Mengapa Tata Kelola Risiko Bencana Menjadi Isu Global?
Dalam dua dekade terakhir, bencana alam semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi ekonomi maupun sosial. Tahun 2017 saja, tercatat 318 bencana alam di seluruh dunia yang memengaruhi 96 juta orang, menyebabkan lebih dari 9.500 kematian, dan kerugian ekonomi mencapai US$314 miliar. Negara-negara berpenghasilan rendah seperti Mozambik menjadi yang paling rentan, karena siklus bencana yang berulang memperparah kemiskinan dan memperlambat pembangunan. Di tengah perubahan iklim dan urbanisasi, tata kelola risiko bencana (Disaster Risk Governance/DRG) menjadi kunci untuk membangun ketahanan masyarakat dan memastikan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini mengulas secara kritis hasil penelitian Jenni Koivisto (2020) tentang tantangan dan peluang tata kelola risiko bencana di Mozambik. Dengan mengangkat studi kasus, data empiris, serta membandingkan dengan tren global, artikel ini diharapkan menjadi referensi strategis bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang manajemen risiko bencana.
Latar Belakang: Mozambik di Pusaran Bencana dan Ketidakpastian
Sejarah dan Kondisi Sosial-Ekonomi
Mozambik merdeka dari Portugal pada 1975, namun langsung terjerumus dalam perang saudara yang berlangsung hingga 1992. Konflik ini menghancurkan infrastruktur, ekonomi, dan kepercayaan sosial-politik. Hingga kini, Mozambik masih termasuk salah satu negara termiskin di dunia, dengan ketergantungan tinggi pada bantuan luar negeri dan kapasitas tata kelola yang terbatas.
Paparan Bencana Alam
Secara geografis, Mozambik sangat rentan terhadap bencana hidrometeorologi. Antara 1975–2018, negara ini mengalami 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, dua longsor, satu gempa bumi, dan satu kebakaran besar. Sebagian besar penduduk dan aktivitas ekonomi terkonsentrasi di wilayah pesisir dan dataran rendah, sehingga paparan terhadap banjir dan badai sangat tinggi. Ketergantungan pada pertanian subsisten yang mengandalkan hujan juga memperbesar kerentanan masyarakat terhadap kekeringan.
Dampak Bencana terhadap Pembangunan
Bencana yang berulang menyebabkan kerugian ekonomi besar dan memperlambat pembangunan. Misalnya, banjir besar tahun 2000 menjadi titik balik yang memaksa pemerintah Mozambik untuk mulai mengadopsi pendekatan proaktif dalam manajemen bencana, termasuk pembentukan National Disasters Management Institute (INGC) dan penyusunan Master Plan for Disaster Risk Reduction.
Studi Kasus: Tata Kelola Risiko Bencana di Mozambik
Metodologi Penelitian
Penelitian Koivisto menggunakan pendekatan studi kasus dengan kombinasi wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan analisis dokumen kebijakan. Data dikumpulkan selama dua periode lapangan di Maputo (2013 dan 2015), melibatkan 44 wawancara dengan 52 responden dari kementerian, LSM, lembaga internasional, donor bilateral, dan akademisi.
Temuan Utama: Faktor Pendorong dan Penghambat
Enabler (Faktor Pendorong)
- Pengalaman Bencana Masa Lalu: Bencana besar seperti banjir 2000 mendorong perubahan kebijakan.
- Dukungan Internasional: Bantuan teknis dan pendanaan dari lembaga global mempercepat adopsi kebijakan DRR.
- Partisipasi Multi-Sektor: Keterlibatan berbagai aktor dari pemerintah, LSM, dan masyarakat sipil memperkaya perspektif.
- Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran: Edukasi dan pelatihan meningkatkan kapasitas aktor lokal.
- Difusi Kebijakan: Adopsi praktik terbaik dari negara lain melalui kerjasama internasional.
Constraints (Faktor Penghambat)
- Keterbatasan Sumber Daya: Anggaran dan SDM yang minim membatasi implementasi kebijakan.
- Kurangnya Koordinasi: Informasi tidak mengalir lancar antar lembaga, menyebabkan tumpang tindih dan inefisiensi.
- Sistem Politik Hierarkis: Pengambilan keputusan terpusat, partisipasi lokal terbatas.
- Mandat Tidak Jelas: Tumpang tindih tugas antar lembaga menyebabkan kebingungan.
- Ambiguitas Konsep DRR: Pemahaman yang berbeda-beda tentang DRR menghambat sinergi.
- Prioritas pada Respons Bencana: Fokus masih pada penanganan darurat, bukan pencegahan dan pengurangan risiko.
Studi Kasus Lapangan: Relokasi di Lembah Sungai Zambezi
Salah satu kebijakan utama pemerintah Mozambik adalah relokasi penduduk dari dataran banjir di Lembah Sungai Zambezi. Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra:
- Pendekatan Relokasi: Pemerintah menilai relokasi sebagai solusi utama untuk mengurangi risiko banjir.
- Preferensi Masyarakat Lokal: Banyak warga lebih memilih tetap tinggal di dekat sungai karena alasan ekonomi dan budaya.
- Peran LSM dan Organisasi Internasional: Mendorong pendekatan “living with floods” dengan perbaikan infrastruktur dan edukasi, bukan relokasi paksa.
Kebijakan relokasi ini menunjukkan pentingnya mendengarkan suara masyarakat dan mengintegrasikan pengetahuan lokal dalam perumusan kebijakan DRR.
Komite Manajemen Risiko Lokal
Mozambik membentuk komite manajemen risiko di tingkat komunitas yang beranggotakan relawan. Komite ini efektif dalam mobilisasi saat darurat, namun seringkali hanya berfokus pada respons, bukan pengurangan risiko jangka panjang. Selain itu, keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan masih sangat terbatas.
Tantangan Desentralisasi
Meskipun struktur DRR di Mozambik secara formal mengikuti pendekatan multi-level (nasional, provinsi, distrik, lokal), kenyataannya, kapasitas dan sumber daya di tingkat sub-nasional sangat terbatas. Desentralisasi belum berjalan optimal karena distribusi kekuasaan dan anggaran masih terpusat.
Analisis Kritis: Ketidakpastian, Koordinasi, dan Dinamika Kekuasaan
Ketidakpastian dalam Tata Kelola
Penelitian ini menyoroti bahwa ketidakpastian dalam DRG tidak hanya berasal dari kurangnya data atau pengetahuan, tetapi juga dari dinamika strategis dan institusional. Semakin banyak aktor yang terlibat, semakin kompleks koordinasi dan semakin besar potensi konflik kepentingan.
Advocacy Coalition Framework (ACF) dalam DRR
Koivisto menggunakan pendekatan ACF untuk menganalisis koalisi aktor dalam subsistem kebijakan DRR di Mozambik. Terdapat dua koalisi utama:
- Koalisi Manajemen Bencana: Melihat DRR sebagai bagian dari respons bencana.
- Koalisi Pembangunan Partisipatif: Memahami DRR sebagai isu pembangunan yang membutuhkan partisipasi masyarakat.
Meskipun perbedaan tidak terlalu tajam, pergeseran anggota koalisi dan ambiguitas peran sering menghambat pengambilan keputusan.
Dampak Tingginya Pergantian Staf
Tingkat pergantian staf yang tinggi di lembaga-lembaga DRR menyebabkan hilangnya pengetahuan institusional, melemahkan kapasitas organisasi, dan menghambat kesinambungan program. Dampak negatif ini lebih terasa jika staf keluar dari sistem DRR secara keseluruhan, bukan hanya pindah antar lembaga di dalam sistem.
Pengaruh Global dan Ketergantungan Donor
Mozambik sangat bergantung pada pendanaan dan arahan dari lembaga internasional. Seringkali, prioritas program lebih ditentukan oleh agenda donor daripada kebutuhan lokal. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan nasional dan kebutuhan masyarakat di lapangan.
Angka-Angka Kunci dari Penelitian
- Jumlah bencana 1975–2018: 34 banjir, 23 badai, 13 kekeringan, 2 longsor, 1 gempa bumi, 1 kebakaran besar.
- Dampak bencana 2017 (global): 318 bencana, 96 juta terdampak, 9.500 kematian, US$314 miliar kerugian.
- Jumlah wawancara penelitian: 44 wawancara, 52 responden dari berbagai sektor.
- Cakupan relokasi: Ribuan warga di Lembah Zambezi direlokasi pasca banjir besar.
Perbandingan dengan Tren Global dan Studi Lain
Benchmarking Internasional
- Negara-negara maju umumnya sudah mengadopsi tata kelola risiko bencana yang kolaboratif, adaptif, dan transparan, dengan desentralisasi yang kuat.
- Negara berkembang seperti Mozambik masih menghadapi tantangan besar dalam hal kapasitas, koordinasi, dan ketergantungan pada donor.
- Studi di Asia dan Amerika Latin menunjukkan bahwa keberhasilan DRR sangat ditentukan oleh partisipasi masyarakat, desentralisasi, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan.
Opini dan Kritik
- Kelebihan Mozambik: Komitmen politik untuk menempatkan DRR di agenda nasional cukup kuat, didukung oleh kerjasama internasional yang intensif.
- Kekurangan: Implementasi kebijakan masih lemah, partisipasi masyarakat terbatas, dan sistem terlalu bergantung pada individu kunci yang rentan terhadap pergantian staf.
- Peluang: Dengan memperkuat kapasitas lokal, memperluas desentralisasi, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal, Mozambik dapat menjadi model bagi negara-negara lain di Afrika.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan
1. Penguatan Kapasitas Lokal dan Desentralisasi
- Pelatihan dan transfer pengetahuan harus difokuskan pada level provinsi, distrik, dan komunitas.
- Desentralisasi anggaran dan kewenangan agar pengambilan keputusan lebih responsif terhadap kebutuhan lokal.
2. Kolaborasi Multi-Sektor dan Multi-Stakeholder
- Membangun forum dialog antara pemerintah, LSM, donor, dan masyarakat untuk merumuskan kebijakan DRR yang inklusif.
- Mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi program DRR.
3. Integrasi DRR ke dalam Pembangunan
- DRR harus menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional dan daerah, bukan sekadar respons darurat.
- Penguatan sistem monitoring dan evaluasi untuk memastikan kebijakan benar-benar diimplementasikan dan berdampak nyata.
4. Manajemen Pengetahuan dan Retensi SDM
- Dokumentasi dan transfer pengetahuan harus menjadi prioritas untuk mengurangi dampak negatif pergantian staf.
- Insentif dan jenjang karier bagi staf DRR agar mereka bertahan lebih lama di sistem.
5. Adaptasi terhadap Perubahan Iklim
- Integrasi DRR dan adaptasi perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan, mengingat Mozambik sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global
- Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 menekankan pentingnya tata kelola risiko bencana yang inklusif, transparan, dan berbasis data.
- SDGs (Sustainable Development Goals), khususnya SDG 11 dan 13, menuntut negara-negara untuk membangun kota dan komunitas yang tangguh serta mengambil aksi nyata terhadap perubahan iklim.
- Industri asuransi dan keuangan mulai melirik DRR sebagai bagian dari manajemen risiko investasi, membuka peluang kemitraan baru antara sektor publik dan swasta.
Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Risiko Bencana yang Tangguh dan Inklusif
Penelitian Jenni Koivisto (2020) menegaskan bahwa tata kelola risiko bencana di Mozambik masih menghadapi tantangan besar, mulai dari ketidakpastian institusional, koordinasi yang lemah, hingga ketergantungan pada donor. Namun, komitmen politik, pengalaman bencana masa lalu, dan dukungan internasional menjadi modal penting untuk membangun sistem yang lebih tangguh dan inklusif.
Kunci keberhasilan ke depan terletak pada penguatan kapasitas lokal, desentralisasi, kolaborasi multi-stakeholder, dan integrasi DRR ke dalam kebijakan pembangunan. Dengan demikian, Mozambik tidak hanya mampu mengurangi dampak bencana, tetapi juga mempercepat pembangunan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Sumber asli:
Jenni Koivisto (2020), Navigating in the Midst of Uncertainties: Challenges in disaster risk governance in Mozambique, EBA Dissertation Brief 2020:09, November 2020, Expertgruppen för biståndsanalys, Sverige.