Reformasi Bisnis Terbesar di Indonesia: Omnibus Law dan Perubahan dalam Regulasi Impor dan Ekspor

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani

23 April 2024, 11.00

Sumber: pixabay.com

Implementasi Omnibus Law yang baru merupakan upaya reformasi bisnis yang paling serius di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2021 (PP 29/2021), undang-undang tersebut memberikan kewenangan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menerbitkan persetujuan, verifikasi, kewajiban, dan lisensi untuk kegiatan ekspor-impor. Selain itu, Kemendag kini memiliki kewenangan untuk memberikan otonomi yang lebih besar dan kemudahan dalam memperoleh izin usaha bagi para importir atau eksportir. Perusahaan-perusahaan kini hanya memerlukan Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk memulai kegiatan impor atau ekspor mereka. Memperoleh NIB dapat dilakukan melalui sistem Online Single Submission (OSS). Sebelumnya, pelaku usaha harus mengajukan salah satu dari tiga jenis perizinan impor: API-U (Angka Pengenal Impor Umum); API-P (Angka Pengenal Impor Produsen); dan Angka Pengenal Impor Terbatas, yang juga dikenal sebagai API Terbatas (API-T). NIB sekarang berfungsi ganda sebagai API-U, API-P, dan API-T.

Untuk beberapa jenis barang tertentu masih memerlukan izin impor tambahan dari Kementerian Perdagangan seperti: Lisensi pendaftaran importir; Lisensi persetujuan impor untuk importir produsen (perusahaan yang mengimpor bahan yang digunakan dalam pembuatan produk mereka sendiri); atau Lisensi persetujuan impor umum. Dan pemegang lisensi impor masih perlu mendeklarasikan semua barang yang diimpor ke Indonesia kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Sebelum mengimpor atau mengekspor barang, perusahaan harus memeriksa Kode Harmonisasi Sistem (HS) Indonesia. Kode ini digunakan untuk mengklasifikasikan setiap kategori produk karena produk tertentu mungkin memerlukan lisensi atau registrasi tambahan. Selain itu, kode HS merupakan salah satu faktor yang menentukan tarif pajak dan bea cukai, serta persyaratan impor/ekspor khusus untuk produk tersebut.

Impor beberapa produk diatur berdasarkan Daftar Barang yang Dibatasi dan Dilarang, yang juga dikenal sebagai "daftar LARTAS". Peraturan Menteri Perdagangan Indonesia Nomor 18 (Permendag 18/2021) menyediakan daftar terbaru dari jenis barang yang dilarang diimpor ke dan diekspor dari Indonesia. Untuk memeriksa pembatasan impor tertentu, importir dapat memeriksa melalui portal INSW di http://eservice.insw.go.id/ Menu "Informasi Lartas". Peraturan ini memberikan kategori baru untuk barang-barang yang dilarang untuk diimpor, yaitu, perkakas tangan jadi, gula, bahan perusak ozon, obat dan makanan tertentu, dan bahan berbahaya dan beracun, antara lain. Kategori-kategori barang yang dilarang untuk diekspor meliputi besi tua, barang cagar budaya, pupuk bersubsidi, produk pertambangan, kehutanan, dan produk pertanian tertentu.

Larangan tersebut berlaku untuk impor barang dari luar daerah pabean Indonesia ke pelabuhan perdagangan bebas dan kawasan perdagangan bebas, dan ekspor barang dari pelabuhan perdagangan bebas dan kawasan perdagangan bebas.

Selain itu, peraturan tersebut juga berlaku untuk impor barang dari luar daerah pabean ke dalam zona ekonomi eksklusif, ekspor barang dari zona ekonomi eksklusif ke luar daerah pabean, dan impor barang dari luar daerah pabean ke dalam kawasan berikat, dan ekspor barang dari kawasan berikat ke luar daerah pabean.

Menteri Keuangan mengeluarkan peraturan No. 102/PMK.04/2019 (PMK-102), sebuah peraturan tentang ekspor kembali barang impor. Berdasarkan aturan yang ada (PMK-149), ekspor kembali barang impor dapat dilakukan berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean dalam kasus-kasus seperti: barang impor tidak sesuai dengan purchase order, barang impor salah kirim, barang rusak, atau barang tidak boleh diimpor karena adanya kebijakan pemerintah.

Transshipment atau pemindahan kapal berada di bawah objek pengawasan otoritas bea cukai Indonesia. Banyak permasalahan berupa seringnya terjadi transshipment di tengah laut yang merugikan negara dan menjadi modus ekspor ilegal dan/atau fiktif. Sebagai negara kepulauan, laut dan udara merupakan ruang terbuka yang mengandung hambatan, tantangan, dan gangguan yang perlu dicegah oleh otoritas negara karena berpotensi mengganggu stabilitas pertahanan, keamanan, sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Sebagaimana diatur oleh pihak berwenang, lalu lintas barang dan alat transportasi harus tunduk pada bea cukai, imigrasi, dan karantina.

Bea Cukai menyediakan sistem pemantauan termasuk sistem kontrol transfer transshipment yang telah terintegrasi antara bea cukai dan bandara. Transshipment di tengah laut dilarang dan syahbandar dilarang memfasilitasi bongkar muat di perairan lepas atau di luar pelabuhan yang telah ditetapkan. Prosedur pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari pusat logistik berikat dalam rangka ekspor dan/atau transshipment diatur dalam peraturan bea cukai PER-10/BC/2017.  Beberapa pelabuhan di Indonesia dapat melayani transshipment, seperti Jakarta International Container Terminal (JICT) di Jakarta, dan saat ini pemerintah sedang mempersiapkan pelabuhan transshipment lainnya, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung yang terletak di Provinsi Sumatera Utara.

Transshipment merupakan solusi alternatif untuk efisiensi bahan bakar terutama untuk industri perikanan. Transshipment untuk perikanan diatur di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan di bawah peraturan 58/PERMEN-KP/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Disadur dari: www.trade.gov