang-barang non-pertanian dalam konteks industri rumahan (seperti sutra), dan produksi tanaman komersial yang dijual alih-alih dikonsumsi (seperti teh), kekuatan pasar diperluas ke dalam kehidupan orang-orang biasa. Ada kebangkitan sektor industri dan komersial, dan komersialisasi mencari keuntungan muncul. Ada perusahaan pemerintah dan swasta paralel dalam produksi besi dan baja, sementara ada kontrol ketat pemerintah terhadap beberapa industri seperti produksi belerang dan sendawa. Sejarawan Robert Hartwell memperkirakan bahwa produksi besi per kapita di Song China naik enam kali lipat antara 806 dan 1078 berdasarkan penerimaan era Song. Hartwell memperkirakan bahwa output industri China pada tahun 1080 mirip dengan Eropa pada tahun 1700.

Pengaturan yang memungkinkan industri kompetitif untuk berkembang di beberapa daerah sambil mengatur kebalikan dari produksi dan perdagangan yang diatur oleh pemerintah yang ketat dan dimonopoli di tempat lain sangat menonjol dalam manufaktur besi seperti di sektor lain. Pada awal Song, pemerintah mendukung pabrik sutra dan bengkel brokat yang kompetitif di provinsi timur dan di ibu kota Kaifeng. Namun, pada saat yang sama pemerintah menetapkan larangan hukum yang ketat atas perdagangan pedagang sutra yang diproduksi secara pribadi di provinsi Sichuan. Larangan ini merupakan pukulan ekonomi bagi Sichuan yang menyebabkan pemberontakan kecil (yang ditundukkan), namun Song Sichuan terkenal dengan industri independennya yang memproduksi kayu dan menanam jeruk.

Banyak keuntungan ekonomi yang hilang selama dinasti Yuan, membutuhkan waktu berabad-abad untuk pulih. Pertambangan batu bara adalah sektor mutakhir di era Song, tetapi menurun dengan penaklukan Mongol. Produksi besi pulih sampai batas tertentu selama Yuan, terutama berdasarkan arang dan kayu.

Eropa

Pendirian awal Mendel tentang "proto-industrialisasi" mengacu pada kegiatan komersial di Flanders abad ke-18 dan banyak penelitian yang berfokus pada wilayah tersebut. Sheilagh Ogilvie menulis, "Proto-industri muncul di hampir setiap bagian Eropa dalam dua atau tiga abad sebelum industrialisasi."

Proto-industri pedesaan sering dipengaruhi oleh serikat pekerja. Mereka mempertahankan pengaruh besar atas manufaktur pedesaan di Swiss (sampai awal abad ke-17), Prancis dan Westphalia (sampai akhir abad ke-17), Bohemia dan Saxony (sampai awal abad ke-18), Austria, Catalonia, dan daerah Rhine (sampai abad ke-18). kemudian abad ke-18) dan Swedia dan Württemberg (ke abad ke-19). Di daerah lain di Eropa, serikat mengecualikan semua bentuk proto-industri, termasuk di Kastilia dan bagian utara Italia. Perjuangan politik terjadi antara proto-industri dan serikat regional yang berusaha untuk mengontrol mereka, serta melawan hak istimewa perkotaan atau hak istimewa bea cukai.

Bas van Bavel berpendapat bahwa beberapa kegiatan non-pertanian di Negara-Negara Rendah mencapai tingkat proto-industri pada awal abad ke-13, meskipun dengan perbedaan regional dan temporal, dengan puncaknya pada abad ke-16. Van Basel mengamati bahwa Flanders dan Belanda berkembang sebagai daerah perkotaan (sepertiga dari populasi Flanders menjadi perkotaan pada abad ke-15, dan lebih dari setengah populasi Belanda pada abad ke-16) dengan pedesaan yang dikomersialkan dan pasar ekspor yang berkembang. Flanders melihat dominasi kegiatan pedesaan padat karya seperti produksi tekstil, sementara Belanda melihat dominasi kegiatan perkotaan padat modal seperti pembuatan kapal. Kegiatan proto-industri di Belanda termasuk "produksi lem, pembakaran kapur, pekerjaan batu bata, penggalian gambut, tongkang, pembuatan kapal, dan industri tekstil" yang ditargetkan untuk ekspor.

Sejarawan Julie Marfany juga mengajukan teori proto-industrialisasi yang mengamati produksi tekstil proto-industri di Igualada, Catalonia dari tahun 1680, dan efek demografisnya -- termasuk peningkatan pertumbuhan penduduk dibandingkan dengan revolusi industri selanjutnya. Marfany juga menyarankan bahwa mode kapitalisme yang agak alternatif berkembang karena perbedaan dalam unit keluarga dibandingkan dengan Eropa Utara.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Proto-industrialization

Operation Research and Analysis

Kontrol Proses Statistik

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Kontrol proses statistik (SPC) adalah metode kontrol kualitas yang menggunakan metode statistik untuk memantau dan mengendalikan suatu proses. Ini membantu memastikan bahwa proses beroperasi secara efisien, menghasilkan lebih banyak produk yang sesuai dengan spesifikasi dengan lebih sedikit limbah (pengerjaan ulang atau skrap). SPC dapat diterapkan pada proses apa pun di mana output "produk yang sesuai" (produk yang memenuhi spesifikasi) dapat diukur. Alat utama yang digunakan dalam SPC termasuk grafik lari, grafik kontrol, fokus pada peningkatan berkelanjutan, dan desain eksperimen. Contoh proses di mana SPC diterapkan adalah jalur manufaktur.

SPC harus dipraktekkan dalam dua fase: Fase pertama adalah pembentukan awal proses, dan fase kedua adalah penggunaan proses produksi secara teratur. Pada fase kedua, keputusan periode yang akan diperiksa harus dibuat, tergantung pada perubahan kondisi 5M&E (Man, Machine, Material, Method, Movement, Environment) dan tingkat keausan suku cadang yang digunakan dalam proses manufaktur (suku cadang mesin , jig, dan perlengkapan).

Keuntungan SPC dibandingkan metode kontrol kualitas lainnya, seperti "inspeksi", adalah bahwa metode ini menekankan deteksi dini dan pencegahan masalah, daripada koreksi masalah setelah terjadi.

Selain mengurangi pemborosan, SPC dapat mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk. SPC memperkecil kemungkinan produk jadi perlu dikerjakan ulang atau dibuang.

Sejarah

Kontrol proses statistik dipelopori oleh Walter A. Shewhart di Bell Laboratories pada awal 1920-an. Shewhart mengembangkan peta kendali pada tahun 1924 dan konsep keadaan kendali statistik. Kontrol statistik setara dengan konsep pertukaran[1][2] yang dikembangkan oleh ahli logika William Ernest Johnson juga pada tahun 1924 dalam bukunya Logic, Part III: The Logical Foundations of Science.[3] Bersama dengan tim di AT&T yang mencakup Harold Dodge dan Harry Romig, ia juga bekerja untuk menempatkan inspeksi pengambilan sampel pada basis statistik yang rasional. Shewhart berkonsultasi dengan Kolonel Leslie E. Simon dalam penerapan peta kendali untuk pembuatan amunisi di Picatinny Arsenal Angkatan Darat pada tahun 1934. Penerapan yang berhasil itu membantu meyakinkan Ordnance Angkatan Darat untuk melibatkan George Edwards dari AT&T untuk berkonsultasi tentang penggunaan kendali mutu statistik di antara divisi-divisinya dan kontraktor pada pecahnya Perang Dunia II.

W. Edwards Deming mengundang Shewhart untuk berbicara di Sekolah Pascasarjana Departemen Pertanian AS dan menjabat sebagai editor buku Shewhart Statistical Method from the Viewpoint of Quality Control (1939), yang merupakan hasil dari kuliah tersebut. Deming adalah arsitek penting kursus singkat kendali mutu yang melatih industri Amerika dalam teknik-teknik baru selama Perang Dunia II. Lulusan kursus masa perang ini membentuk masyarakat profesional baru pada tahun 1945, American Society for Quality Control, yang memilih Edwards sebagai presiden pertamanya. Deming melakukan perjalanan ke Jepang selama Pendudukan Sekutu dan bertemu dengan Persatuan Ilmuwan dan Insinyur Jepang (JUSE) dalam upaya untuk memperkenalkan metode SPC ke industri Jepang.[4][5]

Sumber variasi 'umum' dan 'khusus'

Shewhart membaca teori statistik baru yang keluar dari Inggris, terutama karya William Sealy Gosset, Karl Pearson, dan Ronald Fisher. Namun, dia mengerti bahwa data dari proses fisik jarang menghasilkan kurva distribusi normal (yaitu, distribusi Gaussian atau 'kurva lonceng'). Dia menemukan bahwa data dari pengukuran variasi di bidang manufaktur tidak selalu berperilaku seperti data dari pengukuran fenomena alam (misalnya, gerakan partikel Brown). Shewhart menyimpulkan bahwa sementara setiap proses menampilkan variasi, beberapa proses menampilkan variasi yang wajar bagi proses (sumber variasi "umum"); proses-proses ini ia gambarkan berada dalam kendali (statistik). Proses lain juga menampilkan variasi yang tidak ada dalam sistem kausal dari proses sepanjang waktu (sumber variasi "khusus"), yang digambarkan Shewhart sebagai tidak terkendali.

Aplikasi untuk proses non-manufaktur

Kontrol proses statistik sesuai untuk mendukung setiap proses berulang, dan telah diterapkan di banyak pengaturan di mana misalnya sistem manajemen mutu ISO 9000 digunakan, termasuk audit keuangan dan akuntansi, operasi TI, proses perawatan kesehatan, dan proses administrasi seperti pengaturan pinjaman dan administrasi, penagihan pelanggan, dll. Terlepas dari kritik atas penggunaannya dalam desain dan pengembangan, ini adalah tempat yang tepat untuk mengelola tata kelola data semi-otomatis dari operasi pemrosesan data volume tinggi, misalnya di gudang data perusahaan, atau manajemen kualitas data perusahaan sistem. [7]

Dalam Capability Maturity Model (CMM) 1988, Institut Rekayasa Perangkat Lunak menyarankan agar SPC dapat diterapkan pada proses rekayasa perangkat lunak. Praktek Level 4 dan Level 5 dari Capabil ity Maturity Model Integration (CMMI) menggunakan konsep ini.

Penerapan SPC untuk non-repetitive, proses pengetahuan-intensif, seperti penelitian dan pengembangan atau rekayasa sistem, telah menghadapi skeptisisme dan tetap kontroversial.

Dalam No Silver Bullet, Fred Brooks menunjukkan bahwa kompleksitas, persyaratan kesesuaian, kemampuan berubah, dan ketidaktampakan perangkat lunak menghasilkan variasi yang melekat dan esensial yang tidak dapat dihilangkan. Ini menyiratkan bahwa SPC kurang efektif dalam pengembangan perangkat lunak daripada di, misalnya, manufaktur.

Variasi dalam pembuatan

Dalam manufaktur, kualitas didefinisikan sebagai kesesuaian dengan spesifikasi. Namun, tidak ada dua produk atau karakteristik yang sama persis, karena setiap proses mengandung banyak sumber variabilitas. Dalam pembuatan massal, secara tradisional, kualitas barang jadi dipastikan dengan inspeksi produk pasca-manufaktur. Setiap artikel (atau sampel artikel dari lot produksi) dapat diterima atau ditolak sesuai dengan seberapa baik memenuhi spesifikasi desainnya, SPC menggunakan alat statistik untuk mengamati kinerja proses produksi untuk mendeteksi variasi yang signifikan sebelum menghasilkan produksi barang di bawah standar. Setiap sumber variasi pada setiap titik waktu dalam suatu proses akan jatuh ke dalam salah satu dari dua kelas.

(1) Penyebab umum

Penyebab 'umum' kadang-kadang disebut sebagai sumber variasi 'tidak dapat ditentukan', atau 'normal'. Ini mengacu pada sumber variasi apa pun yang secara konsisten bertindak pada proses, yang biasanya ada banyak. Jenis penyebab ini secara kolektif menghasilkan distribusi yang stabil secara statistik dan berulang dari waktu ke waktu.

(2) Penyebab khusus

Penyebab 'khusus' kadang-kadang disebut sebagai sumber variasi yang 'dapat dialihkan'. Istilah ini mengacu pada setiap faktor yang menyebabkan variasi yang hanya mempengaruhi beberapa keluaran proses. Mereka sering terputus-putus dan tidak dapat diprediksi.

Sebagian besar proses memiliki banyak sumber variasi; kebanyakan dari mereka adalah kecil dan dapat diabaikan. Jika sumber variasi yang dapat ditetapkan yang dominan terdeteksi, berpotensi mereka dapat diidentifikasi dan dihilangkan. Ketika mereka dihapus, prosesnya dikatakan 'stabil'. Ketika suatu proses stabil, variasinya harus tetap dalam batas-batas yang diketahui. Yaitu, setidaknya, sampai sumber variasi lain yang dapat ditentukan terjadi.

Misalnya, lini pengemasan sereal sarapan dapat dirancang untuk mengisi setiap kotak sereal dengan 500 gram sereal. Beberapa kotak akan memiliki sedikit lebih dari 500 gram, dan beberapa akan memiliki sedikit lebih sedikit. Ketika berat paket diukur, data akan menunjukkan distribusi berat bersih.

Jika proses produksi, inputnya, atau lingkungannya (misalnya, mesin on line) berubah, distribusi data akan berubah. Misalnya, karena cam dan puli mesin aus, mesin pengisi sereal dapat memasukkan lebih dari jumlah sereal yang ditentukan ke dalam setiap kotak. Meskipun ini mungkin menguntungkan pelanggan, dari sudut pandang produsen, hal itu boros, dan meningkatkan biaya produksi. Jika pabrikan menemukan perubahan dan sumbernya pada waktu yang tepat, perubahan tersebut dapat diperbaiki (misalnya, cam dan puli diganti).

Dari perspektif SPC, jika berat setiap kotak sereal bervariasi secara acak, beberapa lebih tinggi dan beberapa lebih rendah, selalu dalam kisaran yang dapat diterima, maka proses tersebut dianggap stabil. Jika cam dan puli mesin mulai aus, bobot kotak sereal mungkin tidak acak. Fungsi cam dan puli yang menurun dapat menyebabkan pola linier non-acak dari peningkatan bobot kotak sereal. Kami menyebutnya variasi penyebab umum. Namun, jika semua kotak sereal tiba-tiba beratnya lebih dari rata-rata karena kerusakan tak terduga dari cams dan puli, ini akan dianggap sebagai variasi penyebab khusus.

Aplikasi

Penerapan SPC melibatkan tiga fase kegiatan utama:

  1. Memahami proses dan batasan spesifikasi.
  2. Menghilangkan sumber variasi yang dapat dialihkan (khusus), sehingga prosesnya stabil.
  3. Memantau proses produksi yang sedang berjalan, dibantu dengan penggunaan peta kendali, untuk mendeteksi perubahan yang signifikan dari rata-rata atau variasi.

Bagan kendali

Data dari pengukuran variasi pada titik-titik pada peta proses dipantau menggunakan diagram kendali. Bagan kontrol berusaha membedakan sumber variasi yang "dapat ditetapkan" ("khusus") dari sumber "umum". Sumber "umum", karena merupakan bagian yang diharapkan dari proses, tidak terlalu diperhatikan oleh pabrikan daripada sumber "dapat dialihkan". Menggunakan diagram kendali adalah aktivitas yang berkelanjutan, terus-menerus dari waktu ke waktu.

Proses yang stabil

Ketika proses tidak memicu salah satu "aturan deteksi" bagan kontrol untuk bagan kontrol, itu dikatakan "stabil". Analisis kemampuan proses dapat dilakukan pada proses yang stabil untuk memprediksi kemampuan proses untuk menghasilkan "produk yang sesuai" di masa depan.

Proses yang stabil dapat ditunjukkan dengan tanda tangan proses yang bebas dari varians di luar indeks kemampuan. Tanda tangan proses adalah titik-titik yang diplot dibandingkan dengan indeks kemampuan.

Variasi berlebihan

Ketika proses memicu salah satu dari "aturan deteksi" bagan kontrol (atau sebagai alternatif, kemampuan proses rendah), aktivitas lain dapat dilakukan untuk mengidentifikasi sumber variasi yang berlebihan. Alat yang digunakan dalam kegiatan ekstra ini meliputi: diagram Ishikawa, eksperimen yang dirancang, dan diagram Pareto. Eksperimen yang dirancang adalah sarana untuk mengukur secara objektif kepentingan relatif (kekuatan) sumber variasi. Setelah sumber variasi (penyebab khusus) diidentifikasi, mereka dapat diminimalkan atau dihilangkan. Langkah-langkah untuk menghilangkan sumber variasi mungkin termasuk: pengembangan standar, pelatihan staf, pemeriksaan kesalahan, dan perubahan pada proses itu sendiri atau inputnya.

Metrik stabilitas proses

Saat memantau banyak proses dengan diagram kendali, terkadang berguna untuk menghitung ukuran kuantitatif stabilitas proses. Metrik ini kemudian dapat digunakan untuk mengidentifikasi/memprioritaskan proses yang paling membutuhkan tindakan korektif. Metrik ini juga dapat dilihat sebagai pelengkap metrik kemampuan proses tradisional. Beberapa metrik telah diusulkan, seperti yang dijelaskan dalam Ramirez dan Runger. Yaitu (1) Rasio Stabilitas yang membandingkan variabilitas jangka panjang dengan variabilitas jangka pendek, (2) Uji ANOVA yang membandingkan variasi dalam-subkelompok dengan variasi antar-subkelompok, dan (3) Rasio Ketidakstabilan yang membandingkan jumlah subgrup yang memiliki satu atau lebih pelanggaran aturan Western Electric dengan jumlah total subgrup.

Matematika diagram kendali

Bagan kendali digital menggunakan aturan berbasis logika yang menentukan "nilai turunan" yang menandakan perlunya koreksi. Sebagai contoh,

nilai turunan = nilai terakhir + selisih absolut rata-rata antara N angka terakhir.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Kontrol Proses Statistik

Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan

Tujuan Pembangunan Milenium

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025


Tujuan Pembangunan Milenium (bahasa InggrisMillennium Development Goals atau disingkat dalam bahasa Inggris MDGs) adalah Deklarasi Milenium hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada September 2000. Deklarasi ini menghasilkan delapan butir tujuan untuk dicapai pada tahun 2015 yaitu penyejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat. Target ini merupakan tantangan utama dalam pembangunan di seluruh dunia yang terurai dalam Deklarasi Milenium.

Deklarasi yang diadakan saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York pada bulan September 2000 tersebut diadopsi oleh 189 negara serta ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara. Pemerintah Indonesia turut menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York tersebut dan menandatangani Deklarasi Milenium itu.

Deklarasi berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan dalam Milenium ini (MDG), sebagai satu paket tujuan yang terukur untuk pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Penandatanganan deklarasi ini merupakan komitmen dari pemimpin-pemimpin dunia untuk mengurangi lebih dari separuh orang-orang yang menderita akibat kelaparan, menjamin semua anak untuk menyelesaikan pendidikan dasarnya, mengentaskan kesenjangan gender pada semua tingkat pendidikan, mengurangi kematian anak balita hingga 2/3, dan mengurangi hingga separuh jumlah orang yang tidak memiliki akses air bersih pada tahun 2015.

Tujuan

Deklarasi Millennium PBB yang ditandatangani pada September 2000 menyetujui agar semua negara:

Menanggulangi kemiskinan dan kelaparan

  • Pendapatan populasi dunia sehari $10000.
  • Menurunkan angka kemiskinan.

Mencapai pendidikan dasar untuk semua

  • Setiap penduduk dunia mendapatkan pendidikan dasar.

Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan

  • Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.

Menurunkan angka kematian anak

  • Target untuk 2015 adalah mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun.

Meningkatkan kesehatan ibu

  • Target untuk 2015 adalah untuk Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan.

Memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya

  • Target untuk 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDSmalaria dan penyakit berat lainnya.

Memastikan kelestarian lingkungan hidup

  • Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan.
  • Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat.
  • Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh.

Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan

  • Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka, dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional.
  • Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
  • Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-negara berkembang.
  • Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang.
  • Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda.
  • Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang
  • Dalam kerja sama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.

Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia

Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian diharapkan membuat laporan MDGs. Pemerintah Indonesia melaksanakannya di bawah koordinasi Bappenas dibantu dengan Kelompok Kerja PBB dan telah menyelesaikan laporan MDG pertamanya yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan rasa kepemilikan pemerintah Indonesia atas laporan tersebut. Tujuan Tujuan Pembangunan Milenium ini menjabarkan upaya awal pemerintah untuk menginventarisasi situasi pembangunan manusia yang terkait dengan pencapaian tujuan MDGs, mengukur, dan menganalisis kemajuan seiring dengan upaya menjadikan pencapaian-pencapaian ini menjadi kenyataan, sekaligus mengidenifikasi dan meninjau kembali kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan ini. Dengan tujuan utama mengurangi jumlah orang dengan pendapatan di bawah upah minimum regional antara tahun 1990 dan 2015, Laporan ini menunjukkan bahwa Indonesia berada dalam jalur untuk mencapai tujuan tersebut. Namun, pencapaiannya lintas provinsi tidak seimbang.

Kini MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai kendala, tetapi pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai tujuan-tujuan ini dan dibutuhkan kerja keras serta kerja sama dengan seluruh pihak, termasuk masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga donor. Pencapaian MDGs di Indonesia akan dijadikan dasar untuk perjanjian kerja sama dan implementasinya pada masa depan. Hal ini termasuk kampanye untuk perjanjian tukar guling hutang untuk negara berkembang sejalan dengan Deklarasi Jakarta mengenai MDGs di daerah Asia dan Pasifik.

Kontroversi

Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

Menurut Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Don K Marut Pemerintah Indonesia perlu menggalang solidaritas negara-negara Selatan untuk mendesak negara-negara Utara meningkatkan bantuan pembangunan bukan utang, tanpa syarat dan berkualitas minimal 0,7 persen dan menolak ODA (official development assistance) yang tidak bermanfaat untuk Indonesia. Menanggapi pendapat tentang kemungkinan Indonesia gagal mencapai tujuan MDGs apabila beban mengatasi kemiskinan dan mencapai tujuan pencapaian MDG pada tahun 2015 serta beban pembayaran utang diambil dari APBN pada tahun 2009-2015, Sekretaris Utama Menneg PPN/Kepala Bappenas Syahrial Loetan berpendapat apabila bisa dibuktikan MDGs tidak tercapai di 2015, sebagian utang bisa dikonversi untuk bantu itu. Pada tahun 2010 hingga 2012 pemerintah dapat mengajukan renegosiasi utang. Beberapa negara maju telah berjanji dalam konsesus pembiayaan (monetary consensus) untuk memberikan bantuan. Hasil kesepakatan yang didapat adalah untuk negara maju menyisihkan sekitar 0,7 persen dari GDP mereka untuk membantu negara miskin atau negara yang pencapaiannya masih di bawah. Namun konsensus ini belum dipenuhi banyak negara, hanya sekitar 5-6 negara yang memenuhi sebagian besar ada di Skandinavia atau Belanda yang sudah sampai 0,7 persen.

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Tujuan Pembangunan Milenium

Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan

Teknologi Tepat Guna

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 19 Februari 2025


Teknologi tepat guna adalah umumnya dikenal sebagai pilihan teknologi beserta aplikasinya yang mempunyai karakteristik terdesentralisasi, berskala relatif kecil, padat karya, hemat energi, dan terkait erat dengan kondisi lokal. Secara umum, dapat dikatakan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang dirancang bagi suatu masyarakat tertentu agar dapat disesuaikan dengan aspek-aspek lingkungan, keetisan, kebudayaan, sosial, politik, dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Dari tujuan yang dikehendaki, teknologi tepat guna haruslah menerapkan metode yang hemat sumber daya, mudah dirawat, dan berdampak polutif seminimal mungkin dibandingkan dengan teknologi arus utama, yang pada umumnya beremisi banyak limbah dan mencemari lingkungan. Baik Schumacher maupun banyak pendukung teknologi tepat guna pada masa modern juga menekankan bahwa teknologi tepat guna adalah teknologi yang berbasiskan pada manusia penggunanya.

Teknologi tepat guna paling sering didiskusikan dalam hubungannya dengan pembangunan ekonomi dan sebagai sebuah alternatif dari proses transfer teknologi padat modal dari negara-negara industri maju ke negara-negara berkembang. Namun, gerakan teknologi tepat guna dapat ditemukan baik di negara maju dan negara berkembang. Di negara maju, gerakan teknologi tepat guna muncul menyusul krisis energi tahun 1970 dan berfokus terutama pada isu-isu lingkungan dan keberlanjutan (sustainability). Di samping itu, istilah teknologi tepat guna di negara maju memiliki arti yang berlainan, sering kali merujuk pada teknik atau rekayasa yang berpandangan istimewa terhadap ranting-ranting sosial dan lingkungan. Secara luas, istilah teknologi tepat guna biasanya diterapkan untuk menjelaskan teknologi sederhana yang dianggap cocok bagi negara-negara berkembang atau kawasan perdesaan yang kurang berkembang di negara-negara industri maju. Seperti dijelaskan di atas, bentuk dari "teknologi tepat guna" ini biasanya lebih bercirikan solusi "padat karya" daripada "padat modal". Pada pelaksanaannya, teknologi tepat guna sering kali dijelaskan sebagai penggunaan teknologi paling sederhana yang dapat mencapai tujuan yang diinginkan secara efektif di suatu tempat tertentu.

Latar belakang dan definisi

Proposal rancangan ruang kelas portabel lestari

Sejarah

Para Pendahulu

Mahatma Gandhi, seorang pemimpin ideologis dari India, sering kali disebut sebagai yang mengawali adanya pendekatan teknologi tepat guna. Meski pada masa Gandhi konsep teknologi tepat guna belum diberi nama, Gandhi sudah mulai mengusahakan penggunaan teknologi sederhana berbasis kondisi lokal, dan sebagian besar berupa teknologi berbasis pedesaan untuk membantu desa-desa di India agar menjadi mandiri. Gandhi tidak setuju dengan ide mengenai teknologi yang menguntungkan hanya sebagian kecil orang dengan mengorbankan sebagian besar yang lain, termasuk penerapan teknologi yang menyebabkan banyak pengurangan tenaga kerja demi meningkatkan keuntungan (profit). Tahun 1925 Gandhi mendirikan the All-India Spinners Association dan pada tahun 1935 dia pensiun dari dunia politik untuk membentuk the All-India Village Industries Association. Kedua organisasi tersebut menempatkan fokusnya pada teknologi berbasis pedesaan yang mirip dengan gerakan teknologi tepat guna yang tumbuh pesat beberapa dekade setelah itu.

Pada masa pemerintahan Mao Zedong dan selanjutnya dalam Revolusi Kebudayaan, China juga menerapkan kebijakan yang mirip dengan konsep teknologi tepat guna. Pada masa Revolusi Kebudayaan, kebijakan-kebijakan pembangunan yang berdasar pada ide "berdiri di atas kaki sendiri" (walking on two legs) mendorong pembangunan baik pabrik-pabrik berskala besar maupun industri-industri berskala pedesaan.

E. F. Schumacher

Meskipun sudah banyak cerita mengenai contoh-contoh pendekatan yang ada sebelumnya, Dr. Ernst Friedrich "Fritz" Schumacher diakui sebagai pendiri dari gerakan teknologi tepat guna. Sebagai seorang ekonom terkenal, Schumacher sebelumnya bekerja pada the British National Coal Boardselama lebih dari 20 tahun, di mana dia menyalahkan ukuran operasi industri yang menjadi penyebab ketidakpedulian industri dalam merespon penyakit paru-paru hitam yang diderita oleh banyak penambang (Coalworker's pneumoconiosis). Namun sebenarnya, pekerjaan Schumacher dengan beberapa negara berkembang seperti India dan Burma sangat membantu dia dalam membentuk prinsip-prinsip teknologi tepat guna.

Pertama kali Schumacher mengartikulasikan idenya sebagai "intermediate technology," bukan "appropriate technology," dalam sebuah laporannya pada tahun 1962 kepada Komisi Perencanaan India (Indian Planning Commission) di mana dia mendeskripsikan India sebagai sebuah negara yang berlimpah tenaga kerja namun kekurangan modal, sehingga dia menyerukan sebuah teknologi-antara untuk industri (intermediate industrial technology) yang memanfaatkan surplus tenaga kerja di India. Schumacher telah mengembangkan ide dari teknologi-antara selama beberapa tahun sebelum laporannya pada Komite tersebut. Pada tahun 1955, setelah bertugas sebagai seorang penasihat ekonomi bagi pemerintah Burma, dia mempublikasikan sebuah artikel ilmiah pendek berjudul "Economics in a Buddhist Country," yang dikenal sebagai kritiknya yang pertama terhadap efek dari pengaruh ekonomi Barat pada negara-negara berkembang. Disamping Buddhaisme, Schumacher juga memberi penghargaan pada Gandhi dalam ide-idenya.

Terminologi

Secara umum istilah teknologi tepat guna digunakan di dalam dua wilayah: memanfaatkan teknologi paling efektif untuk menjawab kebutuhan daerah pengembangan, dan memanfaatkan teknologi yang ramah lingkungan dan ramah sosial di negara maju. Konsep teknologi tepat guna sendiri sering berfungsi sebagai payung bagi berbagai macam nama dari tipe teknologi yang sejenis. Seringkali istilah-istilah tersebut juga digunakan secara bergantian. Namun, penggunaan dari sebuah istilah ketimbang istilah lainnya bisa menunjukkan fokus yang lebih spesifik, bias maupun tujuan dari sebuah pilihan teknologi. Walaupun nama asli dari konsep yang sekarang dikenal sebagai teknologi tepat guna, "teknologi-antara" (intermediate technology) sekarang sering dianggap sebagai bagian dari teknologi tepat guna itu sendiri, dengan fokus yang lebih condong pada tipe teknologi yang lebih produktif dibanding teknologi-teknologi tradisional namun lebih terjangkau jika dibandingkan dengan teknologi untuk masyarakat industri. Tipe-tipe teknologi lain yang berada di bawah payung teknologi tepat guna adalah:

  • Capital-saving technology
  • Labor-intensive technology
  • Alternate technology
  • Self-help technology
  • Village-level technology
  • Community technology
  • Progressive technology
  • Indigenous technology
  • People’s technology
  • Light-engineering technology
  • Adaptive technology
  • Light-capital technology
  • Soft technology

 

Sumber Artikel: Wikipedia.org

Selengkapnya
Teknologi Tepat Guna
« First Previous page 673 of 1.143 Next Last »