Pendahuluan: Menyoroti Sejarah yang Terlupakan
Dalam narasi besar sejarah Kesultanan Yogyakarta, komunitas Tionghoa sering kali berada di balik bayang-bayang cerita para bangsawan Jawa. Paper “Tan Jin Sing dan Komunitas Tionghoa di Yogyakarta Awal Abad ke-19” karya Rifai Shodiq Fathoni dan Nanang Setiawan membongkar kembali babak sejarah ini, dengan fokus pada sosok Tan Jin Sing. Penelitian ini mengungkap bagaimana seorang kapitan Cina mampu mengubah dinamika politik dan sosial di tengah pergolakan kerajaan dan kolonialisme.
Menggunakan metode sejarah klasik — heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi — para penulis berhasil menghidupkan kembali figur yang selama ini kurang mendapatkan porsi dalam historiografi nasional.
Latar Belakang: Dinamika Komunitas Tionghoa di Yogyakarta
Sejak awal berdirinya Kesultanan Yogyakarta tahun 1755, komunitas Tionghoa telah menjadi bagian vital dari kehidupan ekonomi lokal. Sebagaimana disebutkan Raffles dalam History of Java (1817), orang Tionghoa adalah "jiwa dan ruh perdagangan" di Nusantara.
Meskipun jumlahnya kecil (sekitar 0,36% dari populasi Yogyakarta tahun 1808), komunitas ini memegang peranan penting, terutama dalam perdagangan, pemungutan pajak, dan jasa keuangan. Namun, relasi ini tidak selamanya harmonis, terutama saat mereka dianggap kambing hitam dalam masa-masa krisis ekonomi dan politik — sebuah pola berulang yang bahkan masih terlihat hingga Tragedi Mei 1998.
Siapa Tan Jin Sing? Sebuah Transformasi Sosial-Politik
Tan Jin Sing lahir pada 1770 dari keluarga peranakan Hokkian di Jawa Tengah. Awalnya, ia dikenal sebagai saudagar sukses dan Kapitan Cina di Kedu, sebelum akhirnya pindah ke Yogyakarta. Di sana, ambisinya membawanya lebih jauh: dari pengusaha menjadi pemain politik utama.
Kunci Keunggulan Tan Jin Sing:
-
Menguasai banyak bahasa: Hokkian, Melayu, Jawa (kromo/ngoko), sedikit Belanda dan Inggris.
-
Relasi luas: membangun jaringan dengan komunitas Tionghoa, bangsawan Jawa, dan pihak kolonial.
-
Kemampuan negosiasi: berperan sebagai penerjemah dan perantara dalam konflik antara Keraton Yogyakarta dan Inggris.
Geger Sepehi 1812: Titik Balik Sejarah
Ketika internal Keraton memanas akibat perebutan kekuasaan antara Sultan Sepuh dan R.M. Surojo, Tan Jin Sing memanfaatkan peluang untuk memperkuat posisi komunitas Tionghoa. Ia menjadi aktor kunci dalam kesepakatan rahasia dengan pihak Inggris, yang pada akhirnya menyebabkan invasi Inggris ke Yogyakarta dalam peristiwa Geger Sepehi.
Fakta Kritis:
-
Tan Jin Sing membantu menyediakan logistik bagi pasukan Inggris.
-
Ia memfasilitasi kesepakatan politik yang menjatuhkan Sultan Sepuh.
-
Perannya membuatnya dihadiahi jabatan Bupati Yogyakarta dengan gelar K.R.T. Secodiningrat — posisi tertinggi yang pernah dicapai seorang Tionghoa dalam Kesultanan.
Dampak dan Konsekuensi: Antara Prestasi dan Stigma
Namun, kesuksesan politik Tan Jin Sing harus dibayar mahal. Ia menghadapi:
-
Kecemburuan Sosial: Komunitas Jawa melihat keberhasilan Tionghoa sebagai ancaman, memicu sentimen anti-Tionghoa.
-
Pengasingan Budaya: Ia dijauhi oleh komunitas Tionghoa karena dianggap mengkhianati adat dan agamanya (Tan Jin Sing berpindah ke Islam dan berperilaku seperti bangsawan Jawa).
-
Isolasi Politik: Setelah kematian Sultan Hamengku Buwono III dan kembalinya kekuasaan Belanda, posisinya semakin terpinggirkan.
Studi Kasus:
Pada puncak sentimen anti-Tionghoa, banyak pemukiman Tionghoa di daerah seperti Ngawi dan Bagelen diserang. Ironisnya, Tan Jin Sing yang awalnya memperjuangkan komunitasnya, justru ditinggalkan oleh komunitasnya sendiri.
Analisis Kritis: Membaca Ulang Peran Tan Jin Sing
Penulis artikel ini berhasil mengangkat Tan Jin Sing bukan hanya sebagai kolaborator kolonial, tetapi sebagai figur kompleks:
-
Ia berperan penting dalam membuka ruang partisipasi politik bagi komunitas Tionghoa.
-
Ia menjadi simbol dilema identitas dalam masyarakat multikultural: terlalu Tionghoa untuk diterima Jawa, terlalu Jawa untuk diterima kembali oleh komunitas Tionghoa.
Jika dibandingkan dengan tokoh kontemporer seperti Oei Tiong Ham (raja gula Semarang), perbedaan mencolok terletak pada pendekatan: Tan Jin Sing lebih aktif dalam politik sedangkan Oei lebih fokus pada ekonomi.
Relevansi Masa Kini: Belajar dari Tan Jin Sing
Dalam dunia yang makin global seperti sekarang, isu identitas, minoritas, dan loyalitas politik tetap menjadi tantangan di banyak negara, termasuk Indonesia. Cerita Tan Jin Sing menunjukkan:
-
Pentingnya memahami dinamika sosial lintas budaya.
-
Risiko politik minoritas dalam struktur kekuasaan yang rapuh.
-
Pentingnya dokumentasi sejarah yang adil bagi semua kelompok etnis.
Tren riset global juga menunjukkan minat tinggi terhadap sejarah minoritas dalam konteks kolonialisme dan pascakolonialisme. Dengan begitu, penelitian ini sangat relevan untuk pengembangan studi sejarah multikultural di Indonesia.
Kesimpulan: Warisan Tan Jin Sing dalam Bayang-Bayang Sejarah
Kisah Tan Jin Sing adalah pelajaran tentang keberanian politik, strategi sosial, dan risiko identitas di dunia yang tidak stabil. Meski pada akhirnya hidup dalam keterasingan budaya, ia membuka jalan bagi keterlibatan lebih luas komunitas Tionghoa dalam dinamika Yogyakarta.
Seperti banyak tokoh kontroversial lainnya, warisan Tan Jin Sing tidak bisa dinilai hanya dari satu sisi. Ia adalah refleksi dari betapa kompleksnya hubungan antar-etnis dalam sejarah Indonesia — sebuah cermin yang masih sangat relevan hingga hari ini.
Sumber :
Penelitian ini dapat diakses di Journal of History Studies Vol. 4 (1), 2024, oleh Rifai Shodiq Fathoni & Nanang Setiawan. DOI: 10.22437/js.v4i1.30809