Tebu: Budidaya, Karakteristik, dan Persyaratan Lingkungan untuk Pertumbuhan yang Optimal

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana

30 April 2024, 09.33

Sumber: id.wikipedia.org

Tebu, juga dikenal sebagai sugar cane dalam bahasa Inggris, adalah tanaman yang dibudidayakan terutama untuk menghasilkan gula dan vetsin. Tanaman ini tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan termasuk dalam kelompok rumput-rumputan. Masa tanamnya sekitar 1 tahun sebelum dapat dipanen, dan di Indonesia, tebu banyak ditanam di pulau Jawa dan Sumatra. Karakteristik tebu mencakup adanya bulu-bulu dan duri di sekitar pelepah dan helai daunnya, yang jumlahnya bervariasi tergantung pada varietasnya. Tinggi tanaman tebu bervariasi antara 2,5 hingga 4 meter dengan diameter batang 2 – 4 cm. Tanaman ini termasuk dalam kategori monokotil dan dapat menghasilkan anakan dari pangkal batang yang berkembang menjadi rumpun.

Tanaman tebu memerlukan iklim subtropis untuk tumbuh dengan baik. Pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, sehingga kualitasnya dapat menurun jika iklimnya tidak mendukung. Persyaratan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan tebu mencakup ketinggian 0 – 900 mdpl, curah hujan tahunan sekitar 2000mm, suhu udara antara 21 – 32o C, dan pH tanah 5 – 6.

Batang tebu yang sudah dipanen diekstraksi untuk menghasilkan nira, yang kemudian diolah menjadi gula pasir. Dalam proses ini, ampas tebu dan tetes (molasse) juga dihasilkan. Daun tebu kering sering digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, karena memiliki nilai kalori tinggi. Di pabrik gula, daun tebu dan ampas batangnya digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk proses produksi dan pembangkit listrik. Air perasan tebu juga bisa dikonsumsi sebagai minuman segar, yang dikenal baik bagi kesehatan karena mengandung glukosa.

Produksi Tebu di Indonesia

Di Indonesia, produksi tebu terutama terpusat di pulau Jawa dan Sumatera. Menurut data Departemen Umum Produksi Tanaman pada tahun 2016, luas area penanaman tebu mencapai 445.520 hektar, menghasilkan sekitar 2,222 juta ton tebu. Luas panen tebu terus meningkat sejak tahun 1980, dari 316.063 hektar menjadi 427.123 hektar pada tahun 2013, dengan peningkatan ini didorong oleh ekspansi area panen dari perkebunan rakyat yang mendominasi industri tebu di Indonesia.

Meskipun produksi tebu terus meningkat sejak 1980, terjadi penurunan produksi pada tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pada tahun tersebut, produksi tebu kristalisasi turun drastis menjadi 1,48 juta ton dari 2,19 juta ton pada tahun sebelumnya. Situasi ini berlanjut hingga tahun 2004, di mana produksi tebu kembali mencapai 2 juta ton setelah pulih dari resesi pada tahun 1998. Hingga tahun 2016, produktivitas tebu di Indonesia diperkirakan mencapai 2,71 ton per hektar, meningkat sekitar 116% dari tahun 1998.

Standardisasi Produk Gula

Produk olahan utama dari tebu yaitu gula telah distandardisasi oleh pemerintah Indonesia, tepatnya oleh Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan Indonesia. Gula Kristal putih (GKP) termasuk produk yang diberlakukan wajib SNI berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 68/Permentann/OT.140/6/2013. SNI GKP adalah SNI 3140.3:2010 dan Amandemen 1.2011 Gula Kristal Putih. 

Pendekatan Metabolomik untuk Meningkatan Produksi Tebu Indonesia

Salah satu kajian metabolomik yang telah dilakukan mengenai tebu adalah kajian relasi profil metabolit pada bagian pertumbuhan tebu, yaitu batang dan tunas tebu, terhadap kemampuan pertunasan tebu. Bagian tunas aksila pada tebu umumnya berada pada kondisi dorman; walaupun begitu, ketika segmen dari batang yang memuat bagian dari node dan internode dengan embrio akar dan setidaknya sebuah tunas viabel diisolasi dari badan tanaman dan ditanam pada tanah, pertumbuhan tunas dapat teramati dan tanaman tebu baru dapat dihasilkan.

Tebu juga diketahui dapat mengakumulasi sukrosa dalam jumlah yang besar pada batangnya. Sukrosa ini kemudian dapat digunakan sebagai substrat oleh tebu untuk menunjang pertumbuhannya melalui integrasi pada suatu proses metabolisme tertentu yang bersifat dinamis dan dapat dikarakterisasi dengan siklus sintesis dan degradasi yang dinamis pula, mencakup keterlibatan beragam enzim dan isoformnya. Sukrosa yang terdapat dalam batang tebu dapat diamati sebagai gradien, dengan kandungan sukrosa pada internoda yang masih muda lebih rendah dibandingkan dengan internoda yang sudah tua. Oleh karena itu, karbon yang disimpan oleh tanaman tebu dalam bentuk sukrosa ini diasumsikan memiliki peranan dalam pertumbuhan tunas dan pembentukan tanaman tebu baru. Anggapan ini didasarkan pada informasi bahwa sukrosa merupakan salah satu metabolit yang terlibat dalam pertumbuhan di beberapa jenis tanaman lainnya.

Komposisi metabolit adalah salah satu tool yang powerful untuk menjembatani interaksi gen dan fenotip yang teramati pada suatu organisme, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari komposisi kimia yang dikandung sel. Kajian yang telah dilakukan terhadap tanaman tebu terkait dengan hal ini adalah pengeksplorasian lebih lanjut jaringan metabolit (metabolic networks) dari bagian batang dan tunas tebu, jaringan yang terlibat dalam perbanyakan vegetatif spesies ini. Dikarenakan pertumbuhan tunas merupakan kunci untuk menentukan keberhasilan pertumbuhan tanaman tebu di area tumbuhnya, maka potensi pertumbuhan tunas dari tanaman tebu ini dievaluasi. Profiling metabolit primer berhasil memberikan gambaran yang lebih elaboratif pada keberagaman fitur metabolit tebu bahkan pada latar belakang genetik yang saling berdekatan. Metabolit yang terkorelasi dalam dan di antara jaringan ternyata lebih sensitif terhadap metabolit kunci (sukrosa, putrescine, glutamat, serin, dan myo-inositol) dan berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan tunas. Selain itu, metabolit juga didapatkan bisa diaplikasikan sebagai indikator untuk penentuan latar belakang genetis.

Salah satu permasalahan yang masih dialami oleh petani tebu dan produksi tebu di Indonesia secara keseluruhan adalah rendahnya nilai rendemen tanaman tebu Indonesia. Rendemen tebu sendiri dapat didefinisikan sebagai kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen; bila rendemen tebu diyatakan memiliki nilai 10%, maka berarti bahwa dari 100 kg tebu yang digiling saat produksi gula, hanya dapat diperoleh gula sebanyak 10 kg. Menurut Center for Indonesian Policy Studies, nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu Indonesia. Untuk saat ini, rendemen tebu Indonesia hanya mencapai nilai 7,50%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan nilai rendemen tebu Filipina yaitu sebesar 9,20% dan rendemen tebu Thailand, yaitu sebesar 10,70%. Jika hal ini disualisasikan lebih lanjut, maka untuk menghasilkan gula dengan jumlah yang sama, misalnya 1 juta ton, maka Filipina harus memanen tebu sejumlah10,8 ton, sementara Thailand sejumlah 9,3 ton, dan Indonesia sejumlah 13,3 ton. Hal ini tentu merugikan bagi para petani tebu Indonesia, selain itu karena hal ini pasokan gula di Indonesia masih ada yang berasal dari impor gula putih murni.

Oleh karena itu, untuk kajian metabolomik yang berpotensi untuk dilakukan pada komoditas tebu adalah kajian metabolomik yang dapat meningkatan nilai rendemen tanaman tebu di Indonesia. Beberapa faktor terkait dengan rendahnya rendemen tebu memang tidak secara langsung berkaitan dengan kandungan gula pada batang tebu, diantaranya merupakan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Namun, aplikasi metabolomik dapat berperan dalam mengoptimalisasi kandungan-kandungan metabolit batang tebu sehingga produktivitasnya sebagai bahan baku dalam produksi <ref>gula dapat lebih ditingkatkan.


Sumber: id.wikipedia.org