Pengantar: Air dan Tata Ruang dalam Ketegangan Regulasi
Dalam era pembangunan pesat dan krisis ekologi, air tak lagi sekadar sumber daya—melainkan komoditas strategis. Namun, pengelolaannya seringkali terpisah dari rencana tata ruang, yang seharusnya menjadi fondasi dalam mendesain masa depan wilayah. Studi oleh Silviani Junita dan Imam Buchori (2016) membedah efektivitas lembaga pemerintah dalam mengintegrasikan pola pengelolaan air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan fokus di Provinsi Jawa Tengah.
Hasilnya? Integrasi yang diharapkan belum optimal. Artikel ini akan mengupas sebab-akibatnya, mengaitkan dengan tren kebijakan air nasional dan memberikan pandangan strategis ke depan.
Metodologi dan Fokus Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan basis deduktif. Data dikumpulkan dari:
- Wawancara dan kuesioner: 30 responden dari Kementerian PU, Bappeda, Dinas PSDA, Dinas Cipta Karya
- Kajian dokumen hukum dan RTRW
- Analisis kebijakan dan daya dukung kelembagaan
Fokus utama adalah efektivitas koordinasi kelembagaan antar sektor—baik pusat maupun daerah—dalam menyatukan pola pengelolaan air dan perencanaan ruang.
Hasil Penelitian: Banyak Aturan, Minim Integrasi
Masalah Substansi Regulasi:
- UU No. 7/2004 tentang SDA vs UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang → berbeda istilah dan pendekatan
- SDA gunakan istilah pengelolaan, RTRW gunakan penataan
- Perbedaan penggunaan istilah DAS dan Wilayah Sungai
- Konsep "pola pengelolaan DAS" tidak sinkron dengan "pola pengelolaan wilayah sungai"
Struktur Lembaga:
- Kelembagaan SDA: melibatkan Dirjen SDA, Dinas PSDA, Balai Wilayah Sungai
- Kelembagaan RTRW: Bappeda, BKPRD, Dinas Cipta Karya & Tata Ruang
- Ada forum seperti TKPSDA dan Dewan SDA, namun belum efektif menjembatani sektor
Studi Kasus Jawa Tengah: Koordinasi Belum Tuntas
Fakta Lapangan:
- 5 Wilayah Sungai jadi kewenangan pusat, 2 dikelola daerah
- Banyak program konservasi dan pembangunan air jalan sendiri-sendiri
- Pemanfaatan lahan sering bertabrakan dengan zona konservasi air
- Dewan SDA dan BKPRD belum sinkron dalam penetapan prioritas ruang air
Dampaknya:
- RTRW tidak mencerminkan prioritas pelestarian sumber air
- Rencana teknis pengelolaan air tidak termuat dalam perencanaan ruang
- Ketidakpastian regulasi dalam investasi infrastruktur air
Analisis & Opini: Ego Sektoral dan Masalah Klasik Tata Kelola
Kritik Penulis:
- Kelembagaan hanya formal di atas kertas
- Koordinasi sektoral minim, padahal saling ketergantungan tinggi
- Lemahnya political will untuk harmonisasi kebijakan lintas sektor
Perbandingan Global:
- Negara seperti Belanda dan Portugal telah menyatukan pengelolaan air dan ruang dalam satu badan regulasi
- Di Indonesia, desentralisasi justru menciptakan fragmentasi tata kelola (Faguet, 2004)
Saran Tambahan:
- Gunakan data spasial digital dan dashboard terintegrasi untuk menyatukan informasi SDA & RTRW
- Adopsi pendekatan landscape planning yang menyatukan fungsi ekologi dan perencanaan sosial
- Rekomendasi Strategis
- Revisi Undang-Undang agar sinkronisasi istilah dan tujuan SDA-RTRW tercapai
- Bentuk forum regulasi tetap antara Dewan SDA dan BKPRD
- Bangun kapasitas kelembagaan daerah, agar koordinasi lintas sektor lebih adaptif
- Kembangkan pedoman teknis terpadu tentang muatan SDA dalam RTRW
- Dorong kepemimpinan Gubernur sebagai penghubung dua sektor
Penutup: Tata Ruang Tanpa Air adalah Rencana Tanpa Nyawa
Penelitian ini menyuarakan realita bahwa tata ruang tidak bisa berdiri sendiri tanpa integrasi yang kokoh dengan pola pengelolaan air. Dengan ancaman krisis air, fragmentasi kelembagaan dan regulasi yang bertabrakan adalah risiko besar bagi keberlanjutan pembangunan.
Kuncinya bukan menambah regulasi baru, tetapi menyatukan visi antara pengelolaan air dan tata ruang, dengan kelembagaan yang berfungsi aktif, bukan pasif.
Sumber:
Junita, S., & Buchori, I. (2016). Efektivitas kelembagaan pemerintah dalam integrasi pola pengelolaan sumber daya air dalam RTRW (Studi Kasus: Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 4(1), 1–12.