Pertanian Regeneratif dalam Sistem Produksi Kelapa Sawit Petani Kecil di Kalimantan Tengah, Indonesia

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

08 Juni 2024, 08.11

Sumber: Pexels.com

Masalah Sistemik

Kelapa sawit sering kali dibudidayakan secara monokultur dengan menggunakan bahan kimia yang intensif untuk mendapatkan hasil panen yang tinggi, sehingga cenderung dikaitkan dengan degradasi lingkungan. Petani kelapa sawit, yang memperoleh sebagian besar teknik penanaman kelapa sawit mereka dari perkebunan di daerah sekitarnya, percaya bahwa sistem monokultur adalah cara yang paling efisien untuk menanam kelapa sawit karena menghasilkan keuntungan yang maksimal. Sebagai alternatif, pertanian regeneratif di perkebunan kelapa sawit menjanjikan produksi minyak kelapa sawit organik yang produktif dan berkelanjutan dengan berkontribusi pada penciptaan lingkungan yang sehat. Selain itu, memperkenalkan pola tumpang sari melalui wanatani kelapa sawit dengan tanaman pohon lainnya dapat membantu meningkatkan mata pencaharian dan pendapatan petani.

Pertanian regeneratif adalah praktik yang didasarkan pada pemeliharaan dan pemulihan kesehatan dan kesuburan tanah, melindungi dan meningkatkan retensi air, melindungi keanekaragaman hayati dalam praktik pertanian, memperbaiki kerentanan iklim untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan lahan pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga melalui pertanian. Praktik pertanian ini terdiri dari serangkaian teknik seperti praktik pemupukan organik, pengendalian hama-penyakit secara organik, penanaman tanaman penutup tanah, dan praktik wanatani yang didukung oleh teknologi inovatif untuk mengatasi tantangan yang disebabkan oleh perubahan iklim melalui pemulihan kesehatan tanah dan perlindungan ekosistem tanah.

Intervensi

Kami melakukan uji coba pertanian regeneratif dengan petani swadaya kelapa sawit di Kalimantan Tengah dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas dan profitabilitas bisnis pertanian kelapa sawit mereka. Petani yang berpartisipasi dalam program ini terdiri dari petani kelapa sawit yang sedang dalam proses mendapatkan sertifikasi hingga mereka yang telah mendapatkan sertifikasi Roundtable for Sustainable Palm Oil (RSPO).

Kami bertujuan untuk memperkenalkan tiga kegiatan utama pertanian regeneratif kepada para petani. Pertama, para petani didorong untuk menggunakan pupuk organik dan daur ulang, mulsa, dan pengendalian hama/gulma secara organik. Kedua, karena wanatani kelapa sawit ditanam di lahan kosong dan tanpa tutupan hutan, memulihkan ekosistem merupakan tugas yang menantang; oleh karena itu, para petani didorong untuk menanam kelapa sawit dalam wanatani, menggabungkannya dengan spesies pohon lain dan menjauh dari pengaturan perkebunan monokultur. Ketiga, program ini mendukung petani kelapa sawit untuk melakukan diversifikasi mata pencaharian dengan mengintegrasikan kelapa sawit dengan sapi dan tanaman tumpang sari. Tumpang sari dilakukan dengan bantuan berbagai tanaman mulai dari tanaman buah hingga tanaman penutup tanah dan semak anti hama.

Lokasi

Pelaksanaan intervensi dilakukan di empat desa di Kalimantan Tengah, yaitu Desa Sulung, Bahaur, Bangkal, dan Selunuk. Desa Sulung terletak di Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, sedangkan di Kabupaten Seruyan, Desa Bahaur terletak di Kecamatan Hanau dan Desa Bangkal dan Selunuk terletak di Kecamatan Seruyan Raya.

Pada tahun 2024, tiga desa tambahan - yaitu Sandul, Tanjung Rangas II, dan Sukorejo di Kabupaten Seruyan - juga mulai berpartisipasi dalam intervensi ini. Desa Sandul dan Sebabi terletak di Kecamatan Batu Ampar, sedangkan Desa Tanjung Rangas II dan Sukorejo terletak di Kecamatan Danau Seluluk dan Seruyan Tengah.

Metode dan Kemajuan

1. Penyusunan panduan teknis budidaya kelapa sawit organik

Tujuan dari penyusunan panduan teknis budidaya kelapa sawit organik ini adalah untuk memandu petani kelapa sawit dalam membuat dan mengaplikasikan pupuk organik untuk melindungi kelapa sawit dari serangan hama dan penyakit, menanamkan praktik wanatani kelapa sawit, serta mengajarkan cara mencatat pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dalam sebuah buku catatan harian (logbook).

Panduan teknis aplikasi pupuk organik ini mengarahkan petani untuk memahami dan mempraktikkan prinsip-prinsip pembuatan pupuk organik, menentukan dosis pupuk, menyiapkan lahan untuk aplikasi pupuk, dan teknik-teknik pemupukan. Selain itu, panduan perlindungan tanaman juga memberikan pemahaman mengenai gejala dan penanganan mekanis hama dan penyakit serta gulma pada tanaman kelapa sawit, serta pembuatan dan penggunaan larutan tetes tebu (dekomposer) dan pestisida organik. Selain itu, dengan terlibat dalam praktik wanatani kelapa sawit, petani dapat memahami dan menerapkan prinsip-prinsip perencanaan dan strategi desain sistem wanatani kelapa sawit, pola tanam dan jarak tanam, persyaratan jumlah tanaman kelapa sawit dan jenis pohon/tanaman lainnya, serta kinerja ekonomi perkebunan kelapa sawit dalam praktik monokultur dan wanatani.

2. Penyebaran informasi mengenai pertanian regeneratif melalui proses FPIC

Sebelum memulai kegiatan pertanian regeneratif, pemerintah desa dan masyarakat di desa-desa tersebut mendapatkan informasi yang memadai mengenai praktik pertanian regeneratif berdasarkan prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA) untuk memastikan bahwa mereka dapat mendukung dan berpartisipasi penuh dalam pelaksanaan praktik-praktik tersebut. Sesi sosialisasi yang dilakukan berfokus pada pengenalan konsep praktik pertanian regeneratif yang diterapkan di perkebunan kelapa sawit dengan meningkatkan pemahaman petani dalam mengembangkan budidaya kelapa sawit organik, dimana produksi pupuk organik didasarkan pada pemanfaatan bahan baku lokal yang potensial seperti limbah pertanian dan ikan, limbah rumah tangga, kotoran ternak, limbah gula yang diekstraksi, dan limbah tandan kosong yang diperoleh dari pabrik.

3. Pemilihan perkebunan kelapa sawit sebagai demplot pertanian regeneratif

Setelah melalui beberapa kali pertemuan, masyarakat desa diyakinkan untuk mengajukan beberapa kebun kelapa sawit mereka yang dikelola secara monokultur dan wanatani untuk dijadikan demplot sebagai sarana pembelajaran praktik pertanian regeneratif. Sebagai informasi tambahan, mereka memberikan informasi mengenai pengelolaan perkebunan sebelumnya seperti penggunaan pupuk, kepemilikan lahan, produktivitas perkebunan, dan pendapatan dari perkebunan kelapa sawit tersebut.

Kami melakukan survei yang melibatkan semua petani yang berpartisipasi. Karakteristik petani yang berpartisipasi dalam program ini adalah sebagai berikut:

  • Petani yang berpartisipasi memiliki usia rata-rata 49 tahun, dan 40,7% dari mereka melaporkan bahwa pekerjaan utama mereka adalah petani kelapa sawit dengan pengalaman bertani kelapa sawit selama 11 tahun. Selain itu, sebanyak 57,6% dari mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah (yaitu sampai dengan sekolah dasar), sementara rata-rata jumlah anggota keluarga rumah tangga untuk setiap petani responden adalah sekitar tiga atau empat orang. Dari total 96 petani yang berpartisipasi dalam kegiatan pertanian regeneratif, 29,2% diikuti oleh petani perempuan yang juga tertarik untuk mengikuti praktik ini.
  • Produktivitas kebun kelapa sawit mencapai 1,2 ton/ha per panen setiap 16 hari sekali, sedangkan rata-rata panen kelapa sawit per tahun mencapai 27,3 ton/ha/tahun pada usia tanam 11 tahun. Lebih lanjut, pendapatan bulanan dari perkebunan kelapa sawit dan kegiatan pertanian lainnya mencapai USD 164, dengan nilai tukar Rp 15.000. Hampir semua petani (90,3%) memiliki akses yang mudah untuk memasarkan hasil panen mereka, terutama ke tengkulak lokal di sekitar desa.
  • Sebagian besar petani (94,9%) melaporkan memiliki pengetahuan yang minim tentang pemupukan tanaman kelapa sawit, dan hanya 5,1% yang menyatakan memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal tersebut.
  • Petani yang berpartisipasi dalam program ini hanya mampu mengalokasikan sejumlah kecil input untuk mengelola pertanian kelapa sawit berdasarkan praktik pertanian regeneratif karena mereka memiliki sumber daya dan akses yang terbatas terhadap informasi tentang pertanian regeneratif.
  • Sekitar 71,2% petani mulai mencoba menggunakan bahan organik di kebun kelapa sawit mereka, meskipun masih dikombinasikan dengan pupuk anorganik yang lebih dominan. Bahan organik ini diperoleh dari pelepah daun kelapa sawit yang digunakan untuk mengendalikan erosi dan didegradasi untuk mendukung ketersediaan bahan organik di sekitar pohon.

5. Pengumpulan dan analisis metrik pertanian regeneratif dari demplot kelapa sawit

Pada setiap demplot kelapa sawit di empat desa, analisis metrik lingkungan dilakukan, dan sampel tanah diambil pada kedalaman tertentu untuk menilai karakteristik fisik, kimia, dan biologi tanah, termasuk tekstur tanah, SOM (C-Org), C/N, efisiensi N, bulk density, populasi cacing tanah, dan pH tanah. Selain itu, kekeruhan dan kandungan nitrat di dalam air juga dinilai, bersama dengan keanekaragaman spesies vegetasi dan tutupan kanopi pohon. Selain itu, data emisi yang terkait dengan perubahan iklim dan kondisi kehidupan rumah tangga petani juga diamati.

Disadur dari: kaleka.id