Pengurangan Emisi Karbon dan Prospek Industri Migas ke Depannya

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana

19 April 2024, 08.51

Sumber: Dok. PLN

Industri migas telah menjadi ikon investasi yang sangat menguntungkan selama lebih dari satu abad belakangan. Sejak intensifikasi penggunaan BBM dan gas alam digunakan di berbagai sektor, mulai dari Rumah Tangga, Transportasi, Industri, dan Ketenagalistrikan di awal abad ke-20, hingga kini migas menjadi komoditas energi yang belum dapat tergantikan dan masih relatif memberikan keuntungan signifikan baik bagi perusahaan migas sendiri ataupun bagi para investor yang terlibat di dalamnya.

Meski demikian, sektor migas melahirkan kerentanan dalam pemenuhan energi di banyak negara, hal ini mengingat rasio tingkat konsumsi migas tidak dibarengi dengan kepemilikan cadangan dan kemampuan produksi yang memadai. Alhasil ada negara-negara eksportir migas yang mampu secara konsisten mendulang keuntungan dan devisa hampir satu abad, terutama mereka yang tergabung dalam OPEC+ Rusia. Sementara negara-negara lainnya yang menjadi pengonsumsi migas terus menerus harus menyerahkan devisanya untuk pemenuhan kebutuhan migas domestik.

Di sisi lain, sebagai komoditas yang bersifat oligopolis, tingkat harga migas sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik energi yang secara tahunan ditentukan di sidang OPEC+ untuk menentukan rencana produksi tahunan. Kondisi ini salah satu yang pada akhirnya mempercepat upaya mendorong pemanfaatan energi terbarukan (EBT), khususnya di sektor ketenagalistrikan dan transportasi. Harapannya dengan proses transisi energi berbasis energi terbarukan yang potensinya tersebar luas secara merata akan mampu mengurangi ketergantungan ekonomis terhadap negara-negara penghasil energi fosil, terutama migas.

Berkembang pesat

Di sektor ketenagalistrikan, kemajuan dalam pemanfaatan energi terbarukan yang berbasis surya, angin, geothermal hingga gelombang laut terus berkembang dengan pesat, kapasitas EBT secara global meningkat 4,8 kali lipat dalam satu dekade, dari 761 TWh menjadi 3657 TWh. Meski demikian, sektor ketenagalistrikan masih tetap membutuhkan topangan backbond system yang dapat diharapkan keandalannya serta mampu memproduksi listrik secara masif, di antaranya dengan mempertahankan penggunaan sumber energi primer berbasis gas, selain juga intensifikasi penggunaan nuklir dan air skala raksasa.

Kebutuhan gas untuk sektor tenaga listrik secara global terus meningkat dengan kapasitas pembangkit gas mencapai 4888 TWh pada 2010 dan kini telah menjadi 6518 TWh di 2021. Diproyeksikan permintaan gas alam berbasis pipa dan LNG akan terus meningkat hingga 2050 nanti seiring dengan pertumbuhan permintaan listrik yang dibarengi dengan komitmen pengeliminasian PLTU batubara, khususnya di negara-negara maju.

Gas menjadi pilihan utama mengingat pemanfaatannya yang lebih mudah dengan distribusi yang juga lebih murah sehingga dari sisi harga jauh lebih kompetitif di banding BBM. Di sisi lain, kadar emisi dari gas dan LNG jauh lebih rendah dengan tingkat efisiensi kalori yang lebih tinggi.

 

Shifting Teknologi

Di sektor transportasi, penggunaan energi terbarukan masif digunakan mulai dari intensifikasi penggunaan biofuel sebagai alternatif pengganti atau campuran bagi BBM, dan kini juga tengah berlangsung upaya masif untuk menggantikan teknologi kendaraan berbasis BBM ke kendaraan rendah emisi berbasis listrik dan hidrogen. Persaingan keduanya telah melibatkan industri-industri terkemuka untuk mendorong percepatan dekarbonisasi di sektor transportasi.

Untuk mempertahankan linearitas industrinya, banyak industri migas juga terlibat kolaborasi dengan industri otomotif untuk mempercepat pembentukan supply chains Green hidrogen, seperti yang telah dilakukan Kawasaki dan ADNOC pertengahan April lalu. Meski demikian, di sektor transportasi khususnya untuk angkutan laut dan udara, pemanfaatan BBM masih relatif lebih tinggi dan inovasinya masih relatif jauh lebih lambat dibanding inovasi teknologi untuk angkutan darat, faktor utamanya menyangkut kebutuhan bahan bakar yang mampu memproses pembakaran dengan intensitas kalori tinggi, seperti Avtur, Avgas, HSDO (High Speed Diesel Oil), dan MDF/O (Marine Diesel Fuel/Oil) belum secara optimal dapat digantikan oleh berbagai alternatif sumber energi lainnya.

Diperkirakan pertumbuhan kendaraan listrik akan mengalami akselerasi seiring dengan kebijakan-kebijakan afirmatif di berbagai negara untuk menurunkan biaya produksi komponen baterai, di antaranya dengan pembebasan bea masuk bahan baku hingga insentif penghapusan PPn. Namun, dengan penguasaan teknologi dan bahan baku yang belum cukup merata akan dipastikan bahwa proses transisi akan berjalan lebih lambat di negara-negara berkembang.

Untuk industri dan rumah tangga, seiring perubahan desain perangkat rumah tangga berbasis elektrik dan mesin industri yang lebih mengintensifkan penggunaan listrik, permintaan BBM dan gas akan mengalami penurunan secara eksponensial, kecuali untuk industri-industri yang membutuhkan pembakaran seperti di sektor peleburan yang masih akan mengandalkan gas secara masif. Namun, di negara-negara empat musim, penggunaan gas untuk pemanas di musim dingin akan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi.

Tiga Model Transformasi

Meski banyak pakar tetap optimistik dengan permintaan migas yang tidak akan merosot hingga 2050 nanti, tetapi sektor ini akan mengalami pengurangan efisiensi terutama dari sisi lahirnya kebijakan protektif terkait pengendalian emisi, mulai dari pengenaan pajak karbon hingga restriksi dari sisi investasi yang mulai memasukkan industri migas dalam ruang investasi berisiko tinggi terhadap perubahan iklim, khususnya untuk aktivitas eksplorasi baru yang memiliki resiko pada deforestrasi maupun degradasi ekosistem bawah laut.

IMF (2022) mencatat terjadi penurunan investasi global di sektor migas, proporsinya turun dari 3,6% total investasi global pada 2014 menjadi 1,5% saja pada 2021. IEA (2022) memprediksi dengan penurunan investasi akan berdampak pada penurunan kapasitas produksi secara bertahap 8% per tahun hingga 2050 nanti. Situasi ini dihadapi secara efektif oleh perusahaan-perusahaan migas di tingkat global yang mulai merubah citra dirinya tidak hanya sebagai oil and gas company, tetapi menjadi integrated energy company.

Dengan kekuatan modal yang besar dan keunggulan di bidang teknologi memungkinkan industri migas melakukan transformasi dengan cepat untuk merambah ke sektor energi terbarukan. Ada tiga contoh menarik proses transformasi di sektor migas; pertama, Model British Petroleum (BP) yang dalam roadmap 2050 tegas mencanangkan diri sebagai integrated energy company. Meski pada 2022, 89% capex dalam portofolio BP masih berada di sektor hulu migas, tetapi BP berkomitmen 2030, 50% capex-nya berada pada energi rendah karbon yang berbasis pada proyek EBT, utamanya pengembangan pembangkit listrik berbasis EBT dan pengembangan biofuel.

Kedua, Model Uni Emirates Arab (UEA),di mana tiga perusahaan migasnya --Mubadala, ADNOC, dan TAQA-- membentuk konsorsium untuk membentuk sayap korporasi di bidang energi terbarukan bernama Masdar Energy. Masdar Energy berfokus dalam proyek-proyek berbasis energi terbarukan khususnya Solar PV, Wind dan energi berbasis sampah. Agresivitas Masdar diharapkan menjadi sayap baru ketika nantinya induk bisnisnya mengalami kemerosotan, akan diimbangi oleh akselerasi bisnis EBT yang menjadi kekuatan bisnis baru di masa depan.

Ketiga, Model Pertamina, yang cukup menarik diamati karena sebagai perusahaan migas plat merah di Indonesia yang pada dasarnya lebih banyak mengoperasikan bisnis hilir dibanding hulunya. Pertamina mencoba membangun anak perusahaan baru yang sejalan dengan core competency-nya di bidang pengeboran, yaitu Pertamina Geothermal Energy. Bahkan kini PGE dilepaskan menjadi satu-satunya anak perusahaan Pertamina yang melepaskan saham ke publik pada Maret lalu.

Melalui IPO PGE diharapkan dapat melakukan aksi korporasi untuk memasifkan pendanaan dalam pembiayaan project di sektor geothermal mengingat Indonesia memiliki potensi geothermal terbesar kedua di dunia setelah AS, dengan potensi mencapai 23,7 GWe dan baru dimanfaatkan sebesar 9% saja, atau 2,5 GWe dengan pertumbuhan kapasitas baru 5% saja.

Dari ketiga korporasi tersebut, induk perusahaannya di sektor migas juga terus berkomitmen untuk menerapkan strategi dekarbonisasi dengan menurunkan tingkat emisi seperti mendorong zero flare gas, dan juga pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Utilization/Storage (CCU/S) untuk mengejar capaian penurunan emisi dalam sistem produksinya. Ketiga perusahaan migas ini juga menjadikan bisnisnya di bidang EBT sebagai arena untuk mempertahankan keuntungan finansialnya dengan melakukan perdagangan karbon internal afiliasi perusahaan.

Kesigapan dalam mendorong transisi energi di industri migas sedianya menjadi barometer bagaimana proses transisi energi secara global dapat berjalan, mengingat kekuatan modal dan juga nilai perputaran bisnis di sektor migas telah menjadi kekuatan pendorong ekonomi dunia selama satu abad belakangan.

Komitmen transisi energi di sektor migas akan menjadi faktor yang mempercepat ataupun memperlambat proses transisi energi secara keseluruhan, termasuk di dalamnya terkait insentif harga pasar EBT, di mana kenaikan harga minyak dunia akan cenderung mempercepat proses transisi guna mendorong efisiensi. Sebaliknya, tingkat harga yang rendah akan cenderung menghambatnya karena rasionalitas pasar terhadap harga akan signifikan di sektor energi yang ketersediaannya sangat berpengaruh bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi di masing-masing negara.
 

Sumber: news.detik.com