Mendeteksi keberadaan suatu penyakit secara dini merupakan langkah penting untuk meminimalkan gejala yang timbul dan dapat dilakukan tahap perawatan yang tepat sedari awal. Selama ini banyak kasus terjadinya penularan penyakit secara meluas atau gejala akut dialami seorang pasien disebabkan keterlambatan dalam hal diagnosis terkait dengan keberadaan suatu penyakit pada seseorang atau munculnya mikroorganisme berbahaya di lingkungan sekitar. Sebagai contoh ialah penyakit alzheimer yang dapat berkembang di dalam otak selama Z dekade sebelum menunjukkan gejala pada pasien. Contoh lainnya ialah banyaknya pasien tanpa gejala (asimtomatik), tapi berpotensi sebagai media penularan covid-19. Oleh karena itu, kemampuan mendeteksi sedini mungkin, baik pada pasien tanpa gejala maupun belum terbentuknya gejala, dapat menawarkan solusi untuk perawatan pada tahap awal yang akan mampu memberikan perbedaan signifikan pada seorang pasien.
Keterlambatan dalam hal diagnosis semakin dirasakan khususnya oleh masyarakat yang berada di daerah-daerah 3T (tertinggal, terpencil, dan terluar). Di sisi lain, sebagian besar proses diagnosis suatu penyakit membutuhkan waktu hitungan jam bahkan hari serta biaya yang sering kali tidak bisa dijangkau semua kalangan.
Oleh karena itu, teknologi di bidang diagnosis medis ke depan membutuhkan terobosan ham untuk menghasilkan tes uji penyakit secara dini yang lebih sederhana, cepat, murah, dan dapat digunakan di mana saja dan oleh siapa saja, termasuk masyarakat umum tanpa perlu keterampilan khusus. Untuk menjawab tantangan tersebut, penelitian dan pengembangan teknologi biosensor menjadi sangat penting. Biosensor dapat didefinisikan sebagai alat yang mampu mendeteksi keberadaan sebuah biomolekul, virus, set, dan bakteri di dalam tubuh, makanan, dan lingkungan sekitar kita. Uji kit untuk memonitor kadar gula darah dan kolesterol, tes kehamilan, dan tes cepat covid-19 merupakan beberapa contoh dari alat biosensor.
Sebagian besar biosensor yang berada di pasaran saat ini bekerja dengan menggunakan sampel darah yang tidak cukup nyaman bagi kebanyakan pasien, seperti pada pasien diabetes, yang setiap hari harus melakukan finger prick untuk memonitor kadar gula darah secara berkelanjutan dan sering kali proses pengambilan darah dapat menghasilkan infeksi dan lebam pada kulit. Oleh karena itu, pengembangan biosensor saat ini diarahkan untuk dapat bekerja tidak hanya dengan sampel berupa darah, tetapi juga dapat menggunakan sampel air liur, keringat, dan air seni tergantung dari jenis biomolekul atau mikroorganisme yang ingin kita dideteksi apakah dapat ditemukan dalam sampel tersebut atau tidak.
Selain membuat biosensor yang lebih bersahabat dengan pasien, yaitu menggunakan sampel dengan sumber yang lebih mudah diambil dari tubuh, arah inovasi lainnya ialah meningkatkan sensitivitas dan limit deteksi dari alat biosensor. Definisi sensitivitas dalam hal ini agak berbeda dengan sensitivitas yang sering kita temui pada label tes uji cepat covid-19. Pada konteks tes uji cepat covid-19, angka sensitivitas yang beredar menunjukkan perbandingan ketepatan tes uji pada pasien positif jika dibandingkan dengan pemeriksaan baku menggunakan tes swab PCR. Sementara itu, pada konteks biosensor secara umum, sensitivitas dapat dipahami sebagai rasio kemampuan perubahan respons alat terhadap perubahan jumlah molekul target pada sampel. Biosensor yang dapat memberikan respons 10 mikroampere dengan adanya perubahan 100 molekul target, lebih sensitif jika dibandingkan dengan alat yang hanya merespons 1 mikroampere. Sementara itu, limit deteksi berkaitan jumlah batas konsentrasi terkecil dari molekul target yang dapat dideteksi oleh alat.
Sebagai contoh kasus untuk deteksi virus SARS-CoV-2, tes uji cepat antibodi ataupun antigen hanya mampu memberikan sinyal positif ketika jumlah protein target berkisar pada 100.000-1.000.000 molekul pada sampel, sedangkan tes swab PCR memiliki limit deteksi yang lebih kecil, yaitu sekitar 100-1.000 molekul pada sampel. Sering kali sebuah alat memberikan hasil negatif palsu karena ketidakmampuan alat tersebut mendeteksi target molekul pada jumlah yang sangat kecil di bawah kemampuan deteksinya. Hal itu dapat terjadi pada beberapa orang yang terinfeksi virus dengan jumlah kecil dan tidak menimbulkan gejala, tapi berpotensi sebagai sumber penularan pada orang lain. Oleh karena itu, pengembangan alat uji dengan kemampuan sensitivitas yang tinggi hingga menuju level deteksi pada molekul mnggal ialah salah satu arah penelitian terkini di bidang biosensor.
Biosensor elektrokimia merupakan salah satu kategori divais yang dapat menawarkan sensitivitas tinggi, limit deteksi yang sangat rendah, serta fleksibilitas dan portabilitas alat yang berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut hingga tahap komersialisasi. Konfigurasi alat biosensor elektrokimia dapat berupa suatu elektroda kerja atau sebuah transistor elektrokimia. Elektroda atau transistor ialah komponen elektronika yang cukup familier dan dikenal masyarakat umum yang bisa ditemukan di berbagai perangkat elektronik di sekitar kita.
Gambaran sederhana agar sebuah elektroda dan transistor dapat menjadi sebuah biosensor ialah dengan memodifikasi permukaan elektroda dengan molekul atau protein yang dapat mengenali atau menangkap target yang ingin dideteksi sebagai contoh modifikasi elektroda dengan molekul antibodi sehingga bisa menangkap antigen, atau modifikasi permukaan elektroda dengan enzim sehingga bisa berinteraksi dengan target seperti glukosa atau kolesterol. Adanya proses penangkapan target molekul yang menempel pada molekul penangkap di atas permukaan elektroda, akan mengubah kerapatan muatan listrik atau aliran listrik. Perubahan sinyal listrik ini yang akan bisa kita baca sebagai respons dari biosensor elektrokimia.
Laboratorium material fungsional maju di ITB telah mengembangkan berbagai jenis biosensor elektrokimia, di antaranya alat untuk mendeteksi glukosa, dopamin, dan protein penanda Hepatitis B. Saat ini, tim laboratorium material fungsional maju terdiri atas berbagai personel dengan latar belakang keilmuan berbeda (multidisiplin) yang saling bersinergi untuk mengembangkan biosensor elektrokimia untuk jenis penyakit lainnya. Pandemi covid-19 mengajarkan kita bahwa pengembangan teknologi biosensor menjadi penting sebagai bagian solusi pada ranah diagnosis untuk penanganan pandemi. Beberapa arah pengembangan biosensor elektrokimia ke depannya dapat mencakup jenis material untuk aplikasi biosensor yang bisa diproduksi secara massal di Indonesia dan stabil selama proses produksi, penyimpanan, distribusi, hingga pemakaian.
Dari sisi keilmuan teknik meliputi pengembangan desain divais dan perangkat instrumentasi yang mudah digunakan user di mana saja dan kapan saja. Teknologi biosensor yang berbasis elektrokimia mungkin sepatunya menjadi salah satu target teknologi yang harapannya bisa oleh Indonesia ke depannya. Jika pesawat terbang bisa menjadi transportasi penghubung negara kepulauan Indonesia, diharapkan biosensor bisa menjadi teknologi pelengkap umuk tenaga medis dalam mendiagnosis penyakit secara lebih cepat, khususnya untuk penduduk-penduduk di pulau-pulau kecil tanpa hams mobilisasi ke rumah sakit di pulau besar yang membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya. (M-4)
Sumber: research.lppm.itb.ac.id