Tantangan Pendidikan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

25 April 2024, 20.22

Sumber: brokenchalk.org

Sepertiga dari populasi Indonesia adalah anak-anak - sekitar 85 juta jiwa, terbesar keempat di antara negara-negara lain di dunia. Pendidikan memberikan informasi, pengetahuan, keterampilan dan etika kepada manusia untuk mengetahui, memahami, dan menghargai kewajiban kita terhadap masyarakat, keluarga, dan bangsa, serta membantu kita untuk lebih maju.

Pendidikan adalah cara hidup di mana seseorang dapat belajar dan berbagi pengetahuan dengan orang lain. "Pendidikan adalah mesin yang hebat untuk pengembangan pribadi. Melalui pendidikan, anak perempuan seorang petani dapat menjadi dokter, anak laki-laki seorang pekerja tambang dapat menjadi kepala tambang, dan anak seorang buruh tani dapat menjadi presiden sebuah negara yang besar," kata mantan presiden Afrika Selatan Nelson Mandela.

Di Indonesia, seperti halnya di sebagian besar negara lain di dunia, anak-anak harus menempuh pendidikan wajib belajar 12 tahun, yang terdiri dari sekolah dasar (kelas 1-6), sekolah menengah pertama (kelas 7-9), sekolah menengah atas (kelas 10-12), dan pendidikan tinggi.

Anak-anak muda dapat memilih antara sekolah negeri nonsektarian yang dikelola oleh pemerintah dan diawasi oleh Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) atau sekolah swasta atau semi-swasta yang dikelola dan dibiayai oleh Kementerian Agama.

Lebih dari dua tahun setelah pandemi COVID-19, para siswa dan pendidik di Indonesia dan di seluruh dunia masih bergulat dengan krisis pembelajaran yang masif. Sebuah laporan pada bulan Juni 2022 dari UNICEF, UNESCO, Bank Dunia, dan lainnya mengungkapkan bahwa sekitar 70 persen anak usia 10 tahun di seluruh dunia tidak dapat memahami teks tertulis sederhana, naik dari 57 persen sebelum pandemi.

Sumber: brokenchalk.org

Akibat Covid-19

Pembelajaran di Indonesia sudah berada di bawah ekspektasi kurikulum sebelum terjadinya COVID-19, dengan kesenjangan yang lebar berdasarkan gender, wilayah, disabilitas, dan dimensi marjinalisasi lainnya. Sebagian besar siswa yang diuji memiliki nilai dua tingkat di bawah nilai mereka saat ini. Sebagai contoh, siswa kelas 5 SD rata-rata membaca di tingkat kelas 3 SD.

Menurut penelitian dan survei yang dilakukan di lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelum kegiatan pembelajaran dilakukan, yang menyebabkan siswa dan pendidik tidak mengetahui 'tujuan' apa yang akan dihasilkan sehingga tidak memiliki gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Di beberapa daerah di negara ini, terdapat bukti adanya peningkatan persentase siswa kelas awal yang tidak dapat membaca.

Banyaknya penutupan sekolah dan hilangnya pekerjaan akibat COVID-19 telah memperburuk situasi. Kinerja di bawah standar lebih parah terjadi pada anak-anak yang berada dalam situasi rentan, termasuk anak-anak dari rumah tangga berpenghasilan rendah, anak-anak dengan disabilitas, dan anak-anak yang tinggal di daerah tertinggal di negara ini, yang paling berisiko dikeluarkan dari sekolah.

Bahkan sebelum pandemi, pernikahan anak merupakan masalah di beberapa daerah miskin. Bukti menunjukkan bahwa pernikahan anak telah melonjak selama pandemi karena keluarga berpenghasilan rendah ingin mengurangi beban ekonomi mereka.

Pekerja anak sekarang lebih mungkin terjadi di rumah atau mendukung mata pencaharian rumah tangga (misalnya, bertani dan menangkap ikan) karena tindakan karantina wilayah membatasi kesempatan kerja.

Anak-anak penyandang disabilitas di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar. Penelitian menunjukkan bahwa disabilitas yang dialami anak-anak dan orang tua mempengaruhi pembelajaran mereka dan kemungkinan mereka untuk kembali ke sekolah.

Fasilitas pendidikan dan ifrastruktur yang buruk

Tujuh puluh lima persen sekolah di Indonesia berada di daerah berisiko bencana; negara seluas hampir 800.000 mil persegi ini rentan terhadap gempa bumi, tsunami, angin kencang, gunung berapi, tanah longsor, dan banjir.

Akses yang tidak merata ke internet, serta perbedaan dalam kualifikasi guru dan kualitas pendidikan, muncul sebagai tantangan terbesar dalam mengimplementasikan pembelajaran jarak jauh. Pembelajaran jarak jauh untuk anak-anak dan keragaman tingkat akses digital di Indonesia menyebabkan kesenjangan yang lebih jauh bagi anak-anak yang terpinggirkan.

Kualitas guru yang rendah

Salah satu penyebab utama rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kualitas guru yang disebabkan oleh proses rekrutmen guru yang tidak berfokus pada pemilihan tenaga kependidikan yang profesional, tetapi lebih pada pemenuhan kebutuhan pegawai negeri sipil.

Sebagian besar guru tidak memiliki profesionalisme yang memadai untuk melaksanakan tugasnya sebagaimana tercantum dalam Pasal 39 UU No. 20 Tahun 2003, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian kepada masyarakat.

Sebagai bagian dari proses rekrutmen pegawai negeri sipil, proses rekrutmen guru pada umumnya tidak memperhatikan kemampuan kerja yang dibutuhkan oleh seorang guru yang profesional.

Dalam sebuah survei baru-baru ini, guru-guru dalam sistem pendidikan yang mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG), yang mengukur kompetensi dalam pembelajaran dan pemahaman mata pelajaran yang diajarkan, bahkan tidak memenuhi skor minimum.

Survei tersebut juga menunjukkan bahwa guru yang berpendidikan di bawah standar yang ditetapkan pemerintah cukup tinggi, yaitu 64,09% untuk sekolah menengah pertama, 61,5% untuk sekolah menengah atas, dan 10,14% untuk sekolah menengah kejuruan.

Profesi guru membutuhkan keterampilan kerja yang kompleks. Guru harus mampu mengajar secara efektif dan memiliki komitmen serta motivasi yang tinggi untuk mencerdaskan anak didiknya.

Sementara itu, rekrutmen guru dalam sistem rekrutmen pegawai negeri sipil umumnya lebih mengutamakan nasionalisme dan pengetahuan umum dan bukan kompetensi mengajar.

Calon guru dengan nilai tertinggi pada seleksi kompetensi dasar akan mengikuti tes tertulis yang menguji kemampuan manajemen pembelajaran dan pengetahuan tentang mata pelajaran yang mereka ajarkan. Tidak ada cara untuk mengetahui kompetensi seorang guru profesional melalui tes pengetahuan umum tertulis.

Secara umum, perekrutan guru dalam proses pegawai negeri sipil tidak dapat memilih calon guru terbaik - sistem ini lebih mengutamakan nasionalisme dan pengetahuan umum, bukan pengajaran.

Disadur dari: brokenchalk.org