Peneliti BRIN Kembangkan Sistem Prediksi Vorteks Borneo

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

10 Mei 2024, 05.52

Sumber: brin.go.id

Badam Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus melakukan kajian perubahan iklim (2021-2050) di wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI). Kajian yang menggunakan teknik dynamic downscaling resolusi tinggi dari tim periset BRIN tersebut, menunjukkan kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PR IA) - BRIN Erma Yulihastin mengungkapkan, BRIN telah mengembangkan sistem untuk prediksi Vorteks Borneo seperti Kajian Awal Musim Jangka Madya Wilayah Indonesia (DSS KAMAJAYA), Satellite-based Disaster Early Warning System (DSS SADEWA), Sistem Informasi Komposisi Atmosfer Indonesia (DSS SRIKANDI) dan Sistem Informasi Perubahan Iklim Indonesia (DSS SRIRAMA) yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah khususnya di Kalimantan Barat.

Menurut Erma, Vorteks Borneo merupakan pusaran angin dengan radius putaran puluhan hingga ratusan kilometer atau disebut dengan skala meso. Hal tersebut ia sampaikan dalam Seminar Nasional bertajuk Let's Exploring The Atmosphere To Be An Astrophile, di Universitas Tanjungpura, Pontianak, Minggu, (10/3).

"Fenomena ini berasal dari vortisitas atau putaran fluida yang disebabkan oleh geser angin atau wind shear dan konvergensi yang dihasilkan dari interaksi daratan Kalimantan dengan angin monsun timur laut," tuturnya.

Lebih lanjut Erma menyebutkan dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa fakta-fakta Vorteks Borneo telah terlihat. Seperti pada Azzahra dkk., 2024-under review, gangguan cuaca siklonik yang ditandai dengan pusaran angin berlawanan arah jarum jam (antisiklon) di area Laut Tiongkok Selatan dan Borneo (10LU–15LS; 90–120BT) dengan radius 1.000 km.

Ia menilai Vorteks Borneo juga terjadi saat monsun Asia yang menyebabkan gangguan cuaca berupa hujan deras hingga ekstrem disertai angin kencang di Borneo utara dan Semenanjung Malaysia.

Fakta lainnya, tambah Erma adalah sebelum terjadi Vorteks Borneo, peningkatan hujan signifikan disertai angin kencang terjadi di Kalimantan Barat, Semenanjung Malaysia dan Jawa bagian barat. Kemudian pada saat Vorteks Borneo terjadi, peningkatan hujan signifikan disertai angin kencang pun terjadi di Borneo.

"Setelah kejadian Vorteks Borneo, fakta lainnya adalah peningkatan hujan signifikan disertai angin kencang kembali terjadi secara meluas di Kalimantan dan Sumatra bagian utara," jelas Erma.

Dirinya menjelaskan dari informasi SRIRAMA juga telah menunjukkan proyeksi iklim yang menggunakan data model iklim regional CCAM dengan 2 cara. Pertama dengan skenario perubahan iklim sedang atau moderat (RCP 4.5). Kedua dengan peningkatan resolusi spasial dari model global 2,5 derajat menjadi 0,14 derajat untuk wilayah Indonesia.

Erma menegaskan, wilayah yang diproyeksikan mengalami kekeringan ekstrim hingga 2033 di Kalimantan adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat. "Hal ini berpotensi memperburuk dampak polusi udara di Kalimantan Barat," ucapnya.

Selain itu masih menurut Erma,Kalimantan Barat juga terdampak paling luas dan signifikan dalam hal hujan deras hingga ekstrem yang disertai angin kencang pada sebelum, pada saat, dan sesudah Vorteks Borneo.

Oleh karena itu, Erma menyampaikan perlunya inisiasi untuk membangun bangsa yang siaga terhadap cuaca, membangun kesadaran masyarakat agar siap dan tanggap pada cuaca. Ia pun memberi saran agar wilayah Kalimantan membuat skenario kebijakan atau regulasi untuk menjaga agar laju emisi gas karbon dioksida di atmosfer dapat dikendalikan.

"Ada beberapa cara pengendalian yang bisa dilakukan seperti ; membatasi pembukaan lahan pertanian atau perkebunan dan permukiman secara meluas. Lalu membatasi alih fungsi lahan seperti kehutanan menjadi sektor lain. Serta membatasi perizinan operasional pertambangan batubara yang dapat memicu peningkatan titik api atau hotspot,” pungkas Erma.