Naik kelas tapi tidak belajar: penelitian mengungkap 3 capaian buruk pendidikan di Indonesia sejak tahun 2000

Dipublikasikan oleh Kania Zulia Ganda Putri

26 April 2024, 18.54

Sumber: rise.smeru.or.id

Pencapaian pendidikan di Indonesia masih rendah dalam beberapa tahun terakhir—berdasarkan standar dunia dan nasional, meskipun faktanya setiap tahun pemerintah mengalokasikan 20% anggaran negara untuk pendidikan, sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Indonesia berada di peringkat ke-7 dari hampir 80 negara terbawah dalam penilaian global Program for International Student Assessment (PISA) tahun 2018, hanya 1 dari 3 anak Indonesia yang memenuhi tingkat kemampuan membaca minimal. Sedangkan laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2015 juga menunjukkan bahwa 27% anak Indonesia kelas 4 memiliki pengetahuan dasar matematika yang kurang memadai.

Berbagai analisis di tingkat nasional juga menyebutkan bagaimana lemahnya kompetensi guru dan kebijakan pendidikan di daerah menyebabkan prestasi belajar siswa Indonesia masih rendah.

Untuk memahami lebih dalam pencapaian pendidikan yang stagnan ini, penelitian terbaru kami untuk program Research on Improving Systems of Education (RISE) berupaya menganalisis profil pembelajaran anak-anak di Indonesia.

Kami memetakan kemampuan berhitung siswa menggunakan data Survei Kehidupan Keluarga Indonesia (IFLS) periode 2000–2014.

Sayangnya, kami menemukan beberapa tren buruk dalam pencapaian pendidikan nasional. Faktanya, penelitian kami mengungkapkan bahwa hasil belajar anak Indonesia pada tahun 2014 lebih rendah dibandingkan tahun 2000.

Naik kelas tapi tidak belajar

Dalam melakukan analisis, tim kami hanya menggunakan data IFLS yang tersedia hingga tahun 2014. Data survei berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 2020 terpaksa tertunda karena pandemi.

Meski demikian, penelitian kami mengungkapkan setidaknya ada tiga tren mengkhawatirkan terkait hasil belajar anak-anak Indonesia.

Pertama, analisis kami terhadap IFLS 2014 menunjukkan bahwa banyak anak sekolah tidak mampu menyelesaikan soal matematika yang seharusnya mereka kuasai di tingkat kelas bawah. Hanya dua pertiga anak kelas 3 yang mampu menyelesaikan soal pengurangan “49-23” dengan benar. Ini sebenarnya setara dengan kemampuan berhitung anak kelas 1 SD.

Rendahnya prestasi belajar anak semakin terlihat pada soal-soal yang lebih sulit. Misalnya, hanya sekitar 35% siswa di Kelas 12 yang mampu menjawab pertanyaan Kelas 5 tentang penghitungan bunga dengan benar—tujuh nilai di bawah level mereka.

Kemampuan siswa pada setiap level dalam menjawab pertanyaan. Sumbu horizontal menunjukkan tingkat pendidikan, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan persentase siswa yang mampu menjawab soal. G1-G5 adalah jenis pertanyaan yang harus dapat dijawab oleh siswa di Kelas 1–5.

Sumber: rise.smeru.or.id

Kedua, kami juga mengamati bahwa peningkatan kemampuan anak menurun seiring dengan naiknya mereka ke jenjang kelas yang lebih tinggi. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kemampuan anak-anak tersebut tidak mengalami peningkatan yang berarti ketika mereka beranjak dewasa dan belajar di jenjang sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas.

Peningkatan kemampuan berhitung anak seiring naik kelas.

Sumber: rise.smeru.or.id

Ketiga, ketika membandingkan data IFLS tahun 2014 dengan data tahun 2000, ditemukan bahwa kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak pada level yang sama 14 tahun kemudian. Kesimpulan ini berlaku ketika kami hanya menganalisis kelompok anak-anak yang bersekolah, dan ketika kami juga memasukkan anak-anak pada usia tersebut yang tidak bersekolah. Artinya setidaknya pada tahun 2000 hingga tahun 2014, capaian pendidikan anak Indonesia justru mengalami penurunan.

Perbandingan pencapaian pendidikan siswa tiap jenjang antara tahun 2000 (garis kuning) dan tahun 2014 (garis biru).

Sumber: rise.smeru.or.id

Analisis kami dengan menggunakan data yang tersedia belum memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan tren negatif dalam pembelajaran anak-anak di Indonesia.

Namun, kami mempunyai hipotesis mengenai faktor-faktor yang mendorong penurunan prestasi belajar ini—setidaknya dalam keterampilan berhitung.

Salah satunya adalah modifikasi muatan numerasi sejak Kurikulum 2004.

Modifikasi ini telah mengurangi jam pembelajaran berhitung dari 8–10 jam (Kurikulum 1994) menjadi 5 jam per minggu, sehingga mempengaruhi kemampuan berhitung dan pemecahan masalah berbasis numerasi siswa.

Selain itu, kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang sejak tahun 2003 terus mengurangi beban ujian sekolah pada saat kelulusan, dan lebih mementingkan Ujian Nasional, juga mendorong siswa untuk belajar hanya demi kepentingan sekolah. lulus daripada mempertajam pengetahuan dan kemampuan berpikirnya.

Selain itu, di Indonesia juga ada kecenderungan siswa [terus naik kelas] padahal kemampuannya kurang.

Di sini penilaian dan evaluasi hasil belajar yang kurang tepat menyebabkan siswa kehilangan kesempatan untuk memperkuat pemahaman terhadap materi yang belum dikuasainya pada jenjang sebelumnya.

Daruratnya prestasi belajar anak bangsa

Hasil penelitian ini hendaknya menjadi lampu kuning bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk segera melakukan perbaikan.

Meskipun penelitian ini hanya mengulas hasil pembelajaran antara tahun 2000 dan 2014, saya yakin tren negatif di atas kemungkinan akan terus berlanjut dari tahun 2015 hingga saat ini. Pandemi COVID-19 dapat semakin memperburuk ketertinggalan belajar siswa Indonesia.

Baik pemerintah pusat maupun daerah perlu mengubah kebijakan pendidikan yang selama ini cenderung didorong oleh faktor politik, mulai dari kebiasaan pamer prestasi nasional dalam akses anak terhadap sekolah hingga terjebak dalam politik peningkatan kesejahteraan guru pada pemilu. periode.

Sudah saatnya pemerintah serius memikirkan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran anak di sekolah.

Misalnya, sistem rekrutmen guru, khususnya di sekolah negeri, harus didasarkan pada indikator yang mengukur kemampuan mereka dalam mengajar siswa, bukan memenuhi kuota Aparatur Sipil Negara (ASN).

Selain itu, evaluasi pembelajaran oleh sekolah, baik melalui penilaian oleh guru maupun melalui ujian, hendaknya dilakukan dengan fokus pada pemetaan prestasi siswa dan sebagai landasan bagi guru untuk menyusun strategi pembelajarannya, bukan sekedar alat pemeringkatan. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, rata-rata nilai UN seringkali hanya digunakan untuk menentukan peringkat sekolah atau menentukan besaran Dana Insentif Daerah dari pemerintah pusat.

Orang tua dan guru juga harus mengubah cara pandang lama bahwa anak bersekolah untuk mendapatkan nilai ujian yang tinggi. Proses pembelajaran yang baik hendaknya memahami konsep secara utuh tanpa harus berkompetisi.

Disadur dari: rise.smeru.or.id