Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Krisis Air dan Adaptasi di Era Perubahan Iklim
Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi ketersediaan air dan ketahanan hidup masyarakat pedesaan, terutama di negara berkembang seperti Tanzania. Studi Theodory & Massoi (2023/24) membedah secara mendalam bagaimana komunitas petani dan pastoral di Distrik Kilosa menghadapi tantangan ini melalui tata kelola air adaptif. Artikel ini mengulas temuan utama, data lapangan, studi kasus, serta mengaitkannya dengan tren global dan tantangan tata kelola air di era iklim ekstrem.
Konteks dan Relevansi: Mengapa Kilosa?
Kilosa, salah satu distrik di Morogoro, Tanzania, dikenal sebagai kawasan rawan konflik petani-penggembala dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Wilayah ini memiliki tiga zona agro-ekologi (dataran tinggi, dataran banjir, pegunungan) dan curah hujan tahunan 600–1400 mm, namun tetap menghadapi kekurangan air kronis akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan lahan.
Kombinasi Data Kualitatif dan Kuantitatif
Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pendekatan campuran:
Perubahan Iklim: Persepsi dan Bukti Lapangan
Persepsi Masyarakat
“Rains were not sufficient, and they lasted for only a short period of time. We tried to prepare our farms early enough, but it did not rain on time.”
(Wawancara Petani, Mabwerebwere)
Bukti Kuantitatif
Dampak Perubahan Iklim terhadap Air dan Penghidupan
Ketersediaan Air
Dampak pada Pertanian dan Peternakan
Dampak Sosial-Ekonomi
Studi Kasus: Tata Kelola Air Adaptif di Parakuyo dan Mabwerebwere
Parakuyo: Integrasi Adat dan Formal
Mabwerebwere: Tantangan Infrastruktur dan Kesehatan
Collective Action: Kunci Ketahanan
Analisis Kritis: Tata Kelola Adaptif dan Tantangan Lapangan
Dimensi Tata Kelola Air
Kelebihan Sistem Adaptif
Tantangan dan Kesenjangan
Hubungan dengan Tren Global: SDGs, IWRM, dan Adaptasi Lokal
Opini, Kritik, dan Perbandingan
Nilai Tambah Studi
Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Ketahanan Air Dimulai dari Tata Kelola Adaptif
Studi Theodory & Massoi menegaskan bahwa ketahanan air di era perubahan iklim hanya bisa dicapai melalui tata kelola yang adaptif, partisipatif, dan kontekstual. Kunci keberhasilan di Kilosa adalah kolaborasi antara lembaga formal dan adat, aksi kolektif masyarakat, serta pembelajaran berkelanjutan. Tantangan infrastruktur, kualitas air, dan konflik tetap ada, namun dengan penguatan kapasitas lokal dan investasi berkelanjutan, komunitas pedesaan dapat menjadi garda depan ketahanan air dan adaptasi iklim di Afrika dan dunia.
Sumber Artikel
Theodory, T.F., Massoi, L. (2023). Adaptive Water Governance and Climate Change Resilience among Rural Communities in Kilosa District, Tanzania. REPOA, Dar es Salaam.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Tantangan Ketidakpastian Iklim dalam Perencanaan Air
Perubahan iklim telah menimbulkan tantangan baru dalam perencanaan dan desain proyek sumber daya air. Ketidakpastian terhadap curah hujan, suhu, dan pola hidrologi membuat pendekatan konvensional berbasis data historis menjadi kurang relevan. Laporan World Bank karya Patrick A. Ray dan Casey M. Brown (2015) menawarkan kerangka kerja inovatif—Decision Tree Framework—untuk membantu perencana dan pengambil keputusan menilai, mengelola, dan merancang proyek air yang tangguh terhadap ketidakpastian iklim. Artikel ini mengulas konsep, studi kasus, angka-angka, serta relevansi framework ini terhadap tren global dan praktik industri.
Mengapa Kerangka Baru Diperlukan?
Kelemahan Pendekatan Konvensional
1. Top-down Approach
2. Keterbatasan Analisis Risiko
Decision Tree Framework: Solusi Praktis Berbasis Bottom-Up
Prinsip Utama
Empat Fase Utama Decision Tree
1. Project Screening
2. Initial Analysis
3. Climate Stress Test
4. Climate Risk Management
Studi Kasus: Run-of-the-River Hydropower
Aplikasi Framework
Keunggulan Decision Tree Framework
Tantangan Implementasi
Hubungan dengan Tren Industri & Kebijakan Global
Kritik dan Opini
Kelebihan
Kekurangan
Rekomendasi Praktis
Menuju Infrastruktur Air yang Tangguh dan Adaptif
Decision Tree Framework dari Ray & Brown adalah terobosan penting dalam perencanaan sumber daya air di era perubahan iklim. Dengan pendekatan bottom-up, proporsional, dan fokus pada robustnes, framework ini menjawab kebutuhan praktisi dan pembuat kebijakan untuk menghasilkan proyek air yang tangguh, efisien, dan adaptif. Di tengah ketidakpastian iklim yang makin besar, adopsi framework ini bisa menjadi kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan dan perlindungan masyarakat dari risiko air di masa depan.
Sumber Artikel
Ray, Patrick A., and Casey M. Brown. 2015. Confronting Climate Uncertainty in Water Resources Planning and Project Design: The Decision Tree Framework. Washington, DC: World Bank. doi:10.1596/978-1-4648-0477-9.
Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Juni 2025
Budaya dan Korupsi: Mengapa Persepsi Tidak Bisa Dipisahkan dari Nilai Kolektif
Dalam dunia yang saling terhubung ini, korupsi bukan hanya masalah hukum dan ekonomi—tetapi juga refleksi dari budaya masyarakat. Studi oleh Wm. Dennis Huber berjudul Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption meneliti bagaimana lima dimensi budaya nasional ala Hofstede memengaruhi Corruption Perception Index (CPI) dari 47 negara. Hasilnya mengejutkan: 65% variasi dalam persepsi korupsi dapat dijelaskan oleh budaya nasional, terutama oleh nilai individualisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan maskulinitas.
Memahami Dimensi Budaya Hofstede yang Relevan dengan Korupsi
1. Individualisme vs Kolektivisme (IDV)
Negara-negara dengan skor tinggi dalam individualisme seperti AS dan Inggris memiliki CPI yang lebih tinggi (lebih bersih). Hal ini karena budaya individualistik lebih menekankan tanggung jawab pribadi dan sistem meritokrasi.
2. Jarak Kekuasaan (PD)
Skor tinggi pada dimensi ini berarti ketimpangan kekuasaan dianggap wajar. Negara seperti Guatemala (PD 95) atau Malaysia (PD 104) memiliki CPI rendah—menandakan korupsi dianggap sebagai bagian dari struktur sosial.
3. Penghindaran Ketidakpastian (UA)
Negara dengan skor tinggi cenderung kaku terhadap hukum namun justru menciptakan peluang korupsi melalui regulasi yang kompleks dan birokrasi tertutup. Contohnya Jepang (UA 92) atau Guatemala (UA 101).
4. Maskulinitas (MAS)
Budaya yang sangat kompetitif dan berorientasi prestasi, seperti Jepang (MAS 95), cenderung mengorbankan etika demi tujuan jangka pendek.
5. Orientasi Jangka Panjang (LTO)
Menariknya, dimensi ini tidak signifikan secara statistik dalam menjelaskan CPI. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai jangka panjang tidak selalu berkorelasi dengan integritas administratif.
Studi Kasus dan Data: Hubungan Antara Budaya dan CPI
1. Swedia vs Venezuela
Swedia (IDV 71, PD 31, CPI 9.5) memiliki masyarakat yang terbuka, demokratis, dan mendukung kesetaraan.
Venezuela (IDV 12, PD 81, CPI 2.3) menunjukkan kebalikannya: kekuasaan terpusat, kolektivisme tinggi, dan kepercayaan rendah terhadap sistem hukum.
2. AS dan Kanada vs Nigeria dan Indonesia
AS (IDV 91, CPI 7.5), Kanada (IDV 80, CPI 9.2) jauh lebih bersih dibanding Nigeria (IDV 20, CPI 1.9) atau Indonesia (IDV 14, CPI 2.0).
Hal ini menegaskan bahwa kultur individualistik dan institusi yang mendukung meritokrasi menghasilkan sistem yang lebih bersih.
3. Jepang: Efisiensi vs Ketertutupan
Meskipun dikenal efisien, Jepang (UA 92, MAS 95, CPI 5.8) memiliki persepsi korupsi yang relatif sedang. Ketertarikan pada hierarki dan kontrol ketat menciptakan zona abu-abu yang sulit diawasi.
Hasil Statistik yang Kuat dan Valid
Regresi 1 (Tanpa LTO)
Model menjelaskan 65% variasi CPI (Adjusted R² = 0.65)
Rumus regresi:
CPI = 8.871 + 0.043(IDV) - 0.040(PD) - 0.017(UA) - 0.033(MAS)
Interpretasi:
Regresi 2 (Dengan LTO)
Model menjelaskan 66.8% variasi CPI, namun hanya PD dan UA yang signifikan.
Rumus regresi:
CPI = 13.925 - 0.101(PD) - 0.036(UA)
Artinya, jarak kekuasaan dan ketidakpastian adalah prediktor paling kuat dari persepsi korupsi lintas budaya.
Implikasi Strategis untuk Dunia Bisnis dan Pemerintahan
1. Manajemen Strategis Internasional
Investor dapat menggunakan indeks budaya ini untuk memprediksi risiko korupsi sebelum ekspansi ke negara tertentu.
2. Audit dan Keuangan
Audit internal dan eksternal sebaiknya mempertimbangkan faktor budaya sebagai indikator kerentanan organisasi terhadap suap dan manipulasi data.
3. Desain Kebijakan Publik
Negara dengan PD tinggi harus difokuskan pada reformasi tata kelola, edukasi etika publik, dan transparansi birokrasi.
Kritik dan Batasan Studi
Meskipun hasilnya signifikan secara statistik, studi ini memiliki keterbatasan:
Refleksi: Melawan Korupsi Lewat Transformasi Budaya?
Penelitian ini menegaskan bahwa persepsi terhadap korupsi sangat dipengaruhi oleh konstruksi budaya. Negara dengan budaya yang permisif terhadap ketimpangan kekuasaan, penghindaran risiko, dan nilai-nilai kompetisi maskulin, cenderung lebih permisif terhadap korupsi.
Namun mengubah budaya bukan perkara sederhana. Ia membutuhkan pendekatan jangka panjang, edukasi nilai integritas sejak dini, dan reformasi struktural di berbagai sektor.
Kesimpulan: Menggunakan Budaya untuk Mengukur Risiko Korupsi
Artikel ini memperlihatkan bahwa analisis budaya bukan hanya teori sosial, melainkan bisa dijadikan alat prediksi praktis dalam manajemen risiko global. Ketika CPI dapat dijelaskan hingga 65% oleh dimensi budaya, maka memahami budaya menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi itu sendiri.
Sebagaimana budaya bisa menumbuhkan toleransi terhadap korupsi, maka transformasi budaya adalah kunci untuk membasminya secara sistemik. Ini bukan pekerjaan satu malam, tetapi pekerjaan lintas generasi.
Sumber: Huber, W. D. (2001). Culture and Corruption: Using Hofstede’s Cultural Dimensions to Explain Perceptions of Corruption. SSRN Electronic Journal.
Pencegahan Korupsi dalam Sektor Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 13 Juni 2025
Pendahuluan
Bantuan kemanusiaan semestinya menjadi simbol kebaikan, integritas, dan empati global. Namun, ketika arus dana mencapai angka USD 156 miliar per tahun, sektor ini justru menjadi lahan subur bagi korupsi. Dalam tesis Malika Aït-Mohamed Parent, mantan petinggi Palang Merah Internasional, korupsi dalam ruang kemanusiaan dibedah dengan pendekatan lapangan, studi kasus nyata, dan wawancara terhadap 269 pelaku kemanusiaan lintas benua.
Konteks Masalah
Selama ini, isu korupsi kerap diabaikan dalam perdebatan formal di sektor kemanusiaan, bahkan oleh institusi besar seperti PBB, Bank Dunia, hingga SDGs 2030. Dalam dokumen Millennium Development Goals (MDGs), kata "korupsi" tak muncul sekalipun. Bahkan dalam World Humanitarian Summit 2016, isu ini nyaris tak disinggung secara serius.
Hipotesis Utama
Apakah korupsi di sektor kemanusiaan terjadi karena:
Jawaban terhadap pertanyaan ini menjadi dasar eksplorasi selama dua tahun penelitian intensif.
Metodologi
Penulis menggunakan kombinasi:
Temuan Utama
1. Pemahaman Minim soal Korupsi
Mayoritas pelaku kemanusiaan memahami korupsi hanya sebatas “sikap buruk” seperti keserakahan atau kebohongan, bukan sebagai skema sistemik. Hampir tidak ada yang menyebutkan sanksi hukum, mekanisme kontrol internal, atau skenario konkret.
Temuan #1: Ada "budaya niat baik" yang ironisnya menjadi penghambat kesadaran risiko korupsi.
2. Komitmen Transparansi Bersifat Deklaratif
Organisasi sering menyatakan komitmen terhadap transparansi dan akuntabilitas, tapi minim penerapan konkret. Banyak laporan audit internal tidak dipublikasikan, dan kontrol internal justru diperlemah oleh beban birokrasi.
Temuan #4: Komitmen saja tidak cukup tanpa sistem, aturan, dan sanksi yang ditegakkan.
3. Transparansi Dapat Berbalik Kontraproduktif
Donor negara justru merasa cemas ketika organisasi terlalu transparan. Beberapa bahkan meminta agar tidak dikirimi laporan tertulis agar tak terbebani kewajiban hukum.
Temuan #8: Donor menginginkan transparansi, tapi tidak selalu siap menghadapinya.
4. Celah antara Kantor Pusat dan Lapangan
Kebijakan dibuat dari pusat, tapi implementasi di lapangan sering tidak memahami risiko dan tanggung jawab anti-korupsi. Peneliti menyebut ini sebagai celah yang "dikenali dan dimanfaatkan aktor korup."
Temuan #13: Perbedaan budaya kerja dan pemahaman risiko memperparah praktik korupsi lapangan.
5. Studi Kasus Nyata
Beberapa studi kasus yang diperiksa meliputi:
Rekomendasi Strategis
1. Bangun Budaya Kepatuhan, Bukan Sekadar Tata Nilai
Organisasi harus beralih dari retorika nilai (value-based) ke praktik konkret (rule-based). Dibutuhkan sistem anti-korupsi yang aktif, bukan pasif.
2. Tingkatkan Kompetensi Pelaku Kemanusiaan
Pelatihan mengenai deteksi penipuan, etika distribusi bantuan, dan sistem pelaporan wajib diberikan secara menyeluruh dan reguler.
3. Gunakan Teknologi untuk Transparansi
Implementasi real-time tracking dana, distribusi digital, dan pelaporan daring dapat menekan ruang manipulasi.
4. Wujudkan Perlindungan Whistleblower
Kasus Anders Kompass dari PBB yang dipecat karena mengungkap pelecehan seksual oleh pasukan perdamaian menjadi contoh pentingnya perlindungan terhadap pelapor.
Analisis dan Opini
Artikel ini sangat bernilai karena membuka ruang diskusi serius mengenai bahaya laten korupsi di sektor yang selama ini dianggap "kebal dosa." Peneliti berhasil memadukan pengalaman empiris, suara pelaku lapangan, dan analisis literatur global. Namun, tesis ini dapat diperkuat dengan pendekatan komparatif dari negara yang berhasil menciptakan sistem anti-korupsi di sektor sosial, seperti Norwegia atau Rwanda.
Tesis ini juga menegaskan bahwa dalam dunia kemanusiaan, korupsi bukan semata persoalan uang, tetapi tentang hilangnya kepercayaan publik, nyawa, dan martabat kemanusiaan.
Kesimpulan
Korupsi di sektor kemanusiaan bukan hanya kenyataan pahit, tapi juga ancaman nyata terhadap keselamatan dan keberlanjutan bantuan global. Penelitian ini menekankan pentingnya transformasi budaya organisasi, komitmen kolektif, dan sistem yang berjalan dari pusat hingga akar rumput. Dalam dunia yang serba darurat, compliance bukan pilihan—tapi kebutuhan mendesak.
Sumber:
Aït-Mohamed Parent, M. (2016). Corruption Prevention and Control in the Humanitarian Space: Paving the Way from Naivety to Compliance. Master’s Thesis, International Anti-Corruption Academy.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kota, Air, dan Tantangan Iklim Abad ke-21
Urbanisasi pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah tantangan pengelolaan air di kota-kota dunia. Dalam 70 tahun terakhir, populasi perkotaan melonjak dari 0,8 miliar (29,6%) pada 1950 menjadi 4,4 miliar (56,2%) pada 2020, dan diproyeksikan mencapai 6,7 miliar (68,4%) pada 2050. Bersamaan dengan itu, konsumsi air meningkat enam kali lipat, terutama didorong kebutuhan pertanian, industri, dan domestik1.
Di tengah krisis ini, paper karya Vinagre dkk. (2023) menyoroti pentingnya integrasi antara pengelolaan air perkotaan (urban water management) dan perencanaan kota (city planning) sebagai kunci adaptasi perubahan iklim. Melalui tinjauan sistematis literatur, artikel ini mengidentifikasi konsep, tren, tantangan, dan peluang kolaborasi lintas sektor yang dapat memperkuat ketahanan air perkotaan di era iklim ekstrem.
Metodologi: Tinjauan Sistematis dan Analisis Bibliometrik
Penulis menggunakan pendekatan systematic literature review berbasis PRISMA untuk menelusuri, menyeleksi, dan menganalisis 39 artikel ilmiah utama dari total 524 publikasi terkait tema “climate change”, “sustainable urban water management”, dan “city planning” hingga 2022. Proses seleksi melibatkan kombinasi kata kunci, iterasi pencarian, dan snowballing untuk memastikan cakupan dan relevansi1.
Hasil utama:
Konsep Kunci: Evolusi Paradigma Pengelolaan Air Perkotaan
Dari Sentralisasi Menuju Hybridisasi Sistem
Sejak abad ke-19, sistem air kota didesain terpusat untuk menjamin kesehatan dan sanitasi. Namun, sistem ini kini menghadapi tantangan besar:
Paradigma baru yang berkembang:
Konsep dan Praktik SUWM (Sustainable Urban Water Management)
Berbagai konsep dan pendekatan telah dikembangkan:
Studi Kasus:
Analisis Vektor Adaptasi: Sinergi dan Tantangan
1. Vektor Operasional
2. Vektor Organisasi & Institusi
3. Vektor Ekonomi
4. Vektor Perilaku
5. Vektor Teknologi
6. Vektor Perencanaan Kota
Studi Kasus Global: Implementasi dan Pelajaran
Israel: Daur Ulang Air untuk Pertanian
California Selatan: Hybridisasi Sistem
China: Sponge City dan Urban Flooding
Diskusi: Gap, Tantangan, dan Arah Masa Depan
Gap Pengetahuan dan Praktik
Tantangan Utama
Peluang dan Rekomendasi
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
Kritik dan Opini
Kelebihan
Kekurangan
Kesimpulan: Adaptasi Bersama, Kota Tangguh Masa Depan
Paper ini menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di kota hanya bisa berhasil jika pengelolaan air dan perencanaan kota berjalan seiring. Kolaborasi, inovasi teknologi, edukasi publik, dan pendekatan sistemik menjadi kunci. Kota masa depan harus mampu mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan untuk membangun ketahanan air dan kualitas hidup yang berkelanjutan.
Sumber Artikel
Vinagre, V.; Fidélis, T.; Luís, A. How Can We Adapt Together? Bridging Water Management and City Planning Approaches to Climate Change. Water 2023, 15, 715.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kota sebagai Arena Utama Transformasi Iklim
Kota-kota dunia kini berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim. Dengan lebih dari separuh populasi dunia tinggal di wilayah urban, kota menjadi pusat emisi gas rumah kaca sekaligus korban utama dampak perubahan iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut. Namun, kota juga menyimpan potensi besar sebagai laboratorium inovasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim.
Disertasi Katharina Hölscher (2019) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kota dapat mengubah tata kelola iklimnya agar lebih transformatif. Dengan membedah dua studi kasus—Rotterdam (Belanda) dan New York City (AS)—penelitian ini membangun kerangka kapasitas tata kelola yang dapat direplikasi di kota-kota lain di dunia.
Kerangka Teoritis: Transformative Climate Governance
Mengapa Butuh Pendekatan Transformatif?
Hölscher menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan gejala dan pemicu dari ketergantungan jalur pembangunan kota yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi parsial atau reaktif tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik—baik dalam tata kelola, perilaku, maupun institusi—yang mampu mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Empat Kapasitas Kunci Tata Kelola Transformatif
Penelitian ini merumuskan empat kapasitas utama yang harus dimiliki kota untuk mewujudkan tata kelola iklim yang transformatif:
Studi Kasus: Rotterdam dan New York City
Rotterdam: Kota Delta yang Tangguh
Angka Kunci:
New York City: Resiliensi Pasca Sandy
Angka Kunci:
Analisis Perbandingan: Bagaimana Kapasitas Tata Kelola Terbentuk?
Stewarding Capacity
Unlocking Capacity
Transformative Capacity
Orchestrating Capacity
Tantangan dan Kesenjangan
Kesenjangan Implementasi
Hambatan Sosial dan Politik
Studi Kasus Mikro: Benthemplein Water Square & Living Breakwaters
Benthemplein Water Square (Rotterdam)
Living Breakwaters (NYC)
Opini & Kritik: Apa yang Bisa Dipelajari Kota Lain?
Nilai Tambah Penelitian
Kritik
Hubungan dengan Tren Global & Industri
Rekomendasi Praktis untuk Kota Menuju Transformasi Iklim
Menuju Kota Tahan Iklim yang Inklusif dan Inovatif
Transformasi tata kelola iklim kota bukan sekadar soal teknologi atau kebijakan, tetapi tentang membangun kapasitas kolektif untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan. Studi Rotterdam dan New York City menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian bereksperimen, keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang. Kota masa depan adalah kota yang mampu belajar, berinovasi, dan menempatkan warganya sebagai aktor utama perubahan.
Sumber Artikel
Hölscher, K. (2019). Transforming urban climate governance: Capacities for transformative climate governance. Doctoral thesis, Erasmus University Rotterdam.