Mengenal Insinyur 5.0, Profesi Harapan Bangsa di Era Sekarang dan Masa Depan

Dipublikasikan oleh Muhammad Farhan Fadhil

26 Februari 2022, 20.38

Program Studi Teknik Industri, Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta DALAM suatu perbincangan santai pada awal Desember 2021, seorang teman bertanya kepada saya, “Bro, apa sih perbedaan industri 4.0 dengan industri 5.0? Kok orang-orang aktif sekali membahas soal ini? Bahkan, anakku yang lagi kuliah teknik bilang, dia ingin jadi insinyur 5.0 yang andal. Apa pula itu?” Pertanyaan itu menarik dan ternyata butuh waktu bagi saya untuk menjelaskannya. Nah, tulisan saya ini merupakan runutan penjelasan terkait pertanyaan yang dilontarkan teman saya itu.

Awal kelahiran insinyur 1.0 lewat ilmu mekanika

Membahas revolusi industri memang tidak akan pernah ada habisnya, kecuali istilah “industri” tidak digunakan lagi di muka bumi. Revolusi industri dimulai ketika manusia merasa lelah dengan proses produksi yang bergerak lambat.

Berkat revolusi industri, produk yang tadinya dibuat dengan tangan menjadi lebih cepat dikerjakan melalui mesin, meskipun masih sederhana. Penemuan mesin-mesin sederhana itu pula mendorong banyak “insinyur” muda untuk menjadi peneliti dan penemu.

Akibat revolusi industri, perekonomian dunia bergeser dari ekonomi agraris yang mengandalkan tenaga kerja manusia 100 persen menjadi ekonomi industrial yang mengandalkan mesin dalam bekerja, bahkan untuk pekerjaan agraris. Pada masa ini, jika ingin terkenal dan menjadi bagian dari penemuan-penemuan baru, seseorang butuh menguasai ilmu Gambar Teknik, Fisika, dan Matematika. Gabungan ketiga ilmu itu saya sebut sebagai ilmu Mekanika.

Dengan kata lain, kelahiran insinyur 1.0 berkaitan dengan penguasaan ilmu mekanika. Kejadian ini berlangsung di Inggris sejak pertengahan 1700-an dan seterusnya. Pada masa itu, mesin-mesin mulai dikembangkan untuk mempercepat proses produksi sehingga mampu menghasilkan produk dalam skala yang lebih besar.

Hal tersebut kemudian menciptakan “factory system” dan menyebar ke Amerika Serikat (AS) pada 1830-1840. Era ini dipercaya sebagai cikal bakal kelahiran mechanical engineer dan keilmuan mechanical engineering.

Insinyur 2.0 dan Teknik Tenaga Listrik

Hiruk pikuk revolusi industri 1.0 terus berlangsung. Cara pembuatan baja, bahan kimia, dan listrik pun ditemukan sepanjang masa tersebut.

Hal itu membuat para pelaku industri tergerak untuk memproduksi bahan bakar yang lebih bertenaga (Freeman, 2018). Sekitar 1840 dan seterusnya, dengan penemuan listrik sebagai “energi baru”, manusia mampu bepergian dengan kereta api dan mobil.

Pelaku industri juga bisa membuat berbagai produk dengan jumlah lebih banyak dan cepat. Pada saat yang sama, ide dan berita menyebar melalui surat kabar, radio, dan telegraf. Hidup pun menjadi semakin cepat.

Revolusi industri 2.0 dimulai pada abad ke-19 melalui penemuan listrik dan produksi jalur perakitan. Perubahan ini bisa dilihat dari cara Henry Ford (1863-1947) memproduksi mobil secara massal.

Ia mengambil ide produksi massal mobil dari sebuah rumah jagal di Chicago, AS, yakni daging digantung di ban berjalan dan setiap tukang daging hanya melakukan tugas menyembelih hewan (Tapalaga, 2020). Henry menerapkan prinsip-prinsip ini ke dalam produksi mobil dan secara drastis mengubah kecepatan proses produksi.

Satu stasiun memproduksi suatu komponen. Kemudian, komponen lain diproduksi secara parsial di ban berjalan. Hal ini jauh lebih cepat dan membutuhkan biaya lebih rendah. Semua ini dapat berlangsung karena peran “teknik tenaga listrik”.

Para peneliti dan penemu mempelajari ilmu “teknik tenaga listrik” dengan lebih serius dan inilah keahlian sebagai ciri yang menjadikan mereka sebagai insinyur 2.0. Pada era ini, berbagai perguruan tinggi terkemuka di Eropa dan AS mengembangkan program studi Electrical Engineering (Taylor, 2021) serta menjadikannya salah satu bidang ilmu yang sangat elite dan didambakan pada era itu.

Penguasaan komputasi dan pemrograman ciptakan insinyur 3.0

Penemuan listrik membawa perubahan ekonomi secara mendasar. Kemampuan menciptakan listrik yang konsisten dan kontinu pun mendorong perkembangan teknologi komunikasi baru (Rifkin, 2011).

Ketersediaan listrik terbarukan mampu mendorong penemuan dan inovasi di bidang komputasi. Revolusi industri 3.0 dimulai pada 1970-an melalui otomatisasi parsial menggunakan kontrol dan komputer yang dapat diprogram melalui memori. Proses tersebut tentunya sangat tergantung dengan listrik.

Sejak pengenalan teknologi itu, seluruh proses produksi dapat diotomatisasi dengan bantuan minimal dari manusia. Pada era ini pula, robot-robot sederhana mulai dikembangkan. Robot ini diprogram dan dikendalikan melalui kabel dan jaringan.

Industri 4.0, insinyur, dan “digitalisasi manufaktur” buatannya

Industri 4.0 muncul sebagai kelanjutan industri 3.0. Fokus awal perubahan ini adalah pada sistem produksi di lantai pabrik.

Sistem produksi yang sudah memiliki teknologi komputer diperluas dengan koneksi jaringan dan memiliki “kembaran” digital di Internet. Internet pulalah yang menandakan perubahan signifikan dalam industri 3.0.

Keberadaan internet memungkinkan komunikasi antara suatu fasilitas dan fasilitas lain di berbagai tempat yang berbeda dapat berlangsung. Masing-masing fasilitas, misalkan mesin, dapat “membaca” data dan informasi dari mesin lainnya sehingga sinergi dapat berjalan.

Kemampuan melakukan sinergi antarfasilitas kemudian mendorong para insinyur untuk melakukan perubahan besar-besaran dalam sistem produksi. Lantai produksi di pabrik dikendalikan secara “cyber”. Sistem produksi ini dikenal sebagai “smart factory” atau “digital manufacturing” (Sunardi & Saputra, 2016).

Contoh “smart” adalah ketika suatu mesin dapat memprediksi kegagalan dan memicu pemeliharaan mesin secara mandiri. Contoh lainnya, sistem logistik yang dapat menyesuaikan jadwal pick-up sebagai reaksi atas perubahan tak terduga dalam lantai produksi.

Revolusi industri 4.0 memiliki kekuatan untuk mengubah cara orang bekerja. Industri 4.0 dapat menarik individu ke dalam jaringan yang lebih cerdas dengan potensi kerja yang lebih efisien.

Digitalisasi lingkungan manufaktur memungkinkan metode yang lebih fleksibel untuk mendapatkan informasi yang tepat, kepada orang yang tepat, dan pada waktu yang tepat pula. Peningkatan penggunaan perangkat digital di dalam dan di luar pabrik memungkinkan para insinyur memperoleh dokumentasi peralatan serta riwayat perawatan mesin secara lebih tepat waktu dan pada lokasi penggunaan yang juga tepat.

Para Insinyur dapat memecahkan masalah dengan lebih cepat dan tidak membuang waktu untuk mencari sumber informasi teknis yang mereka butuhkan. Pasalnya, semua informasi sudah tercatat dan terdokumentasi secara otomatis menggunakan teknologi cloud.

Singkatnya, industri 4.0 telah mengubah kebutuhan akan insinyur di berbagai belahan dunia dan jenis industri. Insinyur tidak hanya dituntut menguasai kemampuan teknis keilmuan dasarnya, tetapi juga mampu bekerja kolaboratif dan menguasai teknologi informasi.

Menjadi Insinyur 5.0 untuk saat ini dan Masa Depan

Ketika Indonesia sedang berjuang untuk beradaptasi dengan industri 4.0, Jepang sedang mempersiapkan diri memasuki Society 5.0. Adapun Society 5.0 dapat diartikan sebagai suatu masyarakat yang hidup nyaman karena semua kebutuhan akan produk dan jasa dapat disediakan sesuai jumlah yang diinginkan pada saat diperlukan. Hal tersebut bisa dimungkinkan berkat bantuan teknologi digital, khususnya big data, internet of things (IoT), dan artificial intelligence (AI).

Cara kerjanya seperti berikut. Data terkait seluruh masyarakat yang berjumlah begitu besar (big data) beserta rekaman aktivitasnya akan dikumpulkan oleh IoT. Data ini akan ditransformasikan menjadi suatu jenis kecerdasan baru, yakni AI, dan akan menjangkau setiap sudut masyarakat.

Inti dari Society 5.0 adalah menciptakan kondisi yang manusiawi, terutama saat seseorang memasuki masa pensiun dan harus hidup mandiri pada masa tuanya. Negara bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman, terutama yang berkaitan dengan layanan umum serta kesehatan. Untuk memenuhi hal itu, pengelolaan data masyarakat dan seluruh aktivitasnya harus dapat terekam, terolah, dan terdistribusi sesuai kebutuhan.

Sebagaimana dikutip dari laman Japan.go.jp, salah satu contoh visi Jepang dalam melayani masyarakatnya bisa dilihat dari penggunaan AI dan robot di fasilitas-fasilitas layanan kalangan lanjut usia (lansia). Dengan bantuan teknologi ini, mereka dapat terlayani sesuai kebutuhannya masing-masing.

Insinyur pada era Society 5.0 dihadapkan dengan tantangan baru. Mereka membutuhkan berbagai soft skill untuk bisa menjadi “pelayan” masyarakat yang efektif dan penuh empati. Kemampuan akan psikologi sosial, bahasa asing, dan service excellence akan menjadi pendamping wajib berbagai hard skill terkait matematika, fisika, dasar-dasar rekayasa, teknologi informasi, dan kecerdasan buatan.

Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Saat menerima The AFEO Distinguished Honorary Patron Award di Jakarta pada 11 September 2019 yang kebetulan saya turut hadir, Presiden Joko Widodo pernah mengingatkan bahwa Indonesia perlu menata database para insinyur yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Database itu akan disinergikan dengan Pusat Manajemen Talenta yang dalam waktu dekat akan dibangun oleh pemerintah. Dengan demikian, pemerintah bersama Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dapat memonitor dan mengembangkan kompetensi setiap insinyur agar lebih berdaya guna bagi masyarakat.

Program Presiden tersebut jika ditelusuri merupakan visi beliau untuk menuju Society 5.0. Di era ini, peran insinyur akan sangat dominan.

Secara matematis, Indonesia baru memiliki 2.671 insinyur per 1 juta penduduk. Angka ini tergolong kecil jika dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lain. Mengutip pemberitaan Kompas.com, Malaysia memiliki 3.333 insinyur, Vietnam 9.037 insinyur, dan Korea Selatan 25.309 insinyur.

Peran penting insinyur dalam menyongsong Society 5.0 juga ditekankan Ketua Umum PII Heru Dewanto saat menjadi pembicara di webinar “Menjadi Insinyur Profesional Menuju Society 5.0”, Rabu (5/5/2021). Mengutip Kompas.com, Heru mengatakan bahwa keberhasilan dalam mengatasi masalah bumi tergantung pada insinyur. “Artinya, kita harus siap untuk menyelamatkan bumi. Kita, semua para insinyur, harus bisa mengatasi problem yang diciptakan (manusia) sendiri," ujar Heru.

Heru menambahkan bahwa dalam konsep Society 5.0, insinyur tidak hanya bertugas menghasilkan inovasi untuk memajukan peradaban. Insinyur juga harus merumuskan masyarakat dunia seperti apa yang diinginkan.

Menurutnya, tugas insinyur adalah menciptakan sesuatu yang sebelumnya belum ada. Dengan demikian, tugas insinyur atau pendidikan teknik ialah menghasilkan para kreator atau para pencipta berdasar pada ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mewujudkan masa depan yang lebih baik. “Inilah makna sesungguhnya dari Society 5.0,” kata Heru.

Insinyur 5.0 berperan menjadi penggerak kehidupan sosial masyarakat melalui kreativitas tanpa batas yang tentunya harus sesuai dengan tatanan nilai dan norma dalam masyarakat. Dengan kata lain, kebutuhan akan insinyur bakal terus bertambah. Namun, kesadaran akan peran penting insinyur belum menyentuh “hati” dan “logika” seluruh masyarakat sehingga animo untuk menempuh pendidikan teknik terbilang landai.

Sumber Artikel: kompas.com