Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025
Pendahuluan
Kinerja pemasok yang buruk dapat meningkatkan biaya produksi hingga 10-20% akibat kualitas produk yang tidak sesuai atau keterlambatan pengiriman. Oleh karena itu, perusahaan memerlukan Sistem Pengukuran Kinerja Pemasok (SPMS) untuk mengelola dan mengevaluasi pemasok secara efektif.
Penelitian ini, yang dilakukan oleh Eveliina Toivakka dari Lappeenranta–Lahti University of Technology (LUT) dan University of Twente, bertujuan untuk mengembangkan framework desain SPMS yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggabungkan kajian literatur dan wawancara dengan perusahaan besar yang telah mengimplementasikan SPMS.
Temuan Utama
1. Mengapa SPMS Penting dalam Industri Manufaktur?
2. Siklus Hidup SPMS
Penelitian ini membagi siklus hidup SPMS menjadi empat tahap utama:
3. Model Pengukuran Kinerja Pemasok
Beberapa pendekatan dalam pengukuran kinerja pemasok yang dikaji dalam penelitian ini:
✅ Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan inovasi.
✅ SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliabilitas, fleksibilitas, dan biaya rantai pasok.
✅ Activity-Based Costing (ABC) → Mengidentifikasi biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.
Studi Kasus: Implementasi SPMS dalam Industri Manufaktur
1. Industri Otomotif
2. Industri Elektronik
3. Industri Farmasi
Tantangan dalam Implementasi SPMS
⚠ Kesulitan dalam Standarisasi KPI
➡ Banyak perusahaan memiliki metode evaluasi yang berbeda, sehingga sulit melakukan benchmarking.
⚠ Biaya Implementasi yang Tinggi
➡ Integrasi sistem digital seperti ERP dan AI memerlukan investasi besar.
⚠ Kurangnya Keahlian dalam Analisis Data
➡ Sebagian besar perusahaan masih menggunakan metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.
Strategi Optimal untuk Implementasi SPMS
✅ Integrasi Digital dalam Pengukuran Kinerja Pemasok
✅ Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik
✅ Menggunakan Framework Hybrid
Kesimpulan
Penelitian ini menegaskan bahwa Supplier Performance Measurement System (SPMS) adalah elemen krusial dalam meningkatkan efisiensi dan daya saing industri manufaktur.
Dengan framework yang tepat, perusahaan dapat:
✅ Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
✅ Mengoptimalkan biaya operasional.
✅ Meningkatkan kepuasan pelanggan dengan pemasok yang lebih andal.
Dalam era Industri 4.0, digitalisasi dalam pengukuran kinerja pemasok menjadi faktor penentu keberhasilan rantai pasok global.
Sumber : Eveliina Toivakka (2023). Supplier Performance Measurement System Design in Manufacturing Industry. Lappeenranta–Lahti University of Technology LUT & University of Twente.
Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan kerja merupakan asprek kritis di berbagai industri, terutama dalam sektor manufaktur, konstruksi, dan petrokimia yang memiliki lingkungan kerja dinamis. Untuk memberikan pendekatan analitis yang lebih akurat dalam mengukur risiko keselamatan kerja serta membantu pengambilan keputusan berbasis data dalam alokasi sumber daya mitigasi risiko di lingkungan industri yang kompleks.
Penelitian ini mengembangkan model probabilistik yang mampu:
Metode ini diuji melalui simulasi serta penerapan di proyek pemeliharaan di sebuah pabrik petrokimia besar, membuktikan efektivitasnya dalam mengurangi risiko kecelakaan kerja.
Analisis dan Implikasi bagi Industri
Kesimpulan dan Rekomendasi
Paper ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis data dapat meningkatkan efektivitas sistem manajemen keselamatan kerja dalam lingkungan industri yang dinamis. Dengan menggunakan model probabilistik hierarkis dan algoritma Bayesian, perusahaan dapat mengoptimalkan mitigasi risiko secara lebih akurat dan efisien.
Untuk penelitian selanjutnya, direkomendasikan eksplorasi lebih lanjut terhadap integrasi model ini dengan kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin untuk meningkatkan deteksi risiko dan prediksi kecelakaan kerja.
Sumber Artikel:
Tewari, A., & Paiva, A. R. (2022). Modeling and Mitigation of Occupational Safety Risks in Dynamic Industrial Environments. Safety Science.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam industri kesehatan menjadi salah satu isu utama dalam pengelolaan rumah sakit. Pengelolaan limbah ini tidak hanya berpengaruh terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kesehatan tenaga medis, pasien, pengunjung, dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, rumah sakit harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sesuai dengan regulasi yang berlaku. Paper ini mengkaji kesiapan Rumah Sakit X di Banyuwangi dalam menghadapi akreditasi SNARS 1.1 dari aspek manajemen limbah B3. Akreditasi ini mensyaratkan rumah sakit memiliki regulasi yang ketat terhadap pengelolaan limbah berbahaya untuk mendapatkan nilai minimal 80% dalam aspek manajemen fasilitas dan keselamatan (Facility Management and Safety – FMS).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan rumah sakit X dalam pengelolaan limbah B3 hanya mencapai 79,4%, di bawah standar minimal akreditasi SNARS yang mensyaratkan ≥80%. Beberapa aspek utama yang menyebabkan rendahnya kesiapan Rumah Sakit X meliputi:
Rumah sakit X telah memiliki beberapa kebijakan terkait manajemen limbah B3, tetapi masih belum memenuhi standar WHO secara menyeluruh. Contohnya, rumah sakit ini belum memiliki daftar terperinci mengenai jenis, lokasi, dan jumlah limbah B3 yang dikelola. Dalam sebuah wawancara, seorang staf menyatakan bahwa daftar limbah memang ada, tetapi belum diperbarui secara berkala, sehingga banyak data yang tidak akurat. Ketidaksesuaian ini menjadi salah satu faktor rendahnya skor akreditasi rumah sakit.
Beberapa aspek keselamatan telah terpenuhi, misalnya:
Namun, masih ditemukan beberapa alat labelisasi yang sudah usang dan perlu diperbarui untuk memastikan informasi tetap terlihat jelas.
Salah satu temuan kritis dalam penelitian ini adalah tidak adanya laporan tumpahan atau paparan limbah B3 di rumah sakit X. Seorang responden mengungkapkan bahwa rumah sakit hanya melaporkan kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum, tetapi tidak mencatat insiden terkait tumpahan limbah beracun. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dalam mendokumentasikan potensi bahaya dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Rumah sakit X memiliki tempat penyimpanan limbah B3 dengan izin resmi dari Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan:
Ketidaksiapan dalam pengelolaan limbah berbahaya dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Menurut WHO, 10–25% limbah rumah sakit termasuk dalam kategori limbah infeksius atau beracun yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV. Selain itu, paparan bahan kimia berbahaya dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan gangguan sistem saraf.
Dalam konteks Rumah Sakit X, kegagalan memenuhi standar SNARS berpotensi menghambat akreditasi dan menurunkan citra rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang aman dan terpercaya. Agar rumah sakit X dapat memenuhi standar SNARS dan meningkatkan pengelolaan limbah B3, beberapa langkah perbaikan yang disarankan meliputi:
1. Penyempurnaan Regulasi Internal
Rumah sakit perlu mengembangkan regulasi yang lebih spesifik terkait:
2. Peningkatan Sistem Dokumentasi dan Pelaporan
Dokumentasi yang lebih baik diperlukan untuk:
3. Penyediaan Fasilitas yang Memadai
Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan meliputi:
4. Pelatihan Keselamatan dan Kesadaran Petugas
Pelatihan bagi tenaga medis dan staf rumah sakit sangat penting untuk:
Penelitian ini menunjukkan bahwa Rumah Sakit X belum sepenuhnya siap dalam mengelola limbah B3, dengan nilai kesiapan 79,4%, sedikit di bawah standar SNARS 1.1 sebesar 80%. Faktor utama ketidaksiapan adalah kurangnya regulasi internal, dokumentasi yang tidak memadai, dan minimnya fasilitas keamanan.
Untuk meningkatkan kesiapan dan mencapai standar akreditasi, rumah sakit perlu melengkapi regulasi internal, memperbaiki sistem dokumentasi, serta meningkatkan pelatihan bagi petugas kesehatan. Dengan langkah-langkah ini, risiko kesehatan akibat limbah B3 dapat dikurangi, dan akreditasi SNARS dapat tercapai dengan lebih optimal.
Sumber
Endistasari, P., Marchianti, A. C. N., & Ma’rufi, I. (2023). The Analysis of Readiness on Hazardous and Toxic Materials Management from Occupational Health and Safety Aspects of Hospital X in Banyuwangi in Dealing with SNARS Accreditation. Jember University.
Transportasi Material Berbahaya
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Transportasi material berbahaya (hazmat) merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri logistik global. Bahan kimia berbahaya seperti cairan mudah terbakar, gas beracun, dan material radioaktif memerlukan prosedur khusus dalam pengiriman karena dapat menyebabkan dampak lingkungan yang besar dan risiko keselamatan bagi masyarakat. Paper ini menyajikan tinjauan literatur yang luas mengenai metode mitigasi risiko, pemilihan rute terbaik, tanggap darurat, serta desain jaringan transportasi hazmat. Dengan mengulas 88 artikel yang diterbitkan sejak 2005, penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang tantangan serta solusi dalam transportasi hazmat di berbagai negara.
Risiko Kecelakaan dalam Transportasi Hazmat
Berdasarkan data dari U.S. Department of Transportation, pada tahun 2013 terjadi lebih dari 15.900 insiden terkait transportasi hazmat di Amerika Serikat. Insiden ini mengakibatkan 28 korban luka berat, 132 korban luka ringan, serta 12 kematian. Selain itu, total kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan transportasi hazmat mencapai lebih dari 81 juta dolar AS.
Mayoritas kecelakaan melibatkan cairan mudah terbakar, yang menyumbang lebih dari setengah dari total insiden. Sementara itu, bahan korosif dan gas mudah terbakar juga menjadi penyebab utama kecelakaan dalam transportasi hazmat. Hal ini menunjukkan perlunya strategi mitigasi risiko yang lebih efektif, termasuk pemilihan rute yang lebih aman dan penerapan sistem tanggap darurat yang lebih baik.
Klasifikasi Material Berbahaya
Menurut United Nations Economic Commission for Europe (UNECE), material berbahaya dikategorikan ke dalam sembilan kelas berdasarkan sifatnya. Kategori ini meliputi bahan peledak, gas berbahaya, cairan dan padatan mudah terbakar, bahan pengoksidasi, zat beracun, material radioaktif, serta bahan korosif. Setiap jenis bahan ini memiliki tantangan tersendiri dalam hal pengemasan, penyimpanan, serta prosedur penanganan saat terjadi kecelakaan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa sebagian besar insiden transportasi hazmat melibatkan kelas bahan mudah terbakar dan bahan korosif. Hal ini mengindikasikan bahwa prosedur keselamatan dalam transportasi kedua jenis bahan ini perlu lebih diperketat untuk mengurangi dampak negatif terhadap manusia dan lingkungan.
Tiga faktor utama yang paling mempengaruhi risiko dalam transportasi hazmat, yaitu penilaian risiko, pemilihan rute, dan respons darurat.
1. Penilaian Risiko (Risk Assessment)
Banyak penelitian telah mengembangkan model penilaian risiko untuk transportasi hazmat. Salah satu model yang sering digunakan adalah US DOT Risk Model, yang menghitung risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kecelakaan dan dampak yang ditimbulkan. Selain itu, metode Quantitative Risk Assessment (QRA) juga banyak digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi bahaya, menganalisis frekuensi kecelakaan, serta melakukan pemodelan konsekuensi dari insiden yang terjadi. Selain pendekatan kuantitatif, beberapa studi juga menekankan pentingnya faktor manusia dalam risiko kecelakaan hazmat. Kesalahan manusia dalam proses transportasi sering kali menjadi penyebab utama insiden, baik karena kelalaian operator maupun kurangnya pelatihan dalam menangani bahan berbahaya.
2. Pemilihan Rute (Routing)
Memilih rute yang optimal adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi risiko dalam transportasi hazmat. Faktor yang dipertimbangkan dalam pemilihan rute termasuk panjang rute, waktu tempuh, kepadatan penduduk di sekitar jalan, serta kondisi jalan dan cuaca. Riset menunjukkan bahwa semakin panjang jarak transportasi, semakin besar risiko kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu, beberapa negara telah menerapkan regulasi ketat yang membatasi rute transportasi hazmat melalui daerah padat penduduk. Dengan menggunakan teknologi pemetaan dan pemantauan berbasis GPS, perusahaan logistik dapat memilih rute dengan tingkat risiko terendah dan memastikan transportasi bahan berbahaya dilakukan dengan aman.
3. Respons Darurat (Emergency Response)
Tanggap darurat menjadi aspek kritis dalam transportasi hazmat, terutama dalam insiden yang melibatkan kebocoran bahan beracun atau ledakan. Paper ini menemukan bahwa hanya sedikit negara yang memiliki sistem tanggap darurat yang khusus dirancang untuk menangani kecelakaan hazmat. Beberapa langkah yang direkomendasikan dalam penelitian ini termasuk:
Dampak Ekonomi Kecelakaan Hazmat
Kecelakaan hazmat tidak hanya berdampak pada keselamatan publik, tetapi juga membawa kerugian ekonomi yang besar. Dalam periode tujuh tahun antara 2007 hingga 2013, total kerugian yang ditimbulkan oleh kecelakaan transportasi hazmat di Amerika Serikat mencapai lebih dari 548 juta dolar AS. Mayoritas dari kerugian ini berasal dari kecelakaan yang terjadi di jalur transportasi darat, yang menyumbang hampir 80 persen dari total kerugian finansial. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya peningkatan regulasi dan infrastruktur keselamatan dalam transportasi hazmat di jalan raya, termasuk penerapan sistem pemantauan berbasis teknologi untuk mengurangi risiko kecelakaan.
Tren Penelitian Transportasi Hazmat
Sejak tahun 1980-an, penelitian mengenai transportasi hazmat terus berkembang. Paper ini mengklasifikasikan 88 artikel yang diterbitkan antara tahun 2005 hingga 2014 ke dalam beberapa kategori utama, yaitu penilaian risiko, optimasi rute, respons darurat, desain jaringan transportasi, serta analisis kecelakaan.
Dari tren yang diamati, penelitian mengenai tanggap darurat dan analisis kecelakaan mengalami peningkatan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini mencerminkan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesiapan dalam menghadapi insiden hazmat serta perlunya sistem mitigasi yang lebih kuat untuk mengurangi dampak negatifnya.
Transportasi hazmat merupakan tantangan besar dalam industri logistik global yang membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk mengelola risiko. Beberapa rekomendasi utama yang disarankan dalam penelitian ini meliputi:
Dengan implementasi strategi ini, risiko kecelakaan dalam transportasi hazmat dapat diminimalkan, sehingga melindungi manusia, lingkungan, dan ekonomi.
Sumber Asli Paper
Yilmaz, Z., Erol, S., & Aplak, H. S. (2016). Transportation of hazardous materials (hazmat): A literature survey. Pamukkale University Journal of Engineering Sciences, 22(1), 39-53.
Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Keselamatan kerja di laboratorium pendidikan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan, terutama dalam penggunaan bahan biologis dan kimia berbahaya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif observasional dengan pendekatan kualitatif. Sembilan laboratorium yang diteliti mencakup bidang bioteknologi, ekologi, mikrobiologi, zoologi, kedokteran molekuler, dan farmasi. Variabel yang diamati meliputi SOP penggunaan bahan biologis (7 komponen) dan bahan kimia berbahaya (8 komponen). Data diperoleh melalui observasi langsung dan wawancara dengan asisten laboratorium.
Dari tujuh komponen SOP yang diamati, laboratorium mikrobiologi, biologi molekuler dan bioteknologi, serta kedokteran molekuler menerapkan 6 dari 7 komponen. Beberapa komponen utama yang telah diterapkan meliputi:
Namun, ditemukan bahwa beberapa laboratorium belum optimal dalam mengurangi pembentukan aerosol dan bekerja dengan benda tajam.
Dalam aspek bahan kimia, laboratorium biologi molekuler dan bioteknologi serta laboratorium kedokteran molekuler menunjukkan penerapan SOP yang cukup baik, dengan 6 dari 8 komponen telah dijalankan. Beberapa komponen penting yang telah diterapkan meliputi:
Namun, masih ditemukan laboratorium yang belum optimal dalam memahami sifat bahan kimia yang digunakan serta penerapan Material Safety Data Sheet (MSDS).
Dari hasil analisis, tingkat risiko di laboratorium dikategorikan sebagai berikut:
Faktor yang menyebabkan masih adanya risiko di laboratorium meliputi kurangnya pelatihan tenaga laboratorium serta keterbatasan fasilitas untuk pengelolaan limbah.
Untuk meningkatkan keselamatan kerja di laboratorium, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan antara lain:
Sebagian besar laboratorium di Universitas Jember telah menerapkan standar keselamatan kerja dalam penggunaan bahan biologis dan kimia, meskipun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang diberikan, diharapkan keselamatan kerja di laboratorium dapat lebih terjamin dan risiko kecelakaan dapat diminimalkan.
Sumber Artikel: Hanif Murnia Atma, Anita Dewi Prahastuti Sujoso, Ari Satia Nugraha, "Risk Identification of Hazardous Biological and Chemical Substances in Work Safety Efforts", Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, Vol. 23(2), 2024, pp. 191-199.
Pengukuran Kinerja dan Optimasi dalam Rantai Pasok
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 06 Maret 2025
Pendahuluan
Dalam industri manufaktur, Supply Chain Performance Measurement (SCPM) berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas rantai pasok. Pengukuran kinerja ini membantu perusahaan dalam mengidentifikasi bottleneck, mengoptimalkan sumber daya, serta meningkatkan daya saing di pasar global.
Penelitian yang dilakukan oleh Ilkka Sillanpää dan Pekka Kess dari University of Vaasa dan University of Oulu ini mengkaji berbagai pendekatan dalam SCPM, termasuk metode strategis, operasional, dan taktis, serta menyoroti framework yang dapat digunakan oleh perusahaan manufaktur.
Metodologi Penelitian
Studi ini merupakan literature review yang mengumpulkan dan menganalisis penelitian sebelumnya terkait SCPM. Fokus utama penelitian ini adalah:
Tujuannya adalah mengembangkan kerangka kerja pengukuran kinerja rantai pasok yang dapat diterapkan secara praktis dalam industri.
Temuan Utama
1. Pendekatan Manajerial dalam SCPM
Gunasekaran et al. (2001) mengelompokkan metrik SCPM menjadi tiga level:
2. Model Pengukuran Kinerja Supply Chain
Beberapa model SCPM utama yang dianalisis dalam penelitian ini:
✅ Balanced Scorecard (BSC) → Mengukur aspek keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran organisasi.
✅ SCOR Model (Supply Chain Operations Reference) → Fokus pada reliability, responsiveness, flexibility, cost, dan asset management.
✅ Economic Value Added (EVA) → Mengukur nilai tambah finansial yang dihasilkan oleh rantai pasok.
✅ Activity-Based Costing (ABC) → Menghitung biaya berdasarkan aktivitas yang memberikan nilai tambah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi antara SCOR dan Balanced Scorecard memberikan hasil yang lebih optimal dalam pengukuran kinerja supply chain manufaktur.
3. Studi Kasus: Implementasi SCPM dalam Industri Manufaktur
Penelitian ini mengkaji implementasi SCPM di berbagai industri manufaktur. Beberapa contoh kasus:
📌 Industri Otomotif
📌 Industri Elektronik
📌 Industri Farmasi
Tantangan dalam Implementasi SCPM
⚠ Kurangnya Standarisasi dalam Pengukuran
➡ Banyak perusahaan memiliki framework SCPM yang berbeda, menyebabkan ketidaksesuaian dalam benchmarking.
⚠ Tingginya Biaya Implementasi Teknologi
➡ Digitalisasi supply chain memerlukan investasi besar dalam sistem ERP, IoT, dan AI.
⚠ Kurangnya Keterampilan dalam Analisis Data
➡ Sebagian besar perusahaan manufaktur masih bergantung pada metode manual, menyebabkan keterlambatan dalam pengambilan keputusan berbasis data.
Strategi Optimal untuk Meningkatkan SCPM
✅ Integrasi Digital dalam SCPM
✅ Kolaborasi dengan Pemasok dan Mitra Logistik
✅ Menggunakan Framework Hybrid
Kesimpulan
Studi ini menegaskan bahwa Supply Chain Performance Measurement (SCPM) merupakan elemen kunci dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur. Dengan mengadopsi framework yang tepat, perusahaan dapat:
✅ Meningkatkan efisiensi rantai pasok.
✅ Mengoptimalkan biaya operasional.
✅ Mengurangi lead-time dan meningkatkan customer satisfaction.
Dalam era Industri 4.0, implementasi teknologi digital dalam SCPM menjadi faktor kritis yang harus diterapkan untuk mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Sumber : Ilkka Sillanpää, Pekka Kess (2012). The Literature Review of Supply Chain Performance Measurement in the Manufacturing Industry. Management and Production Engineering Review, Vol. 3, No. 2, pp. 79–88.