Pendahuluan
Usaha mikro—perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan—memegang peran penting dalam ekonomi Uni Eropa, mencakup sekitar 30% tenaga kerja. Meski demikian, mereka cenderung tertinggal dalam pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Artikel ilmiah berjudul "A balancing act: Swedish occupational safety and health inspectors’ reflections on their bureaucratic role when supervising micro-enterprises" (Hagqvist et al., 2020) mengangkat refleksi inspektur K3 Swedia dalam menghadapi usaha mikro. Penelitian ini menggambarkan betapa rumitnya menjadi pengawas regulasi sekaligus fasilitator perubahan dalam konteks usaha kecil yang penuh keterbatasan sumber daya.
Latar Belakang dan Signifikansi
Kebijakan K3 umumnya dirancang untuk perusahaan besar dan belum sepenuhnya menyesuaikan diri dengan kenyataan usaha mikro. Di Swedia, terdapat sekitar 292.000 usaha mikro, namun sebagian besar tidak pernah dikunjungi oleh inspektur. Ini menunjukkan ketimpangan struktural dalam pengawasan kerja. OSH (Occupational Safety and Health) inspectors berperan sebagai street-level bureaucrats, yaitu agen negara yang menjalankan kebijakan publik secara langsung dan memiliki wewenang menegakkan hukum. Namun, saat menghadapi usaha mikro, mereka terjebak antara formalisme hukum dan pendekatan empatik.
Metodologi Penelitian
Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif eksplanatif dengan wawancara mendalam terhadap 11 inspektur K3 dari berbagai daerah di Swedia. Analisis data dilakukan dengan metode konten tematik untuk mengidentifikasi pola, dilema, dan dinamika dalam pelaksanaan inspeksi. Tiga kategori utama ditemukan:
- Satu Inspektur, Banyak Peran
- Interaksi dengan Pemilik Usaha Mikro
- Menjalankan Profesi sebagai Inspektur
Temuan Utama
1. Satu Inspektur, Banyak Peran
Inspektur tidak hanya bertindak sebagai aparat penegak hukum, tetapi juga harus menjadi pendidik, motivator, bahkan konselor. Saat menghadapi pemilik usaha mikro yang gugup atau tidak mengerti aturan, mereka harus membangun suasana dialog, bukan tekanan. Salah satu inspektur menyatakan:
“Sering kali mereka gugup saat kami datang. Jadi penting untuk bicara ringan dulu, agar inspeksi bisa berjalan baik.”
Latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja para inspektur (misalnya sebagai guru atau fisioterapis) turut memengaruhi gaya komunikasi mereka.
2. Interaksi yang Penuh Dilema
Inspektur menghadapi dilema saat harus memberi sanksi pada perusahaan yang secara nyata tidak memiliki sumber daya untuk memperbaiki kondisi. Mereka digambarkan sebagai “penolong sekaligus penghukum.” Dalam satu kasus, seorang inspektur mengatakan:
“Memberi sanksi pada perusahaan besar itu mudah, tapi pada usaha mikro... bisa jadi mereka langsung bangkrut.”
Namun, mereka juga merasa menjadi penyelamat ketika intervensi mereka mencegah kecelakaan serius atau menutup tempat kerja yang membahayakan.
3. Menjalankan Profesi di Tengah Ketegangan Birokratis
Para inspektur menjalankan tugas berdasarkan regulasi resmi dari SWEA (Swedish Work Environment Authority), namun di lapangan mereka dituntut fleksibel. Keterampilan interpersonal seperti komunikasi, empati, dan penyesuaian gaya komunikasi sangat dibutuhkan. Misalnya, mereka harus menyesuaikan bahasa dan tampilan agar tidak menciptakan jarak sosial dengan pelaku usaha kecil.
“Datang ke perusahaan kecil dengan jas dan sepatu mengkilap itu bukan pilihan terbaik. Harus menyesuaikan agar bisa membangun suasana yang bersahabat.”
Mereka menyadari bahwa gaya inspeksi tradisional tidak selalu efektif di konteks usaha mikro, dan sering kali harus menafsirkan aturan secara kontekstual.
Analisis Kritis dan Implikasi Praktis
1. Kekosongan Model Inspeksi Khusus untuk Usaha Mikro
Banyak inspektur mengaku tidak memiliki model inspeksi yang relevan untuk skala usaha mikro. Regulasi yang berlaku terlalu generik dan kaku, tidak mempertimbangkan keterbatasan SDM, waktu, dan dana yang mereka hadapi.
2. Kurangnya Dukungan Kelembagaan
Meskipun inspektur mendapatkan pelatihan awal, mereka tidak dibekali keterampilan khusus untuk menghadapi dinamika sosial di usaha mikro. Tidak ada kurikulum pelatihan tentang negosiasi, pendekatan adaptif, atau inspeksi berbasis konteks.
3. Potensi Konflik Legitimasi dan Efektivitas
Dilema antara peran “penegak hukum” dan “pembimbing” membuat para inspektur mempertanyakan legitimasi tindakannya. Jika terlalu lunak, mereka dianggap tidak efektif. Jika terlalu keras, mereka membunuh usaha yang sedang berjuang.
Studi Kasus: Ketika Inspeksi Berakhir dengan Kebangkrutan
Salah satu inspektur menceritakan bahwa setelah beberapa kali kunjungan, sebuah usaha mikro memutuskan menutup operasional karena tidak mampu memenuhi standar K3. Di satu sisi, keputusan ini menyelamatkan pekerja dari kondisi berisiko. Namun di sisi lain, ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam menciptakan solusi yang inklusif dan adaptif.
Rekomendasi dan Solusi Ke Depan
- Pengembangan Model Inspeksi Adaptif
Dibutuhkan pendekatan yang mempertimbangkan realitas usaha mikro, termasuk model inspeksi modular, pendekatan pembinaan, dan monitoring jangka panjang. - Peningkatan Pelatihan Inspektur
Kurikulum pelatihan harus mencakup keterampilan komunikasi, pemahaman sosial, dan adaptasi konteks usaha mikro. - Pemberdayaan Usaha Mikro
Regulasi perlu dirancang ulang agar lebih membimbing daripada menghukum, termasuk panduan teknis sederhana, simulasi kasus, dan akses pendampingan profesional. - Pentingnya Dialog dan Kepercayaan
Proses inspeksi harus menciptakan dialog dua arah. Usaha mikro perlu merasa bahwa inspektur datang untuk membantu, bukan menjatuhkan.
Kesimpulan
Penelitian ini membuka wawasan penting tentang tantangan struktural dalam pengawasan keselamatan kerja pada usaha mikro. Inspektur K3 tidak hanya berperan sebagai eksekutor kebijakan, tetapi juga sebagai fasilitator perubahan sosial di tempat kerja. Tanpa dukungan model inspeksi yang inklusif, pelatihan khusus, dan kebijakan yang adaptif, mereka akan terus berada dalam “permainan seimbang” yang melelahkan antara peraturan dan realitas.
Sumber : Hagqvist, E., Vinberg, S., Toivanen, S., & Landstad, B. J. (2020). A balancing act: Swedish occupational safety and health inspectors’ reflections on their bureaucratic role when supervising micro-enterprises. Small Business Economics, 57, 821–834.