Kebijakan Publik

Kebijakan Publik atas Construction Industry Training Assessment Framework (Jadallah et al., 2021)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang paling padat karya, berkontribusi besar pada Produk Domestik Bruto (PDB), sekaligus menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang. Namun, tantangan yang dihadapi sektor ini sangat kompleks: mulai dari rendahnya produktivitas, tingginya angka kecelakaan kerja, hingga kesenjangan keterampilan tenaga kerja. Oleh karena itu, pelatihan dan pengembangan kompetensi tenaga kerja konstruksi menjadi prioritas utama.

Penelitian Jadallah et al. (2021) mengusulkan sebuah framework penilaian pelatihan dengan memanfaatkan model evaluasi Kirkpatrick yang dimodifikasi. Model ini mengukur efektivitas pelatihan dalam empat dimensi:

  1. Reaction – sejauh mana peserta merasa puas dengan pelatihan.

  2. Learning – peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap setelah pelatihan.

  3. Behavior – perubahan perilaku kerja peserta setelah kembali ke lapangan.

  4. Results – dampak pelatihan pada produktivitas organisasi, keselamatan, dan kualitas kerja.

Implikasi bagi Indonesia sangat besar. Saat ini, berbagai program pelatihan konstruksi memang telah tersedia, baik yang diselenggarakan oleh LPJK, Kementerian PUPR, maupun swasta. Namun, mekanisme evaluasi pelatihan sering kali hanya menekankan jumlah peserta atau jam pelatihan, bukan efektivitas nyata di lapangan. Hal ini sejalan dengan catatan dalam artikel DiklatKerja tentang Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Produktivitas meningkat: Dengan evaluasi berbasis outcome, pelatihan dapat benar-benar meningkatkan kecepatan, kualitas, dan efisiensi kerja.

  • Keselamatan kerja lebih baik: Tenaga kerja yang terlatih terbukti lebih mampu mematuhi prosedur K3, sehingga menurunkan angka kecelakaan.

  • Profesionalisasi tenaga kerja: Kerangka penilaian membantu mengakui keterampilan pekerja secara formal, mendorong peningkatan karier, dan memperkuat daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar internasional.

Hambatan

  • Keterbatasan anggaran: Evaluasi menyeluruh membutuhkan biaya tambahan untuk survei, audit, dan analisis data.

  • Kurangnya data: Banyak lembaga pelatihan tidak memiliki sistem informasi yang memadai untuk melacak perkembangan peserta pascapelatihan.

  • Resistensi organisasi: Sebagian perusahaan konstruksi masih melihat pelatihan sebagai kewajiban formal, bukan investasi jangka panjang.

Peluang

  • Digitalisasi pelatihan: Teknologi e-learning dan Learning Management System (LMS) dapat menurunkan biaya, sekaligus memudahkan pengumpulan data evaluasi.

  • Kolaborasi internasional: Adopsi standar global dalam penilaian pelatihan dapat meningkatkan kredibilitas tenaga kerja Indonesia.

  • Kebijakan pemerintah: UU Jasa Konstruksi dan program sertifikasi kompetensi nasional membuka ruang besar untuk integrasi framework ini.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Penetapan Standar Nasional Evaluasi Pelatihan Konstruksi

Pemerintah perlu mengadopsi framework penilaian berbasis Kirkpatrick yang dimodifikasi sebagai standar nasional. Dengan demikian, semua lembaga pelatihan dapat diukur dengan indikator yang sama, sehingga hasilnya lebih objektif dan dapat dibandingkan.

2. Integrasi Evaluasi Pelatihan dengan Sertifikasi Kompetensi

Hasil evaluasi pelatihan sebaiknya dijadikan prasyarat untuk memperoleh sertifikat kompetensi. Hal ini memastikan bahwa sertifikasi tidak hanya formalitas, tetapi benar-benar mencerminkan kompetensi kerja.

3. Penguatan Sistem Informasi Pelatihan Nasional

Perlu dibangun database nasional yang merekam data peserta pelatihan, hasil evaluasi, serta dampaknya terhadap kinerja di lapangan. Sistem ini bisa terintegrasi dengan platform seperti SIJK atau SIKI yang dikelola oleh Kementerian PUPR.

4. Insentif bagi Perusahaan yang Melakukan Evaluasi Menyeluruh

Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal atau kemudahan akses proyek bagi perusahaan konstruksi yang terbukti melaksanakan evaluasi pelatihan secara sistematis.

5. Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi dan Asosiasi Profesi

Perguruan tinggi dapat berperan dalam riset dan pengembangan metodologi evaluasi, sementara asosiasi profesi membantu memastikan standar diterapkan secara konsisten di industri.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan evaluasi pelatihan tidak diterapkan secara konsisten, beberapa risiko besar akan muncul:

  • Pelatihan hanya menjadi formalitas, tanpa memberikan dampak nyata pada produktivitas maupun keselamatan kerja.

  • Sertifikasi kehilangan kredibilitas, karena tidak didukung oleh proses evaluasi yang objektif.

  • Kesenjangan kompetensi tetap lebar, terutama antara pekerja yang bekerja di perusahaan besar dengan akses pelatihan berkualitas dan pekerja informal yang tidak terjangkau program evaluasi.

Selain itu, tanpa sistem evaluasi yang kuat, Indonesia berisiko tertinggal dari negara lain yang sudah menerapkan pendekatan berbasis outcome dalam pelatihan tenaga kerja konstruksi.

Penutup

Penelitian Jadallah et al. (2021) memberikan kontribusi penting dengan mengusulkan framework penilaian pelatihan konstruksi yang lebih komprehensif. Bagi Indonesia, adopsi framework ini akan membawa manfaat besar dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja, menurunkan angka kecelakaan, dan memperkuat daya saing global.

Kebijakan publik yang berpihak pada evaluasi pelatihan bukan sekadar kebutuhan administratif, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun sektor konstruksi yang produktif, aman, dan berkelanjutan. Sejalan dengan visi Indonesia 2045, tenaga kerja konstruksi yang kompeten dan terukur akan menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional.

Sumber

Jadallah, N., et al. (2021). Construction Industry Training Assessment Framework. Frontiers in Built Environment. DOI: 10.3389/fbuil.2021.678366.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Construction Industry Training Assessment Framework (Jadallah et al., 2021)

Infrastruktur

Kebijakan Publik atas Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics (Frontiers in Built Environment, 2021)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur skala besar, mulai dari proyek strategis nasional hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tantangan besar berupa perubahan iklim, bencana alam, dan degradasi lingkungan membuat kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh (resilient) dan berkelanjutan (sustainable) semakin mendesak.

Artikel ini menekankan dua hal utama:

  • Infrastruktur berkelanjutan berfokus pada efisiensi sumber daya, rendah karbon, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

  • Infrastruktur tangguh menekankan kemampuan sistem untuk beradaptasi, merespons, dan pulih dari guncangan seperti bencana alam, pandemi, atau krisis energi.

Implikasi kebijakan bagi Indonesia sangat signifikan. Tanpa integrasi aspek ketangguhan dan keberlanjutan, infrastruktur yang dibangun berisiko gagal menghadapi krisis di masa depan. Hal ini sejalan dengan artikel Bangunan Hijau, bahwa proyek infrastruktur tidak boleh hanya menargetkan output fisik, tetapi juga kualitas dan daya tahan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Lingkungan: Infrastruktur berkelanjutan mengurangi emisi karbon, meningkatkan efisiensi energi, serta mendorong penggunaan material ramah lingkungan.

  • Ekonomi: Infrastruktur tangguh memperpanjang umur investasi, mengurangi kerugian akibat bencana, dan menciptakan pasar baru untuk teknologi hijau.

  • Sosial: Akses infrastruktur yang andal meningkatkan kualitas hidup, memperluas konektivitas, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.

Hambatan

  • Pendanaan terbatas: Infrastruktur hijau dan tangguh membutuhkan biaya awal besar. Skema pembiayaan inovatif seperti green bond masih jarang digunakan.

  • Kapasitas SDM: Masih kurangnya insinyur dan perencana dengan kompetensi di bidang sustainability dan resilience.

  • Fragmentasi regulasi: Aturan tentang lingkungan, tata ruang, dan pembangunan infrastruktur seringkali tumpang tindih.

  • Kurangnya data dan teknologi: Minimnya pemanfaatan teknologi digital seperti digital twin dan BIM membuat perencanaan risiko belum optimal.

Peluang

  • Agenda global: Paris Agreement, SDGs, dan kerangka kerja Sendai mendorong aliran dana internasional untuk proyek infrastruktur hijau.

  • Teknologi baru: IoT, AI, dan predictive modelling dapat membantu perencanaan dan manajemen risiko infrastruktur.

  • Keterlibatan sektor swasta: Skema public-private partnership (PPP) bisa mempercepat pembangunan dengan standar ketangguhan yang lebih tinggi.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Integrasi Standar Ketahanan Iklim dalam Regulasi Nasional

Kementerian PUPR dan lembaga terkait perlu menetapkan standar teknis wajib yang memasukkan parameter ketangguhan terhadap bencana dan adaptasi iklim.

2. Insentif untuk Infrastruktur Hijau dan Rendah Karbon

Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, subsidi, atau skema green financing untuk proyek infrastruktur yang memenuhi kriteria keberlanjutan.

3. Penguatan Kapasitas SDM dan Pendidikan Teknik

Universitas dan lembaga pelatihan perlu memasukkan kurikulum khusus mengenai infrastruktur tangguh dan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan digital twin dan BIM.

4. Penerapan Teknologi Digital untuk Perencanaan Risiko

Pemanfaatan AI, sensor IoT, dan sistem peringatan dini perlu diwajibkan pada proyek strategis untuk meningkatkan kemampuan adaptasi infrastruktur.

5. Skema Pembiayaan Inovatif

Dorong penggunaan green bond dan climate fund untuk membiayai proyek infrastruktur besar, sekaligus melibatkan swasta melalui PPP dengan standar lingkungan ketat.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Tanpa kebijakan publik yang kuat, pembangunan infrastruktur berisiko hanya mengejar kuantitas tanpa kualitas. Beberapa risiko utama:

  • Infrastruktur rentan rusak akibat bencana, menimbulkan kerugian ekonomi besar.

  • Biaya perawatan meningkat tajam karena desain tidak memperhitungkan ketangguhan jangka panjang.

  • Indonesia kehilangan peluang menarik investasi hijau global karena tidak memenuhi standar internasional.

Penutup

Artikel Resilient and Sustainable Infrastructure Systems menegaskan bahwa keberlanjutan dan ketangguhan harus dipandang sebagai satu kesatuan. Untuk Indonesia, integrasi kedua konsep ini adalah kunci menuju visi 2045 sebagai negara maju dengan infrastruktur yang andal, ramah lingkungan, dan tangguh menghadapi krisis.

Sumber 
Ostadtaghizadeh, A., et al. (2021). Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics. Frontiers in Built Environment. DOI: 10.3389/fbuil.2021.635978.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics (Frontiers in Built Environment, 2021)

Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3)

Kebijakan Publik atas Desired Qualifications for Construction Safety Personnel in the United States (Karakhan & Al-Bayati, 2023)

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Keselamatan kerja merupakan salah satu isu paling krusial dalam industri konstruksi. Di Amerika Serikat saja, industri konstruksi menyumbang lebih dari 20% kecelakaan fatal tenaga kerja setiap tahunnya. Riset Karakhan & Al-Bayati (2023) mengidentifikasi kualifikasi yang paling diharapkan bagi personel keselamatan konstruksi (Construction Safety Personnel/CSP) melalui metode Delphi dengan melibatkan para ahli industri.

Temuan utama menunjukkan tiga dimensi kualifikasi penting:

  • Pendidikan formal (minimal sarjana di bidang terkait, seperti teknik sipil atau manajemen konstruksi).

  • Pengalaman lapangan (minimal lima tahun di proyek konstruksi dengan paparan langsung terhadap isu keselamatan).

  • Sertifikasi profesional (seperti OSHA, CSP, atau sertifikasi K3 lain yang diakui secara nasional).

Implikasi bagi Indonesia sangat jelas: dalam konteks pembangunan infrastruktur yang masif, personel keselamatan harus memiliki kompetensi terukur agar mampu menekan angka kecelakaan kerja yang masih tinggi. Berdasarkan artikel Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi dengan Penerapan SMK3 Berstandar ISO 45001 di Bali, penerapan sistem manajemen keselamatan kerja yang kuat terbukti mampu menurunkan kecelakaan di proyek nyata. Oleh karena itu, kebijakan publik perlu mengintegrasikan standar kualifikasi seperti di atas ke dalam sistem regulasi dan pelatihan nasional, agar CSP yang ditetapkan tidak hanya sebagai formalitas, tetapi benar-benar kompeten di lapangan.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Lingkungan kerja lebih aman: Adanya standar kualifikasi meningkatkan kemampuan CSP dalam mengidentifikasi bahaya dan mencegah kecelakaan.

  • Efisiensi ekonomi: Kecelakaan kerja menimbulkan kerugian ekonomi besar. Dengan CSP berkualitas, biaya kecelakaan dapat ditekan secara signifikan.

  • Profesionalisasi industri: Standarisasi kualifikasi mendorong pengakuan profesi CSP sebagai bagian penting dari ekosistem konstruksi.

Hambatan

  • Keterbatasan akses pendidikan: Tidak semua calon CSP memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi.

  • Biaya sertifikasi: Sertifikasi profesional sering kali mahal dan sulit diakses pekerja konstruksi di negara berkembang.

  • Fragmentasi regulasi: Belum adanya standar nasional yang seragam untuk kualifikasi CSP di Indonesia.

Peluang

  • Integrasi dengan regulasi nasional: UU Jasa Konstruksi dan regulasi turunan bisa mengakomodasi standar kualifikasi CSP.

  • Kolaborasi dengan perguruan tinggi: Universitas dapat membuka program studi atau konsentrasi khusus di bidang keselamatan konstruksi.

  • Dukungan teknologi: Digitalisasi pelatihan dan sertifikasi memungkinkan akses lebih luas dan biaya lebih rendah.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Penetapan Standar Nasional Kualifikasi CSP

Pemerintah perlu merumuskan standar nasional yang mencakup pendidikan, pengalaman, dan sertifikasi wajib bagi personel keselamatan konstruksi. Standar ini bisa diintegrasikan ke dalam Peraturan Menteri PUPR atau regulasi BNSP.

2. Subsidi dan Insentif untuk Sertifikasi K3

Untuk menekan hambatan biaya, pemerintah dapat memberikan subsidi atau insentif pajak bagi perusahaan yang mendaftarkan CSP mereka dalam program sertifikasi nasional.

3. Integrasi Kurikulum K3 dalam Pendidikan Tinggi

Perguruan tinggi teknik dan vokasi perlu memasukkan mata kuliah wajib K3 konstruksi agar lulusan siap bersaing sebagai CSP.

4. Penguatan Sistem Pelatihan Berbasis Digital

Melalui kerja sama dengan platform seperti DiklatKerja, pelatihan K3 dapat dilakukan secara daring dengan modul interaktif yang mencakup simulasi risiko dan praktik manajemen keselamatan.

5. Evaluasi dan Audit Keselamatan Berkala

Pemerintah bersama asosiasi industri wajib melakukan audit independen secara berkala terhadap kinerja CSP di proyek strategis nasional.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan terkait kualifikasi CSP tidak diimplementasikan dengan konsisten, risiko besar dapat terjadi:

  • Kecelakaan kerja tetap tinggi, menimbulkan kerugian jiwa dan ekonomi.

  • Citra buruk industri konstruksi, yang dapat mengurangi kepercayaan investor asing.

  • Kesenjangan kompetensi, di mana hanya sebagian kecil tenaga kerja yang memiliki sertifikasi, sementara mayoritas masih bekerja tanpa standar yang jelas.

Penutup

Studi Karakhan & Al-Bayati (2023) memberikan landasan empiris yang kuat untuk merumuskan kebijakan kualifikasi personel keselamatan konstruksi. Indonesia perlu segera mengadopsi prinsip serupa dengan menyesuaikan konteks lokal. Dengan kebijakan publik yang tepat, CSP tidak hanya akan berperan sebagai penjaga keselamatan, tetapi juga sebagai agen perubahan menuju industri konstruksi yang lebih aman, produktif, dan berdaya saing global.

Sumber

Karakhan, A., & Al-Bayati, A. (2023). Identification of Desired Qualifications for Construction Safety Personnel in the United States. International Journal of Construction Education and Research. DOI: 10.1080/15578771.2023.2212301.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Desired Qualifications for Construction Safety Personnel in the United States (Karakhan & Al-Bayati, 2023)

Konstruksi Hijau

Kebijakan Publik atas Construction Green Paper 2024

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Sektor konstruksi memegang peran strategis dalam upaya global mencapai target net zero emission pada 2050. Dokumen Construction Green Paper 2024 menyoroti urgensi transisi menuju konstruksi hijau, mengingat bahwa sektor ini menyumbang sekitar 38% emisi karbon global, dengan mayoritas berasal dari penggunaan energi pada bangunan dan produksi material konstruksi seperti semen serta baja.

Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Dengan pertumbuhan infrastruktur yang pesat dan urbanisasi yang terus meningkat, risiko peningkatan emisi dan kerusakan lingkungan juga semakin besar. Oleh karena itu, kebijakan publik harus menempatkan konstruksi hijau sebagai prioritas, tidak hanya demi lingkungan, tetapi juga demi daya saing ekonomi, efisiensi biaya jangka panjang, serta kualitas hidup masyarakat.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak

  • Lingkungan: Konstruksi hijau dapat mengurangi emisi karbon hingga 40% dibanding metode konvensional, sekaligus menurunkan konsumsi energi bangunan hingga 30% melalui desain efisiensi energi dan penggunaan material ramah lingkungan.

  • Ekonomi: Investasi dalam teknologi hijau mendorong efisiensi biaya operasional jangka panjang, sekaligus membuka peluang pasar baru untuk produk dan jasa ramah lingkungan.

  • Sosial: Ketersediaan bangunan hijau meningkatkan kesehatan dan kenyamanan penghuni melalui kualitas udara yang lebih baik, pencahayaan alami, dan sistem pendingin hemat energi.

Hambatan

  • Biaya awal tinggi: Penerapan teknologi ramah lingkungan, seperti panel surya atau material rendah karbon, membutuhkan investasi awal yang besar.

  • Kurangnya tenaga kerja terampil: Transformasi menuju konstruksi hijau menuntut keterampilan baru dalam desain, implementasi, dan manajemen.

  • Fragmentasi regulasi: Kebijakan lingkungan belum sepenuhnya harmonis antara pusat dan daerah, sehingga pelaksanaan proyek seringkali terhambat, meskipun sudah ada kursus/kegiatan seperti Tanya Jawab Green Construction untuk Bangunan Gedung yang membantu edukasi dan klarifikasi.

  • Kesadaran publik rendah: Masih minimnya permintaan masyarakat dan investor terhadap bangunan hijau memperlambat transisi.

Peluang

  • Dukungan kebijakan internasional: Agenda global seperti Paris Agreement dan target SDGs dapat mendorong aliran pendanaan untuk proyek hijau di Indonesia.

  • Inovasi teknologi digital: Penggunaan BIM, AI, dan otomasi membuka peluang untuk merancang bangunan lebih efisien, memprediksi konsumsi energi, serta mengurangi limbah konstruksi.

  • Circular economy: Daur ulang material konstruksi seperti baja dan beton dapat menciptakan pasar baru sekaligus mengurangi dampak lingkungan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

1. Integrasi Prinsip Net Zero dalam Regulasi Nasional

Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang mewajibkan penerapan standar hijau dalam proyek infrastruktur publik maupun swasta. Misalnya, mewajibkan sertifikasi green building untuk gedung pemerintah dan proyek strategis nasional.

2. Insentif Fiskal untuk Investasi Hijau

Kebijakan fiskal dapat berupa keringanan pajak, subsidi bunga pinjaman, atau skema carbon credit bagi perusahaan yang menerapkan teknologi hijau. Langkah ini dapat menurunkan hambatan biaya awal yang sering menjadi kendala.

3. Program Reskilling dan Upskilling Tenaga Kerja

Pemerintah bersama asosiasi industri harus meluncurkan program pelatihan tenaga kerja konstruksi hijau. Fokusnya pada keterampilan baru, seperti manajemen energi bangunan, pemodelan digital (BIM), dan instalasi material ramah lingkungan.

4. Penguatan Rantai Pasok Hijau

Diperlukan kebijakan untuk membangun ekosistem rantai pasok material rendah karbon. Misalnya, insentif bagi produsen semen ramah lingkungan atau kebijakan wajib penggunaan material daur ulang pada proyek besar.

5. Kolaborasi Publik-Swasta dalam Inovasi Teknologi

Dorong kemitraan antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta dalam penelitian serta implementasi teknologi hijau. Skema public-private partnership dapat diarahkan untuk membiayai pilot project bangunan net zero.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan konstruksi hijau tidak dijalankan dengan konsisten, beberapa risiko besar akan muncul:

  • Indonesia akan kesulitan mencapai target penurunan emisi 31,89% pada 2030 sesuai komitmen NDC (Nationally Determined Contribution).

  • Beban biaya energi akan semakin tinggi akibat ketergantungan pada bangunan boros energi.

  • Kontraktor lokal akan tertinggal dalam persaingan global karena kurang adaptif terhadap standar konstruksi hijau.

  • Dampak kesehatan masyarakat dapat meningkat karena kualitas udara dan lingkungan bangunan yang buruk.

Penutup

Construction Green Paper 2024 memberikan gambaran jelas bahwa transisi menuju konstruksi hijau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dengan kebijakan publik yang kuat, dukungan fiskal, peningkatan kapasitas SDM, serta inovasi teknologi, Indonesia dapat memimpin transformasi menuju pembangunan berkelanjutan yang sejalan dengan visi Indonesia 2045.

Sumber

Construction Green Paper 2024. Secure Construction, ISBN: PN8889787.

Selengkapnya
Kebijakan Publik atas Construction Green Paper 2024

Kegagalan Kontruksi

Potensi Kecacatan dan Kegagalan Konstruksi Bangunan di Wilayah Rawan Gempa: Tinjauan Kritis dari Studi Lapangan di Kota Padang

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Pendahuluan: Relevansi Isu Kualitas Bangunan di Daerah Rawan Bencana

 

Wilayah rawan bencana seperti Kota Padang di Sumatera Barat menyimpan tantangan tersendiri dalam pengembangan infrastruktur, khususnya sektor konstruksi bangunan. Dalam konteks ini, kualitas struktur bangunan tak sekadar menjadi aspek teknis, melainkan urusan vital yang menyangkut keselamatan jiwa manusia. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Akhmad Suraji, Benny Hidayat, dan Afdaluz Zaki dalam E3S Web of Conferences (ICDMM 2023) menyoroti secara sistematis potensi kecacatan (defects) dan kegagalan (failures) dalam proyek konstruksi gedung di Padang, sebuah wilayah yang tergolong zona merah rawan gempa bumi.

 

Tulisan ini menyajikan resensi ilmiah atas paper tersebut dengan memadukan parafrase, analisis tambahan, kritik, serta komparasi terhadap tren industri dan studi global, demi menghasilkan pemahaman utuh sekaligus aplikatif.

 

Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak akan Konstruksi Tahan Bencana

 

Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pusat gempa utama di wilayah Sumatera Barat berada di Kepulauan Mentawai dan pesisir Sumatera Barat, dengan intensitas lebih dari VIII MMI. Artinya, bangunan di Padang wajib memenuhi standar teknis ketahanan gempa. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan masih banyaknya potensi kegagalan struktural akibat cacat konstruksi.

 

Studi ini dilakukan pada tiga proyek bangunan berbeda: gedung kantor, gedung perpustakaan, dan laboratorium. Pendekatannya adalah kualitatif deskriptif dengan metode grounded theory, memungkinkan penyusunan teori berdasarkan data lapangan secara induktif.

 

Identifikasi Kecacatan Konstruksi: Masalah Struktural dan Non-Struktural

 

Penelitian ini membedakan antara kecacatan (defects) dan kegagalan (failures):

  • Defects mengacu pada kerusakan teknis atau cacat kualitas yang timbul selama atau sesaat setelah proses konstruksi, namun belum menyebabkan runtuhnya bangunan.
  • Failures adalah kondisi bangunan yang secara fungsional tidak memenuhi spesifikasi kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan, sesuai definisi PP No. 22 Tahun 2020.

 

Dalam proyek gedung kantor, ditemukan beberapa kecacatan serius seperti:

  • Kesalahan perencanaan fondasi
  • Sambungan kolom dan balok yang mengalami kerusakan
  • Kolom dengan bentuk dasar seperti sarang tawon yang melemahkan kestabilan

 

Selain itu, terjadi keropos pada permukaan kolom akibat pemadatan beton yang kurang optimal. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan konstruksi dan spesifikasi teknis.

 

Faktor Kontributor Kegagalan: Dari Kesalahan Desain hingga Cuaca Ekstrem

 

Studi ini membagi penyebab cacat dan kegagalan menjadi tiga kategori:

 

1. Faktor Teknis Konstruksi

  • Penggunaan material berkualitas rendah
  • Pemadatan beton yang tidak sempurna
  • Kesalahan perhitungan pada sambungan balok dan kolom

 

Contoh: Pada proyek di Kota Semarang, kerusakan beton terjadi akibat pembongkaran bekisting terlalu dini dan campuran beton yang tidak sesuai.

 

2. Faktor Manajerial

 

  • Perencanaan pondasi yang tidak mempertimbangkan kondisi tanah sedalam 5 meter
  • Ketidaksesuaian urutan kerja: seperti pemasangan keramik sebelum atap

 

Hal ini memperlihatkan lemahnya koordinasi lintas tim di lapangan, serta minimnya evaluasi berkala saat proyek berlangsung.

 

3. Faktor Human Error

  • Pekerja yang kurang terlatih
  • Pelaksanaan yang tergesa-gesa
  • Salah perhitungan daya listrik

Misalnya, proyek kantor mengalami hambatan operasional karena kekurangan pasokan listrik akibat salah desain. Selain itu, keramik rusak karena terkena puing dari atap yang belum terpasang.

 

Grounded Theory sebagai Landasan Analisis: Memetakan Akar Masalah dari Lapangan

 

Metodologi grounded theory dalam riset ini dilakukan melalui tiga tahap utama:

  • Open Coding: Kategori awal dibentuk dari informasi di lapangan
  • Axial Coding: Menghubungkan kategori menjadi konsep-konsep kunci
  • Selective Coding: Merangkum dan menyederhanakan variasi hubungan menjadi tema sentral

 

Pendekatan ini memudahkan penyusunan kesimpulan berbasis bukti nyata. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa:

  • Mayoritas cacat muncul bukan dari satu faktor tunggal, melainkan kombinasi teknis, manajerial, dan personil
  • Belum ditemukan kegagalan total (runtuhnya bangunan), tetapi ada indikasi kuat bahwa jika dibiarkan, cacat akan berkembang menjadi failure

 

Implikasi Kegagalan Struktural di Wilayah Rawan Gempa

 

Kondisi Padang sebagai wilayah rawan gempa menjadikan setiap bentuk kecacatan struktural sebagai potensi besar kegagalan fatal. Misalnya, porositas beton dan defleksi balok jika tidak diperbaiki, akan menurunkan daya dukung struktural bangunan saat terjadi getaran seismik.

 

Pemilihan fondasi yang tepat, seperti penggunaan sistem Konstruksi Jaringan Rangka Beton (KJRB), menjadi alternatif penting untuk mengatasi kondisi tanah lunak. Fondasi ini terbukti lebih stabil dibanding sistem Konstruksi Sarang Laba-laba (KSLL) dalam menghadapi beban dinamis akibat gempa.

 

Studi Kasus Tambahan: Relevansi Praktik Konstruksi di Wilayah Lain

 

Penemuan cacat struktural seperti kolom keropos dan sambungan balok yang rapuh juga ditemukan di proyek perumahan di Yogyakarta dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan serupa tidak eksklusif terjadi di Padang. Dalam konteks global, studi oleh Chong dan Low (2005) menyatakan bahwa 35% kegagalan konstruksi di Asia Tenggara dipicu oleh kualitas material dan manajemen yang buruk.

 

Mitigasi dan Rekomendasi: Strategi Perbaikan Komprehensif

 

Untuk mengatasi potensi kegagalan, peneliti menyarankan langkah-langkah mitigatif sebagai berikut:

 

Untuk cacat teknis:

  • Gunakan material bermutu tinggi
  • Perbaiki sambungan dengan perekat tambahan dan metode curing yang benar

 

Untuk cacat manajerial:

  • Lakukan pengawasan berkala
  • Susun ulang urutan kerja secara logis
  • Libatkan tim perencana dalam setiap tahapan pengerjaan

 

Untuk kesalahan manusia:

  • Adakan pelatihan teknis dan sertifikasi tenaga kerja
  • Terapkan SOP ketat di lapangan
  • Evaluasi berkala terhadap progress dan metode kerja

 

Opini Kritis: Perlu Kebijakan Sistemik dan Teknologi Modern

 

Penelitian ini memang komprehensif, namun belum menyinggung peran teknologi dalam mencegah kecacatan konstruksi. Padahal penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan drones untuk inspeksi struktur bisa menjadi solusi digital yang murah dan efisien.

 

Pemerintah daerah juga perlu membentuk tim audit teknis independen untuk mengevaluasi proyek sejak tahap perencanaan. Integrasi teknologi, pengawasan ketat, dan manajemen risiko berbasis data adalah masa depan konstruksi tahan bencana.

 

Kesimpulan: Menuju Bangunan Berkualitas di Daerah Rawan Bencana

 

Paper ini menjadi rujukan penting dalam memahami dan mengantisipasi kegagalan bangunan di daerah rawan gempa. Temuan utamanya menunjukkan bahwa:

  • Cacat teknis, manajerial, dan manusiawi saling berkelindan dalam menciptakan potensi kegagalan
  • Tanpa intervensi cepat, bangunan akan terus mengalami degradasi kualitas
  • Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan regulasi, edukasi, dan teknologi untuk menciptakan lingkungan konstruksi yang aman dan tahan bencana

 

 

Sumber Asli Paper:

Suraji, A., Hidayat, B., & Zaki, A. (2023). Potential Defects and Failures in Building Industry. E3S Web of Conferences 464, 07007. 2nd ICDMM 2023. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202346407007

Selengkapnya
Potensi Kecacatan dan Kegagalan Konstruksi Bangunan di Wilayah Rawan Gempa: Tinjauan Kritis dari Studi Lapangan di Kota Padang

Risiko Banjir

Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 19 September 2025


Pendahuluan: Banjir, Bencana Tahunan yang Tak Pernah Selesai

Kota Langsa di Aceh menghadapi ancaman tahunan yang semakin kompleks: banjir. Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas dan dampaknya meningkat drastis khususnya di kawasan seperti Desa Seulalah dan Gampong Jawa. Ironisnya, di tengah geliat pembangunan, kawasan ini justru semakin rentan.

Artikel ini merefleksikan dan mengkritisi strategi mitigasi bencana berdasarkan studi ilmiah oleh Ayu Sekar Ningrum dan Kronika Br. Ginting. Penelitian ini mengungkap bagaimana pendekatan kuantitatif dan spasial bisa menjadi kebijakan yang efektif.

Potret Risiko: Ketika Alam dan Manusia Berseteru

Fakta Lapangan

Banjir yang melanda Langsa terjadi karena kombinasi antara curah hujan tinggi di kawasan hulu DAS Krueng Langsa dan buruknya tata ruang di kawasan hilir. Pada tahun 2020, banjir melumpuhkan aktivitas ribuan warga dengan ketinggian udara mencapai 50 cm di Desa Jawa Belakang dan Seulalah. Meski terlihat 'biasa', banjir ini mencerminkan akumulasi masalah struktural dan sosial.

Analisis Risiko: Metode dan Indikator

Penelitian ini menggunakan pendekatan overlay berbasis GIS untuk memetakan tiga aspek utama:

  1. Tingkat Bahaya : Dinilai dari kemiringan lereng, curah hujan, vegetasi, dan elevasi.
  2. Kerentanan : Dibagi ke dalam empat dimensi, sosial (kepadatan penduduk, kelompok rentan), ekonomi (nilai lahan produktif), fisik (bangunan dan infrastruktur), serta ekologi (kondisi tutupan lahan).
  3. Risiko : Merupakan produk dari bahaya × kerentanan, menghasilkan peta kawasan dengan risiko rendah, sedang, hingga tinggi.

Hasil overlay menunjukkan bahwa Desa Seulalah dan Gampong Jawa termasuk dalam klasifikasi risiko tinggi. Penduduk hidup turut serta dengan bahaya.

Strategi Mitigasi: Struktural dan Non-Struktural

Mitigasi Struktural

Mitigasi ini bersifat fisik dan teknis, ditujukan untuk menahan atau mengalihkan udara:

  • Tanggul dan Bendungan : kejadian luapan sungai langsung ke pemukiman.
  • Drainase dan Drop Structure : Sistem saluran udara terintegrasi untuk menghindari genangan.
  • Sudetan Sungai : Jalur alternatif untuk mengurangi tekanan pada aliran utama.

Namun perlu dicatat, pendekatan struktural bersifat mahal dan jangka panjang. Efektivitasnya juga tergantung pada pemeliharaan yang konsisten.

Mitigasi Non-Struktural

Pendekatan ini menyasar perubahan perilaku dan kesiapsiagaan masyarakat:

  • Pelatihan dan Simulasi: Warga dilatih menghadapi banjir, mulai dari mengeluarkan hingga penanganan darurat.
  • Pemetaan dan Sistem Informasi: Data spasial dimanfaatkan untuk prediksi dan deteksi dini.
  • Evaluasi Tata Ruang: Meninjau kembali kebijakan zonasi agar tidak membiarkan pemukiman tumbuh di zona merah.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mitigasi non-struktural, meski murah, tetap membutuhkan intervensi berkelanjutan, edukasi publik, dan komitmen lintas sektor.

Kritik dan Catatan Penting: Dari Peta ke Tindakan

1. Kebijakan Integrasi Lemahnya

Meskipun strategi mitigasi telah dirumuskan, implementasinya di lapangan kerap terhambat oleh fragmentasi birokrasi. Koordinasi antara dinas lingkungan hidup, perumahan, dan infrastruktur masih rendah.

2. Data Belum Real-Time

Studi ini bergantung pada data sekunder dan survei terbatas. Untuk strategi mitigasi yang lebih presisi, perlu integrasi data real-time seperti curah hujan harian, tingkat sedimentasi, hingga data sosial-ekonomi dinamis.

3. Tantangan Relokasi

Salah satu rekomendasi utama adalah relokasi warga dari zona merah banjir ke tempat yang lebih aman. Namun, relokasi bukan hanya soal lokasi baru, melainkan juga soal pekerjaan, akses pendidikan, dan penerimaan sosial.

4. Tren Industri & Solusi Berbasis Alam

Mengaitkan temuan ini dengan tren global, pendekatan solusi berbasis alam kini banyak dikembangkan. Hutan kota, lahan basah buatan, hingga pengembalian fungsi rawa menjadi solusi alami yang terbukti efektif mengurangi limpasan udara.

Langsa bisa belajar dari Jakarta dengan pembangunan kolam retensi dan normalisasi sungai, meski tetap harus melibatkan partisipasi publik.

Dampak Jangka Panjang: Investasi dalam Ketahanan

Mitigasi bukan hanya soal menghindari banjir. Ini soal:

  • Menyelamatkan ekonomi lokal dari stagnasi karena bencana tahunan.
  • Meningkatkan kualitas hidup warga di kawasan rentan.
  • Menarik investasi yang berbasis keingintahuan, bukan sekadar keuntungan jangka pendek.

Pemerintah daerah harus berani mengalokasikan anggaran untuk program pencegahan, bukan hanya pencegahan. Sebab, setiap rupiah yang diinvestasikan dalam mitigasi bisa menghemat hingga tujuh kali lipat biaya kerugian pasca bencana (UNDRR, 2019).

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Kota Tahan Banjir

Penelitian ini memberikan kontribusi nyata terhadap pengetahuan mitigasi banjir berbasis data spasial. Kota Langsa membutuhkan strategi adaptif yang menggabungkan pendekatan teknis, sosial, dan ekologis.

Namun, keberhasilannya tidak akan datang hanya dari peta dan data. Ia lahir dari kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, sejarawan, dan sektor swasta. Kota tahan banjir bukan mitos, jaminan adanya kemauan politik, kepemimpinan berbasis ilmu, dan partisipasi warga.

Sumber:

Ningrum, AS, & Ginting, KB (2020). Strategi Penanganan Banjir Berbasis Mitigasi Bencana di Kawasan Rawan Bencana Banjir di Daerah Aliran Sungai Seulalah Kota Langsa . Jurnal Pendidikan Sains Geografi (GEOSEE), 1(1), 6–13.

Selengkapnya
Menyelamatkan Langsa: Strategi Mitigasi Banjir yang Adaptif dan Berbasis Data
« First Previous page 196 of 1.352 Next Last »