Model Pendukung Implementasi Building Information Modeling (BIM) melalui Evaluasi Kematangan dan Manajemen Faktor Keberhasilan Kritis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

22 April 2025, 13.54

freepik.com

Dalam era transformasi digital industri konstruksi, Building Information Modeling (BIM) menjadi pusat perhatian karena potensinya dalam meningkatkan efisiensi, mengurangi kesalahan, dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam satu platform terintegrasi. Artikel “Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management” karya Romain Morlhon, Robert Pellerin, dan Mario Bourgault dari École Polytechnique de Montréal memberikan panduan sistematis tentang bagaimana mengimplementasikan BIM secara efektif dengan mempertimbangkan tingkat kematangan organisasi dan faktor keberhasilan kritis (Critical Success Factors atau CSF).

Artikel ini merupakan salah satu yang paling komprehensif dalam menawarkan model praktis bagi organisasi yang ingin mengadopsi atau meningkatkan penerapan BIM dalam proses kerja mereka.

Konteks dan Tantangan Penerapan BIM

Meskipun BIM telah banyak dikenal sejak awal tahun 2000-an, penetrasinya dalam industri konstruksi masih tergolong lambat. Salah satu alasannya adalah resistensi terhadap perubahan, minimnya standar adopsi, dan kurangnya pemahaman tentang bagaimana mengintegrasikan BIM ke dalam proses yang sudah ada. Bahkan, laporan menyebutkan bahwa kekurangan interoperabilitas dalam industri konstruksi AS menambah biaya sebesar USD 6,12 per kaki persegi. Ini menunjukkan adanya potensi kerugian besar akibat rendahnya adopsi sistem informasi terintegrasi seperti BIM.

Studi ini mengidentifikasi bahwa kendala dalam implementasi BIM tidak hanya berasal dari aspek teknis, tetapi juga dari sisi manajemen, budaya organisasi, pelatihan SDM, hingga koordinasi antar pemangku kepentingan.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari artikel ini adalah mengembangkan sebuah model bantuan bagi organisasi yang ingin mengimplementasikan BIM. Model ini memadukan tiga komponen:

  1. Evaluasi tingkat kematangan organisasi menggunakan Capability Maturity Model (CMM) dari NBIMS.
  2. Identifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis (CSF) yang memengaruhi keberhasilan implementasi dan pemanfaatan BIM.
  3. Daftar tindakan nyata yang dikaitkan langsung dengan tiap CSF untuk membantu organisasi memperbaiki area tertentu.

Tiga Pilar Pendekatan Model: CMM, CSF, dan Tindakan

1. Capability Maturity Model (CMM)

CMM digunakan untuk menilai sejauh mana BIM telah diterapkan dalam suatu organisasi. Penilaian dilakukan terhadap 11 kategori seperti:

  • Kekayaan data (Data Richness)
  • Pandangan siklus hidup proyek
  • Manajemen perubahan
  • Proses bisnis
  • Ketepatan informasi
  • Interoperabilitas sistem

Masing-masing aspek dinilai dari level 1 hingga 10. Misalnya, dalam kategori Data Richness, level 1 berarti hanya data dasar yang tersedia, sedangkan level 10 menunjukkan bahwa data sepenuhnya terintegrasi dengan manajemen pengetahuan (knowledge management).

Penilaian ini memberikan gambaran umum bagi organisasi tentang di mana mereka berada dan area mana yang perlu diperkuat.

2. Critical Success Factors (CSFs)

Berdasarkan kajian literatur dan studi kasus, penulis mengidentifikasi beberapa CSF utama yang berpengaruh langsung terhadap implementasi dan pemanfaatan BIM, antara lain:

  • Business Process Reengineering (reka ulang proses bisnis)
  • Standardization (standarisasi informasi dan metadata)
  • Keterlibatan pihak eksternal (subkontraktor, vendor)
  • Edukasi tentang manajemen informasi
  • Pelatihan teknis terkait alat BIM
  • Proses pemilihan sistem dan perangkat lunak yang tepat

CSF ini tidak hanya penting saat implementasi, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap keberhasilan penggunaan BIM.

3. Tindakan Praktis

Setiap CSF dikaitkan dengan beberapa tindakan nyata. Misalnya:

  • Untuk Business Process Reengineering: membuat model proses bisnis “as-is” dan “to-be” agar transisi ke BIM lebih terstruktur.
  • Untuk Standardization: memperkenalkan metadata dan standar model bangunan agar data lebih mudah dikelola dan diakses.
  • Untuk pelatihan teknis: membuat daftar kebutuhan pelatihan dan menetapkan program onboarding untuk anggota baru tim.

Tindakan-tindakan ini didasarkan pada pengalaman nyata di proyek-proyek sebelumnya dan diturunkan dari rekomendasi para ahli.

Studi Kasus: Proyeksi Implementasi Model dalam Proyek Nyata

Meskipun artikel ini tidak menyebutkan satu studi kasus spesifik secara rinci, model yang ditawarkan memungkinkan penerapannya di berbagai jenis proyek konstruksi—baik gedung komersial, rumah sakit, hingga infrastruktur publik.

Sebagai contoh, dalam proyek rumah sakit skala besar, BIM digunakan untuk mendeteksi konflik antar komponen desain (clash detection). Namun, proyek tersebut menemui kendala karena sebagian besar subkontraktor belum terbiasa dengan BIM. Dengan menggunakan model dari artikel ini, organisasi dapat menilai bahwa aspek “pelatihan teknis” dan “keterlibatan pihak eksternal” mendapat skor rendah dalam CMM. Maka fokus tindakan difokuskan pada pelatihan dan adaptasi kontrak kerja yang menyertakan persyaratan keterampilan BIM.

Keunggulan Model Ini

  • Modular dan fleksibel: Organisasi dapat menggunakan sebagian atau seluruh bagian model sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya mereka.
  • Terkoneksi langsung dengan tindakan: Model ini tidak hanya memberikan diagnosis masalah, tetapi juga solusi berbasis bukti.
  • Memadukan aspek teknis dan manajerial: Inilah yang sering kali diabaikan dalam pendekatan lain yang hanya fokus pada perangkat lunak.

Kritik dan Rekomendasi

Penulis mengakui bahwa model ini belum sepenuhnya tervalidasi oleh para praktisi industri. Oleh karena itu, mereka merancang rencana validasi menggunakan metode Delphi, yakni konsultasi berulang dengan para ahli untuk menguji relevansi tiap CSF dan tindakan.

Selain itu, penulis menyarankan adanya:

  • Penambahan tingkat kesulitan pada tiap tindakan untuk membantu organisasi memprioritaskan.
  • Pembaruan model sesuai perkembangan versi CMM terbaru dari NBIMS, yakni I-CMM yang lebih interaktif.

Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia

Meskipun penelitian ini berbasis di Kanada, temuan dan modelnya sangat relevan untuk industri konstruksi di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan banyaknya proyek infrastruktur skala besar dan meningkatnya adopsi digital, adopsi BIM menjadi keniscayaan.

Namun, rendahnya kesiapan SDM dan infrastruktur TI menjadi tantangan. Di sinilah model dari Morlhon dkk. bisa menjadi alat bantu strategis dalam menyusun roadmap BIM nasional, dimulai dari evaluasi kematangan hingga pelatihan terstruktur.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan klasik implementasi BIM—yakni ketidakjelasan panduan langkah demi langkah. Dengan menggabungkan Capability Maturity Model, daftar Critical Success Factors, dan tindakan konkret, penulis menawarkan pendekatan sistematis yang bisa diadopsi dan disesuaikan oleh berbagai organisasi konstruksi.

Model ini ideal tidak hanya bagi perusahaan besar yang sudah menggunakan BIM, tetapi juga bagi kontraktor menengah yang baru memulai. Ia menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik serta menekankan pentingnya kombinasi kesiapan teknis dan manajerial dalam suksesnya implementasi BIM.

Sumber artikel asli:
Romain Morlhon, Robert Pellerin, Mario Bourgault. Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management. Procedia Technology 16 (2014) 1126–1134.