K3 Konstruksi

Peran Strategis Kepemimpinan Keselamatan dalam Menurunkan Risiko Kecelakaan Proyek Konstruksi Skandinavia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Krisis Kecelakaan Konstruksi & Solusi dari Skandinavia

Industri konstruksi tetap menjadi sektor paling berisiko tinggi terhadap kecelakaan kerja, termasuk yang fatal. Meski inovasi teknologi telah membantu menurunkan angka kecelakaan, bukti menunjukkan bahwa solusi teknis saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan keselamatan—gaya kepemimpinan yang mampu mengubah budaya dan perilaku kerja menjadi lebih aman dan bertanggung jawab.

Penelitian doktoral oleh Martin Grill ini menyajikan pemetaan mendalam terhadap gaya kepemimpinan yang efektif dalam meningkatkan keselamatan kerja di proyek konstruksi, khususnya di Swedia dan Denmark. Studi ini mengombinasikan wawancara kualitatif, survei longitudinal dan lintas-seksi, serta observasi perilaku langsung di lokasi kerja.

Latar Belakang & Tujuan Penelitian

Studi ini bertujuan:

  • Mengidentifikasi gaya kepemimpinan yang berkontribusi terhadap keselamatan kerja.
  • Menjelaskan bagaimana gaya kepemimpinan tersebut terbentuk selama pendidikan kejuruan (VET).
  • Menguji hubungan antara gaya kepemimpinan dan indikator keselamatan seperti safety climate, perilaku aman, dan tingkat cedera.
  • Mengamati secara langsung praktik kepemimpinan di lapangan.

Swedia dan Denmark dipilih karena meskipun secara budaya dan geografis dekat, tingkat kecelakaan kerja di konstruksi jauh lebih rendah di Swedia dibandingkan Denmark. Ini memberikan peluang untuk membandingkan efek konteks budaya terhadap gaya kepemimpinan keselamatan.

Metodologi: Kombinasi Strategis untuk Validitas Tinggi

Penelitian ini terbagi dalam empat studi utama:

  • Paper I: Wawancara semi-terstruktur dengan 9 orang (manajer dan pekerja).
  • Paper II: Studi longitudinal terhadap 1907 siswa VET di Swedia dan Denmark.
  • Paper III: Survei terhadap 811 pekerja dari 85 proyek konstruksi, menganalisis hubungan kepemimpinan dan keselamatan.
  • Paper IV: Observasi langsung terhadap 37 manajer proyek dan 409 pekerja untuk melihat praktik kepemimpinan nyata di lapangan.

Hasil Utama: Gaya Kepemimpinan yang Paling Efektif

1. Kepemimpinan Berorientasi Aturan (Rule-Oriented Leadership)

  • Paling berkorelasi positif dengan keselamatan proyek (safety climate: β = 0.40).
  • Satu-satunya gaya yang menurunkan angka cedera secara signifikan (OR = 0.78).
  • Memberi contoh disiplin, mengikuti prosedur, dan penegakan regulasi.
  • Efeknya tidak dipengaruhi konteks budaya, berlaku baik di Swedia maupun Denmark.

2. Kepemimpinan Partisipatif

  • Melibatkan pekerja dalam pengambilan keputusan keselamatan.
  • Meningkatkan safety climate (β = 0.28) dan perilaku kerja aman (β = 0.24).
  • Mampu memperkuat efek positif kepemimpinan berorientasi aturan.
  • Terbukti berkembang dalam pendidikan kejuruan siswa VET, terutama melalui pengalaman di tempat kerja daripada di sekolah.

3. Kepemimpinan Transformasional

  • Komponen utamanya:
    • Stimulasi intelektual (65% dari observasi)
    • Pertimbangan individual, motivasi inspiratif, dan pengaruh ideal
  • Memperkuat perilaku aman dan menciptakan iklim kerja positif.
  • Mempengaruhi keselamatan kerja lewat inspirasi dan perhatian personal.

4. Kepemimpinan Transaksional Aktif

  • Fokus pada hadiah dan koreksi atas perilaku kerja:
    • Contingent reward (38% interaksi), seperti pujian dan pembayaran kerja yang sesuai.
    • Active management by exception (28% interaksi), seperti pemantauan dan koreksi saat terjadi penyimpangan.
  • Meningkatkan safety climate dan perilaku aman meskipun hasil observasi berbeda-beda.

5. Kepemimpinan Pasif/Abai

  • Terkait negatif dengan keselamatan kerja.
  • Semakin tinggi praktik laissez-faire, semakin buruk safety climate.

Studi Kasus & Angka Penting

  • Rule-oriented leadership secara signifikan menurunkan angka cedera (OR = 0.78).
  • Participative leadership memperkuat efek positif pada perilaku kerja aman (interaksi β = 0.10).
  • Observasi menunjukkan intellectual stimulation adalah bentuk dominan dari gaya transformasional (65%).
  • Partisipasi siswa VET (N = 1907) menunjukkan peningkatan ILT (implicit leadership theories) partisipatif sebesar 0.14 poin per tahun selama masa pelatihan.

Konteks Budaya: Swedia vs Denmark

  • Swedia lebih menonjol dalam praktik kepemimpinan berorientasi aturan dan partisipatif, yang menjadi salah satu faktor kunci rendahnya angka kecelakaan di sana.
  • Denmark cenderung memiliki pendekatan lebih fleksibel namun kurang disiplin dalam penerapan regulasi keselamatan.

Kritik & Opini Kritis

Penelitian ini komprehensif dan kuat secara metodologi, menggabungkan berbagai pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Namun:

  • Kurangnya data dari negara non-Skandinavia membuat hasil belum tentu bisa digeneralisasi global.
  • Pengukuran efek jangka panjang dari intervensi kepemimpinan belum dilakukan.
  • Perlu eksplorasi lebih lanjut terkait peran gender, struktur organisasi, dan integrasi teknologi dalam praktik kepemimpinan keselamatan.

Relevansi Industri Saat Ini & Tren Global

  • Dengan meningkatnya proyek infrastruktur besar dan kompleks, urgensi kepemimpinan keselamatan menjadi semakin vital.
  • Tren global seperti ESG, green construction, dan digitalisasi (BIM, IoT) memerlukan pemimpin proyek yang adaptif dan human-centered.
  • Kepemimpinan partisipatif dan transformasional dapat menjadi kunci dalam menciptakan budaya kerja yang berkelanjutan.

Kesimpulan & Rekomendasi

Keselamatan kerja di industri konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan di tingkat proyek. Gaya kepemimpinan yang berorientasi aturan, partisipatif, dan transformasional terbukti mampu:

  • Meningkatkan iklim keselamatan (safety climate).
  • Mengurangi angka kecelakaan kerja.
  • Mendorong perubahan budaya kerja menjadi lebih aman dan kolaboratif.

Rekomendasi praktis:

  • Integrasikan pelatihan kepemimpinan keselamatan dalam pendidikan kejuruan dan pelatihan profesional.
  • Gunakan umpan balik positif (rewarding feedback) untuk memperkuat perilaku kerja aman.
  • Evaluasi dan penguatan sistem manajemen keselamatan harus berbasis data dan perilaku nyata di lapangan.

Sumber : Grill, M. (2018). Safety leadership in the construction industry: Managing safety at Swedish and Danish construction sites. University of Gothenburg, Sweden.

 

Selengkapnya
Peran Strategis Kepemimpinan Keselamatan dalam Menurunkan Risiko Kecelakaan Proyek Konstruksi Skandinavia

K3 Konstruksi

Strategi Efektif Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja melalui Pengadaan, Monitoring, dan Efisiensi Biaya Konstruksi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Konstruksi, Industri Vital dengan Risiko Tinggi

Industri konstruksi di Inggris menyumbang 8% dari PDB, mempekerjakan 10% tenaga kerja nasional, dan menghasilkan £250 miliar per tahun. Namun, ironisnya, sektor ini juga menjadi salah satu yang paling berbahaya, dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Penelitian oleh John P. Cooney menyelidiki hubungan antara strategi pengadaan proyek, monitoring, dan efektivitas biaya terhadap peningkatan kesehatan dan keselamatan kerja (K3 atau OHS) di industri ini.

Studi ini menyoroti bahwa budaya organisasi kontraktor, keputusan tender, serta pengabaian faktor keselamatan demi efisiensi anggaran berkontribusi terhadap tingginya risiko kecelakaan. Oleh karena itu, pendekatan strategis berbasis regulasi hukum, manajemen risiko, dan insentif ekonomi sangat dibutuhkan.

Isu Utama: Tiga Pilar Penelitian

Penelitian ini mengeksplorasi tiga isu utama yang saling terkait:

  1. Bagaimana proses pengadaan (procurement) memengaruhi K3.
    Pemilihan kontraktor yang tidak mempertimbangkan rekam jejak keselamatan berisiko besar terhadap keseluruhan proyek.
  2. Efektivitas biaya dan prioritas keselamatan.
    Kontraktor sering tergoda memilih penawaran termurah, mengabaikan standar K3 demi mengurangi biaya.
  3. Strategi dan tanggung jawab pemangku kepentingan.
    Siapa yang harus bertanggung jawab jika kecelakaan terjadi? Bagaimana kontrak dan regulasi dapat menekan risiko tersebut?

Metodologi Penelitian: Pendekatan Gabungan

Penulis menggunakan kombinasi kualitatif dan kuantitatif, termasuk:

  • Studi literatur intensif
  • Kuesioner terstruktur untuk pekerja konstruksi dan manajer proyek
  • Analisis SWOT dan penilaian kebijakan legislatif K3 di Inggris

Temuan Kunci: Angka, Fakta, dan Analisis

  1. Faktor Ekonomi & OHS: Biaya Langsung dan Tidak Langsung
    • Kerugian ekonomi akibat penyakit akibat kerja mencapai 23 juta hari kerja hilang (2009/2010).
    • Biaya langsung: asuransi, klaim kerusakan, kompensasi.
    • Biaya tidak langsung: citra perusahaan menurun, moral pekerja rendah, keterlambatan proyek, biaya pelatihan ulang.
  2. Kecelakaan Fatal Masih Tinggi
    • Tahun 2006/2007, terjadi kenaikan 28% kematian kerja, menyumbang 32% dari seluruh kematian akibat kerja nasional di Inggris.
    • Industri konstruksi memiliki tingkat kematian 4x lebih tinggi dibanding sektor lain.
  3. Peran Klien dan Kontraktor dalam Proyek
    • Klien dianggap bertanggung jawab hukum dan moral atas keselamatan di lokasi proyek.
    • Namun, tanggung jawab ini sering dialihkan ke pihak ketiga seperti subkontraktor, menciptakan ketidakjelasan dan risiko hukum.
  4. Masalah Pengadaan & Tender
    • Banyak kontraktor memilih penawaran termurah tanpa meninjau catatan K3 dari penyedia jasa.
    • Studi menyarankan verifikasi budaya keselamatan organisasi sebagai bagian dari evaluasi tender.
  5. Pengaruh Budaya Organisasi & CSR
    • Implementasi K3 dipengaruhi oleh komitmen CSR organisasi terhadap kesehatan karyawan.
    • Perusahaan dengan nilai CSR tinggi lebih konsisten dalam menerapkan sistem manajemen keselamatan.

Studi Kasus: Statistik & Dampak Nyata

  • 1,3 juta orang di Inggris menderita penyakit akibat kerja pada 2009/2010.
  • 8% pekerja konstruksi Inggris adalah migran, menciptakan tantangan komunikasi K3.
  • Beberapa proyek besar menunjukkan bahwa pengawasan yang lemah dalam proses procurement menyebabkan peningkatan insiden kecelakaan.

Dimensi Hukum: Tanggung Jawab Sipil dan Pidana

  • Undang-Undang Health and Safety at Work Act 1974 memberikan beban pembuktian pada perusahaan untuk menunjukkan bahwa mereka telah mengambil semua langkah yang "reasonably practicable".
  • Konsekuensi hukum meliputi denda, tuntutan perdata, dan bahkan penjara jika ditemukan kelalaian fatal.

Kritik dan Analisis Tambahan

Keunikan dari studi ini adalah fokusnya pada procurement sebagai pintu awal keselamatan kerja. Ini pendekatan yang sering luput dalam praktik industri, padahal merupakan titik awal semua perjanjian kerja. Namun, penelitian ini:

  • Belum menguji model di luar Inggris, padahal banyak prinsipnya dapat diaplikasikan secara global.
  • Perlu pendalaman lebih lanjut pada strategi implementasi pasca-tender, bukan hanya tahap seleksi.

Implikasi Strategis untuk Industri Konstruksi Global

Penelitian ini sangat relevan dalam konteks ESG (Environmental, Social & Governance) dan tuntutan transparansi bisnis global. Perusahaan konstruksi yang menyeimbangkan efisiensi biaya dengan standar keselamatan tinggi akan lebih berdaya saing, mendapatkan kepercayaan dari klien dan masyarakat.

Rekomendasi Praktis

  1. Integrasikan evaluasi K3 ke dalam semua tahapan procurement — dari tender hingga monitoring lapangan.
  2. Wajibkan pelatihan keselamatan bagi semua tenaga kerja, termasuk pekerja sementara dan migran.
  3. Bangun sistem audit dan reward berbasis hasil nyata keselamatan.
  4. Kembangkan kesadaran risiko sejak pendidikan vokasi melalui kurikulum K3.
  5. Perkuat regulasi tender dengan syarat kinerja K3 minimum.

Kesimpulan: OHS adalah Investasi, Bukan Biaya

Penelitian ini memperlihatkan bahwa pendekatan strategis terhadap keselamatan kerja—yang mencakup aspek hukum, ekonomi, dan budaya organisasi—dapat secara nyata menurunkan risiko kecelakaan kerja di industri konstruksi. Kesehatan dan keselamatan kerja tidak boleh menjadi korban efisiensi anggaran. Justru, keduanya harus menjadi faktor pertimbangan utama dalam proses pengadaan dan manajemen proyek.

Sumber : Cooney, J. P. (2016). Health and safety in the construction industry: A review of procurement, monitoring, cost effectiveness and strategy. University of Salford.

Selengkapnya
Strategi Efektif Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan Kerja melalui Pengadaan, Monitoring, dan Efisiensi Biaya Konstruksi

K3 Konstruksi

Mengungkap Hambatan Adopsi Strategi Ramah Lingkungan di Industri Konstruksi Swedia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Ironi Lingkungan dalam Industri Konstruksi

Industri konstruksi adalah salah satu kontributor terbesar terhadap kerusakan lingkungan global. Menurut UNEP (2016), sektor ini menyumbang sekitar 40% limbah, 30% emisi gas rumah kaca terkait energi, 12% penggunaan air, dan 4% penggunaan energi total dunia. Meski demikian, adopsi strategi ramah lingkungan dalam praktik konstruksi berlangsung sangat lambat.

Penelitian oleh Isaksson dan Linderoth ini menggali mengapa transisi ke arah konstruksi yang lebih berkelanjutan belum berjalan efektif di Swedia, negara yang dikenal progresif dalam kebijakan lingkungannya. Fokus utamanya adalah pada tiga faktor utama yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam perusahaan konstruksi: biaya, struktur kelembagaan, dan informasi.

Tujuan dan Metode Penelitian

Studi ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan: Apa faktor paling menentukan yang memengaruhi keputusan adopsi pertimbangan lingkungan dalam industri konstruksi?

Untuk menjawabnya, penulis menggabungkan:

  • 17 wawancara semi-terstruktur dengan pimpinan dan manajer konstruksi.
  • Pengamatan langsung selama 80 jam pada proyek publik senilai €50 juta.
  • Survei kepada 1049 pengambil keputusan, dengan 297 responden aktif.

Metode ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (berbasis kuesioner) dan kualitatif (kasus mendalam), mengikuti kerangka Theory of Planned Behaviour dan Reasoned Action untuk mengukur persepsi perilaku.

Temuan Kunci: Realitas Keputusan Lingkungan di Lapangan

1. Biaya dan Kualitas Masih Dominan

  • Dalam pemilihan bahan dan produk, faktor biaya langsung dan kualitas adalah yang paling menentukan (mean >4,35 dari skala 6).
  • Dampak lingkungan justru berada di peringkat ke-5.
  • Untuk metode produksi, biaya kembali menjadi faktor dominan (mean = 4,97), mengungguli kualitas dan lingkungan.

2. Pertimbangan Lingkungan Dianggap Penting, Tapi Tidak Dominan

  • Responden secara umum mengakui pentingnya lingkungan, tapi tidak menjadikannya prioritas dalam keputusan nyata.
  • Hanya sebagian kecil yang percaya bahwa pertimbangan lingkungan menurunkan biaya (mean = 2,5) atau meningkatkan kualitas.

3. Kurangnya Informasi adalah Hambatan Terbesar

  • Kurangnya pengetahuan dan informasi menjadi hambatan utama dalam mengadopsi pertimbangan lingkungan (mean = 2,91).
  • Ini menunjukkan bahwa meskipun isu lingkungan dikenal, akses terhadap data, pelatihan, dan tools masih sangat kurang.

4. Kondisi Kelembagaan Tidak Mendukung

  • Sistem tender di Swedia masih berbasis harga terendah, bukan nilai jangka panjang.
  • Hal ini membuat kontraktor enggan memasukkan fitur ramah lingkungan yang bisa membuat harga penawaran naik.
  • Kontrak tipe partnering, di mana klien dan kontraktor berbagi keputusan dan insentif, lebih mendukung pendekatan holistik.

Studi Kasus: Proyek Arena Multiaktivitas di Swedia

Studi lapangan dilakukan pada proyek rekonstruksi arena publik senilai €50 juta selama dua tahun. Proyek ini mencakup pembangunan kolam renang, arena olahraga, gym, dan bowling.

Fakta menarik dari lapangan:

  • Mayoritas fokus lingkungan perusahaan masih terbatas pada pengelolaan bahan kimia dan limbah.
  • Perusahaan mendorong pembelian bahan dari luar negeri demi efisiensi biaya, meskipun ini meningkatkan jejak karbon melalui transportasi.
  • Perusahaan memiliki insentif kuat untuk menekan biaya demi menarik investor, menyebabkan aspek keberlanjutan dikesampingkan.

Implikasi dan Analisis Tambahan

  1. Tumpang Tindih Antara Biaya dan Lingkungan
    • Biaya dianggap utama, tapi sebagian besar tidak meyakini bahwa strategi hijau akan menurunkan biaya.
    • Hal ini memperkuat paradoks klasik “profit vs planet”.
  2. Pentingnya Peran Klien dan Kontrak
    • Klien profesional berperan penting dalam mendorong standar lingkungan.
    • Sistem tender yang mempertimbangkan biaya siklus hidup (life-cycle cost) lebih cocok daripada hanya fokus investasi awal.
  3. Lemahnya Demand dari Konsumen
    • Rendahnya pemahaman atau permintaan dari pengguna akhir terhadap bangunan ramah lingkungan menyebabkan kontraktor tidak melihat urgensi dalam berinovasi hijau.

Rekomendasi Strategis

  • Reformasi sistem tender agar mempertimbangkan biaya jangka panjang dan dampak lingkungan, bukan hanya harga awal.
  • Peningkatan kapasitas informasi, termasuk training, data LCA, dan dokumentasi manfaat ekonomi jangka panjang dari desain hijau.
  • Inisiatif dari klien institusional untuk menggunakan sertifikasi lingkungan seperti LEED/BREEAM sebagai standar minimum.
  • Penguatan peran kontrak partnering untuk menciptakan proses kolaboratif dan berbagi risiko dalam desain dan implementasi bangunan hijau.

Kesimpulan: Strategi Hijau Perlu Disokong Sistem dan Informasi

Studi ini mengungkap bahwa meskipun kesadaran lingkungan meningkat, pengambilan keputusan dalam proyek konstruksi tetap dikendalikan oleh logika biaya dan struktur kelembagaan jangka pendek. Kesenjangan antara persepsi dan aksi nyata menciptakan hambatan sistemik dalam transisi menuju konstruksi berkelanjutan.

Informasi yang memadai dan sistem kontrak yang progresif adalah dua pilar penting untuk mengubah arah industri ini. Jika tidak, strategi hijau akan tetap jadi retorika tanpa realisasi.

Sumber : Isaksson, A., & Linderoth, H. (2018). Environmental considerations in the Swedish building and construction industry: the role of costs, institutional setting, and information. Journal of Housing and the Built Environment, 33(4), 615–632.

Selengkapnya
Mengungkap Hambatan Adopsi Strategi Ramah Lingkungan di Industri Konstruksi Swedia

K3 Konstruksi

Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Kenapa K3L Terpadu Kini Jadi Prioritas Industri?

Industri konstruksi menyumbang lebih dari 10% PDB global, namun tetap menjadi salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Setiap tahun, lebih dari 60.000 kematian kerja terjadi di sektor ini, dan konstruksi juga berkontribusi pada hingga 35% kerusakan lingkungan global. Di banyak negara berkembang seperti Ghana, pelaksanaan sistem Kesehatan, Keselamatan, dan Lingkungan (K3L atau SHE: Safety, Health, and Environment) secara terpisah masih mahal, birokratis, dan kurang efektif.

Penelitian ini hadir untuk mengidentifikasi atribut organisasi kunci yang menentukan keberhasilan implementasi sistem manajemen K3L terpadu, dengan fokus pada industri konstruksi Ghana. Studi ini menjadi acuan penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi tantangan serupa.

Metodologi: Kombinasi Delphi dan Voting AHP

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap:

  1. Kajian literatur sistematis untuk mengidentifikasi atribut awal.
  2. Verifikasi ahli terhadap 27 atribut, kemudian diringkas menjadi 20 atribut inti.
  3. Delphi Tiga Putaran dengan 30+ pakar konstruksi di Ghana.
  4. Voting Analytical Hierarchy Process (VAHP) untuk mengurutkan bobot kepentingan atribut.

Delphi digunakan untuk mencapai konsensus, sementara VAHP digunakan untuk menghitung prioritas global setiap atribut dalam lima kategori utama.

Lima Pilar Atribut Organisasi untuk SHE Terpadu

Penelitian ini mengelompokkan 20 atribut menjadi lima kategori utama, yaitu:

  1. Strategi: visi organisasi, komitmen manajemen puncak, kebijakan SHE.
  2. Orang: kompetensi, peran, pelatihan, keterlibatan karyawan.
  3. Proses: manajemen risiko, kontrol operasional, pengukuran performa.
  4. Sumber Daya: fasilitas fisik & dana untuk implementasi SHE.
  5. Informasi: komunikasi SHE, dokumentasi, dan manajemen pengetahuan.

Hasil Utama: Mana yang Paling Penting?

1. Strategi = Pilar Utama

  • Atribut terpenting secara global adalah “komitmen manajemen puncak terhadap SHE” (23% dari total bobot).
  • Kebijakan SHE menempati urutan kedua tertinggi.
  • Kombinasi keduanya menyumbang lebih dari 60% bobot kategori strategi.

2. Orang = Kekuatan Implementasi

  • Kompetensi staf menjadi atribut ketiga terpenting secara global.
  • Peran & tanggung jawab yang jelas serta pelatihan SHE juga sangat signifikan.
  • Atribut "keterlibatan karyawan" juga masuk dalam 10 besar prioritas.

3. Sumber Daya = Dukungan Operasional

  • Fasilitas fisik menempati urutan keempat global, diikuti oleh sumber daya keuangan.
  • Atribut ini mencerminkan kebutuhan akan teknologi, alat kerja aman, dan investasi dalam sistem digital SHE.

4. Proses & Informasi = Pelengkap Sistem

  • Dalam proses, manajemen risiko SHE adalah yang paling penting.
  • Pengukuran performa dan pengendalian operasional menyusul.
  • Di kategori informasi, komunikasi internal SHE dianggap paling vital dibanding dokumentasi atau pembelajaran organisasi.

Studi Kasus: Ghana Sebagai Cermin Negara Berkembang

  • Ghana menunjukkan tingkat kecelakaan dan kematian tertinggi di antara sektor industri lokal.
  • Implementasi SHE secara terpisah sangat rendah akibat biaya tinggi, kurangnya staf terlatih, dan resistensi terhadap perubahan.
  • Penelitian ini jadi tonggak awal untuk pengembangan kerangka SHE terpadu nasional di Ghana.

Temuan Tambahan: Angka dan Fakta

  • Tujuh atribut teratas (35% dari 20 atribut) mencakup 57,47% bobot total.
  • Sepuluh atribut teratas menyumbang 72,5% dari total bobot global, menunjukkan distribusi yang sangat terkonsentrasi pada faktor-faktor inti.
  • SHE auditing dan investigasi insiden memiliki bobot terendah, mengindikasikan lemahnya fokus pada umpan balik sistemik di banyak organisasi.

Opini & Implikasi Strategis

  1. Tanpa komitmen manajemen, sistem SHE hanya jadi dokumen formalitas.
    Studi ini menggarisbawahi pentingnya leadership visible dalam budaya keselamatan.
  2. Investasi pada pelatihan dan fasilitas bukan pengeluaran, tapi strategi mitigasi risiko.
    Perusahaan yang gagal melatih staf akan membayar lebih mahal akibat kecelakaan dan sanksi hukum.
  3. Keterlibatan karyawan bukan pelengkap, melainkan mesin penggerak suksesnya sistem SHE.
    Standar seperti ISO 45001 dan OSHA juga menekankan pentingnya keterlibatan pekerja dalam perencanaan dan evaluasi SHE.

Rekomendasi Praktis

  • Bangun sistem SHE terintegrasi berbasis lima pilar utama: strategi, proses, orang, sumber daya, dan informasi.
  • Lakukan audit internal kapasitas organisasi berdasarkan 20 atribut yang diidentifikasi.
  • Fokus investasi awal pada manajemen risiko, pelatihan SHE, dan komunikasi internal.
  • Kembangkan kebijakan SHE berbasis visi jangka panjang dan nilai perusahaan.
  • Gunakan pendekatan VAHP atau metode prioritisasi lainnya untuk menyesuaikan alokasi sumber daya dan pelatihan internal.

Kesimpulan: Strategi & SDM adalah Jantung Sistem K3L Terpadu

Penelitian ini menegaskan bahwa keberhasilan manajemen SHE tidak hanya soal memiliki sistem, tapi soal kesiapan organisasi untuk mengimplementasikannya. Komitmen manajemen puncak, SDM kompeten, kebijakan yang jelas, dan komunikasi yang kuat adalah kunci transformasi SHE yang efektif dan berkelanjutan. Tanpa pemetaan dan penguatan kemampuan organisasi secara sistematis, penerapan SHE terpadu hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.

Sumber : Asah-Kissiedu, M., Manu, P., Booth, C., Mahamadu, A. M., & Agyekum, K. (2021). Integrated Safety, Health And Environmental Management in The Construction Industry: Key Organisational Capability Attributes. Journal of Engineering, Design and Technology. https://doi.org/10.1108/JEDT-08-2021-0436

 

Selengkapnya
Kunci Sukses Manajemen Terpadu K3L di Proyek Konstruksi: Strategi, SDM, dan Komitmen Organisasi

K3 Konstruksi

Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Tantangan Keselamatan dalam Dunia Berkuda

Di tengah pesatnya perkembangan sektor kuda Swedia—dengan lebih dari 355.000 ekor kuda dan 17.000 pekerja penuh waktu, keselamatan kerja menjadi isu yang tidak bisa diabaikan. Meski kontribusinya besar secara ekonomi dan budaya, sektor ini justru dikenal sebagai lingkungan kerja berisiko tinggi, khususnya di sekolah berkuda dan kandang pacuan.

Penelitian oleh Lindahl dan rekan-rekan menginvestigasi iklim keselamatan kerja (safety climate) di dua jenis fasilitas tersebut melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami persepsi pekerja dan manajemen terhadap keselamatan kerja dan menemukan celah yang dapat diperbaiki.

Metodologi: Gabungan Survei dan Wawancara

Penelitian menggunakan pendekatan campuran sekuensial eksplanatori yang melibatkan:

  • 66 kuesioner NOSACQ-50 (Nordic Safety Climate Questionnaire)
  • 12 kuesioner manajer tentang manajemen lingkungan kerja
  • 47 wawancara mendalam dengan pekerja
  • Analisis dilakukan di 6 sekolah berkuda dan 6 kandang pacuan di Swedia Tengah.

Hasil Kunci: Safety Climate Umum Positif, Tapi Ada Celah

1. Dimensi Paling Lemah: Prioritas dan Penolakan Risiko oleh Pekerja

  • Dimensi ini mencetak skor terendah (mean 2,93), menunjukkan tingginya penerimaan terhadap risiko dan cedera ringan sebagai bagian pekerjaan.
  • Pernyataan seperti “kecelakaan kecil adalah hal biasa” disetujui oleh banyak pekerja, terutama di kandang pacuan.

2. Perbedaan Signifikan antara Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan

  • Sekolah berkuda mencetak skor lebih tinggi pada hampir semua dimensi.
  • Dimensi 5, 6, dan 7 (penolakan risiko, komunikasi keselamatan, dan kepercayaan terhadap sistem) menunjukkan perbedaan signifikan (p < 0.05), dengan sekolah berkuda lebih unggul.

3. Manajemen Kandang Pacuan Kurang Prioritaskan Keselamatan

  • Manajer kandang pacuan hanya mencetak nilai 2,4 (dari 6) pada komitmen terhadap penilaian risiko.
  • Kontras dengan sekolah berkuda yang mencetak rata-rata 5,2, mengindikasikan pendekatan lebih sistematis.

Studi Kasus: Skor Safety Climate dalam Angka

Dalam studi kasus ini, skor safety climate dianalisis berdasarkan beberapa dimensi di dua lokasi kerja berbeda, yakni Sekolah Berkuda dan Kandang Pacuan. Pada dimensi Manajemen Prioritas K3 (Dim1), Sekolah Berkuda mencatat skor 3.46, sedikit lebih tinggi dibanding Kandang Pacuan yang memperoleh 3.27. Komitmen Pekerja (Dim4) menunjukkan hasil serupa di kedua lokasi, dengan skor masing-masing 3.58 dan 3.55. Perbedaan yang lebih mencolok tampak pada dimensi Penolakan Risiko (Dim5), di mana Sekolah Berkuda mencatat skor 3.08, sedangkan Kandang Pacuan hanya memperoleh 2.76 — nilai yang menunjukkan perlunya perbaikan nyata. Demikian pula, meskipun Komunikasi & Kepercayaan (Dim6) memiliki skor yang cukup baik di kedua lokasi (3.58 dan 3.39), dan Kepercayaan pada Sistem Keselamatan (Dim7) relatif tinggi (3.62 di Sekolah Berkuda dan 3.16 di Kandang Pacuan), nilai-nilai di bawah ambang batas 3.00 tetap menjadi indikator bahwa intervensi khusus diperlukan untuk meningkatkan persepsi keselamatan kerja..

Temuan Tambahan dari Wawancara

A. Normalisasi Cedera

Banyak pekerja menganggap cedera seperti tertendang, tergigit, atau terinjak sebagai “bagian dari pekerjaan”. Beberapa bahkan menyebut patah tulang ringan tanpa menganggapnya sebagai kejadian serius.

B. Kurangnya Komunikasi Formal

  • Sekolah berkuda lebih sering mengadakan rapat staf dan pembahasan keselamatan.
  • Kandang pacuan lebih banyak mengandalkan obrolan informal atau aplikasi pesan.

C. “Horsemanship” sebagai Kunci Tak Tertulis

Pekerja menyebut intuisi dan pengalaman sebagai alat utama menghadapi risiko. Banyak yang menyatakan bahwa keterampilan ini tidak bisa diajarkan di buku—harus dipelajari dari pengalaman langsung.

Analisis: Budaya Risiko Masih Mendominasi

Meskipun skor keseluruhan tergolong baik dibanding industri lain, sektor ini menunjukkan budaya risiko yang kuat, di mana:

  • Cedera ringan dianggap normal.
  • Waktu dan efisiensi kerja lebih diprioritaskan daripada perlindungan diri.
  • Sistem formal hanya digunakan saat terjadi insiden besar, bukan untuk pencegahan.

Implikasi Praktis & Rekomendasi

  1. Edukasi Ulang tentang Cedera Kecil
    • Harus ada perubahan mindset bahwa “kecelakaan kecil” tetaplah indikator sistem yang gagal.
  2. Perkuat Komitmen Manajemen Kandang Pacuan
    • Perlu pelatihan khusus bagi manajer untuk menerapkan manajemen risiko secara proaktif, bukan hanya reaktif.
  3. Tingkatkan Komunikasi Sistemik
    • Buat sistem pelaporan insiden & near-miss yang mudah, bahkan untuk kejadian ringan.
  4. Formalitas dalam Horsemanship
    • Uji coba pendekatan pelatihan sistematis untuk mengajarkan horsemanship secara terstruktur, tanpa mengandalkan "trial and error".

Kesimpulan: Keselamatan Harus Jadi Prioritas Kolektif

Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan kerja di sektor berkuda bukan hanya soal prosedur teknis, tapi budaya kerja. Di lingkungan yang didominasi risiko, komitmen manajemen dan keberanian pekerja menolak normalisasi cedera adalah faktor kunci. Perubahan sistemik—bukan hanya individual—dibutuhkan agar keselamatan tidak menjadi wacana, tapi bagian tak terpisahkan dari rutinitas.

Sumber : Lindahl, C., Bergman Bruhn, Å., & Andersson, I.-M. (2022). Occupational Safety Climate in the Swedish Equine Sector. Animals, 12(4), 438. https://doi.org/10.3390/ani12040438

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan Kerja di Sektor Kuda Swedia: Antara Budaya Risiko dan Komitmen Manajemen

K3 Konstruksi

Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 25 Juni 2025


Pendahuluan: Pembangunan Pesat, Risiko Meningkat

Meningkatnya pembangunan infrastruktur di Indonesia membawa dampak ganda: di satu sisi mempercepat pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain, meningkatkan risiko kecelakaan kerja, terutama di sektor konstruksi. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa konstruksi menjadi sektor tertinggi angka kecelakaannya, mencapai 32% secara nasional, menyaingi industri manufaktur (31%).

Kondisi ini makin memprihatinkan di wilayah-wilayah tertinggal, seperti di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, di mana edukasi terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih minim. Artikel ini mendokumentasikan program pengabdian masyarakat berupa penyuluhan K3 yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman pekerja konstruksi lokal tentang pentingnya penerapan K3.

Tujuan dan Fokus Program Pengabdian

Program ini dirancang untuk:

  • Meningkatkan pengetahuan dasar tentang K3 kepada tukang bangunan setempat.
  • Menjawab kebingungan pekerja terkait alat pelindung diri (APD) dan tanggung jawab pemberi kerja.
  • Menumbuhkan kesadaran bahwa K3 bukan formalitas, tetapi kebutuhan dasar untuk melindungi nyawa.

Metode Pelaksanaan: Ceramah dan Diskusi Interaktif

Penyuluhan dilaksanakan pada 14 Desember 2019 di Aula Kantor Desa Lamaninggara. Materi disampaikan oleh dosen Teknik Sipil dari Universitas Muhammadiyah Buton, menggunakan metode:

  • Ceramah terstruktur dengan bantuan infokus.
  • Diskusi terbuka, di mana peserta dapat bertanya langsung.
  • Evaluasi kualitatif melalui wawancara terhadap 10 dari 27 peserta.

Studi Kasus: Perubahan Signifikan Pasca Penyuluhan

Sebelum Penyuluhan:

  • 0 dari 10 responden mengetahui apa itu K3.
  • 9 dari 10 tidak pernah menggunakan APD seperti helm atau sarung tangan.
  • Kesadaran risiko sangat rendah, bahkan cedera kerja dianggap bagian dari keseharian.

Setelah Penyuluhan:

  • 10 dari 10 responden menyatakan memahami K3 dan pentingnya APD.
  • 9 dari 10 berkomitmen menggunakan APD saat bekerja.
  • Seluruh responden menunjukkan keinginan menerapkan prinsip K3 dalam pekerjaan mereka.

Materi Kunci yang Disampaikan:

  1. Definisi dan ruang lingkup K3 di bidang konstruksi
  2. Risiko umum yang dihadapi tukang batu dan tukang kayu
  3. Jenis alat pelindung diri dan cara penggunaannya
  4. Tanggung jawab pemberi kerja berdasarkan hukum Ketenagakerjaan
  5. Studi kasus kecelakaan kerja dan upaya pencegahan

Sesi diskusi pun menghasilkan pertanyaan penting dari para peserta, seperti:

  • Siapa yang bertanggung jawab menyediakan APD? → Pemberi kerja wajib menyediakannya.
  • Apa akibat jika tidak memakai APD? → Cedera serius bahkan kematian bisa terjadi.
  • Siapa bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan? → Pemberi kerja secara hukum bertanggung jawab.

Dampak Sosial dan Budaya

Program ini tidak hanya meningkatkan pemahaman teknis, tetapi juga mengubah mindset kolektif komunitas pekerja. Pekerjaan yang dulunya dianggap cukup dengan pengalaman saja, kini dilihat dari aspek risiko dan pencegahan. Kepala desa bahkan mendorong agar program ini menjadi agenda rutin desa.

Analisis dan Refleksi

Studi ini membuktikan bahwa pengetahuan dasar K3 masih sangat minim di tingkat desa, meskipun pembangunan infrastruktur masif sedang berlangsung. Fakta bahwa seluruh peserta awalnya tidak mengetahui apa itu K3 mengindikasikan kesenjangan serius antara kebijakan nasional dan realisasi di lapangan.

Penelitian ini juga menguatkan temuan sebelumnya seperti oleh Firna (2019) dan Novianto dkk (2016) bahwa K3 berdampak signifikan terhadap produktivitas dan performa kerja di bidang konstruksi.

Rekomendasi Strategis

  1. Edukasi K3 harus masuk dalam skema pelatihan Dana Desa, agar pelaksanaan infrastruktur desa tidak hanya cepat, tapi juga aman.
  2. Pendekatan langsung dan interaktif terbukti efektif di daerah yang belum akrab dengan sistem pelatihan formal.
  3. Kepala desa, kontraktor, dan tokoh masyarakat perlu dilibatkan aktif sebagai motor penggerak budaya K3.

Kesimpulan

Penyuluhan K3 yang dilakukan di Desa Lamaninggara menghasilkan dampak nyata dalam meningkatkan kesadaran keselamatan kerja. Transformasi terjadi tidak hanya dalam pengetahuan, tapi juga dalam sikap dan niat untuk berubah. Program seperti ini sangat penting di tengah masifnya pembangunan desa, agar pembangunan tidak harus dibayar dengan nyawa pekerja.

Sumber : Efendi, A., & Sianto, L. (2020). Pemahaman K3 Bidang Konstruksi pada Pekerja Bangunan di Desa Lamaninggara Kecamatan Siompu Barat Kabupaten Buton Selatan. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Membangun Negeri, 4(1), 150–157.

Selengkapnya
Meningkatkan Kesadaran K3 Pekerja Konstruksi Desa: Hasil Nyata dari Program Edukasi Langsung
« First Previous page 29 of 1.119 Next Last »