Pengelolaan Pupuk Bersubsidi di Sentra Produksi Padi di Sulawesi Selatan, Indonesia: Menjembatani kesenjangan antara Kebijakan dan Praktik

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari

06 Mei 2024, 22.13

Sumber: Pinterest

Studi ini bertujuan untuk mengkaji dinamika pengelolaan pupuk bersubsidi di wilayah produksi padi di Kabupaten Sidrap dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan menggunakan pendekatan studi kasus dan analisis kualitatif, studi ini menggabungkan data primer dari wawancara mendalam dan data sekunder yang berasal dari berbagai studi dan laporan dari organisasi pemerintah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang cukup besar antara anggaran pupuk pemerintah dan kebutuhan aktual petani, yang menyebabkan cakupan hanya 37%, sehingga memaksa petani untuk membeli pupuk nonsubsidi yang lebih mahal. Sistem distribusi yang tidak efisien mengakibatkan keterlambatan dan kelangkaan.

Akibatnya, akan terjadi dualisme pasar dan harga antara pasar bersubsidi dan non-subsidi, serta harga bersubsidi dan non-subsidi. Penegakan peraturan harga menghadapi rintangan karena adanya pasar gelap. Selain itu, petani menggunakan sistem “bapak angkat” untuk mendapatkan kredit. Untuk meningkatkan pengelolaan pupuk, studi ini merekomendasikan pendekatan multifaset: peningkatan alokasi anggaran, distribusi yang efisien, penegakan peraturan harga yang kuat, dan solusi pembiayaan yang inovatif seperti Kartu Tani. Strategi-strategi ini, bersama dengan peningkatan koordinasi antarlembaga, bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan yang ada dan meningkatkan efektivitas kebijakan pupuk bersubsidi.

1. Pendahuluan

Ketahanan pangan di tengah populasi yang terus meningkat merupakan masalah yang signifikan, dan merupakan hak asasi manusia. Sektor pertanian merupakan komponen utama dalam mengatasi masalah pangan, baik dalam konteks pertanian kontemporer maupun pertanian dengan pendekatan teknologi yang beragam. Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan pupuk bersubsidi sebagai sarana produksi yang strategis dalam meningkatkan produktivitas pertanian.

Program Pupuk Bersubsidi telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1970-an, setelah itu anggaran subsidi mengalami masalah dan penurunan besar-besaran pada tahun 1990-an. Program ini mengalami pengkajian ulang dan evaluasi terhadap berbagai variabel subsidi pupuk, dan selama 3 tahun (1998-2001), kebijakan ini dihentikan sementara.

Kebijakan pupuk bersubsidi diberlakukan kembali di Indonesia pada tahun 2002, dan kemajuan terus dicapai. Pupuk bersubsidi digunakan untuk mengelola pertanian sesuai dengan persyaratan dan keberlanjutan kebijakan ini. Meskipun pemerintah telah menyetujui sejumlah anggaran untuk program ini, masih ada banyak tantangan atau masalah, terutama dalam hal tata kelolanya.

Efektivitas program pupuk bersubsidi telah menjadi subyek penelitian yang luas di Indonesia, termasuk penelitian yang dilakukan oleh Suryana dkk. Rachman, dan Nur dkk. Program pupuk bersubsidi saat ini masih menunjukkan adanya kesenjangan dalam berbagai variabel. Isu utamanya adalah kesenjangan distribusi pupuk bersubsidi yang menyebabkan keterlambatan atau tidak memadainya pasokan, yang secara langsung berdampak pada produktivitas pertanian.

Kemudian, terjadi kecurangan dalam proses distribusi pupuk, terutama oleh pengecer tidak resmi yang menjual kembali pupuk bersubsidi dengan harga melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan pemerintah, ketidaksesuaian data usulan (e-GNDP) yang diajukan dengan kebutuhan petani, dan malapraktik lainnya.

Masalah lainnya adalah kurangnya fasilitas pendukung, seperti informasi pertanian digital , terbatasnya mesin perekam data elektronik di setiap kios pupuk, fasilitas jalan yang kurang memadai, dan sebagainya. Tantangan-tantangan ini muncul dari keterbatasan finansial, sehingga memenuhi kebutuhan petani dalam program pupuk bersubsidi merupakan tugas yang berat. Meskipun pemerintah telah berdedikasi untuk meningkatkan implementasi program pupuk bersubsidi di lapangan, masih ada beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki.

Meskipun telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai efektivitas program pupuk bersubsidi, masih terdapat kesenjangan kritis dalam tata kelola distribusi, termasuk kesenjangan distribusi pupuk, keterlambatan, pelanggaran peraturan harga, dan praktik-praktik penipuan. Studi ini secara inovatif membahas isu-isu tersebut, mengeksplorasi tata kelola distribusi yang dinamis dari kebijakan tersebut, dengan fokus khusus pada bagaimana intervensi kebijakan dan tata kelola pupuk bersubsidi berdampak pada proses alokasi, dinamika distribusi, pelanggaran harga, dan strategi kompensasi yang adaptif bagi petani. Dengan demikian, studi ini tidak hanya berkontribusi pada pengetahuan yang ada, tetapi juga memberikan wawasan yang berharga untuk meningkatkan implementasi program guna memenuhi kebutuhan ketahanan pangan Indonesia yang terus meningkat.

Artikel ini disusun sebagai berikut: Metodologi penelitian disajikan pada menyajikan temuan penelitian. Hasil, perbandingan dengan penelitian lain, implikasi dan penjelasan temuan, kekuatan, dan keterbatasan akan dibahas di Bagian. Selanjutnya, Bagian membahas arah potensial untuk penelitian di masa depan.

2. Metodologi penelitian

Lokasi studi dan sampel penelitian

Studi ini dilaksanakan di Kabupaten Sidrap (Sidenreng Rappang) dan Kabupaten Wajo, dua daerah penghasil beras utama di Provinsi Sulawesi Selatan. Menurut Dirjen PSP, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia, 2023, kedua kabupaten ini menggunakan pupuk bersubsidi dengan tingkat yang relatif tinggi secara nasional. Dalam studi ini, data primer dan sekunder digunakan. Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian, Kantor Kecamatan, Kantor Penyuluh Pertanian Tingkat Kecamatan, distributor pupuk, pengecer/kios pupuk, kelompok tani, dan petani merupakan informan kunci yang menyediakan data primer melalui wawancara mendalam.

Sementara itu, data sekunder dikumpulkan melalui laporan dari Badan Pusat Statistik, Dinas Pertanian Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Pusat Statistik Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Wajo, dan Kementerian Pertanian (Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian), PT Pupuk Indonesia Holding Company (PT PIHC), dan situs web resmi pemerintah.

Kondisi umum lokasi penelitian

Kabupaten Sidenreng Rappang

Sebagai lumbung padi nasional, Kabupaten Sidenreng Rappang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sidrap merupakan salah satu daerah pertanian di Sulawesi Selatan. Terdapat 11 kecamatan di kabupaten ini, yang sebagian besar merupakan daerah pertanian padi. Di Kabupaten Sidrap, terdapat 49.396 ha lahan sawah pada tahun 2021, 10.854 ha lahan sawah non irigasi, dan 38.542 ha lahan sawah irigasi. Kecamatan Pitu Riawa, Watang Sidenreng, dan Pitu Riase memiliki lahan sawah terbanyak. Sekitar 45.576 ha (92,27%) sawah ditanami dua kali dalam setahun, dan sisanya hanya ditanami satu kali dalam setahun dan tidak ditanami padi. Kabupaten ini memiliki 71.248 kepala keluarga dalam rumah tangga petani pada tahun 2019. Jumlah terbanyak, 11.675 rumah, berada di Kecamatan Maritengngae, dan jumlah terkecil, 3.000 rumah, berada di Kecamatan Kulo.

Pada tahun 2022, petani di Kabupaten Sidrap membutuhkan 25.446.851 ton pupuk urea, 192.982 ton pupuk ZA, dan 28.037.105 ton pupuk NPK Phonska untuk tanaman padi mereka. Pupuk bersubsidi yang disalurkan meliputi 13.530 ton pupuk NPK Phonska, 190 ton pupuk ZA, dan 17.152 ton urea. Akibatnya, terjadi kelangkaan pupuk NPK, ZA, dan urea. Para petani membeli pupuk dari pasar terbuka untuk menutupi kekurangan tersebut.

Kabupaten Wajo

Kabupaten Wajo, dengan ibu kotanya Sengkang, terletak di pusat Provinsi Sulawesi Selatan, 242 km dari Makassar. Kabupaten ini memiliki luas sekitar 2.506,19 km2 atau 4,01% dari luas Provinsi Sulawesi Selatan dan terdiri dari 811,84 km2 pertanian lahan kering dan 916,62 km2 lahan sawah beririgasi. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sidrap di sebelah utara, Kabupaten Bone dan Soppeng di sebelah selatan, Kabupaten Bone dan Soppeng di sebelah timur, serta Kabupaten Soppeng dan Sidrap di sebelah barat. Empat belas kecamatan dan 190 desa/kelurahan membentuk Kabupaten Wajo.

Jumlah penduduk Kabupaten Wajo pada tahun 2022 adalah 379.706 jiwa, dengan jumlah penduduk perempuan sebanyak 195.313 jiwa (51%) dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 184.393 jiwa (49%). Rasio jenis kelamin pada tahun 2021 adalah 94,00, yang berarti terdapat 94 laki-laki untuk setiap 100 perempuan di Kabupaten Wajo pada tahun 2021. Kepadatan penduduknya adalah 151 jiwa/km2. Kecamatan Tempe memiliki kepadatan tertinggi (1.685 jiwa/km2), dan Kecamatan Keera memiliki kepadatan terendah (55 jiwa/km2).

Kabupaten Wajo menggunakan lahan pertanian terluas kedua di Provinsi Sulawesi Selatan, setelah Kabupaten Bone. Bahkan jika digabungkan dengan lahan sawah yang menggunakan irigasi teknis atau yang biasa disebut dengan sawah, sebagian besar lahan sawah tersebut merupakan sawah tadah hujan (65.083 ha). Sisanya adalah irigasi teknis (7.950 ha) dan irigasi setengah teknis (587 ha). Di Kabupaten Wajo, petani membutuhkan 30.984.205 ton pupuk urea, 441 ton pupuk SP36, dan 48.646.470 ton pupuk NPK Phonska untuk menanam padi. Pada tahun 2022, sebanyak 17.152 ton urea, 190 ton pupuk ZA, dan 13.530 ton pupuk NPK Phonska dialokasikan sebagai pupuk bersubsidi. Dengan demikian, terjadi kelangkaan pupuk NPK, urea, ZA, dan bahan kimia lainnya. Petani membeli pupuk dari pasar bebas untuk menutupi kekurangan tersebut.

Metode analisis

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan informasi audiovisual. Data yang diperoleh terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa pemangku kepentingan secara langsung dengan responden di lapangan atau di lokasi penelitian, sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai studi literatur dan sumber-sumber lain dari lembaga/instansi terkait sebagai data pendukung untuk melengkapi data primer.

Kerangka kerja metodologi penelitian

Pada awalnya, analisis dilakukan secara induktif dengan mengelompokkan data yang ada berdasarkan jenis gagasan dan kecenderungannya. Setelah ditemukan pola yang lengkap, analisis dilanjutkan dengan metode deduktif untuk menyempurnakan data dan gagasan. Analisis data diperkuat dengan menggunakan perspektif kekuasaan Michell Foucault. Kebijakan pemerintah merupakan bagian dari praktik kebijakan untuk membangun sistem kontrol dan pengawasan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional di bidang pertanian, seperti ketahanan pangan nasional dan kesejahteraan petani melalui penyajian data secara deskriptif.

3. Hasil dan pembahasan

Lokasi pupuk bersubsidi yang tidak mencukupi

Jumlah keseluruhan pupuk yang dibutuhkan oleh petani, menurut RDKK, adalah antara 22,57 hingga 26,18 juta ton, atau sekitar Rp 63-65 triliun per tahun, menurut data dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Jika pemerintah ingin meningkatkan ketahanan pangan dengan upaya yang paling signifikan dan hasil yang terbaik, maka anggaran tersebut harus dipenuhi. Namun, pada kenyataannya, kebutuhan pupuk tidak dapat sepenuhnya dipenuhi, menurut data dari Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI.

Hanya Rp 25,27 triliun, atau 9 juta ton pupuk, yang dapat dibeli dengan anggaran subsidi pupuk yang tersedia dari pemerintah. Sederhananya, 37% dari total kebutuhan pupuk yang dapat dipasok, artinya petani harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mengisi kekosongan kebutuhan pupuk yang tidak dapat dipenuhi oleh pupuk bersubsidi.

Petani secara langsung merasakan dampak dari kurangnya alokasi subsidi pupuk. Sebagai contoh, petani akan menerima 250 kg urea dan 117 kg NPK setiap musim tanam (PS) pupuk bersubsidi di Kecamatan Keera, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Sebaliknya, urea adalah 250 kg per PS, dan NPK adalah 100 kg per ha per PS di Kecamatan Pitumpanua. Petani mengklaim bahwa jumlah ini, terutama NPK, tidak mencukupi karena lahan mereka idealnya membutuhkan 300 kg pupuk NPK per PS dan 250 kg pupuk urea per ha. Penyuluh mengklaim bahwa alokasi tersebut jauh lebih sedikit daripada yang diberikan pada tahun 2021.

Saat ini, hanya 250 kg urea per ha, 150 kg NPK, 100 kg ZA, dan 25 kg SP36 per PS yang dialokasikan sebagai pupuk bersubsidi. Jatah untuk urea hanya 233 kg per ha dan hanya 129 kg per ha untuk pupuk NPK di Kabupaten Sidrap, namun kebutuhannya, menurut RDKK, adalah urea 275 dan NPK 250.

Petani juga memiliki masalah dalam menghapus pupuk SP36 dan ZA dari daftar pupuk yang memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi. Sebagai contoh, petani di Desa Pattirlokka, Kabupaten Wajo, menyatakan bahwa pupuk SP36 dan ZA tidak tersedia, padahal mereka membutuhkan pupuk tersebut karena sawah mereka merupakan sawah tadah hujan. Penyuluh pertanian lapangan yang bertugas di Kecamatan Keera memberikan pernyataan sebagai berikut:

Petani meminta agar subsidi SP36 diberlakukan kembali, dan mereka menuntut kepastian pada setiap pertemuan sehingga mereka dapat menyampaikan hal ini kepada para pengambil kebijakan. (Penyuluh kecamatan Keera, komunikasi pribadi penulis, 10 Februari 2023)

Menurut penyuluh lapangan di Kecamatan Keera, petani di daerah tersebut merekomendasikan alokasi pupuk sebagai berikut: 200 kg urea, 250 kg NPK, 50 kg ZA, dan 100 kg SP36 per ha per PS, terutama untuk daerah yang memiliki tanah tadah hujan. Menurut pengalaman petani, penggunaan pupuk lengkap dapat meningkatkan hasil panen hingga 70-80 karung, atau sekitar 7-8 ton per ha, sedangkan pupuk seadanya hanya menghasilkan panen sekitar 4-5 ton.

Oleh karena itu, ada perbedaan dalam menerapkan dosis yang direkomendasikan yaitu 3 ton beras per hektar, baik secara penuh maupun sebagian. Oleh karena itu, petani kehilangan sekitar Rp 12 juta per hektar jika menggunakan pupuk seadanya. Tiga karung NPK tambahan dapat dibeli dengan harga Rp 375.000 per karung. Petani yang menyadari kerugian ini mencari cara lain untuk mendapatkan pupuk, seperti harga non-subsidi, kredit, atau dengan membayar setelah panen. Petani tidak memiliki banyak pilihan selain membeli pupuk non-subsidi, meskipun harganya lebih mahal ketika subsidi tidak dapat menutupi kebutuhan pupuk mereka.

Ketidak cukupan lokasi pupuk bersubsidi juga dapat diamati di negara-negara Afrika Sub-Sahara yang menerapkan kebijakan yang sama[], meskipun dalam kasus ini, mekanisme distribusinya berbeda dengan Indonesia. Masalah ini bermula dari penurunan anggaran untuk pupuk bersubsidi akibat beban keuangan negara. Ketersediaan pupuk bersubsidi yang terbatas di lapangan menyebabkan adanya persaingan untuk mendapatkannya dan peluang penyelewengan oleh oknum-oknum tertentu.

Disadur dari: degruyter.com