Sungai Indus, Hidropolitik, dan Tantangan Kerja Sama Regional
Sungai Indus bukan hanya urat nadi bagi Pakistan dan India, tetapi juga simbol kompleksitas hubungan lintas batas di Asia Selatan. Sejak pembagian India dan Pakistan pada 1947, pengelolaan Indus telah menjadi sumber sengketa, kerja sama, dan ketegangan geopolitik. Paper “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation” karya Hanifeh Rigi dan Jeroen F. Warner (2020) menawarkan analisis mendalam tentang mengapa, meski ada perjanjian formal seperti Indus Waters Treaty (IWT), kerja sama air antara kedua negara tetap rapuh dan sering berujung pada kebuntuan.
Artikel ini sangat penting di tengah meningkatnya tekanan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan krisis air bersih di kawasan. Dengan menyoroti peran aktor domestik dan internasional, serta strategi negosiasi yang digunakan kedua negara, paper ini memberikan wawasan segar tentang dinamika “permainan dua level” (two-level game) dalam diplomasi air lintas batas.
Kerangka Teori: Realisme, Liberalisme, dan Permainan Dua Level
Realisme vs Liberalisme dalam Hidropolitik
Dalam studi hubungan internasional, realisme menekankan persaingan, konflik, dan kepentingan nasional sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri. Air, dalam perspektif ini, dipandang sebagai sumber daya strategis yang dapat digunakan untuk memperkuat posisi negara, bahkan sebagai alat tekanan politik atau militer. Sebaliknya, liberalisme (atau institusionalisme) menyoroti pentingnya institusi internasional, aktor non-negara, dan potensi kerja sama melalui rezim multilateral, seperti IWT.
Permainan Dua Level (Two-Level Game Theory)
Robert Putnam mengembangkan teori “permainan dua level” untuk menjelaskan bagaimana negosiator negara harus menyeimbangkan kepentingan domestik (Level II) dan internasional (Level I). Keberhasilan negosiasi sangat bergantung pada “win-set”—yaitu himpunan solusi yang bisa diterima baik oleh aktor domestik maupun mitra internasional. Semakin kecil win-set, semakin sulit tercapai kesepakatan. Paper ini menyoroti bahwa di Indus, win-set kedua negara sangat sempit akibat tekanan domestik, politisasi isu air, dan strategi negosiasi yang saling mengunci123.
Studi Kasus: Konflik dan Negosiasi di Sungai Indus
Latar Belakang: Indus Waters Treaty (IWT) dan Realitas Lapangan
IWT yang ditandatangani pada 1960, membagi enam sungai utama di Indus Basin: tiga sungai barat (Indus, Jhelum, Chenab) untuk Pakistan, dan tiga sungai timur (Ravi, Beas, Sutlej) untuk India. Perjanjian ini dianggap sukses bertahan lebih dari 60 tahun, bahkan melewati tiga perang besar antara kedua negara45. Namun, implementasinya terus diwarnai sengketa, terutama terkait pembangunan bendungan dan proyek pembangkit listrik India di sungai-sungai barat yang dianggap mengancam pasokan air Pakistan.
Angka-angka Kunci:
- Pakistan mendapat 80% aliran air Indus, namun 90% lahan irigasi Pakistan bergantung pada air yang bersumber dari wilayah India, terutama Kashmir16.
- Proyek besar India yang dipermasalahkan Pakistan antara lain: Kishanganga Dam (330 MW), Baglihar Dam (850 MW), Ratle Dam (810 MW), dan Tulbul/Wullar Project. Pakistan menuding proyek-proyek ini mengurangi debit air ke wilayahnya, menyebabkan kekeringan atau banjir ekstrem15.
Politik Domestik dan Securitization di Pakistan
Air di Pakistan sangat dipolitisasi dan disecuritasi—artinya diposisikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sekadar isu kebijakan publik. Aktor-aktor domestik seperti militer, partai Islamis, kelompok tani, dan teknokrat menggunakan narasi anti-India untuk memperkuat posisi tawar mereka. Misalnya, laporan Engineers Study Forum menuduh India “mencuri” 15–20% air, menyebabkan kerugian US$12 miliar per tahun bagi sektor pertanian Pakistan. Demonstrasi massal oleh kelompok tani dan aksi protes di berbagai kota menambah tekanan pada pemerintah untuk tidak berkompromi dengan India1.
Militer Pakistan, yang memiliki pengaruh kuat dalam politik luar negeri, memandang isu air tak terpisahkan dari konflik Kashmir. Setiap upaya kompromi dengan India sering digagalkan oleh tekanan kelompok ekstremis dan militer yang menganggap air adalah bagian dari “perjuangan” melawan India. Ketidakharmonisan antara pemerintah sipil, militer, dan kelompok agama memperkecil win-set domestik, sehingga negosiator sulit mengambil keputusan yang pragmatis1.
Politik Domestik dan Tekanan di India
Di India, tekanan datang dari politisi nasionalis, pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir, dan masyarakat lokal yang merasa IWT terlalu menguntungkan Pakistan. Setelah serangan teror di Kashmir (seperti insiden Uri 2016 dan Pulwama 2019), pemerintah India mendapat tekanan untuk mengambil sikap keras, termasuk mengancam meninjau ulang atau bahkan membatalkan IWT57. Pemerintah negara bagian Jammu & Kashmir secara resmi menuntut revisi atau bahkan pembatalan IWT, karena dianggap membatasi pembangunan ekonomi dan energi lokal.
Tekanan domestik ini membuat pemerintah India cenderung mengambil posisi negosiasi yang kaku, khawatir dianggap lemah di mata publik dan oposisi. Akibatnya, setiap upaya kompromi dengan Pakistan dianggap berisiko secara politik1.
Strategi Negosiasi: Securitization, Issue-Linkage, dan Aliansi
- Securitization: Kedua negara memframing isu air sebagai ancaman keamanan nasional. Di Pakistan, narasi “India akan mengeringkan sungai kami” digunakan untuk memobilisasi dukungan publik dan menekan pemerintah agar tidak berkompromi. Di India, isu air dikaitkan dengan keamanan nasional, terutama setelah serangan teror12.
- Issue-Linkage: India beberapa kali mengaitkan negosiasi air dengan isu terorisme. Setelah serangan di Uri, India menangguhkan pertemuan Komisi Indus dan menyatakan “darah dan air tidak bisa mengalir bersama.” Strategi ini membuat negosiasi air menjadi sandera isu lain, memperkecil kemungkinan win-set yang tumpang tindih17.
- Aliansi: Pakistan memperkuat aliansi dengan China, termasuk melalui pembangunan bendungan di wilayah Indus yang didukung Beijing. China juga menekan India melalui proyek bendungan di Sungai Brahmaputra, menciptakan tekanan geopolitik tambahan. Aliansi ini digunakan Pakistan untuk menyeimbangkan kekuatan India dan memperkecil tekanan dalam negosiasi18.
Dampak Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Ketergantungan Ekonomi Pakistan pada Indus
- 94% pengambilan air di Pakistan digunakan untuk pertanian, yang menyumbang 22,9% PDB dan menyediakan mata pencaharian bagi dua pertiga penduduk pedesaan6.
- 90% produksi pangan Pakistan bergantung pada irigasi Indus.
- 20% listrik nasional dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga air di Indus.
Namun, kapasitas penyimpanan air Pakistan sangat terbatas—kurang dari 10% aliran tahunan sungai, jauh di bawah standar internasional. Ini membuat Pakistan sangat rentan terhadap fluktuasi debit air akibat pembangunan bendungan di India atau perubahan iklim6.
Studi Kasus: Krisis dan Deadlock Negosiasi
- Baglihar Dam: Pakistan memprotes desain dan kapasitas bendungan ini, menuding India melanggar IWT. Setelah dua putaran negosiasi gagal, kasus ini dibawa ke ahli netral sesuai prosedur IWT, yang akhirnya memutuskan sebagian besar proyek India tetap berjalan45.
- Kishanganga Dam: Pakistan mengajukan enam protes formal, termasuk soal desain dan pengalihan air. Kasus ini akhirnya diputuskan oleh Permanent Court of Arbitration di Den Haag, yang mengizinkan proyek India dengan beberapa syarat teknis45.
- Ratle Dam: Pakistan menuntut pengurangan kapasitas dan perubahan desain, namun negosiasi kembali berakhir buntu, dengan kedua negara saling membawa kasus ke forum internasional45.
Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain
Nilai Tambah Artikel
Paper ini menonjol karena:
- Menggunakan kerangka “permainan dua level” untuk menganalisis hambatan kerja sama air, bukan sekadar melihat konflik sebagai hasil pertentangan negara.
- Menunjukkan bahwa aktor domestik (militer, politisi, kelompok agama, masyarakat lokal) sama pentingnya dengan aktor negara dalam menentukan hasil negosiasi.
- Mengidentifikasi strategi negosiasi (securitization, issue-linkage, aliansi) sebagai penghambat utama, bukan hanya perbedaan teknis atau kekurangan institusi123.
Kritik dan Keterbatasan
- Paper ini kurang membahas secara mendalam dampak perubahan iklim terhadap ketersediaan air dan relevansi IWT ke depan, padahal isu ini makin krusial98.
- Tidak banyak mengulas potensi reformasi kelembagaan atau mekanisme baru yang dapat memperluas win-set dan membuka jalan bagi kerja sama yang lebih adaptif dan inklusif.
- Kurang menyoroti peran masyarakat sipil lintas negara atau inisiatif lokal yang bisa menjadi jembatan di tengah kebuntuan politik tingkat tinggi.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi Astha Nahar (2023) menyoroti perlunya modernisasi IWT agar lebih responsif terhadap tantangan perubahan iklim, pengelolaan air tanah, dan kebutuhan adaptasi kelembagaan9. Sementara laporan-laporan lain menyoroti bahwa IWT masih terlalu negara-sentris dan kurang melibatkan komunitas lokal atau mekanisme partisipatif dalam pengambilan keputusan8.
Relevansi dengan Tren Regional dan Global
Konteks Asia Selatan dan Global
- Ketegangan India-Pakistan: Suspensi IWT oleh India pada 2025 setelah serangan teror di Kashmir menandai titik balik dalam diplomasi air Asia Selatan, dengan risiko eskalasi konflik terbuka dan ketidakpastian pasokan air lintas negara7.
- Perubahan Iklim: Perubahan pola curah hujan, mencairnya gletser Himalaya, dan meningkatnya frekuensi banjir/kekeringan menambah tekanan pada sistem Indus, membuat mekanisme kerja sama yang adaptif semakin mendesak98.
- Dinamika Global: Sengketa Indus menjadi studi kasus penting bagi tata kelola sungai lintas batas di dunia, menyoroti perlunya kerangka hukum internasional yang lebih kuat dan inklusif, seperti Konvensi Hukum Air PBB8.
Rekomendasi dan Jalan ke Depan
- Perluasan Win-Set melalui Reformasi Kelembagaan: Memperkuat peran Komisi Indus Permanen (PIC), memperluas mandat IWT untuk mencakup air tanah, adaptasi iklim, dan partisipasi masyarakat sipil9.
- Dekonstruksi Securitization: Mengurangi narasi ancaman eksistensial dan membuka ruang dialog berbasis data, sains, dan kepentingan bersama.
- Pengelolaan Isu-Linkage secara Bijak: Memisahkan isu air dari isu politik/keamanan lain agar negosiasi tidak selalu terjebak deadlock.
- Kolaborasi Regional dan Internasional: Melibatkan pihak ketiga secara lebih aktif, baik dari lembaga internasional maupun negara-negara tetangga, untuk memediasi dan memfasilitasi dialog.
- Modernisasi dan Adaptasi Perjanjian: Menyesuaikan IWT dengan tantangan abad ke-21, termasuk perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan dinamika geopolitik baru.
Kesimpulan
Paper ini menunjukkan bahwa kerja sama air lintas batas di Indus tidak hanya soal teknis atau hukum, melainkan juga soal politik domestik, identitas, dan strategi negosiasi yang kompleks. Selama win-set tetap sempit akibat tekanan domestik, politisasi, dan aliansi geopolitik, peluang kerja sama substantif akan tetap kecil. Namun, dengan reformasi kelembagaan, depolitisasi isu air, dan pendekatan adaptif, masih ada harapan untuk membangun tata kelola air yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan di Indus—dan kawasan lain di dunia.
Sumber Artikel Asli
Hanifeh Rigi and Jeroen F. Warner. “Two-level games on the trans-boundary river Indus: obstacles to cooperation.” Water Policy 22 (2020): 972–990.