Indonesia telah mengalami perubahan struktural ekonomi yang besar sejak awal 1980-an. Salah satu indikator utamanya adalah meningkatnya kontribusi ekspor non-migas yang melonjak dari 18,1% pada tahun 1981 menjadi 75,8% di tahun 1993. Transformasi ini tidak hanya mencerminkan keberhasilan diversifikasi ekonomi, tetapi juga membuka tantangan baru, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan peningkatan daya saing industri, informasi memainkan peran yang sangat penting. Bagi para insinyur, informasi bukan hanya penunjang kerja, tetapi menjadi bagian integral dalam proses inovasi, pengambilan keputusan, hingga pengembangan teknologi. Maka, memahami kebutuhan informasi mereka adalah langkah awal menuju sistem industri yang lebih adaptif dan tangguh.
Studi Kebutuhan Informasi: Potret Selama Satu Dekade
Selama sepuluh tahun terakhir, sejumlah survei dilakukan untuk menilai kebutuhan informasi para insinyur di Indonesia. Hasilnya menunjukkan gambaran yang konsisten tentang kurangnya akses, minimnya promosi sumber informasi, serta lemahnya jejaring antar pusat data. Salah satu survei utama dilakukan oleh Komite Informasi Teknik dari Persatuan Insinyur Indonesia pada tahun 1985/1986. Survei ini mengirimkan 673 kuesioner kepada para insinyur yang bekerja di bidang irigasi, pupuk dan pestisida, mesin dan peralatan, serta produksi.
Para insinyur di bidang irigasi, misalnya, paling membutuhkan informasi tentang regulasi, fasilitas laboratorium, dan bahan baku. Sementara mereka yang bekerja di sektor pupuk dan pestisida lebih membutuhkan data pasar, proses produksi, hingga peraturan yang relevan. Kebutuhan ini menunjukkan bahwa informasi teknis saja tidak cukup. Diperlukan juga informasi penunjang seperti kebijakan, pasar, dan fasilitas pendukung.
Studi serupa pada tahun 1986 yang melibatkan 10 negara Asia dan Oseania termasuk Indonesia, menyimpulkan perlunya penguatan layanan informasi melalui diseminasi selektif, peningkatan koleksi, serta pengembangan basis data dan katalog bersama. Saran lain yang mencuat adalah perlunya peningkatan penggunaan media massa dan pelatihan bagi pengguna perpustakaan teknis.
Studi Wilayah: Kasus Kalimantan Timur
Survei lain yang menarik datang dari Kalimantan Timur pada tahun 1993–1994. Dilakukan oleh PDII-LIPI, penelitian ini menyasar berbagai kelompok pengguna: dari sektor industri, pemerintah daerah, hingga perguruan tinggi. Temuan utamanya menunjukkan bahwa kebutuhan informasi sangat bergantung pada peran institusional responden.
Pelaku industri membutuhkan informasi terkait dampak global terhadap sektor industri, teknik kehutanan, serta isu keselamatan dan hukum. Sementara itu, pemerintah daerah mencari informasi yang lebih luas: dari ekonomi dan geografi hingga sensor jarak jauh dan sosiologi. Universitas sendiri lebih menekankan pada informasi politik, manajemen, dan bahasa.
Survei serupa di Bengkulu dan Wamena menghasilkan pola kebutuhan yang hampir identik. Ini menunjukkan bahwa keterbatasan akses informasi bukan hanya isu nasional, tetapi juga menyentuh ranah lokal secara merata.
Studi Strategis di Industri BUMN: Kebutuhan Riil di Lapangan
Salah satu studi paling mendalam dilakukan terhadap sepuluh BUMN strategis di bawah Badan Pengelola Industri Strategis. Dari 171 staf R&D yang terlibat, ditemukan bahwa hanya sebagian kecil yang memperoleh seluruh informasi yang mereka butuhkan dari kolega internal maupun sumber pustaka. Sebagian besar mengandalkan koleksi pribadi, perpustakaan unit kerja, dan koneksi informal.
Yang menarik, hanya sekitar lima persen responden yang benar-benar bisa bergantung pada rekan kerja untuk informasi yang dibutuhkan. Sementara tidak sampai sepuluh persen menyatakan bisa mengandalkan literatur sepenuhnya. Hal ini menunjukkan lemahnya sistem informasi internal perusahaan dan kurangnya koneksi ke jaringan informasi eksternal.
Responden cenderung mencari informasi untuk kebutuhan praktis harian, bukan untuk mendukung riset jangka panjang. Standar dan spesifikasi merupakan tipe informasi yang paling banyak dicari, disusul dengan manual, buku panduan, dan informasi teknologi baru. Penggunaan indeks, bibliografi, dan abstrak masih sangat minim. Sebagian besar mengandalkan seminar atau pertemuan profesional untuk mendapatkan informasi terbaru.
Masih banyak yang datang langsung ke perpustakaan, namun sebenarnya mereka berharap adanya sistem pemesanan digital yang lebih cepat, misalnya melalui email atau akses daring. Ini menunjukkan bahwa kecepatan dan kemudahan akses adalah tuntutan utama para insinyur masa kini.
Evaluasi Teknologi di Industri Strategis
Antara tahun 1990 hingga 1993, Pusat Analisis Pengembangan IPTEK (PAPIPTEK-LIPI) bersama UNDP melaksanakan proyek untuk mengevaluasi sistem manajemen informasi teknologi di Indonesia. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pemetaan “infoware” atau kecanggihan sistem informasi internal di 10 industri strategis nasional.
Hasilnya cukup mencemaskan. Di banyak industri, tingkat infoware masih terbatas pada operasi dasar dan pemeliharaan mesin, belum menyentuh ranah pemahaman, analisis, atau perencanaan teknologi. Bahkan di beberapa perusahaan seperti PT Krakatau Steel dan PT INTI, kekurangan sistem informasi menyebabkan ketergantungan tinggi terhadap tenaga ahli asing.
Ada juga temuan positif, seperti PT Barata Indonesia yang mampu memperkenalkan mesin pabrik gula baru yang kompetitif di pasar internasional. Namun secara umum, rendahnya kemampuan internalisasi informasi dan kurangnya SDM berpengalaman menjadi hambatan serius dalam pengembangan teknologi nasional.
Fragmentasi Pusat Informasi: Masalah Lama yang Belum Teratasi
Indonesia sebenarnya memiliki banyak pusat data dan informasi. Dari PDII-LIPI di Jakarta, PUSTAKA di Bogor, hingga LEMIGAS untuk sektor migas. Namun, pusat-pusat ini bekerja secara terpisah dan belum terintegrasi dalam sistem yang menyatu. Akibatnya, banyak insinyur tidak tahu ke mana harus mencari informasi yang dibutuhkan.
Minimnya promosi dan belum adanya platform digital nasional menjadi faktor penghambat utama. Hal ini diperparah dengan ketidakmerataan akses di daerah-daerah, terutama luar Jawa.
Rekomendasi Strategis: Membangun Sistem Informasi Nasional yang Terhubung
Ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk membangun ekosistem informasi yang mendukung pengembangan teknologi dan inovasi:
- Meningkatkan komunikasi antara penyedia informasi dan para insinyur, khususnya di sektor riset dan pengembangan.
- Mempromosikan pusat informasi ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk ke komunitas insinyur di daerah terpencil.
- Menghubungkan pusat-pusat data melalui platform digital yang bisa diakses secara nasional.
- Melatih pustakawan dan pengguna untuk menguasai teknik pencarian, pengelolaan, dan penggunaan informasi secara efektif.
- Mengadopsi teknologi digital seperti cloud computing dan kecerdasan buatan untuk manajemen data dan pencarian informasi.
- Melakukan survei berkala untuk mengidentifikasi perubahan kebutuhan informasi berdasarkan perkembangan industri dan teknologi.
Penutup: Informasi sebagai Modal Kompetitif Bangsa
Informasi adalah sumber daya strategis. Dalam dunia yang semakin digital dan kompetitif, akses terhadap informasi yang tepat waktu dan relevan adalah kunci untuk inovasi dan efisiensi. Tanpa sistem informasi yang terintegrasi dan mudah diakses, para insinyur Indonesia akan kesulitan bersaing di kancah global.
Sudah saatnya Indonesia menata kembali infrastruktur informasinya, membangun jejaring antar pusat data, serta memperkuat literasi informasi di kalangan tenaga teknis dan profesional. Karena pada akhirnya, bangsa yang mampu mengelola informasi dengan baik, adalah bangsa yang mampu menciptakan masa depan.
Sumber Asli:
Utari Budihardjo, Muhartoyo, Sri Purnomowati. Appraisal of Information Needs of Engineers in Indonesia. BACA, Vol. XX, No. 1-2, Juni 1995.