Potensi AI yang Belum Dimanfaatkan dalam Merevolusi Bimbingan Karier di Universitas di Indonesia

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

14 Mei 2024, 19.29

Sunber: moderndiplomacy.eu

Di tengah pasar kerja yang berubah dengan cepat, Pusat Karir Universitas di Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan terkait ketidaksesuaian antara keterampilan lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan industri. Data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) untuk tahun 2023 dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk bulan Agustus 2022 menunjukkan gambaran yang memprihatinkan tentang pengangguran di kalangan lulusan universitas.

Menurut Kemnaker, sekitar 12% dari total pengangguran di Indonesia, atau sekitar 2,5 juta orang, adalah lulusan baru dengan gelar sarjana dan diploma. Sementara itu, data BPS menunjukkan bahwa dari 8,43 juta orang yang menganggur di Indonesia, sekitar 673.000 orang atau 8% adalah lulusan universitas (Sarjana, Master, PhD).

Tantangan-tantangan pusat karier universitas

Tantangan bagi institusi pendidikan tinggi di Indonesia muncul dari beberapa faktor. Pertama, terdapat kesenjangan antara kurikulum pendidikan tinggi yang diajarkan di universitas dengan kebutuhan dan perkembangan industri yang terus berkembang. Banyak institusi pendidikan tinggi yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan kemajuan teknologi dan munculnya kebutuhan keterampilan baru di pasar kerja.

Kedua, kurangnya keterampilan praktis dan soft skill seperti berpikir kritis, kerja sama tim, dan komunikasi efektif, yang semakin banyak dicari oleh pemberi kerja. Ketidaksesuaian ini menciptakan tantangan bagi lulusan untuk memasuki pasar kerja yang semakin kompetitif dan dinamis, memperlebar kesenjangan antara kebutuhan pendidikan dan industri, dan menyebabkan peningkatan pengangguran di kalangan lulusan baru.

Situasi ini diperburuk dengan kemajuan Kecerdasan Buatan (AI), yang tidak hanya memicu perubahan dalam permintaan keterampilan namun juga membuat banyak pekerjaan tradisional menjadi tidak relevan. Dalam menghadapi lanskap pekerjaan yang semakin kompleks ini, AI menjadi instrumen penting dalam transformasi layanan konseling karir.

AI menawarkan panduan yang lebih personal, akurat, efisien, dan mudah diakses, selaras dengan kebutuhan dan tren pasar kerja saat ini, sebagai solusi strategis untuk mengatasi ketidaksesuaian keterampilan ini. Kesenjangan keterampilan antara lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan industri tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi merupakan masalah yang mempengaruhi banyak negara berkembang.

Faktor-faktor seperti perkembangan teknologi yang pesat, perubahan tuntutan pasar kerja, dan sistem pendidikan yang mungkin tidak sejalan dengan kebutuhan industri saat ini sering kali memperumit tantangan ini.

Di negara-negara berkembang, tantangan ini diperburuk dengan tingginya tingkat pengangguran kaum muda dan perubahan teknologi yang melebihi kemampuan lembaga pendidikan untuk beradaptasi. Selain itu, terdapat perbedaan besar antara apa yang diharapkan oleh pemberi kerja dan kompetensi yang dimiliki lulusan.

Kesenjangan ini dipertegas dengan meningkatnya permintaan pengusaha akan keterampilan lunak (soft skill) seperti pemikiran kritis, kreativitas, dan komunikasi, selain kompetensi teknis yang selama ini dihargai. Pengamatan ini didukung oleh wawasan dari beberapa sumber utama.

Laporan “Masa Depan Pekerjaan” yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyelidiki perubahan dalam kebutuhan keterampilan yang didorong oleh kemajuan teknologi dan otomatisasi. Demikian pula, data UNESCO mengenai pendidikan dan keterampilan memberikan analisis tentang bagaimana sistem pendidikan di seluruh dunia merespons perubahan kebutuhan pasar kerja.

Selain itu, survei dan studi dari McKinsey & Company sering kali mempublikasikan temuan mengenai keterampilan masa depan dan kesenjangan keterampilan, dengan fokus khusus pada negara-negara berkembang. Sumber-sumber ini secara kolektif menyoroti perubahan ekspektasi pemberi kerja dan pentingnya lembaga pendidikan untuk beradaptasi.

Disadur dari: moderndiplomacy.eu