Pengendali Bendungan

Strategi Terpadu Pengendalian Banjir Kota Semarang: Menjaga Hulu, Tengah, dan Hilir

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 27 Mei 2025


Solusi Komprehensif Menghadapi Kombinasi Banjir Kiriman dan Rob

Kota Semarang telah lama dihadapkan pada ancaman banjir dan rob yang berulang. Letaknya yang membentang dari kawasan perbukitan di selatan hingga dataran rendah di utara menjadikannya sangat rentan terhadap kombinasi limpasan udara dari hulu dan pasang air laut. Makalah yang ditulis oleh Hermono S. Budinetro bersama tim dari Pusat Litbang SDA mengupas tuntas pendekatan komprehensif pengendalian banjir di Semarang, mulai dari wilayah hulu hingga hilir, serta mengintegrasikan berbagai solusi teknis dan sosial sistematis.

Profil Masalah Banjir Semarang

Dua Sumber Banjir: Kiriman dan Rob

Semarang mengalami dua jenis banjir yang saling bertumpuk:

  • Banjir kiriman dari kawasan hulu (selatan) akibat hujan deras dan limpasan permukaan.
  • Genangan rob di wilayah utara, akibat penurunan muka tanah (land subsidence) dan naiknya muka air laut.

Secara geologis, kawasan utara Semarang berdiri di atas tanah aluvial muda yang belum stabil. Dalam 1 dekade terakhir, penurunan muka tanah mencapai 5–9 cm/tahun, memperparah potensi terakumulasi.

Konsep Strategis: Menahan, Menjaga, Menarik

Pusat Litbang SDA merumuskan kebijakan pengendalian banjir yang dikenal dengan skema:

  • Menahan di hulu
  • Menjaga di tengah
  • Menarik ke hilir
  • Menangkap ikan dari laut

Pendekatan ini disusun berdasarkan segmentasi topografi spasial kota, dengan strategi dan infrastruktur yang disesuaikan.

1. Menahan di Hulu: Retensi dan Revitalisasi

Bendungan dan Waduk: Menahan di Titik Awal

Sebanyak 27 dari 38 lokasi di kawasan hulu diidentifikasi berpotensi untuk pembangunan bendungan pengendali banjir . Efektivitasnya terbukti signifikan:

  • Sistem Drainase Mangkang: mampu meredam 24,29% puncak banjir.
  • Semarang Tengah: 53,29%
  • Semarang Timur: 19,64%

Selain bendungan, penghijauan juga diusulkan untuk mengurangi koefisien limpasan. Namun, strategi ini menghadapi tantangan:

  • Diperlukan waktu lama hingga vegetasi tumbuh optimal.
  • Implementasinya bergantung pada partisipasi masyarakat, yang tidak selalu konsisten.
  • Keuntungan penghijauan lebih terasa di hilir, sedangkan upaya dilakukan di hulu.

2. Menjaga di Tengah: Normalisasi dan Tanggul

Mempercepat Aliran Menuju Hilir

Wilayah tengah menjadi zona transisi yang krusial untuk menghindari banjir kiriman. Dua strategi utama diterapkan:

  • Normalisasi sungai untuk memperbesar kapasitas alir.
  • Pembangunan tanggul banjir di titik kritis aliran.

Dampaknya tidak hanya meminimalkan penghematan, tetapi juga mempercepat aliran air menuju hilir, mencegah stagnasi di kawasan padat penduduk.

3. Menarik ke Hilir: Sistem Polder dan Kanal

Mengintegrasikan Saluran dan Pompa

Di kawasan hilir, pendekatan pengendalian lebih kompleks karena berhadapan langsung dengan udara laut. Tiga metode utama diterapkan:

  • Sistem polder , yaitu area yang dikontrol dengan saluran, pompa, dan retensi kolam.
  • Tanggul laut , dibangun sejajar garis pantai untuk menahan rob.
  • Dam lepas pantai (DLP) , infrastruktur jauh di tengah laut untuk memisahkan udara laut dan kawasan darat.

4. Strategi Pertahanan Darat dan Luar Darat

Untuk wilayah pesisir utara Semarang, pendekatan ganda diuji melalui metode Weighted Factor . Tujuh tipe struktur pengendali banjir diuji terhadap 23 variabel dalam empat kelompok: teknis, manfaat, biaya, dan dampak lingkungan.

Hasil Evaluasi:

  • Kombinasi pertahanan on-land dan off-land menunjukkan performa terbaik dengan skor -13.
  • Sistem ini mencakup:
    • DLP tipe semi terbuka di BKT dan BKB.
    • Polder dan tanggul laut di antaranya.
  • Keunggulan utama: hanya membutuhkan kapasitas pompa 200 m³/s untuk menangani volume banjir 4,5 juta m³ dalam 24 jam.

Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Kelebihan:

  • Strategi multi-level memungkinkan adaptasi dan adaptasi terhadap dinamika topografi.
  • DLP dan kombinasi tanggul-polder memungkinkan terciptanya lahan reklamasi hingga 3.286 ha, yang bisa dimanfaatkan untuk perumahan, industri, atau ruang terbuka hijau.
  • Pendekatan berbasis data dan permodelan hidrologi memungkinkan simulasi prediktif.

Tantangan:

  • Penurunan permukaan tanah yang tidak seragam membuat struktur pengontrol cepat rusak jika tidak dilakukan penyesuaian rutin.
  • Kebutuhan dana sangat besar , terutama untuk DLP dan pompa.
  • Belum cukupnya keterlibatan masyarakat dalam sistem O&P (operasi dan pemeliharaan).
  • Kerusakan lingkungan seperti kualitas udara dan polusi sampah menjadi risiko dalam sistem polder tertutup.

Benchmark Global: Apa yang Bisa Dicontohkan?

Belanda: Sistem Polder dan DLP Terintegrasi

Belanda sebagai negara di bawah permukaan laut telah menerapkan sistem kombinasi tanggul, DLP, dan polder sejak abad ke-17. Dengan teknologi terkini, sistem ini dikendalikan secara otomatis dan terhubung ke sistem peringatan dini.

Jepang: Kota Bawah Tanah untuk Banjir

Tokyo membangun Saluran Pembuangan Bawah Tanah Luar Wilayah Metropolitan , sebuah sistem bawah tanah raksasa untuk menampung dan membuang banjir ke sungai besar saat curah hujan ekstrem.

Rekomendasi Praktis

  1. Integrasi perencanaan tata ruang dan sistem drainase sejak tahap awal pembangunan.
  2. Mendorong kolaborasi multipihak , termasuk investor swasta dalam pengelolaan lahan reklamasi dan pendanaan DLP.
  3. Edukasi masyarakat dan pelibatan aktif dalam pemeliharaan polder skala kecil.
  4. Penguatan sistem peringatan dini untuk memastikan kesiapsiagaan saat curah hujan ekstrem terjadi.

Kesimpulan: Menuju Semarang yang Lebih Tangguh

Strategi pengendalian banjir Semarang bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi soal visi tata kelola udara perkotaan dalam jangka panjang. Studi Hermono S. Budinetro dkk. Menyajikan pendekatan teknis yang terukur, teruji, dan realistis diterapkan—dengan catatan bahwa keberhasilan jangka panjang sangat bergantung pada integrasi lintas sektor dan dukungan publik.

Kombinasi sistem DLP semi terbuka, polder, dan tanggul laut terbukti optimal secara teknis dan ekonomi. Namun demikian, tetap diperlukan pendekatan non-struktural seperti pengurangan pengambilan air tanah, perbaikan perilaku masyarakat terhadap sampah, serta pemulihan kawasan hijau.

Inilah saatnya Semarang (dan kota pesisir lainnya) berinvestasi bukan hanya pada beton dan pompa, tetapi juga pada kolaborasi sosial dan kesadaran ekologis.

Referensi (Gaya APA)

Budinetro, HS, Rahayu, S., Praja, TA, Taufiq, A., & Junarsa, D. (2012). Strategi pengendalian banjir Kota Semarang. Jurnal Sumber Daya Air, 8 (2), 141–156.

Selengkapnya
Strategi Terpadu Pengendalian Banjir Kota Semarang: Menjaga Hulu, Tengah, dan Hilir
page 1 of 1