Wirausaha Kreatif Lokal
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Celuk dan Konstelasi Pariwisata Bali
Desa Celuk di Kabupaten Gianyar, Bali, telah menjelma sebagai ikon kerajinan perak yang mendunia. Popularitasnya tidak lepas dari perkembangan sektor pariwisata Bali yang terus meningkat sejak 1960-an. Artikel ini merefleksikan temuan penting dari tesis Yerik Afrianto Singgalen (2015) yang mengangkat isu keberlangsungan bisnis seni kerajinan perak dengan fokus pada pemanfaatan bentuk-bentuk modal oleh pengusaha lokal dan migran. Kajian ini menggabungkan pendekatan etnografi dan teori modal Pierre Bourdieu untuk menelusuri bagaimana individu bertahan dan bersaing dalam ranah seni kriya.
Modal sebagai Instrumen Bertahan dan Berkembang (H2)
Empat Modal Utama dalam Perspektif Bourdieu (H3)
Singgalen mengidentifikasi bahwa kesuksesan pengusaha dan pengrajin di Celuk sangat dipengaruhi oleh pemanfaatan empat modal utama:
Modal Sosial: jejaring sosial dan koneksi budaya yang mendukung kelangsungan usaha.
Modal Budaya: keterampilan turun-temurun, pengetahuan teknis, dan gaya hidup berwirausaha.
Modal Ekonomi: aset tetap seperti toko, bahan baku, dan alat produksi.
Modal Simbolik: reputasi, status sosial, dan penghargaan komunitas.
Perbedaan Strategi Lokal dan Migran
Pengusaha lokal memiliki akses kuat terhadap semua jenis modal dan cenderung memulai dari warisan budaya.
Pengrajin migran lebih mengandalkan modal sosial dan budaya, lalu membangun akses ekonomi secara bertahap.
studi ini menunjukkan bahwa dominasi dalam ranah tidak ditentukan semata oleh bakat atau kerja keras, tetapi juga struktur sosial yang tidak setara.
Studi Kasus dan Fakta Lapangan (H2)
Dampak Bom Bali dan Strategi Koping (H3)
Tragedi Bom Bali II mengakibatkan penurunan drastis wisatawan. Usaha perak terpaksa:
Menekan biaya produksi.
Melakukan diversifikasi produk.
Meningkatkan penjualan ke pasar lokal dan daring.
Kisah Migran: Dari Pengrajin ke Pengusaha Mandiri
Salah satu informan migran memulai usaha dengan hanya mengandalkan:
Hasil tabungan kerja.
Kemampuan produksi yang dikuasai selama menjadi pekerja.
Jaringan ke pengusaha dan pengepul lokal.
Hasilnya? Mereka berhasil mendapatkan pesanan secara konsisten dan bahkan merekrut tenaga kerja sendiri.
Analisis Kritis: Ketimpangan Akses Modal (H2)
Studi ini menyoroti adanya stratifikasi sosial:
Penduduk lokal lebih mudah mencapai posisi dominan.
Migran harus bersaing di jalur berbeda dan menghadapi resistensi sosial.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa keberhasilan dalam usaha tidak hanya berbasis kapasitas personal, tapi juga relasi kuasa dan legitimasi sosial yang diperoleh dari habitus masing-masing.
Rekomendasi dan Relevansi Praktis (H2)
Bagi Pemerintah Daerah:
Perlu ada pelatihan dan akses kredit untuk pengrajin migran.
Perlindungan terhadap hak pekerja dan pengrajin informal.
Bagi Pelaku Usaha:
Membangun kolaborasi antara pengrajin migran dan pengusaha lokal.
Optimalisasi penjualan daring dan ekspor sebagai strategi diversifikasi.
Perbandingan dengan Studi Sejenis (H2)
Studi ini berbeda dari karya Moyes et al. (2015) dan Gomulia & Manurung (2014) karena:
Memadukan semua jenis modal Bourdieu.
Menghadirkan narasi empiris dari dua kelompok sosial berbeda dalam satu ranah ekonomi.
Kesimpulan: Seni Kriya dalam Arus Modal Sosial Budaya (H2)
Bisnis kerajinan perak di Celuk bukan sekadar soal produksi, tapi tentang bagaimana individu mengakses dan memanfaatkan modal yang tersedia. Artikel ini menggarisbawahi pentingnya memahami konteks sosial dan budaya dalam keberhasilan wirausaha di sektor kreatif.
Sumber
Yerik Afrianto Singgalen. (2015). Bisnis Seni Kerajinan Perak di Desa Celuk: Pemanfaatan Modal dalam Dinamika Berwirausaha. Universitas Kristen Satya Wacana.