Lean dan Sustainable

Integrasi Lean dan Sustainable Construction: Masa Depan Konstruksi Ramah Lingkungan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi secara global menghadapi tekanan besar untuk bertransformasi menuju praktik yang lebih berkelanjutan. Tidak hanya karena kontribusinya terhadap emisi karbon dan konsumsi energi, tetapi juga karena efisiensi kerja yang masih tertinggal dibanding industri lain. Artikel yang ditulis oleh Saad Sarhan dan Stephen Pretlove berjudul "Lean and Sustainable Construction: State of the Art and Future Directions" (2021), mengeksplorasi potensi sinergi antara dua pendekatan penting: Lean Construction (LC) dan Sustainable Construction (SC).

Artikel ini menjadi editorial pengantar dalam edisi khusus jurnal Construction Economics and Building dan merangkum berbagai penelitian mutakhir yang mengeksplorasi hubungan antara LC dan SC. Penulis menyampaikan bahwa jika kedua pendekatan ini diintegrasikan secara tepat, maka akan terbuka jalan menuju sektor konstruksi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Latar Belakang dan Relevansi Global

Berdasarkan laporan IPCC 2021, hanya dengan pengurangan drastis emisi gas rumah kaca, dunia dapat menghindari dampak iklim yang semakin ekstrem. Sementara itu, sektor konstruksi bertanggung jawab atas konsumsi energi dan produksi limbah yang sangat besar sepanjang siklus hidup bangunan. Dengan proyeksi pertumbuhan pasar konstruksi global hingga 70% antara tahun 2013 dan 2025, kebutuhan akan strategi pembangunan berkelanjutan menjadi sangat mendesak.

Lean Construction yang berasal dari prinsip produksi Toyota, dan Sustainable Construction yang berfokus pada keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan, keduanya memiliki potensi besar dalam merespons krisis ini. Namun, integrasi kedua pendekatan ini masih terbatas, dan cenderung bersifat teknis alat-alat semata, bukan transformasi paradigma berpikir dan proses manajemen proyek.

Tantangan dan Kesenjangan dalam Integrasi LC dan SC

Penulis menyampaikan beberapa hambatan utama dalam upaya mengintegrasikan LC dan SC:

  • Fokus LC terlalu sempit pada kepuasan pelanggan proyek, bukan pada masyarakat dan lingkungan secara luas.
  • Pendekatan LC cenderung hanya fokus pada tahap produksi, tanpa memperhatikan siklus hidup proyek secara menyeluruh.
  • Konsep 'waste' dalam LC seringkali terbatas pada proses dan material saja, padahal seharusnya mencakup dampak sosial dan lingkungan.

Sebaliknya, SC cenderung mengabaikan manajemen proses konstruksi dan lebih menekankan aspek desain dan penggunaan material ramah lingkungan.

Sorotan Studi Kasus dan Temuan Khusus

Efisiensi Energi dan Pengelolaan

  • Studi oleh Ahmed et al. di UEA membandingkan kinerja energi tiga jenis bangunan pendidikan. Hasilnya, semua bangunan menunjukkan pemborosan energi, mengindikasikan pentingnya kesadaran pengguna dan desain proses konstruksi.
  • Di Denmark, Wandahl et al. meneliti proyek renovasi perumahan dan menemukan bahwa peningkatan efisiensi proses konstruksi dapat mendukung target Renovation Wave Uni Eropa dalam mengurangi emisi karbon.

Pendekatan Proyek Berbasis Siklus Hidup

  • Zighan dan Abualqumboz di Yordania meneliti sumber limbah fisik di tahap awal proyek. Mereka mengembangkan kerangka kerja manajemen limbah proaktif untuk fase konsep.
  • Di New South Wales, Al-Hamadani et al. mengusulkan penerapan "ecological modernisation" untuk mengurangi limbah konstruksi dan pembongkaran, yang dapat dijadikan dasar kebijakan pengelolaan limbah konstruksi.

Inovasi untuk Produktivitas

  • Studi di Polandia oleh Stefańska et al. menggunakan CNC dan desain struktural optimasi untuk konstruksi berbasis kayu. Mereka merekomendasikan pendekatan multivariate dan bentuk paraboloid untuk efisiensi material dan waktu.
  • Mossman dan Sarhan mengkritisi metode CPM dan mendorong penggunaan Last Planner System (LPS) untuk aliran kerja lebih stabil dalam proyek fabrikasi modular.
  • Penelitian oleh Power et al. menunjukkan bahwa kehadiran fasilitator LPS dapat meningkatkan produktivitas dan aliran kerja secara signifikan.
  • Di AS, studi Demirkesen et al. meneliti hubungan antara LC dan keamanan psikologis pekerja. Hasilnya, proyek dengan pendekatan lean lebih baik dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis.

Model Terintegrasi dan Circular Economy

  • Aslam et al. mengembangkan matriks Lean Approaching Sustainability Tools (LAST) untuk memilih alat LC yang sesuai dalam menjawab 15 tantangan SC paling kritis.
  • Smitha dan Thomas dari India menyusun indeks Circular Economy Potential Index (CEPI) untuk menilai potensi sirkularitas material konstruksi.
  • Isa dan Abidin di Malaysia meneliti adopsi eco-innovation di perusahaan kontraktor besar, dan menyimpulkan bahwa tingkat adopsinya masih moderat, tetapi memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

Hambatan di Negara Berkembang

  • Khalil et al. menyoroti hambatan implementasi SC di Libya: kendala pengetahuan, teknologi dan biaya, serta aspek organisasi dan teknis.
  • Aghimien et al. meneliti adopsi big data analytics di Afrika Selatan. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun potensial, adopsi teknologi digital di sektor konstruksi masih rendah.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Edisi khusus jurnal ini menyimpulkan bahwa:

  • Integrasi LC dan SC bukan hanya soal alat, tapi transformasi pendekatan.
  • Penelitian empiris lebih lanjut sangat dibutuhkan, khususnya untuk memahami efek sinergis antara lean dan sustainable practices.
  • Perubahan mindset, kolaborasi lintas disiplin, dan pendidikan tentang lean-sustainable philosophy sangat penting untuk masa depan konstruksi.

Rekomendasi utama:

  1. Lakukan pendekatan holistik terhadap nilai dan limbah (termasuk sosial dan lingkungan).
  2. Dorong integrasi LC dan SC dalam kebijakan dan pelatihan konstruksi.
  3. Tingkatkan kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk memperkuat pengembangan model-model terintegrasi.

Dengan mendekatkan Lean dan Sustainability, industri konstruksi tidak hanya dapat menjawab tantangan iklim dan lingkungan, tetapi juga meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya secara signifikan.

Sumber Asli

Sarhan, S., and Pretlove, S. 2021. Lean and Sustainable Construction: State of the Art and Future Directions. Construction Economics and Building, 21(3), 1–10.

 

Selengkapnya
Integrasi Lean dan Sustainable Construction: Masa Depan Konstruksi Ramah Lingkungan

Industri Kontruksi

Enterprise Architecture dalam Software Manajemen Konstruksi: Kunci Transformasi Digital Sektor Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi Indonesia tengah memasuki era transformasi digital seiring dengan tingginya pertumbuhan pasar dan kompleksitas proyek. Berdasarkan laporan Mordor Intelligence (2024), pasar konstruksi Indonesia diprediksi tumbuh dari USD 284 miliar di tahun 2024 menjadi hampir USD 408 miliar di 2029, dengan pertumbuhan tahunan mencapai 7,5%. Lonjakan ini didorong oleh proyek-proyek besar seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta investasi infrastruktur dari kerja sama bilateral senilai USD 649 juta. Dalam konteks ini, penggunaan teknologi informasi—terutama software manajemen konstruksi—menjadi sangat krusial.

Artikel karya R. Wahyu Indra Susatyo, Eko Indrajit, dan Erick Dazki dari Universitas Pradita berjudul "Enterprise Architecture in the Construction Management Software using the Business Model Canvas" yang dipublikasikan dalam jurnal Sinkron (Vol. 8, No. 3, 2024) mengulas secara mendalam bagaimana pendekatan Enterprise Architecture (EA), khususnya framework TOGAF dan bahasa pemodelan ArchiMate, dapat menjadi fondasi penting dalam pengembangan dan optimalisasi software manajemen konstruksi berbasis cloud seperti Procore.

Urgensi dan Konteks: Tantangan dalam Manajemen Proyek Konstruksi

Dengan tingginya kompleksitas proyek, keterlibatan banyak pihak, serta tekanan efisiensi dan keberlanjutan, proyek konstruksi saat ini membutuhkan pengelolaan data, proses, dan sumber daya secara terintegrasi. Software manajemen konstruksi seperti Procore®, PlanGrid®, atau Progresi® menawarkan platform untuk kontrol biaya, pelacakan progres, pengelolaan dokumen, serta koordinasi multi-stakeholder. Namun, studi ini menilai bahwa tanpa arsitektur perusahaan yang matang, perangkat lunak ini belum optimal dalam menjawab kebutuhan industri yang terus berkembang.

Tujuan Penelitian dan Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif melalui:

  • Studi literatur (untuk mendalami konsep EA, TOGAF, dan BMC).
  • Observasi dan analisis terhadap software Procore®.

Hasilnya kemudian dipetakan ke dalam kerangka TOGAF yang mencakup delapan domain arsitektur, serta diterjemahkan dalam model bisnis menggunakan Business Model Canvas (BMC).

Studi Kasus: Arsitektur Enterprise pada Software Procore®

1. Business Architecture (dengan pendekatan BMC)

  • Value Proposition: Platform terpusat berbasis web dan cloud yang real-time dan terintegrasi.
  • Customer Segments: Kontraktor, manajemen konstruksi, arsitek, pengembang.
  • Customer Relationships: Dukungan 24/7, pelatihan offline dan daring, fitur community.
  • Channels: Website, email, media sosial, konferensi tahunan, rekomendasi pelanggan lama.
  • Key Activities: Interaksi awal, registrasi, penggunaan fitur, dukungan pelanggan.
  • Key Resources: Cloud server, tim developer, support teknis dan manajer akun.
  • Key Partnerships: Mitra teknologi pihak ketiga, konsultan konstruksi.
  • Cost Structure: Riset dan pengembangan, pemasaran, cloud hosting.
  • Revenue Stream: Langganan berbasis volume proyek dan biaya implementasi.

2. Application Architecture

Aplikasi dibagi menjadi lima komponen besar:

  • Management: CRM, HRIS, sistem keuangan, revenue, dan dashboard produk.
  • Suppliers/Partners: Sistem manajemen vendor dan sistem penilaian kinerja rekanan.
  • Core Process: Monitoring server, manajemen akun, sistem komunitas, dan LMS.
  • Back Office: Manajemen SDM internal, sistem tiket, dan manajemen dokumen.
  • Customer: Pre-construction, project execution, workforce & financial management, hingga construction intelligence dan support center.

3. Information Architecture

Terdapat lima klasifikasi database:

  • Management: CRM, billing, revenue.
  • Suppliers: Data vendor dan penilaian rekanan.
  • Support: Sistem komunitas dan tiket.
  • Core Process: Akun pengguna, dokumen proyek, data pembelajaran.
  • Customer: Data tender, progres proyek, HR proyek, dan laporan.

4. Technology Architecture

Dirancang dengan tiga server cloud AWS®:

  • Server 1: Melayani CRM, keuangan, revenue.
  • Server 2: Menjalankan fitur customer (pre-construction hingga intelligence).
  • Server 3: Mendukung pelatihan dan pusat bantuan (support center, LMS, komunitas).

Akses ke server disesuaikan dengan zona pengguna: manajemen dan support melalui VPN, pelanggan dan vendor melalui koneksi internet aman.

Inovasi: Penggunaan ArchiMate sebagai Visualisasi EA

Model enterprise architecture divisualisasikan menggunakan ArchiMate, yang mencakup seluruh alur pengguna: dari login, penggunaan fitur, interaksi dengan support, hingga output layanan. Visualisasi ini memperjelas relasi antar entitas digital dan memetakan dependensi antara proses bisnis dan infrastruktur teknologi. Ini merupakan pendekatan baru yang belum digunakan luas di penelitian sejenis.

Kelebihan dan Nilai Tambah Studi

  1. Pendekatan komprehensif: Menggabungkan TOGAF dan BMC dalam satu kerangka.
  2. Implementatif: Berdasarkan observasi software nyata (Procore) dan disesuaikan dengan konteks Indonesia.
  3. Model reusable: Arsitektur EA yang fleksibel dan adaptif terhadap perubahan teknologi dan proses bisnis.
  4. Kontribusi terhadap Smart Construction: Mendukung prinsip revolusi industri 4.0 dan konstruksi berbasis cloud.

Tantangan Implementasi dan Saran Pengembangan

  • Banyak perusahaan konstruksi kecil-menengah belum memiliki SDM IT yang memahami EA.
  • Perlu ada kolaborasi lintas stakeholder (teknis, manajerial, regulasi) agar arsitektur bisa diadopsi luas.
  • Regulasi pemerintah terkait sistem informasi konstruksi belum cukup mendukung integrasi EA.

Penulis merekomendasikan:

  • Pelatihan dan literasi EA untuk sektor konstruksi.
  • Standardisasi platform manajemen proyek nasional.
  • Integrasi sistem manajemen konstruksi dengan database pemerintah untuk proyek infrastruktur publik.

Kesimpulan

Artikel ini menegaskan bahwa perancangan arsitektur enterprise untuk software manajemen konstruksi merupakan langkah strategis dalam menyongsong era smart construction. Dengan mengintegrasikan TOGAF, BMC, dan ArchiMate, perusahaan konstruksi dapat:

  • Meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas proses manajemen proyek.
  • Memastikan keselarasan antara kebutuhan bisnis dan kapabilitas teknologi.
  • Mendorong transformasi digital yang sistematis dan terukur.

Pendekatan ini tidak hanya relevan untuk Indonesia, tetapi juga dapat dijadikan model bagi negara berkembang lain dengan industri konstruksi yang tengah berkembang pesat.

Sumber Asli

Susatyo, R. W. I., Indrajit, E., & Dazki, E. (2024). Enterprise Architecture in the Construction Management Software using the Business Model Canvas. Sinkron: Jurnal dan Penelitian Teknik Informatika, Vol. 8(3).

 

Selengkapnya
Enterprise Architecture dalam Software Manajemen Konstruksi: Kunci Transformasi Digital Sektor Konstruksi Indonesia

Building Information Modeling

Optimalisasi Pajak Bangunan di Indonesia Melalui Building Information Modeling (BIM): Menuju Sistem Kadaster Fiskal 3D

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Sistem perpajakan bangunan di Indonesia selama ini masih didasarkan pada data dua dimensi (2D), yang kerap menyebabkan ketidakakuratan dalam penilaian dan pengenaan pajak. Sementara itu, kebutuhan akan data spasial tiga dimensi (3D) semakin mendesak seiring pertumbuhan vertikal properti di kawasan urban. Dalam konteks ini, penelitian berjudul "Building Information Modeling (BIM) Utilization for 3D Fiscal Cadastre" oleh Sadikin Hendriatiningsih dan rekan-rekannya dari Institut Teknologi Bandung menawarkan terobosan dengan memanfaatkan BIM dan teknologi Terrestrial Laser Scanner (TLS) untuk mendukung sistem kadaster fiskal 3D di Indonesia.

Latar Belakang dan Urgensi

Kadaster merupakan sistem informasi tanah yang memuat data kepemilikan, lokasi, nilai, dan penggunaan lahan, termasuk struktur di atasnya. Di negara-negara maju, sistem kadaster 3D sudah diterapkan untuk mengelola informasi spasial secara komprehensif. Namun di Indonesia, informasi bangunan masih disimpan dalam bentuk 2D dan proses pendataan mengandalkan formulir manual seperti SPOP (Surat Pemberitahuan Objek Pajak). Ketidaksesuaian pengisian data menyebabkan banyak kesalahan dalam perhitungan pajak, yang pada akhirnya merugikan negara maupun pemilik bangunan.

BIM hadir sebagai solusi digital yang memungkinkan visualisasi dan manajemen informasi bangunan dalam format 3D yang akurat. Integrasi BIM dengan teknologi TLS memungkinkan perekaman data geometrik secara detail dan cepat, yang sangat ideal untuk kebutuhan kadaster fiskal.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran BIM dalam mendukung sistem kadaster fiskal 3D dengan fokus pada ketepatan geometri objek pajak, kemampuan BIM menyimpan informasi relevan untuk perhitungan pajak, serta modifikasi struktur basis data BIM agar sesuai dengan kebutuhan perpajakan.

Studi Kasus dan Metodologi

Objek penelitian berupa bangunan asrama di lingkungan Institut Teknologi Bandung yang dipilih sebagai representasi unit apartemen. Pengukuran kontrol dilakukan dengan GNSS RTK dan Electronic Total Station. Akuisisi data geometrik dilakukan menggunakan Terrestrial Laser Scanner (TLS) Topcon GLS-2000. Resolusi scan yang digunakan adalah 12,5 mm karena paling efisien untuk objek berukuran kecil seperti jendela dan dinding. Pembersihan data dilakukan dengan Maptek i-Site Studio untuk menghapus noise seperti pohon atau objek luar ruangan. Registrasi dilakukan dengan teknik cloud-to-cloud menggunakan algoritma Iterative Closest Point (ICP). Hasil registrasi dikonversi ke format .e57 dan diimpor ke Autodesk Revit 2016 untuk pemodelan BIM.

Objek geometrik dibuat berdasarkan point cloud, meliputi lantai, dinding, atap, dan fasilitas. Setiap komponen diberi spesifikasi material, dimensi, dan atribut lain. Basis data BIM dimodifikasi dengan menambahkan entitas "Unit" dan "Price_List" untuk keperluan perhitungan pajak.

Hasil dan Temuan

Hasil registrasi TLS menunjukkan nilai RMSE rata-rata sebesar 0,001 meter, yang menunjukkan tingkat akurasi sangat tinggi dan sesuai dengan kebutuhan perpajakan. Deviansi dimensi objek terhadap ukuran aktual seperti lebar jendela, tebal dinding, hingga tinggi lemari hanya berkisar antara -0,001 m hingga +0,002 m. Informasi yang dapat diperoleh langsung dari TLS antara lain luas bangunan dan jumlah lantai, sementara informasi jenis material atap, dinding, lantai, dan plafon masih memerlukan pengamatan langsung.

Simulasi perhitungan pajak dilakukan menggunakan metode Replacement Cost New (RCN). Biaya komponen bangunan terdiri dari atap senilai Rp 4.286.655, dinding sebesar Rp 23.179.259, lantai Rp 20.975.121, dan fasilitas sebesar Rp 7.937.959. Total nilai bangunan sebelum depresiasi mencapai Rp 56.378.994. Setelah depresiasi menggunakan metode garis lurus sebesar Rp 18.041.278, nilai akhir bangunan menjadi Rp 38.337.715 dan pajak bangunan yang dikenakan sebesar Rp 38.337.

Modifikasi basis data BIM melibatkan penambahan entitas Unit yang berisi data pemilik, lantai, dan nilai pajak serta entitas Price_List yang mencantumkan kode objek, jenis material, dan harga per meter kubik. Kedua entitas ini terhubung melalui ID unik dan memungkinkan ekspor data ke berbagai format seperti Excel, Access, atau SQL.

Analisis dan Diskusi

Keunggulan dari pendekatan ini terletak pada presisi tinggi dari hasil TLS yang memiliki tingkat kesalahan sangat rendah, memungkinkan informasi geometrik terekam secara detail termasuk hingga ke level interior. Komprehensivitas model BIM juga memungkinkan pemodelan objek bangunan secara penuh dan terintegrasi. Namun, tantangan utama yang masih dihadapi adalah belum tersedianya sistem nasional yang mengintegrasikan BIM dengan sistem perpajakan seperti SISMIOP serta kebutuhan untuk melengkapi informasi non-spasial secara manual.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa sistem ini bersifat scalable, sehingga dapat dikembangkan dan diterapkan pada bangunan lain dengan pendekatan yang sama. Potensi penggunaan BIM dalam kadaster fiskal sangat besar, tidak hanya untuk perpajakan tetapi juga untuk audit properti, perencanaan kota, dan kontrol tata ruang.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa Building Information Modeling (BIM), ketika dipadukan dengan teknologi TLS, memiliki potensi besar untuk mendukung sistem kadaster fiskal 3D di Indonesia. Tingkat akurasi yang tinggi, kemampuan menyimpan data geometrik dan atribut, serta fleksibilitas modifikasi database menjadikan BIM solusi ideal untuk reformasi sistem perpajakan bangunan. Namun, dibutuhkan pengembangan lebih lanjut dalam integrasi sistem, penambahan informasi non-spasial secara otomatis, serta penyesuaian kebijakan pemerintah agar sistem ini dapat diimplementasikan secara luas.

Sumber Asli

Hendriatiningsih, S., Hernandi, A., Saptari, A. Y., Widyastuti, R., & Saragih, D. (2019). Building Information Modeling (BIM) Utilization for 3D Fiscal Cadastre. Indonesian Journal of Geography, Vol. 51 No. 3, 285–294.

 

Selengkapnya
Optimalisasi Pajak Bangunan di Indonesia Melalui Building Information Modeling (BIM): Menuju Sistem Kadaster Fiskal 3D

Sustainable Practices

Sinergi Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Industri Konstruksi Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Lean construction telah berevolusi dari konsep manufaktur ramping yang diperkenalkan oleh Toyota menjadi pendekatan yang inovatif dalam manajemen proyek konstruksi. Filosofi dasarnya bertumpu pada upaya mengurangi limbah, meningkatkan nilai, dan memastikan setiap langkah dalam proses pembangunan memberikan kontribusi signifikan bagi hasil akhir. Dalam artikel berjudul "Lean Construction and SDGs: Delivering value and performance in the built environment", Opoku, Adewumi, Lok, dan Amoh menjabarkan keterkaitan antara pendekatan lean dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) dalam lingkungan binaan.

Penelitian ini tidak hanya mengulas aspek teoritis lean construction, tetapi juga menjelajahi bagaimana pendekatan ini dapat memberikan dampak nyata terhadap dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam proyek konstruksi, khususnya di era pasca-pandemi COVID-19 yang penuh tekanan global.

Krisis Global dan Kebutuhan Inovasi dalam Konstruksi

Industri konstruksi global tengah menghadapi tantangan besar: keterbatasan sumber daya, perubahan iklim, tekanan urbanisasi, dan ketidakefisienan dalam proses produksi. Kontribusi sektor konstruksi terhadap produk domestik bruto global sekitar 10%, namun pertumbuhannya kalah jauh dibanding sektor manufaktur. Kondisi ini menandakan kebutuhan akan perubahan mendasar dalam sistem produksi konstruksi.

Lean construction menjadi jawaban dengan meminimalisir aktivitas non-nilai tambah, seperti waktu tunggu, overproduksi, transportasi berlebih, kesalahan desain, dan pemborosan material. Implementasi konsep-konsep seperti Just-in-Time (JIT), Last Planner System (LPS), dan Concurrent Engineering telah terbukti meningkatkan efisiensi serta mengurangi biaya dan waktu pengerjaan proyek.

Studi Kasus dan Data Empiris: Menelisik Efektivitas Lean

Berdasarkan data Lean Construction Institute, sekitar 70% proyek konstruksi mengalami keterlambatan dan pembengkakan biaya. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya fokus pada "flow"—atau aliran kerja—yang ideal. Studi mencatat bahwa hanya 30% waktu kerja efektif digunakan untuk aktivitas transformasi, sisanya habis untuk aktivitas yang tidak memberikan nilai.

Sebagai contoh, satu pertiga biaya material bangunan seringkali terbuang untuk penanganan logistik, penyimpanan, dan pengangkutan limbah. Dengan menerapkan lean thinking, efisiensi ini bisa ditingkatkan drastis. Selain itu, pendekatan seperti 5S, Six Sigma, dan Visual Management dapat meningkatkan keterlibatan pekerja dan mempercepat penyelesaian proyek.

Integrasi Lean dan Sustainability: Menyatukan Dua Agenda Strategis

Lean construction berfokus pada peningkatan efisiensi proses, sementara konstruksi berkelanjutan (sustainable construction) menitikberatkan pada dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari bangunan. Artikel ini menunjukkan bahwa keduanya bukanlah pendekatan yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Contohnya, lean membantu mengurangi konsumsi energi saat pembangunan, sementara keberlanjutan fokus pada efisiensi energi selama masa operasional bangunan. Dengan mengintegrasikan keduanya sejak fase desain, pengembang dapat menciptakan struktur yang hemat energi, aman bagi pekerja, dan ramah lingkungan.

Hambatan Implementasi Lean: Dimensi Budaya dan Struktural

Meskipun potensi lean sangat besar, implementasinya kerap terhambat oleh sejumlah faktor. Beberapa hambatan utama yang diidentifikasi antara lain minimnya pelatihan, kurangnya pemahaman dari manajemen puncak, resistensi terhadap perubahan, serta biaya awal yang tinggi. Studi oleh Friblick et al. (2009) dan Porwal et al. (2010) menyebutkan bahwa keberhasilan lean sangat tergantung pada kesiapan organisasi dalam merombak budaya kerja dan struktur internalnya.

Selain itu, lean seringkali diterapkan secara parsial dan tidak konsisten. Ini memperlemah dampak yang seharusnya bisa dicapai. Oleh karena itu, pendekatan sistemik dan dukungan dari seluruh lini organisasi menjadi kunci.

Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Artikel ini memberikan pemetaan yang menarik mengenai kontribusi prinsip-prinsip lean terhadap pencapaian SDGs. Misalnya, penerapan konsep "flow" dan "pull system" membantu mencapai SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), sedangkan fokus pada pengurangan limbah mendukung SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab). Bahkan, SDG 13 (Aksi Iklim) bisa dicapai dengan mengurangi emisi dan penggunaan material berbahaya dalam proyek konstruksi.

Dalam dimensi sosial, lean mampu mendorong partisipasi pekerja, meningkatkan keselamatan kerja, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat (SDG 3 dan SDG 16). Untuk aspek ekonomi, lean meningkatkan efisiensi anggaran, menghindari pemborosan, dan menciptakan nilai optimal bagi pemilik proyek (SDG 9 dan SDG 11).

Kontribusi Alat Lean terhadap Efektivitas Proyek

Penelitian ini juga merinci berbagai alat lean yang terbukti efektif di lapangan. Beberapa di antaranya adalah:

  • Last Planner System (LPS), yang meningkatkan keandalan jadwal dan mengurangi ketidakpastian.
  • Daily Huddle Meetings, yang memperkuat komunikasi dan koordinasi antar tim proyek.
  • Concurrent Engineering, yang mempercepat waktu siklus desain dan produksi melalui kolaborasi lintas disiplin.

Keberhasilan alat-alat ini sangat tergantung pada penerapan prinsip dasar lean seperti kolaborasi, keterbukaan informasi, dan perbaikan berkelanjutan.

Opini Kritis dan Relevansi Kontekstual

Penulis artikel dengan jitu mengangkat pentingnya perubahan paradigma dalam industri konstruksi global. Namun, implementasi lean tidak bisa dipisahkan dari konteks lokal. Di negara berkembang seperti Indonesia, misalnya, hambatan seperti budaya kerja hierarkis, keterbatasan teknologi, dan regulasi yang belum mendukung bisa menjadi tantangan besar.

Namun demikian, peluang tetap terbuka. Pemerintah Indonesia tengah mendorong program pembangunan berkelanjutan melalui green building dan digitalisasi konstruksi. Integrasi lean construction dalam agenda nasional ini dapat mempercepat pencapaian SDGs sekaligus meningkatkan daya saing sektor konstruksi.

Kesimpulan

Lean construction bukan sekadar metode manajemen proyek, melainkan sebuah filosofi kerja yang menuntut perubahan menyeluruh dalam pola pikir, struktur organisasi, dan budaya kerja. Dengan pendekatan holistik, lean dapat membantu industri konstruksi global—termasuk di Indonesia—mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan secara lebih efisien, hemat biaya, dan berdampak luas.

Penelitian ini menjadi panggilan bagi praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan untuk bersama-sama mendorong transformasi ini. Lean bukan tren sesaat, melainkan kebutuhan masa depan.

Sumber Asli

Opoku, A., Adewumi, A. S., Lok, K. L., & Amoh, E. (2023). Lean Construction and SDGs: Delivering value and performance in the built environment.

 

Selengkapnya
Sinergi Lean Construction dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dalam Industri Konstruksi Global

Sustainable Practices

Exploring Lean Practices’ Importance in Sustainable Supply Chain Management Trends: An Empirical Study in Canadian Construction Industry

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Industri konstruksi telah lama dikenal boros energi, menghasilkan emisi karbon tinggi, dan kerap menunjukkan performa yang tidak efisien dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Oleh karena itu, penting bagi pelaku industri untuk menerapkan prinsip lean guna memangkas limbah (waste), meningkatkan nilai proyek, dan mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan. Penelitian ini kemudian memperluas gagasan tersebut dengan menempatkan LC sebagai strategi utama dalam merespons tuntutan keberlanjutan (sustainability), yang mencakup dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Salah satu kontribusi utama artikel ini adalah identifikasi tujuh tren utama CSCM yang diprediksi akan memainkan peran penting dalam beberapa tahun mendatang: integrasi rantai pasok, desain berkelanjutan, transformasi digital, pengadaan berkelanjutan, logistik offsite yang lebih bersih, pelaksanaan onsite yang lebih bersih, serta keselamatan dan keberlanjutan sosial. Dari ketujuh tren ini, integrasi rantai pasok muncul sebagai tren paling vital dengan bobot tertinggi dalam hasil evaluasi para ahli. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi lintas organisasi dan komunikasi yang intensif akan menjadi fondasi utama untuk mencapai keberlanjutan proyek secara sistemik.

Dari sisi alat-alat lean yang dinilai, penelitian ini mengevaluasi 30 teknik LC yang dikelompokkan ke dalam empat kategori: desain & rekayasa, perencanaan & kontrol proyek, manajemen pelaksanaan konstruksi di lapangan, serta manajemen keselamatan & kesehatan. Di antara semuanya, alat seperti Virtual Design Construction (VDC), Integrated Project Delivery (IPD), Concurrent Engineering (CE), Last Planner System (LPS), Daily Huddle Meetings (DC/HM), dan Teamwork & Partnering dinilai sangat penting karena berkontribusi besar dalam mendukung berbagai tren CSCM.

Sebagai contoh konkret, VDC (yang biasanya terwujud dalam bentuk Building Information Modeling atau BIM) mampu memfasilitasi simulasi desain, meminimalkan kesalahan perencanaan, serta mengintegrasikan masukan dari berbagai pemangku kepentingan secara digital. Ini sangat bermanfaat dalam mendukung desain berkelanjutan serta transformasi digital proyek. Selain itu, IPD memungkinkan penyatuan tujuan antara pemilik proyek, kontraktor, dan desainer sejak tahap awal. Alat ini tidak hanya memperkuat kolaborasi, tetapi juga meningkatkan efisiensi dengan mengurangi waktu pengerjaan ulang serta konflik desain yang sering terjadi di lapangan.

Data empiris dalam studi ini diperoleh dari 28 pakar industri (20 praktisi dan 8 akademisi) di Kanada yang memiliki pengalaman lebih dari empat tahun di bidang LC dan CSCM. Para partisipan melalui lima putaran diskusi yang difasilitasi dengan pendekatan Delphi, dan selanjutnya, dilakukan pemodelan fuzzy AHP untuk memberikan bobot serta peringkat pada masing-masing alat LC terhadap tujuh tren utama yang telah diidentifikasi. Proses ini sangat penting untuk mengurangi bias subjektif dan meningkatkan akurasi hasil keputusan kolektif.

Hasil evaluasi menunjukkan bahwa LPS adalah alat yang paling berpengaruh dalam hampir seluruh tren, karena kemampuannya mengintegrasikan perencanaan jangka panjang, menengah, hingga mingguan. DC/HM juga mendapatkan posisi penting karena kemampuannya meningkatkan komunikasi dan pemecahan masalah secara kolaboratif antar tim proyek. Dalam konteks pelaksanaan konstruksi onsite, metode seperti 5S, Gemba Walk, dan First-Run Study (FRS) diakui sangat efektif dalam menciptakan lingkungan kerja yang bersih, aman, dan produktif. Alat-alat ini juga terbukti mampu mendukung upaya keberlanjutan sosial seperti kesehatan pekerja dan keselamatan kerja.

Studi kasus yang ditampilkan tidak secara eksplisit berupa satu proyek, melainkan agregasi dari persepsi kolektif para ahli yang memberikan penilaian terhadap efektivitas alat-alat LC dalam berbagai tren keberlanjutan. Namun, dari analisis sensitivitas yang dilakukan peneliti, ditemukan bahwa perubahan bobot signifikan terhadap tren tertentu (misalnya tren digitalisasi atau tren keselamatan sosial) tidak banyak mengubah peringkat alat-alat LC yang dinilai penting. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa alat memiliki kekuatan yang stabil dan dapat diandalkan meskipun arah strategis perusahaan berubah.

Salah satu hasil penting dari analisis sensitivitas adalah konfirmasi terhadap konsistensi dan ketahanan (robustness) dari 21 alat LC yang tetap berada di atas ambang batas relevansi dalam semua skenario perubahan bobot. Ini menunjukkan bahwa alat-alat tersebut merupakan pilar penting dalam implementasi LC yang mendukung keberlanjutan, dan layak dijadikan standar praktik dalam industri konstruksi yang ingin bertransformasi menuju keberlanjutan.

Dari sisi kontribusi teoretis, artikel ini memperkaya literatur dengan menyediakan kerangka kerja konseptual yang mengintegrasikan alat LC dalam kerangka CSCM berkelanjutan. Kerangka ini tidak hanya menampilkan daftar alat, tetapi juga mengaitkannya secara sistematis dengan tren-tren strategis yang telah teridentifikasi. Kerangka ini berpotensi menjadi panduan implementatif bagi pelaku industri yang ingin memetakan penggunaan alat LC berdasarkan prioritas keberlanjutan dalam proyek mereka.

Secara kritis, meskipun artikel ini berhasil membangun pendekatan kuantitatif yang kuat dalam mengevaluasi alat-alat LC, ia masih menyisakan ruang untuk eksplorasi lebih lanjut, terutama dalam penerapan studi kasus nyata yang lebih mendalam. Sebuah perbandingan antara proyek yang menggunakan kombinasi alat-alat LC dengan proyek yang tidak menggunakan pendekatan lean akan memperkuat validitas hasil dan menawarkan dimensi praktis yang lebih konkret. Selain itu, karena studi ini berfokus pada konteks Kanada, akan sangat menarik jika pendekatan serupa diuji di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menghadapi tantangan serupa dalam keberlanjutan konstruksi namun dengan konteks sosial, budaya, dan ekonomi yang berbeda.

Dalam perspektif industri global, penelitian ini menegaskan bahwa integrasi LC dan CSCM merupakan kebutuhan mendesak bagi sektor konstruksi yang ingin tetap kompetitif dan bertanggung jawab secara lingkungan. Tren digitalisasi, pengadaan hijau, dan pentingnya manajemen keselamatan kerja bukan hanya relevan di Kanada, tetapi juga menjadi bagian dari diskursus internasional yang lebih luas tentang pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu, artikel ini patut dibaca tidak hanya oleh akademisi, tetapi juga oleh manajer proyek, konsultan, dan pembuat kebijakan yang tertarik mendorong transformasi industri konstruksi.

Sebagai penutup, artikel ini adalah contoh terbaik dari penelitian interdisipliner yang menggabungkan teknik pengambilan keputusan multi-kriteria, partisipasi pakar, dan visi strategis dalam mendorong keberlanjutan industri. Integrasi pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam menilai kontribusi alat LC menjadikan artikel ini relevan, aplikatif, dan bernilai tinggi dalam literatur manajemen konstruksi. Ia menyodorkan peta jalan strategis untuk industri konstruksi yang ingin tidak hanya membangun lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih bijak, lebih hijau, dan lebih manusiawi.

Sumber asli artikel:
Le, Phuoc-Luong & Nguyen, Duy-Tan. “Exploring lean practices’ importance in sustainable supply chain management trends: An empirical study in Canadian construction industry.”

 

Selengkapnya
Exploring Lean Practices’ Importance in Sustainable Supply Chain Management Trends: An Empirical Study in Canadian Construction Industry

Building Information Modeling

Building Information Modeling (BIM) untuk Proyek Bendungan: Inovasi Digital untuk Infrastruktur Strategis Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan bendungan menjadi salah satu proyek infrastruktur paling strategis dan kompleks di Indonesia. Bendungan tidak hanya berfungsi sebagai penopang irigasi dan penyedia air baku, tetapi juga penting untuk pengendalian banjir, pembangkit listrik, hingga pelestarian ekosistem. Namun, kompleksitas teknis yang tinggi, lamanya waktu konstruksi, serta tingginya biaya investasi menjadikan proyek-proyek bendungan penuh tantangan. Melalui studi literatur berjudul “Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs” oleh Catur Ayu Wahyuningrum dan rekan-rekan, kita diajak menelusuri sejauh mana BIM dapat menjawab tantangan tersebut dan menjadi solusi kunci dalam manajemen proyek bendungan masa depan di Indonesia.

Kompleksitas Proyek Bendungan dan Kebutuhan Teknologi

Pembangunan bendungan tidak hanya melibatkan elemen arsitektur, teknik sipil, dan konstruksi (AEC), tetapi juga sangat bergantung pada faktor geoteknik dan topografi. Di fase perencanaan, tantangan muncul dari analisis hidrologi dan struktur. Pada tahap konstruksi, kesulitan datang dari pelaksanaan pekerjaan tanah, pekerjaan beton besar, serta integrasi sistem mekanikal dan elektrikal. Bahkan setelah bendungan beroperasi, proses pemeliharaan dan pengawasan membutuhkan akurasi data dan ketepatan manajemen aset. BIM menjadi teknologi yang menjanjikan untuk mengatasi tantangan ini karena mampu menyatukan seluruh data dan informasi proyek dalam satu model digital tiga dimensi yang dapat diperbarui secara real time.

Posisi BIM dalam Proyek Infrastruktur dan Regulasi Nasional

Meskipun BIM sudah diterapkan secara luas di proyek gedung di Indonesia, adopsinya di proyek infrastruktur seperti bendungan masih tergolong baru dan belum diwajibkan secara nasional. Dalam Permen PUPR No. 22 Tahun 2018, BIM baru diwajibkan untuk bangunan negara non-sederhana dengan luas lebih dari 2.000 m2 dan lebih dari dua lantai. Namun demikian, beberapa inisiatif telah muncul. Direktorat Jenderal Cipta Karya dan Direktorat Jenderal Bina Marga telah menerapkan BIM di proyek-proyek tertentu dan bahkan tengah mempersiapkan kebijakan wajib BIM untuk infrastruktur sejak 2020.

Implementasi Global dan Pembelajaran dari Negara Lain

Negara-negara seperti Korea Selatan telah menggunakan BIM secara aktif dalam desain bendungan, simulasi pembangunan, serta manajemen informasi proyek. Contohnya, BIM diterapkan untuk perencanaan proses, visualisasi kerja lapangan, hingga publikasi informasi kepada publik. Hal ini menunjukkan bahwa potensi BIM dalam mendukung keberhasilan proyek bendungan bukan sekadar teori, tetapi telah terbukti secara praktis.

Dimensi BIM dalam Proyek Bendungan

BIM dalam proyek infrastruktur memiliki banyak dimensi. Dimensi 3D (visualisasi), 4D (penjadwalan), 5D (biaya), 6D (efisiensi energi dan keberlanjutan), hingga 7D (manajemen fasilitas dan aset) semuanya relevan untuk diterapkan dalam proyek bendungan. Studi ini menunjukkan bahwa BIM dapat membantu perencanaan waktu konstruksi lebih baik, mengidentifikasi potensi perubahan desain, serta memperkirakan biaya secara lebih akurat.

Data dari McGraw Hill Construction (2014) menunjukkan bahwa 90% perencana proyek dan 70% kontraktor di Inggris telah menggunakan BIM tanpa permintaan dari pemilik proyek. Bahkan, 55% pemilik proyek infrastruktur di tahun 2016 secara aktif menggunakan jasa konsultan BIM. Sementara itu, di Indonesia, hasil survei Eadie dkk. menunjukkan bahwa penerapan BIM baru 55% pada tahap desain dan hanya 9% pada tahap operasi dan pemeliharaan.

Studi Kasus dan Simulasi Kelayakan

Meskipun studi ini tidak mengambil satu proyek bendungan tertentu sebagai studi kasus, ia mengompilasi berbagai literatur dan studi empiris yang mencerminkan bagaimana BIM dapat diterapkan pada seluruh siklus hidup bendungan. Salah satu data yang diangkat berasal dari World Commission on Dams (2001), yang mencatat bahwa biaya pembangunan tiga bendungan besar bisa mencapai USD 6 miliar dengan waktu konstruksi 4–6 tahun. Mengingat tingginya biaya dan lamanya durasi proyek, penerapan BIM dapat memberikan nilai tambah berupa koordinasi antar pemangku kepentingan dan kontrol biaya secara terintegrasi.

Studi Hidayah dkk. (2018) menunjukkan bahwa struktur pekerjaan utama bendungan mencakup pekerjaan dewatering, urugan tanah, pelindung, pengeboran dan grouting, elevasi puncak bendungan, drainase, dan sistem instrumen. Setiap tahapan ini memiliki potensi besar terhadap perubahan kondisi lapangan, sehingga BIM dapat membantu mengelola risiko tersebut.

Manfaat dan Hambatan Implementasi

Secara teknis, BIM memiliki banyak keunggulan. Di antaranya adalah peningkatan kualitas desain, pengurangan kesalahan konstruksi, efisiensi jadwal pelaksanaan, hingga pengelolaan aset setelah proyek selesai. Teknologi ini juga memungkinkan visualisasi 3D secara akurat yang membantu pemangku kepentingan memahami desain dengan lebih baik. Selain itu, BIM memfasilitasi kolaborasi antar tim lintas disiplin dan mempermudah proses audit dan pelaporan.

Namun, implementasi BIM dalam proyek bendungan di Indonesia masih menghadapi sejumlah hambatan utama. Pertama, kurangnya SDM yang memiliki kompetensi dalam menggunakan BIM, terutama di tingkat perencana dan pengawas proyek pemerintah. Kedua, belum adanya regulasi yang mewajibkan penggunaan BIM secara menyeluruh untuk proyek bendungan. Ketiga, investasi awal yang tinggi untuk perangkat lunak dan pelatihan masih menjadi tantangan bagi banyak instansi dan kontraktor.

Rekomendasi dan Kebutuhan Masa Depan

Penelitian ini menyarankan agar penerapan BIM dimulai dari tahap perencanaan oleh konsultan perencana dan diikuti oleh kontraktor pelaksana pada tahap konstruksi. Dalam proses lelang, dokumen DED berbasis BIM dapat menjadi acuan utama. Setelah proyek selesai, shop drawing dalam format as-built BIM dapat diserahkan kembali kepada pemilik sebagai basis manajemen aset jangka panjang. Pada fase operasi dan pemeliharaan, BIM akan berfungsi sebagai sistem manajemen aset yang memuat seluruh riwayat perawatan, lokasi komponen penting, serta estimasi anggaran rehabilitasi. Dengan demikian, efisiensi biaya dan keberlanjutan proyek dapat ditingkatkan.

Lebih jauh, untuk mendukung implementasi BIM secara menyeluruh, pemerintah perlu menyusun regulasi yang mengatur penggunaan BIM pada proyek-proyek strategis seperti bendungan. Selain itu, investasi dalam pelatihan SDM dan penyediaan perangkat lunak harus dilakukan secara sistematis. Kolaborasi antara kementerian, universitas, dan industri konstruksi juga perlu ditingkatkan untuk mengembangkan kurikulum dan riset berbasis BIM khusus untuk proyek infrastruktur.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan gambaran komprehensif mengenai pentingnya penerapan Building Information Modeling (BIM) dalam proyek bendungan di Indonesia. Dengan segala kompleksitas teknis, biaya tinggi, dan risiko besar yang melekat pada proyek jenis ini, BIM menawarkan solusi digital yang memungkinkan koordinasi lintas disiplin, efisiensi perencanaan dan pelaksanaan, serta pengelolaan aset yang lebih baik. Meskipun implementasinya di Indonesia masih terbatas, peluang untuk memperluas penggunaan BIM sangat besar, terlebih jika didukung oleh regulasi, sumber daya manusia, dan investasi yang memadai.

Sumber Asli

Wahyuningrum, C. A., Sari, Y. C., & Kresnanto, N. C. (2020). Building Information Modeling (BIM) for Dams—Literature Review and Future Needs. Journal of Civil Engineering Forum, 6(1), 61–68.

 

Selengkapnya
Building Information Modeling (BIM) untuk Proyek Bendungan: Inovasi Digital untuk Infrastruktur Strategis Indonesia
« First Previous page 469 of 1.345 Next Last »