Privatisasi Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Krisis Air di Tengah Melimpahnya Sumber: Masalah Tata Kelola
Indonesia dikenal sebagai negara dengan ketersediaan air yang sangat besar—bahkan 25 kali lipat dari rata-rata dunia. Namun, ironi muncul ketika banyak daerah justru mengalami krisis udara. Dalam makalahnya yang terbit di Jurnal Cakrawala Hukum , Galih Puji Mulyono menggugat kenyataan ini melalui perspektif hukum: mengapa krisis udara bisa terjadi di negara kaya air seperti Indonesia?
Tulisan ini menyelidiki kebijakan hukum tata kelola udara yang ada, dampaknya terhadap masyarakat, dan perbandingan dengan sistem luar negeri, khususnya privatisasi udara di Inggris.
Implementasi Landasan Hukum dan Ketimpangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif (doktrinal) untuk mengulas bagaimana hukum Indonesia mengatur pemanfaatan sumber daya air. Beberapa temuan kuncinya:
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi hukum masih jauh dari cukup untuk menjamin keadilan dan ketidakberhentian dalam pengelolaan air.
Studi Kasus: Dampak Hotel Terhadap Akses Air Warga
Makalah ini juga menyoroti dampak nyata lemahnya tata kelola melalui kasus-kasus di lapangan:
Studi-studi ini menggambarkan bagaimana kebijakan sering tunduk pada kepentingan investasi, mengabaikan hak masyarakat atas akses air bersih.
Peran Swasta: Investasi atau Eksploitasi?
Makalah ini juga menyoroti ambiguitas peran swasta dalam pengelolaan udara. Di satu sisi, swasta dibutuhkan untuk investasi infrastruktur. Di sisi lain, komersialisasi air bisa menghilangkan hak dasar masyarakat.
Menurut Mahkamah Konstitusi, negara wajib membatasi pengusahaan udara oleh swasta demi:
Namun penerapannya tidak seragam, membuka ruang tumpang tindih antara pengusaha, masyarakat adat, dan pemerintah.
Perbandingan Internasional: Inggris dan Sistem Privatisasi Udara
Untuk menyempurnakan analisis, penulis membandingkan sistem pengelolaan udara di Indonesia dengan Inggris, negara-negara yang dikenal sukses mendistribusikan udara bahkan ke negara lain seperti Singapura.
Fitur Sistem Inggris:
Privatisasi di Inggris berjalan relatif sukses karena disertai dengan pengawasan ketat, transparansi data, dan regulasi tarif yang adil . Hal inilah yang tidak ditemukan dalam konteks Indonesia saat UU SDA 2004 masih berlaku.
Opini Kritis: Privatisasi Udara di Indonesia, Harus atau Tidak?
Penulis menyampaikan bahwa Indonesia belum siap menerapkan privatisasi seperti Inggris. Beberapa alasan utamanya:
Namun, penulis tidak menutup kemungkinan privatisasi terbatas asalnya dilakukan dengan prinsip transparansi , akuntabilitas , dan regulasi ketat .
Putusan MK dan Jalan Hukum yang Masih Terjal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menjadi tidak penting. MK menyatakan bahwa:
Putusan ini memaksa pemerintah menyusun regulasi baru, seperti PP No. 121/2015 tentang Pengusahaan SDA dan PP No. 122/2015 tentang SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Namun keduanya masih dalam tahap awal dan belum mampu membenahi izin kekacauan dan tata kelola yang ada.
Arah Kebijakan Baru: Perlindungan Inklusif, Bukan Eksklusif
Penulis menekankan perlunya kebijakan air yang:
Air bukan sekadar komoditas, tetapi hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam konteksyang harus dijamin oleh negara. Dalam konteks ini, kebijakan hukum perlu diubah dari pendekatan ekonomi menjadi pendekatan hak asasi manusia.
Kesimpulan: Saatnya Regulasi Air yang Tegas, Adil, dan Kontekstual
Makalah ini memberikan kritik tajam namun konstruktif terhadap kebijakan hukum udara di Indonesia. Galih Puji Mulyono berhasil menunjukkan bahwa akar masalah bukan pada ketersediaan udara, melainkan pada lemahnya tata kelola, regulasi hukum, dan kontrol negara atas sektor vital ini.
Dibandingkan dengan Inggris memberi pelajaran penting: privatisasi bisa berhasil, asal regulasi kuat dan berpihak pada publik. Di sisi lain, Indonesia harus lebih serius menyusun hukum baru yang:
Sumber Referensi:
Mulyono, GP (2019). Perlindungan Hukum terhadap Tata Pengelolaan Udara di IndonesiaT. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1).